Tuesday, August 31, 2021

ISTILAH TIONGHOA/TIONGKOK DIGANTI CINA. SEJARAH LATAR BELAKANGNYA

 

 

 

Presiden Jenderal TNI Suhart

 

ISTILAH TIONGHOA/TIONGKOK DIGANTI CINA.

SEJARAH LATAR BELAKANGNYA

 

Catatan Batara R. Hutagalung

 

Pengantar.

Di masa Orde Baru, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pejabatnya, dinilai bukan untuk kepentingan rakyat banyak, melainkan hanya menguntungkan penguasa dan kroni-kroninya serta pihak asing. Kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroninya membuat para kroni tersebut berkembang menjadi konglomerat-konglomerat raksasa yang kemudian bukan hanya menguasai perekonomian Indonesia, melainkan juga memengaruhi berbagai kebijakan politik dalam dan luar negeri Indonesia. Para konglomerat tersebut memengaruhi dikeluarkannya perundang-undangan, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menguntungkan mereka. Namun di lain pihak sangat merugikan rakyat banyak di segala bidang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Bahkan kemudian di “era reformasi,” para konglomerat tersebut juga berperan besar dalam konspirasi dengan asing merombak total Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945 (UUD ’45). Perombakan  UUD ’45 ini dilakukan antara tahun 1999 – 2002.

 

Selain konspirasi internasional untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Suharto, yang melibatkan konglomerat-konglomerat Indonesia yang dibesarkan oleh Suharto sendiri, hal-hal tersebut di atas juga menjadi salahsatu faktor penting yang mengakibatkan penguasa Orde Baru dipaksa oleh rakyat Indonesia untuk lengser.

 

Namun ada hal yang harus diluruskan, sehubungan dengan tuduhan yang tidak benar, yang dilontarkan kepada penguasa Orde Baru dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tuduhan ini mengakibatkan munculnya citra negatif terhadap negara, bangsa dan masyarakat Indonesia di dunia internasional. Hal ini terjadi juga karena kesalahan pemerintah Orde Baru sendiri, terutama Kementerian Penerangan (sekarang Kementerian Penerangan sudah dihapus) dan Kementerian Luar Negeri, yang tidak sejak awal mengungkap latar belakang yang sebenarnya. Padahal permasalahan ini sangat ramai dibicarakan di kalangan masyarakat di Indonesia dan di diaspora Indonesia di seluruh dunia waktu itu.

 

Pemerintah Orde Baru dituduh telah melakukan diskriminasi terhadap etnis Cina di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pemerintah Orde Baru mengeluarkan beberapa peraturan yang dinilai sangat diskriminatif terhadap etnis Cina. Tuduhan ini sekarang lebih mengerucut lagi, yaitu bahwa TNI yang mengusulkan hal-hal tersebut di atas.

 

Tuduhan ini dilontarkan oleh sejarawan JJ Rizal, yang dimuat di CNN Indonesia pada 12 Februa2i 2021. Berikut ini kutipan dari pernyataan sejarawan JJ Rizal di CNN Indonesia:

Sejarawan JJ Rizal menjelaskan surat edaran Presidium Kabinet Ampera tersebut berawal dari Seminar Angkatan Darat (AD) di Bandung, Jawa Barat. Rizal menyebut surat edaran itu bertujuan untuk menunjukkan superioritas militer pada masa Orde Baru.

Selain lewat surat edaran, pemerintah Orba saat itu juga membuat ketakutan dan tuduhan-tuduhan terkait etnis Tionghoa.

 

"Zaman Orde Baru, (etnis Tionghoa) dianggap darah kotor, bukan Indonesia asli, mereka pun identik dengan komunis," kata Rizal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/1).

 

Rizal mengatakan pemerintah Orba juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti mengganti nama hingga melarang membuat acara terkait kebudayaan dan kepercayaan Tionghoa.

 

"Sebab itu diganyang dan dipaksa jadi orang Indonesia, misalnya dengan mengganti nama, meninggalkan budaya dan kepercayaan mereka, serta pemberlakuan Surat Bukti Kewarganegaraan," ujarnya.

 

Terkait penyebutan Tionghoa (Tiongkok) dan China, Rizal menyebut tak ada masalah yang berarti. Ada yang suka disebut Tionghoa, ada juga yang suka disebut China. Menurutnya konotasi negatif yang disematkan pada penyebutan Cina hanya konstruksi pemerintah kolonial dan Orba, tetapi gagal di masyarakat.

 

"Ini (China) menjadi kata yang dirasakan sebagai ungkapan menghina dan bahkan rasis karena konstruksi politik Orde Baru. Itu kesadaran akan bahaya pola pikiran kuasa militeristik fasis Orde Baru dengan kroninya yang dari beragam etnis juga termasuk di dalamnya orang Tionghoa," ujarnya.

 

Demikian pernyataan dari sejarawan JJ Rizal di CNN Indonesia, edisi Jumat, 12 Februari 2021.

Tuduhan-tuduhan ini juga sekarang dilontarkan oleh mereka yang dahulu ikut terlibat dalam menyusun gagasan dan perencanaan peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif-rasialis, namun kini ingin “cuci tangan” dan melemparkan semua kesalahan kepada penguasa Orde Baru dan TNI. Penggiringan opini publik ke arah ini dimulai sejak tahun 1998, sejak lengsernya penguasa Orde Baru, dan dimulainya “era reformasi.”

 

Fakta yang sebenarnya adalah sebaliknya, yaitu di era Orde Baru justru elit etnis Cina yang sangat berkuasa di Indonesia. Dapat dikatakan, elit etnis Cina ini ikut mengatur hampir semua kebijakan pemerintah Orde Baru, terutama di bidang perekonomian dan perdagangan, yang menguntungkan mereka. Namun dibangun opini, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, seolah-olah seluruh etnis Cina di Indonesia ditekan dan didiskriminasi. Memang ada kelompok Cina yang ditekan, yaitu kelompok etnis Cina yang berseberangan secara ideologi dan politis dengan kelompok Cina yang berada di puncak kekuasaan di Indonesia di masa Orde Baru. Yang ditekan dan didiskriminasi adalah kelompok etnis Cina yang berafiliasi ke PKI dan negara Cina komunis.

 

 

SE, INPRES dan KEPPRES yang Diskriminatif-Rasialis

 

Di awal berkuasanya Orde Baru tahun 1967, keluar Surat Edaran (SE) dari Presidium Kabinet Ampera No.SE-06/Pres.Kab/6/1967 TENTANG MASALAH CINA, yang ditandatangani oleh Brigjen TNI Sudharmono SH, Sekretaris. Isinya mengenai penggantian istilah Tionghoa dan Tiongkok menjadi Cina.

 

Isi selengkapnya Surat Edaran tersebut adalah sbb:

 

SURAT EDARAN PRESIDIUM KABINET AMPERA TENTANG MASALAH CINA

 

NO. SE-06/Pres.Kab/6/1967

 

Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah “Tionghoa/Tiongkok” di samping istilah “Cina” yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi.

 

Dilihat dari sudut nilai-nilai ethologis-politis dan etimologis-historis, maka istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah “Cina” tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psykologis dan emosionil.

 

Berdasarkan sejarah, maka istilah “Cina-lah yang sesungguhnya memang sejak dahulu dipakai dan kiranya istilah itu pulalah yang memang dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.

 

Lepas dari aspek emosi dan tujuan politik, maka sudah sewajarnya kalau kita pergunakan pula istilah “Cina” yang sudah dipilih oleh Rakyat Indonesia umumnya.

 

Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah “Cina” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.

 

Demikian, untuk mendapat perhatian seperlunya.

 

Jakarta, 28 Juni 1967

PRESIDIUM KABINET AMPERA

SEKRETARIS

Ttd.

