Setelah Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan UU Migas (disahkan tahun 2001), maka pemerintah harus mematuhi
putusan MK dan membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP
Migas).
Beragam reaksi dan tulisan
muncul sehubungan dengan hal ini. Sebagimana biasanya, tentu ada pro dan
kontra, ada yang senang dan ada yang sedih, terutama para direksi dan staf BP
Migas tersebut, karena konon gaji mereka setinggi langit. Juga dengan
kantor-kantor yang mewah, yang bahkan lebih mewah daripada kantor menteri.
Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menemukan adanya kontraktor yang memanipulasi perhitungan, yang
merugikan negara sebesar 1,7 milyar US
$ (sekitar 16,1 trilyun rupiah).
Yang ingin mempertahankan BP
Migas berargumentasi, bahwa ini adalah produk reformasi, untuk memperbaiki
system yang dilakukan di masa Orde Baru.
Beberapa tulisan menyoroti
proses pembahasan dan pengesahan undang-undang Migas tahun. 2001.
Ada dua tulisan yang sangat
menarik sehubungan dengan proses pembahasan dan pengesahan UU tersebut.
Yang pertama dari Lin Che
Wei, ekonom, yang menulis di facebooknya.
Yang kedua dari Teguh Santosa, Chief
Editor Rakyat merdeka-Online/ Chairman of Foreign Affairs of the PP Pemuda Muhammadiyah,
yang menulis di weblognya.
Salam,
Batara R. Hutagalung
======================================
Badut Politik dalam Kasus
Pembubaran BP MIgas dan UU MIgas tahun 2001
(Oleh Lin Che Wei)
(Oleh Lin Che Wei)
Babak 1 -
Proses pembahasan dan pengundang-undangan UU Migas 2001 terjadi antara tahun 1999 sampai 2001. UU MIgas di undang-undangkan pada bulan November 2001.
Proses pembahasan dan pengundang-undangan UU Migas 2001 terjadi antara tahun 1999 sampai 2001. UU MIgas di undang-undangkan pada bulan November 2001.
UU Migas ini merupakan produk pembahasan
antara Pemerintah pada masa itu dan DPR pada masa itu.
Marilah Kita melihat siapa saja aktor politik
tersebut.
Ketua MPR - Amien Rais (Mantan ketua
Muhammadiyah -dari PAN)
Ketua DPR - Akbar Tanjung (Golkar - Mantan
Aktivis HMI)
Ketua Komisi VIII - DPR - Irwan Prajitno (dari
Partai Keadilan)
Pada saat itu Poros Tengah (Koalisi dari
beberapa partai berbasis islam seperti PAN, PKB, PBB, PPP) sedang naik daun dan
sangat berpengaruh di Parlemen karena mereka adalah 'king maker' dari naiknya
Gus Dur menjadi Presiden.
Yang menarik di dalam pembahasan tersebut dan
perundang-undangan UU MIgas tersebut... adalah :
Semua Fraksi di DPR (kecuali satu fraksi
kecil), semua partai berbasis islam (termasuk Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB,
PKB) dan juga partai besar (PDI-P dan Golkar) mendukung ratifikasi dari UU
Migas. Sangat ironis karena satu-satunya partai yang justru menyatakan
keberatan adalah Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (Partai kecil yang berbasis
agama kristen).
Pada saat tersebut (1999-2001 periode -
periode pembahasan dan ratifikasi)
- Kwik Kian Gie adalah Menko Perekonomian
(PDI-P) dan kemudian menjadi Ketua Bappenas.
- Rizal Ramlie adalah mantan Menkeu/Menko
Perekonomian waktu zaman Gus Dur.
- Mahfud MD adalah Menteri Pertahanan dan
sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan zaman Gus Dur.
Semua komponen pemerintah dan parlemen pada
waktu itu setuju untuk meratifikasi UU Migas 2001 dan melahirkan BP MIgas.
Berdasarkan rekomendasi dari Kwik Kian Gie, ketika terjadi penggantian Dirut
Pertamina, Martiono Hadianto (yg menentang RUU Migas pada saat itu). Kwik
sangat merekomendasi Baihaki Hakim untuk menggantikan Martiono. Di masa Baihaki
inilah Pertamina melepaskan wewenangnya dan mengalihkannya ke BP Migas.