SUDHARMONO, SH

BRIG.JEN TNI

 

Demikian isi Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera. Dengan kata lain, istilah Tiongkok/Tionghoa kaitannya secara politis dengan Cina komunis yang dahulu di Indonesia disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ini sehubungan dengan keterlibatan RRT dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Tanggal 1 Oktober 1967 pemerintah Indonesia secara resmi membekukan hubungan diplomatik dengan RRT.

 

Kemudian pemerintah Orde Baru mengeluarkan ‘Instruksi Presiden Nomor. 14 Tahun 1967.’ Isinya adalah:

 

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1967

 

TENTANG AGAMA KEPERCAYAAN DAN  ADAT ISTIADAT CINA

 

KAMI, PEJABAT  PRESIDEN  REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang: bahwa agama, kepercayaan dan adat  istiadat Cina di Indonesia  yang berpusat  pada negeri leluhurnya,  yang dalam  manifestasinya  dapat  menimbulkan pengaruh psychologis, mental  dan moril  yang kurang wajar  terhadap warganegara  Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,  perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar.

Mengingat:

1.  Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4  ayat  1 dan pasal 29.

2.  Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 Bab III Pasal 7  dan Penjelasan pasal  1  ayat (a).

3.  Instruksi Presidium  Kabinet  No. 37/U/IN/6/1967.

4.  Keputusan Presiden Nomor 171 Tahun 1967. jo. 163 Tahun 1966.

 

Menginstruksi kepada:

1.  Menteri Agama

 2.  Menteri Dalam  Negeri

3.  Segenap Badan dan Alat pemerintah di  Pusat  dan  Daerah.

 

Untuk  melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan  dan adat  istiadat  Cina sebagai  berikut: 

 

PERTAMA: Tanpa mengurangi  jaminan keleluasaan memeluk  agama dan  menunaikan ibadatnya, tatacara  ibadah  Cina yang memiliki  aspek affinitas culturil yang berpusat  pada negeri leluhurnya,  pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam  hubungan keluarga  atau perorangan.

 

KEDUA: Perayaan-perayaan pesta  agama dan  adat  istiadat  Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum,  melainkan dilakukan dalam  lingkungan keluarga.

 

KETIGA: Penentuan katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat  agama, kepercayaan  dan adat  istiadat  Cina diatur oleh menteri Agama  setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM).

 

KEEMPAT: Pengamanan  dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri Dalam Negeri  bersama-sama Jaksa Agung.

 

KELIMA: Instruksi ini  mulai berlaku pada hari  ditetapkan.

 

Ditetapkan  di Jakarta pada tanggal,  6 Desember 1967

 

PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

SOEHARTO

Jenderal TNI

 

 

Demikian Instruksi Presiden No. 14 bulan Desember tahun 1967. Yang dilarang adalah melakukan hal-hal yang disebut di atas di muka umum, mengingat tahun 1967 suasana politik anti Cina komunis/RRC masih sangat panas. Jadi perayaan-perayaan tersebut harus dilakukan di ruang tertutup. Para penggagas usulan ini sebenarnya mengusulkan lebih ekstrim lagi, yaitu larangan total terhadap semua tradisi Cina. Namun justru dilunakkan oleh Pejabat Presiden Suharto, yang masih mengizinkan perayaan-perayaan tersebut dilakukan di dalam ruangan tertutup.

 

Juga pada bulan Desember 1967, Pejabat Presiden Suharto mengeluarkan KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240 TAHUN 1967 TENTANG KEBIDJAKSANAAN POKOK JANG MENJANGKUT WARGA NEGARA INDONESIA KETURUNAN ASING. Keppres ini dikeluarkan tanggal 6 Desember 1967. Keppres ini ditujukan kepada seluruh WNI keturunan asing. Namun ada satu pasal yang khusus ditujukan untuk WNI keturunan Cina.

 

Di Pasal 5 Keppres tersebut tertera:


“Khusus terhadap warga Negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku“

 

Dijelaskan, bahwa Pasal 5 dari Keppres ini merupakan anjuran, dan bukan paksaan, karena sangat banyak etnis Cina yang tidak mengganti nama Cina mereka, a.l. Yap Thiam Hien dan putranya, Yap Hong Gie. Kemudian juga Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, Ong Hok Ham, Tjan Tjoen Hok (kemudian dikenal sebagai Harry Tjan Silalahi, setelah diberi marga Silalahi), Liem Swie King, dll.

Apabila tidak mengetahui latar belakang dan orang-orang atau kelompok yang mengusulkan diterbitkannya Surat Edaran, Instruksi Presiden dan Keputusan Presiden tersebut, maka tuduhan tersebut benar adanya, bahwa pemerintah Orde Baru sangat diskriminatif, bahkan bersikap rasialis terhadap seluruh etnis Cina di Indonesia. Juga  tuduhan terhadap TNI sangat salah.

 

Berita-berita mengenai peraturan-peratutan yang diskriminatif-rasialis terhadap etnis Cina di Indonesia juga dimuat di berbagai media internasional, tanpa memberi keterangan mengenai latar belakang dikeluarkannya Surat Edaran, peraturan dan larangan-larangan tersebut. Bahkan di luar negeri, a.l. di Jerman Barat (waktu itu), orang-orang Cina yang datang dari Indonesia memutar-balikkan fakta dan mendramatisir, bahwa mereka dipaksa mengganti nama Cina mereka, dan dilarang total menjalankan ibadah serta melaksanakan perayaan-perayaan sesuai dengan keyakinan dan tradisi leluhur mereka di Cina.

 

Sebenarnya komunitas Cina di Indonesia juga mengetahui, bahwa peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan atas usulan dari kelompok bangsa Cina sendiri, namun mereka menutup-nutupi fakta ini. Pada waktu itu, akhir 1967 – awal 1968, hal-hal tersebut sangat ramai dibicarakan oleh masyarakat secara terbuka, baik di Indonesia maupun di luar negeri, terutama di kalangan etnis Cina sendiri. Jelas terjadi pro dan kontra di kalangan etnis Cina. Namun yang menang adalah kelompok pengusul, yang dekat dengan penguasa Orde Baru. Komunitas Cina kemudian membangun opini publik, bahwa etnis Cina di Indonesia mengalami diskriminasi rasial (playing victim), untuk memperoleh simpati dari dunia internasional, dan sekaligus mencoreng citra negara, bangsa dan pribumi Indonesia.

 

Sangat banyak orang Cina dari Indonesia yang kemudian menggunakan peraturan-peraturan yang diputar-balik dan didramatisir tersebut sebagai alasan meminta suaka politik di negara-negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Karena pemerintah Indonesia tidak mengungkap latar belakang dan siapa yang mengusulkan larangan serta peraturan- peraturan tersebut, maka semua orang Cina dari Indonesia  memperoleh suaka politik dengan menggunakan alasan-alasan tersebut.

 

 

Pengusul SE, INPRES dan KEPPRES yang diskriminatif

 

Fakta yang sebenarnya di balik ini, tidaklah seperti persepsi yang  berkembang di masyarakat di Indonesia dan di dunia internasional, bahwa pemerintah Indonesia pada waktu itu sangat diskriminatif, bahkan rasialis terhadap etnis Cina. Persepsi ini berlanjut terus sampai sekarang.

 

Semua hal-hal tersebut, keluarnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera mengenai penggantian kata Tiongkok/Tionghoa menjadi Cina, penggantian nama-nama Cina menjadi nama-nama yang lazim dipakai di Indonesia, larangan melakukan ritual-ritual/tradisi bangsa Cina di muka umum, bukanlah gagasan dari pemerintah Indonesia atau TNI, melainkan usulan dari kalangan etnis Cina sendiri. Usulan yang ekstrim ini adalah akibat dari konflik yang sangat besar antara dua kelompok Cina di Indonesia yang saling berseteru dengan sangat keras.

 

Masalah yang ditampilkan keluar adalah dalam hubungan bangsa Cina dengan masyarakat pribumi Indonesia. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok etnis Cina pro integrasi melawan kelompok etnis Cina pro pembauran/asimilasi. Namun akar permasalahannya lebih dalam lagi. Dua kelompok etnis Cina di Indonesia mewakili dua kelompok di Cina daratan yang memperebutkan kekuasaan.

 

Benny G Setiono, seorang tokoh Cina, dalam makalah berjudul Kegagalan Doktrin Asimilasi yang disampaikan dalam Dialog Evaluasi Pelaksanaan Asimilasi, menyatakan adalah K. Sindhunatha yang menyatakan dalam sebuah diskusi di majalah Gamma pada bulan September 1999, bahwa SCUT (Staf Chusus Urusan Tjina) dan tokoh-tokoh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) lah yang mendorong lahirnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tersebut, bahkan sebenarnya usulannya adalah larangan secara total. (Lihat Eddy Setiawan: “Dari Lembaga ke Lembaga”’ 01.06. 2013:

 https://www.iki.or.id/publikasi/dari-lembaga-ke-lembaga) 

 

Permasalahan kedua kelompok etnis Cina di Indonesia, yaitu yang pro integrasi dan yang pro pembauran/asimilasi tersebut akan dijelaskan di bawah. Terlebih dahulu perlu disorot latar belakang perseteruan kedua kelompok etnis Cina tersebut.

 

Ong Tjong Hay (Kristoforus Sindhunata)

Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LBKB)

 

 

LATAR BELAKANG KONFLIK ANTAR ETNIS CINA DI INDONESIA

 

Perseteruan kedua kelompok etnis Cina ini tidak dapat dipisahkan dari konflik politik yang terjadi di Cina daratan. Perseteruan di Indonesia adalah kelanjutan dari perang saudara memperebutkan kekuasaan di Cina daratan antara kelompok Cina komunis dipimpin oleh Mao Zedong melawan kelompok Cina nasionalis/Kuomintang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Perang saudara di Cina ini yang menelan korban jutaan orang, dimenangkan oleh kubu komunis tahun 1949. Sejak itu nama negaranya di Indonesia disebut sebagai  Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam bahasa Inggris dinamakan People”s Republic of China. Chiang Kai-shek dan seluruh pengikutnya serta orang-orang Cina yang anti komunis, melarikan diri ke Taiwan. Chiang Kai-shek menyingkirkan pribumi penduduk asli Pulau Taiwan dan mendirikan negara Republik Cina (Republic of China), yang dikenal sebagai Cina nasionalis, sebagai lawan dari Cina komunis. Negara ini juga dikenal sebagai China Taipei atau Taiwan.

 

Sebelum munculnya gagasan San min Chu i dari Sun Yat Sen, bangsa Cina di perantauan (Overseas Chinese) tidak memiliki rasa nasionalisme. Mereka disebut sebagai kosmopolit, atau warga dunia. San min Chu i dari Sun Yat Sen diartikan sebagai tiga prinsip rakyat, yaitu nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan/sosialisme. Tahun 1912 gerakan yang dipimpin oleh Sun Yat Sen berhasil merebut kekuasaan di Cina dan mendirikan Republik Cina. Dia diangkat sebagai presiden pertama dari Republik Cina. Ini merupakan awal berkuasanya Kuomintang di Cina. Pemerintah Cina yang baru ini mengeluarkan pernyataan, bahwa semua orang Cina di seluruh dunia adalah warga negara Cina. Pemerintah Cina menetapkan dasar kewarga negaraan adalah ius sanguinis (berdasarkan darah/keturunan), bukan berdasarkan tempat kelahiran, ius soli.

 

Pada saat yang bersamaan di awal abad 20, kekuatan kelompok komunis di Cina di bawah pimpinan Mao Zedong mulai tumbuh dan juga mendapat sangat banyak dukungan dari orang-orang Cina perantauan, termasuk di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indie (India Belanda)

 

Setelah munculnya gagasan nasionalisme dari Sun Yat Sen dan gagasan komunisme yang memengaruhi semua orang Cina perantauan, bangsa Cina yang ada di Nederlands Indie (India Belanda) terpecah menjadi:

-      Kelompok kosmopolit yang tidak mau berpolitik,

-      Kelompok yang tetap setia kepada Belanda,

-      Kelompok yang mendukung Cina nasionalis Kuomintang,

-      Kelompok yang mendukung Cina komunis.

 

Chiang Kai-shek semula beragama Buddha. Ketika menikah dengan isteri keempatnya, Soong Mei Ling yang beragama Kristen Katholik  pada 1 Desember 1927, Chiang pindah ke agama Kristen. Soong Mei Ling adalah adik ipar dari Sun Yat Sen, yang juga pindah ke agama Kristen.

 

Chiang Kai-shek (kiri) dan Mao Zedong (kanan)

Bertemu di Chongqing (Chungking) tahun 1945.

 

Di masa Perang Dunia II/Perang Asia Pasifik, Cina Kuomintang adalah sekutu Amerika Serikat dan Inggris melawan Jepang. Pada bulan November 1943 di Kairo, Mesir, diselenggarakan konferensi yang dihadiri oleh presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill dan pemimpin Kuomintang Chiang Kai-shek. Sebagai hasil konferensi ini dikeluarkan Deklarasi  Kairo, yang isinya adalah perjanjian kerjasama antara Amerika Serikat, Inggris dan China Kuomintang untuk melawan pendudukan tentara Jepang di Cina.

 

Setelah kaum komunis berkuasa di Cina, mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang tidak mau ikut dengan komunis. Diperkirakan, rakyat yang dibunuh mencapai 80 juta orang. Kekejaman ini yang membuat banyak orang Cina sendiri tidak mendukung Partai Komunis Tiongkok (PKT). Kekejaman PKT berlanjut terus. Tahun 1966 Mao Zedong mencanangkan yang dinamakan “revolusi kebudayaan” yang berlangsung sampai tahun 1976. Di masa ini diperkirakan korban tewas akibat “revolusi kebudayaan” mencapai 20 juta jiwa.

 

 

Masalah Kewarganegaraan di BPUPK

 

Sejak tahun 1920-an, ketika gerakan pribumi di India Belanda untuk merdeka mulai meluas, ada segelintir bangsa Cina yang berorientasi ke Mao Zedong dan anti kapitalis/imperialis, ikut mendukung gerakan kebangsaan dari pribumi, antara lain Tan Ling Djie, Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan, dll. Mereka semua termasuk kelompok kiri/komunis pendukung Mao Zedong. Oleh karena itu orientasi mereka adalah gerakan komunis internasional (Komintern). Mereka kebanyakan berprofesi sebagai wartawan dan para pendukungnya adalah para buruh–tani (proletar) yang menentang kapitalisme - imperialisme, sesuai dengan garis ajaran komunis/sosialis. Namun pendukung Kuomintang di Nederlands Indie (India Belanda) pada waktu itu sangat kuat, dan mereka pada umumnya adalah para pedagang yang merupakan mitra penjajah.

 

Pada bulan April 1945, menjelang akhir masa pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda, Nederlands Indie tahun 1945, pemerintah militer Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) di Jawa dan di Sumatera. Pada waktu itu belum dinamakan Indonesia. Namun yang dicatat dalam buku-buku sejarah, hanya BPUPK di Jawa. Langkah ini dilakukan oleh Jepang bukan hanya untuk merealisasikan janji Jepang di awal agresi militer mereka, melainkan juga untuk mendapat dukungan dari masyarakat pribumi dalam menghadapi serangan tentara Sekutu (Allied forces). Jepang sudah di ambang kekalahan.