Babak ke 2 -
Adegan Mahkamah Konstitusi tahun 2012.
Adegan Mahkamah Konstitusi tahun 2012.
Para Pemohon di pengadilan konstitusi :
1. Muhamadiyah
2. Hasyim Muzadi dari NU
3. Ormas-ormas islam seperti Hizbut Thahir.
4. Kwik Kian Gie
5. Rizal Ramlie
dan yg lain-lain.....menuntut UU Migas 2001.
Ketua Mahkamah Konstitusi :
Mahfud MD (mantan Menteri Pertahanan era Gus
Dur).
Putusan : 7-1, MK menyatakan UU Migas 2001
cacat dan BP Migas dibubarkan. BP Migas tidak sesuai dengan UU.
Catatan : Mengapa partai-partai tersebut
justru menyetujui RUU tersebut menjadi UU? Pak Kwik Kian Gie, mengapa anda
tidak ribut-ribut ketika anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak
Rizal Ramlie, mengapa anda tidak menyatkan keberatan anda justru dizaman
reformasi dimana anda adalah Menkeu dan Menko. Pak Mahfud MD - mengapa kita
tidak membahas soal Energy Security issue ketika anda menjadi Menhan? Oh ya
saya juga baru sadar bahwa anda adalah ketua kehormatan ikatan alumni NU yang
juga ikut di dalam menggugat putusan tersebut.
Partai-partai ini sekarang membatalkan produk
hukum yang justru merupakan persetujuan produk legislative process.
Ada baiknya kita melepaskan attribut keagamaan
apabila kita berdebat soal kebijakan publik. Tidak arif orang menggunakan
attribut agama untuk pro dan con terhadap kebijakan publik.
Jangan pernah lupa akan rekam jejak dari
politik. Dan jangan biarkan politician (atau lebih tepatnya Badut-badut
politik) berakobrat danmencari popularitas semata.
Untuk membentuk tatanan hukum migas dan
struktur migas yang baik diperlukan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Untuk
menghancurkannya hanya butuh sekejap.
Saya tidak terlalu mempermasalahkan dan tidak
beropini apakah UU Migas 2001 benar atau salah. Yang saya sedih adalah melihat
kelakuan orang yang ikut bertanggung jawab dalam pembentukan tersebut dan
sekarang bersama-sama menghancurkannnya
Lin Che Wei
======================================
Teguh Santosa
Siapa yang Jadi Badut Politik di Balik UU Migas
Friday 16 Nov 2012
Posted
by teguhtimur in BERITA, CATATAN
Sebuah artikel yang tengah
beredar luas di jejaring media sosial yang ditulis ekonom Lin Che Wei mengkritik
sepak terjang sejumlah tokoh yang mengajukan judicial review terhadap UU
22/2001 tentang Migas. Judicial review ini, seperti telah diketahui bersama,
berujung pada antara lain pembubaran BP Migas.
Artikel tersebut mempertanyakan konsistensi
dan itikad para penggugat. Menurut si penulis artikel, beberapa di antara
penggugat seperti DR. Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie yang menjadi ahli kunci
dalam persidangan judicial review yang digelar Mahkamah Konstitusi, dan bahkan
Ketua MK Mahfud MD, terlibat dalam pemerintahan ketika draft RUU Migas itu
dibahas dan akhirnya diputuskan menjadi UU.
“Pak Kwik Kian Gie, mengapa Anda tidak
ribut-ribut ketika Anda justru sangat berkuasa sebagai Menko Ekuin. Pak Rizal
Ramli, mengapa Anda tidak menyatakan keberatan Anda justru di zaman reformasi
dimana Anda adalah Menkeu dan Menko. Pak Mahfud MD, mengapa tidak membahas soal
Energy Security issue ketika Anda menjadi Menhan?” antara lain tanya si penulis
artikel yang diberi judul Badut Politik dalam Kasus Pembubaran BP Migas dan UU
Migas tahun 2001.
Bila tidak benar-benar memperhatikan apa yang
terjadi beberapa tahun lalu, di awal-awal masa reformasi, maka sepintas apa
yang dipertanyakan dalam artikel itu terkesan benar.