 

BPUPK di Jawa yang mulai bersidang bulan Mei 1945, membahas landasan filosofis dan rancangan Undang-Undang Dasar dari negara yang akan didirikan, kemudian akan dinamakan INDONESIA. BPUPK beranggotakan 60 orang yang diangkat oleh pemerintah militer Jepang. BPUPK semula terdiri dari 54 orang pribumi, 4 orang wakil bangsa Cina, satu orang wakil bangsa Arab dan satu orang wakil keturunan campuran Eropa/Belanda dengan perempuan pribumi, yang dinamakan Indo. Kemudian anggota BPUPK dari pribumi ditambah 9 orang.

 

Ketika sidang BPUPK membahas mengenai kewarga-negaraan dari negara yang akan didirikan, INDONESIA, wakil dari bangsa Arab, Abdurrahman Baswedan dan wakil dari keturunan Indo, Peter F. Dahler, menyatakan kesediaan kelompok mereka menjadi warga negara Indonesia. Tiga orang wakil bangsa Cina, yaitu Oei Tjong Hauw (anak dari konglomerat Oei Tiong Ham, Mayor bangsa Cina/Majoor der Chinezen), Oei Tiang Tjoey dan Tan Eng Hoa, menolak menjadi warga negara Indonesia. Satu orang lagi, Liem Koen Hian, menyatakan bahwa kelompoknya bersedia menjadi warga negara Indonesia. Namun kemudian tahun 1951 dia ditangkap oleh pemerintah Indonesia, karena ternyata dia adalah mata-mata dari negara Cina komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Setelah dibebaskan, dia tidak mau menjadi warga negara Republik Indonesia dan meninggal sebagai warga negara RRT. Hal-hal tersebut di atas dapat dibaca di buku Risalah Sidang BPUPK yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia.

 

Di masa penjajahan, untuk mengontrol bangsa Cina di wilayah jajahannya, Belanda mengangkat pedagang-pedagang bangsa Cina yang kaya, namun patuh dan setia kepada Belanda menjadi pemimpin bangsa Cina di kota-kota atau di suatu wilayah. Pedagang-pedagang Cina tersebut diberi pangkat Mayor, Kapten dan Letnan.

 

 

Sikap Mayoritas Bangsa Cina Setelah Kemerdekaan Indonesia

 

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda, mantan penjajah di Asia tenggara, tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia (sampai sekarang, saat artikel ini ditulis, bulan Agustus 2021). Sebagian terbesar bangsa Cina yang tinggal di Republik Indonesia yang baru didirikan, masih mengharapkan kembalinya Belanda.

 

Belanda, dibantu mantan sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu Inggris, Australia dan Amerika Serikat (ABDACOM), berusaha berkuasa di bekas jajahannya ynag telah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Selain mendapat bantuan dari mantan sekutunya, pasukan Belanda juga diperkuat dengan Pasukan KNIL, yaitu pribumi dan keturunan Indo yang pro Belanda, serta pasukan bangsa Cina yang ada di Indonesia, Pao (Po) An Tui. Bangsa Indonesia harus berperang selama lebih dari 4 tahun untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-anteknya, yaitu KNIL dan Pao An Tui.

 

Tahun 1946,  dimulai di kota Medan, Sumatra Utara, atas persetujuan tentara Inggris, bangsa Cina membentuk pasukan keamanan yang dinamakan Pao An Tui. Pemimpinnya, Lim Seng, mendapat pangkat “Letnan Jenderal” dari pemerintah Kuomintang. Seperti telah ditulis di atas, dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik, Kuomintang adalah sekutu tentara Amerika dan Inggris melawan Jepang. Pao An Tui pertama kali dibentuk oleh Belanda pada bulan Januari 1942, dalam rangka mengantisipasi serangan tentara Jepang. Tujuannya adalah untuk membantu Belanda dalam menjaga lingkungan. Namun invasi tentara Jepang tidak terbendung. Tanggal 9 Maret 1942[1] pemerintah India Belanda menyerah tanpa syarat kepda tentara Jepang.

 

Tentara Inggris yang waktu itu berada di Sumatra Utara merupakan bagian dari pasukan Sekutu South East Asia Command (SEAC) di bawah komando Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, yang ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkan mereka kembali ke Jepang serta membebaskan para interniran yang ditahan oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II. Namun ada agenda rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris, yaitu membantu Belanda dengan kekuatan militer, untuk berkuasa kembali di bekas jajahannya, India Belanda, sesuai dengan perjanjian Chequers 24 Agustus 1945, yang dinamakan Civil Affairs Agreement.

 

Pasukan bangsa Cina Pao An Tui ini awalnya dibiayai oleh para pedagang Cina. Kemudian setelah Belanda berhasil masuk ke Indonesia berkat bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, pasukan Pao An Tui  dibentuk di semua kota-kota yang dikuasai oleh Belanda di Sumatra dan Jawa. Pasukan bangsa Cina ini kemudian dibiayai, dipersenjatai dan dilatih oleh tentara Belanda.

 

Dalam agresi militer Belanda pertama bulan Juli 1947 dan agresi militer Belanda kedua bulan Desember 1948, pasukan bangsa Cina Pao An Tui ikut berperang di pihak Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia.

 

Namun perlu dicatat, ada juga orang-orang bangsa Cina yang berjuang di pihak Republik Indonesia, di antaranya adalah John Lie Tjeng Tjoan,. Pangkat  terakhirnya di TNI AL adalah Laksamana Muda. Dia kemudian mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma. Setelah meninggal, atas jasa-jasanya di masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 - 1949, oleh pemerintah Indonesia Laksamana Muda TNI Jahja D. Dharma diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

 

Laksamana Muda TNI  John Lie Tjeng Tjoan (Yahya Daniel Dharma)

Pahlawan Nasional Indonesia

 

 

Pendukung Kuomintang di Indonesia Berusaha Merebut Kekuasaan

 

Setelah Jepang menyatakan meyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, dua hari kemudian, pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara Republik Indonesia. Bangsa Cina pendukung Kuomintang yang ada di Indonesia merasa bahwa mereka sebagai sekutu Amerika dan Inggris melawan Jepang adalah juga pemenang dan merasa berhak mengambil alih kekuasaan di wilayah bekas pendudukan Jepang. Hal ini terjadi di beberapa kota/daerah di Indonesia, a.l. di Sumatra dan Kalimantan. Di mana-mana mereka mengibarkan bendera Kuomintang. Di beberapa tempat di Provinsi Riau, a.l. di Pekanbaru dan di Selatpanjang (sekarang Ibukota Kepulauan Meranti),bangsa Cina berupaya menjadi penguasa dan membentuk pemerintahan. Upaya bangsa Cina ini segera mendapat perlawanan dari pihak Republik Indonesia, dan berhasil digagalkan. Demikian juga di Singkawang, Kalimantan Barat.

 

Konflik terbesar antara Bangsa Indonesia dengan bangsa Cina pendukung Kuomintang terjadi di Bagansiapiapi, Provinsi Riau tahun 1945 - 1946. Upaya bangsa Cina memegang kekuasaan di Bagansiapiapi (kini Ibukota Rokan hilir) mengakibatkan timbulnya pertempuran sengit antara BKR (Badan Keamanan Rakyat)/TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Indonesia melawan pasukan bangsa Cina di Bagansiapiapi.

 

Sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang, bangsa Cina merupakan mayoritas penduduk di Singkawang dan Bagansiapiapi. Oleh karena itu mereka merasa sangat kuat. Mereka memasang bendera Kuomintang di kedai-kedai, rumah-rumah, warung-warung, tongkang-tongkang, dan kapal-kapal milik orang Cina. Mereka tidak memasang bendera Merah-Putih. Kapal-kapal bangsa Cina tidak mau diperiksa atau patuh kepada petugas-petugas Republik Indonesia. Mereka bahkan bersiap-siap bersama orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang, untuk mengambil-alih pemerintahan di Riau, yang akan dimulai di Bagansiapiapi. Sikap bangsa Cina ini tentu mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia di Riau.

 

Setelah sering terjadi bentorkan secara fisik antara bangsa Cina dan rakyat Indonesia, dicapai kesepakatan di mana orang-orang Cina pendukung Kuomintang diizinkan memasang bendera Kuomintang, tetapi harus di sebelah bendera Republik Indonesia, Merah-Putih. Namun kesepakatan ini tidak dipatuhi oleh bangsa Cina. Mereka memasang bendera Kuomintang tanpa memasang bendera Republik Indonesia. Rakyat Indonesia yang marah kemudian mencabut/menurunkan bendera-bendera Kuomintang. Bentrokan besar terjadi pada 12 Maret 1946, di mana Lu Cin Po yang adalah Kapitan Cina (Kapitein der Chinezen) tewas terbunuh. Insiden ini dikenal sebagai “Peristiwa Bagansiapiapi I.”

Pertikaian antara bangsa Cina dengan rakyat Indonesia di Bagansiapiapi berlanjut terus. Masing-masing pihak memperkuat  diri dengan meminta bantuan dari luar Bagansiapiapi, bahkan dari luar Riau. Rakyat Indonesia diperkuat oleh TKR yang didatangkan dari Medan, sedangkan bangsa Cina diperkuat oleh Pasukan Bangsa Cina Pao an Tui yang juga datang dari Medan. Selain dari Pao An Tui, persenjataan bangsa Cina juga diperoleh dari para penjahat/perompak bangsa Cina yang beroperasi di perairan Selat Malaka.

 

Pertempuran besar pecah pada bulan September 1946, yang berlangsung sampai tanggal 30 September. Pertempuran ini kemudian dinamakan sebagai “Peristiwa Bagansiapiapi kedua.” Perundingan-perundingan dilakukan di Medan, antara Gubernur Sumatera Utara dengan Konsul Cina Kuomintang. Dicapai kesepakatan untuk perdamaian di Bagansiapi-api. Melalui pesawat udara, disebarkan pamflet-pamflet yang isinya adalah seruan kepada bangsa Cina, agar menghentikan pertempuran. Perutusanpun dikirim dari Medan untuk menghentikan pertempuran antara bangsa Cina dengan rakyat Indonesia di Bagansiapiapi. Selama berlangsungnya konflik bersenjata antara bangsa Cina dan rakyat Indonesia di Bagansiapiapi sejak Maret sampai September 1946,  diperkirakan sekitar 2.500 orang tewas di kedua belah pihak. Mengenai upaya bangsa Cina pro Kuomintang untuk berkuasa di Riau, terutama di Bagansiapi-api, telah banyak ditulis.

 

Peristiwa di Riau ini menunjukkan dengan jelas, bahwa sentimen terhadap bangsa Cina bukan karena kecemburuan ekonomi, melainkan masalah kebangsaan, yang akar permasalahannya ada di sejarah penjajahan.

 

Di beberapa kota yang terletak di pantai, bangsa Cina menjadi mayoritas dari penduduk di kota-kota tersebut. Di kota-kota di mana mereka menjadi mayoritas, mereka berusaha merebut kekuasaan pemerintahan, namun dapat digagalkan oleh pribumi yang bersatu. Berikut ini beberapa kota di mana bangsa Cina merupakan mayoritas, atau mengungguli penduduk setempat, sejak zaman kolonialisme.

 

Hasil sensus tahun 2000 di Singkawang:

-      Cina                              : 71,15 %

-      Melayu                : 15,20 %

-      Dayak                  :   7,25 %

-      Jawa                    :   5,40 %

-      Lainnya               :   1,35 %

 

Pontianak. Data dari tahun 2015:

-      Cina                    : 33,20 %

-      Melayu                : 29,15 %

-      Dayak                  : 13,11 %

-      Jawa                    : 10,74 %

-      Bugis                   :    6,40 %

-      Madura                :    6,25 %

-      Lainnya               :    1,15 %

 

Bagansiapi-api, di pantai timur Sumatra Utara, awal tahun 1800 masih merupakan desa nelayan. Karena kemudian mayoritas penduduknya adalah bangsa Cina, Belanda menamakan Bagansiapiapi sebagai “Een Cina in de Oost. (Cina di timur). Jumlah penduduk tahun 2013 adalah 73.360 orang.

Hasil sensus tahun 2013:

-      Cina                    : 59.55%

-      Melayu                : 34,10%

-      Minangkabau     :   3,20%

-      Batak                  :   2,25%

-      Lainnya               :   0,75%

 

Antara tahun 1945 – 1946, di berbagai daerah di Indonesia terjadi pembalasan dendam dari pribumi Indonesia terhadap mantan tentara Jepang, terhadap orang-orang Belanda, terhadap orang-orang Cina dan terhadap pribumi yang dipandang sebagai antek Belanda di masa kolonialisme, dan yang menjadi kaki-tangan Jepang di masa pendudukan tentara Jepang. Mereka dibunuh oleh laskar-laskar pemuda pribumi. Peristiwa-peristiwa pembantaian yang kejam terjadi di Sumatra Timur tahun 1946, di mana para Sultan dan kerabatnya tewas dibantai. Di Aceh pada bulan Desember 1945 terjadi perang Cumbok, yaitu perang antara pendukung Republik Indonesia, yang dipimpin oleh para Ulama Aceh, melawan orang-orang Aceh yang pro Belanda. Di Sumatra Barat dan di Jawa juga terjadi pembalasan dendam terhadap bangsa Cina. Di Jawa, pembalasan dendam juga dilakukan terhadap pribumi yang di masa penjajahan merupakan kaki-tangan penjajah. ini terjadi a.l. di Tegal, Brebes dan Pemalang, yang dinamakan “Peristiwa Tiga Daerah.”

 

Peristiwa-peristiwa yang terjadi tahun 1945 – 1946, bukan hanya pembalasan dendam terhadap bangsa Belanda dan bangsa Cina saja, melainkan juga terhadap mantan tentara Jepang dan juga terhadap pribumi yang pro Belanda. Oleh karena itu, preistiwa pembalasan dendam bukan masalah rasialisme terhadap etnis Cina, melainkan pembalasan dendam terhadap semua yang dipandang sebagai kaki-tangan penjajah. Dalam peristiwa pembalasan dendam ini, sangat banyak pribumi juga menjadi korban pembalasan dendam rakyat Indonesia. Peristiwa pembalasan dendam terhadap orang-orang yang dituduh sebagai antek/kolaborator penjajah/tentara pendudukan, juga terjadi di seluruh dunia, termasuk di Eropa dan di Asia, ternasuk di Cina.

 

Sejarah mencatat, bahwa Republik Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dan kakitangan serta antek-anteknya.

 

 

Masalah Kewarganegaraan Bangsa Cina di Indonesia

Setelah Tahun 1950

 

Tahun 1949, setelah kaum  komunis di bawah pimpinan Mao Zedong berhasil mengalahkan Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Kai-shek, pemerintah Cina-komunis juga mengeluarkan pernyataan yang sama seperti pemerintah Cina nasionalis di awal berdirinya Republik Cina, yaitu menyatakan bahwa semua orang bangsa Cina di seluruh dunia, adalah warga negara RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Dengan menangnya komunis di Cina daratan, maka meningkat juga pengaruh pendukung Cina komunis di kalangan bangsa Cina di perantauan, termasuk di Indonesia, yeng telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.

 

Perubahan kekuasaan di Cina tahun 1949 juga mengubah peta politik di kalangan bangsa Cina di Indonesia. Sampai tanggal 27 Desember 1949, setelah KMB, semua orang yang bukan pribumi  tidak otomatis menjadi warga negara Indonesia. Selain pribumi, semua pendatang, baik keturunan Cina, Arab atau India, dll., yang ada di Indonesia secara hukum masih merupakan warga Nederlands Indie (India Belanda).