Namun bila kronik reformasi kembali diteliti
maka dapat dipahami apa yang sesungguhnya terjadi dan dapat disimpulkan bahwa
pertanyaan-pertanyaan dalam artikel tersebut di atas tidak memiliki dasar,
kecuali mungkin sentimentil dan emosional semata.
Penjelasan tambahan namun penting mengenai
riwayat draft UU Migas yang kontroversial ini masih dapat ditemukan dalam
archive Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada tanggal
29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan
USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.
Dalam dokumen itu disebutkan bahwa pada awal
1999 Kuntoro Mangkusubroto yang ketika itu adalah Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral meminta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID
menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia
menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk
lima tahun.
Dalam SOGA itu, USAID menyediakan dana sebesar
20 juta dolar AS untuk membentuk tim asistensi baik yang long term maupun short
term, juga menggelar berbagai workshop dan pelatihan. Pun disebutkan bahwa
USAID memobilisasi tiga tim asistensi untuk keperluan ini.
Dokumen Kedubes AS juga mengakui bahwa upaya
meloloskan UU Migas tidaklah mudah. Pembahasan yang dilakukan pemerintah dan
parlemen berlangsung dengan sangat serius (very intense delibration).
“The draft oil and gas law was subjected to
very intense deliberations by GOI and DPR during the President Yudhoyono’s
tenure as Minister of Energy, and was enacted in 2001 under current Minister
Purnomo Yusgiantoro,” demikian tertulis pada bagian akhir pernyataan Kedubes AS
itu.
Fraksi ABRI di parlemen ketika itu, termasuk
pihak yang menolak dengan keras draft RUU Migas versi Kuntoro Mangkusubroto
itu. Sikap Fraksi ABRI ini dipengaruhi penasihat ekonomi fraksi, DR. Rizal
Ramli.
Tokoh lain yang menolak keras adalah ekonom
senior Kwik Kian Gie yang dalam Kabinet Persatuan Nasional (pertama) pimpinan
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menduduki posisi Menko Ekuin.
Pembahasan draft RUU Migas itu pun terhenti.
Pemerintahan Gus Dur tak pernah mengajukannya ke parlemen.
Tetapi, kekuasaan Gus Dur semakin rapuh. Pada
10 Juli 2000 Kwik Kian Gie mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur bersama
dengan beberapa menteri lain.
Untuk menyelamatkan pemerintahan, pada 23
Agustus Gus Dur mengumumkan susunan baru Kabinet Persatuan Nasional. Dalam
susunan baru ini, posisi Menko Ekuin diisi DR. Rizal Ramli yang sebelumnya
adalah Kepala Bulog. Sikap keras Kwik Kian Gie menentang draft RUU Migas itu
pun dilanjutkan Rizal Ramli.
Selain Rizal Ramli, SBY pun
berubah status. Ia dimutasi ke posisi Menko Polkam menggantikan Suryadi Sudirja
yang menempati posisi Menko Polkam sejak Wiranto mengundurkan diri bulan
Februari 2000. Sementara Mahfud MD sebagai pendatang baru ditempatkan pada
posisi Menteri Pertahanan.
Susunan Kabinet Persatuan Nasional (kedua) ini
pun tidak bertahan lama. SBY termasuk dalam kelompok menteri yang mengundurkan
diri dari kabinet Gus Dur ketika perpecahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri
semakin nyata.
Pada 1 Juni 2001, Gus Dur melantik Agum
Gumelar sebagai pengganti SBY di posisi Menko Polkam, juga sejumlah tokoh lain
untuk mengisi beberapa kursi kosong.
Kabinet Persatuan Nasional yang dipimpin Gus
Dur akhirnya benar-benar bubar bersama kejatuhan sang presiden pada 23 Juli
2001.
Sejak kejatuhan Gus Dur, anasir-anasir yang
menginginkan draft RUU Migas itu segera diundangkan bekerja keras dengan sangat
intensif. Akhirnya, hanya empat bulan setelah Gus Dur meninggalkan Istana
Negara, pada 23 November 2001 draft itu pun diresmikan menjadi UU Migas.
*******