 

Setelah negara Nederlands Indie lenyap dari peta politik internasional pada 9 Maret 1942, maka semua bekas warga Nederlands Indie adalah penduduk di wilayah yang dikuasai oleh tentara Jepang. Di masa pendudukan oleh tentara Jepang, belum ada pengaturan mengenai kewarganegaraan penduduk di wilayah bekas jajahan Belanda. Setelah Jepang menyatakan menyerah pada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, para tokoh masyarakat di wilayah pendudukan tentara Jepang di Asia tenggara menyatakan kemerdekaan Indonesia. Berdasarkan pembahasan dalam BPUPK, batas wilayah negaranya adalah seluruh wilayah bekas Nederlands Indie. Pada 18 Agustus 1945 disahkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 26 diatur mengenai kewarga negaraan, yaitu:

Ayat 1: “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli, dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”

 

Dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sehubungan dengan Pasal 26 ayat 1 ini ditulis:

“Orang-orang bangsa lain, misalnya peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab, yang kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara.”

 

Pada Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, Penjelasan Undang-Undang ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Pada UUD NRI yang disahkan pada 10 Agustus 2002, Penjelasan ini dihapus.

 

Baik setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), maupun setelah kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950, sebagian terbesar bangsa Cina yang tinggal di Indonesia, tidak mau menjadi warga negara Indonesia. Tahun 1955, di sela-sela Konferensi Asia Afrika (KAA) bulan April 1955 di Bandung, ditandatangani kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Isinya adalah, bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia diberi waktu sampai bulan Januari 1960 untuk memilih, apakah akan menjadi warganegara Indonesia atau menjadi warga negara RRT.

 

Sampai akhir tahun 1959 sebagian besar bangsa Cina masih tetap tidak mau menjadi warga negara Republik Indonesia. Atas desakan dari berbagai pihak, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10 tahun 1959 yang inti isinya adalah melarang pedagang bangsa asing untuk berdagang di luar Ibukota Kabupaten (dahulu Karesidenan). Yang terkena Perpres ini tentu semua pedagang bangsa Cina. Akibatnya, sekitar 200.000 orang bangsa Cina yang tidak mau menjadi warga negara Republik Indonesia, kembali ke RRT, atau pergi ke Singapura, Taiwan dan Hongkong. Yang tinggal di Indonesia dan ingin berdagang sampai ke kampung-kampung, mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia.

 

 

Antipati Pribumi Terhadap Penjajah dan Bangsa Cina

 

Masalah yang lebih besar daripada masalah kewarganegaraan adalah, hubungan antara bangsa Cina dengan pribumi sejak masa kolonialisme Belanda di Asia Tenggara. Pertempuran antara rakyat Indonesia melawan bangsa Cina di Bagansiapi-api, Riau, adalah salahsatu contoh, bahwa antipati pribumi terhadap banga Cina di Indonesia, bukanlah masalah kecemburuan sosial atau ekonomi. Akar permasalahannya ada di sejarah penjajahan.

 

Selama ratusan tahun masa penjajahan Belanda, tepatnya sejak tahun 1619, bangsa Cina adalah mitra penjajah dalam semua bidang. Mereka hidup secara eksklusiv dan menikmati status sosial dan hukum sebagai warga kelas dua. Warga kelas satu adalah bangsa-bangsa Eropa. Di lain pihak, pribumi di wilayah jajahan Belanda, selama ratusan tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, oleh penjajah dan para pedagang bangsa Cina. Antara tahun 1642 – 1861, di wilayah yang dikuasai oleh Belanda, resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Sebagai budak yang tidak dianggap sebagai manusia, pribumi tidak memiliki hak apapun di negerinya sendiri.

 

Tentara Belanda yang menangkap/membawa para budak dari wilayah yang telah ditaklukkan  ke kota-kota yang telah dikuasai oleh Belanda, a.l. Batavia, Makssar (waktu itu dinamakan oleh Belanda sebagai Vlardingen), Ambon, dll. Kemudian penjualan budak dilakukan melalui pelelangan oleh pedagang-pedagang bangsa Cina di toko-toko mereka. Di masa penjajahan, bangsa Cina yang menjalankan perkebunan, pelaksanaan pemungutan pajak, pelaksanaan perdagangan narkoba (candu), pemilik rumah-rumah madat, dsb. Perilaku pemungut pajak tidak berbeda dengan perilaku para “debt collector” di zaman sekarang, yaitu kasar dan kadang-kadang brutal. Pada waktu itu, ukuran kekayaan seseorang adalah jumlah budak yang dimilikinya. Pada abad 17 dan 18, di beberapa kota, a.l. di Batavia, Makassar,  jumlah populasi budak lebih dari 50%.

 

Setelah Undang-Undang Perbudakan dihapus, status pribumi “dinaikkan” dari budak menjadi warga kelas tiga, yang masih sangat didiskriminasi, bahkan disetarakkan dengan anjing. Sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah Nederlands Indie kepada tentara Jepang, di depan gedung-gedung/hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum, bahkan di tempat olahraga kaum elit,  terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pada waktu itu, tidak ada pihak yang bersuara untuk membela hak-hak pribumi.

 

Judul buku yang terbit di Belanda

 

Sejarah mencatat, perlakuan bangsa Belanda dan bangas Cina terhadap pribumi di wilayah jajahan Belanda, banyak menimbulkan perlawanan yang berujung pada konflik kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban di kedua belah pihak. Kebencian pribumi terhadap penjajah, Belanda, dan kaki-tangannya bangsa Cina telah berlangsung sejak ratusan tahun, bukan karena kecemburuan ekonomi, melainkan karena selama ratusan tahun mengalami diskriminasi rasial yang sangat kejam dan tidak manusiawi. Inilah latar belakang yang merupakan masalah yang lebih besar daripada masalah kewarganegaraan bangsa Cina di Indonesia.

 

Di Jawa Tengah pada awal abad 19, selain menguasai perdagangan, orang-orang Cina juga merupakan pelaksana dalam pemungutan pajak. Pada waktu itu, mereka mendapat prosentase dari jumlah pajak yang dipungut. Untuk mendapat pekerjaan sebagai pemungut pajak, mereka menyuap pejabat-pejabat premerintah kolonial. Baik di wilayah kesunanan Surakarta maupun di wilayah kesultanan Yogya, tindakan dan perilaku para pemungut pajak bangsa Cina dalam memungut pajak sangat brutal dan arogan, sehngga menimbulkan kemarahan di kalangan kraton Surakarta dan kraton Yogya, dalam hal ini Pangeran Diponegoro.

 

Dipicu oleh berbagai permasalahan, pecah perang antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda pada 21 Juli 1825. Perang Diponegoro yang oleh Belanda disebut sebagai Perang Jawa berlangsung sampai

dijebak dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada 9 Februari 1930.

 

Sementara itu, di Ngawi, perlakuan para pemungut pajak bangsa Cina membangkitkan kemarahan pada Raden Ayu Yudakusuma, putri dari Hamengkubuwono I. RA Yudakusuma adalah istri dari Tumenggung Wirosari, Adipati Ngawi,. Pada 23 September 1925, RA Yudakusuma memimpin pasukan berkuda dari kraton Surakarta menyerang pemukiman orang Cina di Ngawi. Pasukan berkuda di bawah pimpinan RA Yudakusuma berhasil mematahkan pertahanan pasukan Cina di Ngawi dan membantai orang-orang Cina.

 

Di Jawa Barat awal abad 20, kesombongan bangsa Cina terhadap pribumi menimbulkan kemarahan yang memicu konflik berkepanjangan antara pribumi dengan bangsa Cina di Cirebon, Indramayu dan Majalengka dari tahun 1913 – 1917, yaitu yang dinamakan tragedi kucir.  Di wilayah tersebut, pribumi memotong kucir semua orang-orang Cina. Ini hanya sebagian kecil permasalahan antara pribumi dengan penjajah Belanda dan mitranya, banga Cina di wilayah jajahan Belanda.

 

Dari beberapa contoh di atas terlihat, bahwa kebencian pribumi terhadap bangsa Belanda dan mitranya bangsa Cina telah berlangsung sejak ratusan tahun. juga terlihat, bahwa antipati pribumi terhadap bangsa Cina bukan masalah kecemburuan sosial atau ekonomi. Selama puluhan tahun sejak tahun 1945, dicoba dibangum opini bahwa kebencian pribumi terhadap bangsa Cina adalah karena kecemburuan ekonomi.

 

Tidak mudah mengubah sikap dan pandangan yang telah tertanam selama ratusan tahun di kalangan masing-masing, baik di kalangan pribumi maupun di kalangan bangsa Cina, yang banyak masih merasa lebih tinggi derajatnya daripada pribumi.

 

Seperti telah disebut di atas, sejak tahun 1920-an, sudah ada segelintir bangsa Cina yang berpihak kepada pribumi di wilayah jajahan Belanda, namun mereka kebanyakan dari kelompok sosialis atau komunis, yang orientasinya kepada komintern (komunis internasional) dan sosialis internasional. Sedangkan di kalangan pribumi, tujuannya adalah membangun nasionalisme, yang sangat bertentangan dengan paham internasionalisme ala komunis/sosialis. Oleh karena itu, sejak awal pergerakan kebangsaan, kelompok pribumi yang beraliran komunis tidak pernah dapat bersatu dan berjuang bersama pribumi yang nasionalis dan agamis di wilayah jajahan Belanda di Asia tenggara.

 

Konflik besar terjadi di tubuh Sarekat Islam (SI) pada awal tahun 1920-an. Pada waktu itu, beberapa pemuda anggota SI juga ikut di organisasi yang didirikan oleh orang Belanda, Hendricus (Henk) Sneevliet, yaitu ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging), yang adalah cikalbakal PKI. Semua pemuda di SI yang ikut ISDV dikeluarkan dari SI. Ketidakcocokan antara kelompok komunis dengan kaum agamis dan nasionali telah berlangsung sejak tahun 1920-an.

 

Sejak tahun 1930-an, kelompok bangsa Cina di wilayah jajahan Belanda yang beraliran komunis/sosialis, a.l. Tan Ling Djie, Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan, dll., telah memiliki hubungan erat dengan kelompok pribumi yang juga beralisan komunis/sosialis. Kelompok bangsa Cina yang beraliran internasionalis ini tentu juga tidak cocok dengan pribumi yang nasionalis. Perpecahan terjadi pada bulan September 1948, yaitu pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tanggal 19 September 1948. Pemberontakan PKI tersebut ditumpas oleh Angkatan Darat Tentara Nasional Indonesia (TNI). PKI waktu itu berorientasi ke Moskau, Rusia. Setelah tahun 1950, kader-kader komunis di Indonesia di bawah kepemimpinan Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit), Nyoto, Sudisman, Lukman, Sakirman, dll., bangkit dan membentuk PKI yang berorientasi ke Peking (Beijing).

 

 

Politik Luar Negeri Sukarno yang berubah-ubah

 

Sejak tahun 1950, politik luar negeri Indonesia di bawah Presiden Sukarno beberapa kali berubah arah. Semula, Indonesia dekat dengan Amerika Serikat dan blok NATO yang anti komunis. Setelah itu, Indonesia berpaling ke Uni Soviet dan Pakta Warsawa yang komunis. Tahun 1956 Presiden Sukarno mencanangkan akan melaksanakan konsepnya mengenai pemerintahan yang berdasarkan Nasakom, yaitu dari unsur Nasionalis, Agama dan Komunis. Setelah mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD ’45, tahun 1960 Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955, karena DPR menolak Rancangan APBN yang dimajukan oleh pemerintah. Sukarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya dipilih oleh Sukarno. DN Aidit pemimpin PKI diangkat menjadi anggota DPR GR, juga diangkat menjadi Wakil Ketua MPRS. Dalam Kabinet Kerja III tahun 1962 dan di Kabinet Kerja IV tahun 1963, para Wakil Ketua MPRS, termasuk DN Aidit mendapat jabatan setingkat menteri.

 

Di awal tahun 1960-an, Sukarno merapat ke Cina komunis RRT, dan tahun 1964 membentuk “Poros Jakarta, Hanoi, Pekling (Beijing) – Pyongyang. Vietnam, RRC dan Korea Utara adalah negara-negara komunis. 

 

Di masa ini, orang-orang Cina di Indonesia yang pro komunis mendapat angin baru. Tokoh-tokoh Cina yang komunis menjadi lebih erat dengan penguasa dan ikut berperan dalam jalannya politik dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Bahkan dalam Kabinet Kerja IV tahun 1963, seorang tokoh Cina, anggota BAPERKI yang berafiliasi ke Cina komunis, Oei Tjoe Tat, diangkat menjadi menteri oleh Presiden Sukarno.

 

 

BAPERKI Versus LPKB

 

Seperti telah ditulis di atas, lelompok etnis Cina pro integrasi, tergabung dalam organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan. Para pendiri lain a.l. Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng (adik dari Liem Koen Hian), Jan Ave (dll). Kelompok ini sejak zaman penjajahan telah berorientasi ke gerakan komunis di Cina daratan, yang dipimpin oleh Mao Zedong (dahulu disebut Mao Tse Tung). BAPERKI didirikan pada 13 Maret 1954. Sejak berdirinya, BAPERKI merapat ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Siauw Giok Tjhan mendirikan media Harian Rakyat. Pemimpin redaksinya adalah Nyoto, Wakil Ketua PKI.

 

Siauw Giok Tjhan

Ketua BAPERKI

 

Dalam hubungan dengan masyarakat pribumi di Indonesia, kelompok integrasi menginginkan, agar bangsa Cina di Indonesia diakui sebagai suku yang secara utuh diintegrasikan ke masyarakat pribumi, namun tetap memegang semua hal-hal yang berasal dari leluhur bangsa Cina, yaitu semua atribut, ritual-ritual, tradisi dll., yang berasal dari Cina.

 

Lawan mereka adalah kelompok etnis Cina pro pembauran/asimilasi, yang tergabung dalam organisasi Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). LPKB didirikan pada 12 Maret 1963. Pimpinannya adalah Ong Tjong Hay (kemudian mengganti namanya menjadi Kristoforus Sindhunata) yang beragama Kristen Katholik, dan Lauw Chuan To (kemudian mengganti namanya menjadi Junus Jahja) yang beragama Islam. pendiri lainnya .l. Tjan Tjoen Hok (Harry Tjan), Soe Hok Gie, dan Jacob Oetama. Tokoh pribumi yang mendukung LPKB a.l. Franciscus Xaverius (Frans) Seda. Kelompok etnis Cina ini pada umumnya adalah para pengusaha yang di masa penjajahan merupakan mitra Belanda, dan berorientasi ke Cina nasionalis Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek. Ong Tjong Hay adalah perwira TNI AL. Pangkat terakhirnya adalah Mayor.

 

Lauw Chuan To (Yunus Yahya)

Pimpinan LPKB

 

Dalam hubungan dengan masyarakat pribumi di Indonesia, kelompok pembauran/asimilasi menginkan bangsa Cina yang ada di Indonesia melepas semua atribut, ritual-ritual, tradisi dll., yang berasal dari Cina, termasuk mengganti nama-nama Cina mereka. Kelompok ini juga memiliki corong media, yaitu Harian KOMPAS, yang didirikan oleh orang-orang Kristen Katholik, yaitu Auwjong Peng Koen (kemudian mengganti nama menjadi Petrus Kanisius Ojong) dan Jacob Oetama. Untuk mengimbangi kelompok pro integrasi yang merapat ke PKI, kelompok pembauran kerapat ke TNI AD, yang sejak pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, tetap menentang komunisme di Indonesia.

 

Kubu bangsa Cina yang anti komunis utamanya dimotori dan dibeking oleh para pedagang besar/kapaitalis. Pimpinannya adalah orang-orang yang beragama kristen Katholik dari Ordo Yesuit, dan tokoh-tokoh Cina yang beragama Islam. dari komposisi ini jelas yang ditentang oleh kubu yang pro asimilasi ini terhadap komunisme adalah:

 

1.   Tujuan kaum komunis adalah menerapkan sistem perekonimian komunis, yaitu: Semua alat-alat produksi dikuasai oleh negara. Tidak boleh di tangan swasta. Tujuan ini jelas tidak akan dapat diterima oleh para pedagang dan pemodal besar (kapitalis)

2.   Pemerintah komunis dipimpin oleh Diktatur Proletariat, dari kalangan proletar, yaitu buruh-tani yang tidak memiliki apa-apa. Politik ini sangat tidak demokratis, dan sejak awal menyingkirkan peran-serta para pedagang, apalagi para kapitalis, yang tidak memiliki tempat dalam sistem ekonomi komunis.

3.   Agama dipandang sebagai hambatan. Ini dapat dilihat dari pernyataan Karl Marx, penggagas Marxisme yang merupakan dasar dari komunisme. Marx pernah menyatakan, bahwa agama adalah candu untuk rakyat. Kemudian pemimpin Cina komunis, Mao Zedong menyatakan, bahwa agama adalah racun. Sikap ini jelas ditentang oleh mereka yang agamis.

 

Di negara-negara di mana kaum komunis berhasil merebut kekuasaan, puluhan juta, bahkan mungkin lebih dari 100 juta rakyatnya yang tidak setuju dengan kominisme dibunuh atau dipenjarakan, atau harus melakukan kerja paksa. Ini terjadi di Rusia, Cina dan Kamboja.

 

Kelompok pro pembauran ini juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan Pater Josephus Beek, pastor Kristen Katholik dari Ordo Yesuit. Pater Beek ini juga dikenal sebagai agen CIA (Central Intelligence Agency), dinas intelijen Amerika Serikat. Kelompok LPKB kemudian diperkuat dengan “anak-anak didik” Pater Beek, a.l. Tjan Tjoen Hok (Harry Tjan Silalahi). Tahun 1971, dengan biaya dari para pedagang etnis Cina, didirikan lembaga kajian Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di mana anak-anak didik Pater Beek berkiprah. Menurut seorang tokoh etnis Cina, Oey Kian Kok (kemudian mengganti namanya menjadi Christianto Wibisono), Tjan Tjoen Hok disebut sebagai “arsitek Orde Baru.”

 

Di masa politik Nasakom dari Presiden Sukarno BAPERKI yang selain dekat dengan PKI, juga merapat ke Presiden Sukarno. Di masa ini, BAPERKI berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk membubarkan semua organisasi-organisasi bangsa Cina di Indonesia yang mendukung Kuomintang.

 

Tahun 1964 kedekatan Indonesia dengan negara-negara komunis di Asia dikukuhkan dengan dibentuknya “Poros Jakarta, Hanoi (Vietnam), Peking (Beijing, RRT) Pyonyang (Korea Utara).” Posisi BAPERKI yang juga berorientasi kepada RRT, sangat diuntungkan dengan dibentuknya Poros Jakarta, Hanoi, Peking, Pyongyang.

 

Di lain pihak, di masa konfrontasi antara Indonesia dengan Belanda dalam merebut Irian Barat dari Belanda, memperlemah posisi kubu bangsa Cina pro Belanda. Puncaknya adalah pada 17 Agustus 1960, di mana pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda dan mengusir seluruh orang Belanda dari Indonesia. Banyak orang Cina pro Belanda juga meninggalkan Indonesia.

 

Dari uraian di atas terlihat, bahwa perseteruan dua kelompok bangsa Cina di Indonesia terkait dengan masalah internasional dan melibatkan kekuatan-kekuatan politik serta militer di Indonesia. Puncak perseteruan kedua kelompok etnis Cina ini terjadi tahun 1965. Kegagalan PKI dalam peristiwa G30S juga mengakibatkan  kekalahan BAPERKI terhadap lawannya yang tergabung dalam LPKB. Kelompok etnis Cina di LPKB yang dekat dengan penguasa Orde Baru dapat mewujudkan keinginan mereka.

 

LPKB inilah yang mengusulkan semua hal tersebut di atas, yaitu dikeluarkannya Surat Edaran, INPRES dan  KEPPRES tahun 1967, yang tujuannya adalah menekan kelompok Cina yang berafiliasi ke PKI dan berorientasi ke Cina komunis RRT. Dengan kata lain, melakukan pembalasan dendam atas semua tindakan-tindakan dari kelompok pro integrasi yang merugikan kelompok pro pembauran di masa kejayaan PKI dan BAPERKI di Indonesia menjelang peristiwa G30S/PKI.

 

Dalam buku mengenai Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, pjutra dari Siauw Giok Tjhan menulis, bahwa kelompok LPKB menghasut pribumi untuk menyerang kedutaan RRT di Jakarta, dan menyerang orang-orang Cina pro RRT.

 

Peristiwa G30S/PKI menjadi titik-balik keadaan di kalangan bangsa Cina di Indonesia. PKI kalah dalam percaturan politik dan gagal merebut kekuasaan di Indonesia. PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Ratusan ribu anggota PKI dan orang-orang berafiliasi ke PKI atau orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI, ditangkap dan dipenjarakan, atau dibuang ke Pulau Buru. Dalam peristiwa ini, banyak tokoh-tokoh BAPERKI ikut ditangkap dan ditahan, termasuk Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat.

 

Fakta ini yang harus diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, untuk meluruskan pandangan negatif terhadap bangsa Indonesia yang dituduh rasialis dan diskriminatif. Pendapat seperti ini bukan hanya berkembang di Indonesia, melainkan juga di dunia internasional. Seluruh rakyat Indonesia harus mengetahui latar belakang yang sesungguhnya masalah penggantian istilah Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina, dan fakta yang sesungguhnya yang terjadi di masa Orde Baru. Juga fakta yang sesungguhnya adalah, antipati pribumi terhadap bangsa Belanda dan bangsa Cina berakar pada sejarah penjajahan yang kejam dan sangat diskriminatif/rasialis terhadap pribumi. Jadi samasekali bukan masalah kecemburuan ekonimo atau sosial.

 

Semua pelaku sejarah di seputar tahun 1950-an, terutama dari kalangan bangsa Cina sendiri, sangat  mengetahui mengenai hal ini. Namun karena berbagai alasan, a.l. setelah lengsernya penguasa Orde Baru tahun 1998, dilakukan “gerakan tutup mulut kolektif” dan “melemparkan semua kesalahan kepada Orde Baru, bahwa pemerintah Orde Baru sangat diskriminatif dan bahkan rasialis terhadap bangsa Cina yang ada di Indonesia. Apabila ditinjau lebih dalam, maka tuduhan ini sangat salah. Yang didiskriminasi hanyalah kelompok Cina yang kalah dalam perseteruan kedua kelompok yang disebut di atas.

 

Juga di kalangan pribumi sendiri yang mengetahui mengenai latar belakang dikeluarkannya SE, INPRES dan KEPPRES tersebut, ada keengganan untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya, karena kuatir dituduh ingin membela Orde Baru. Namun hal ini mengakibatkan persepsi yang salah yang berkembang di Indonesia dan di dunia internasional akan berlanjut terus. Oleh karena itu, sekarang waktunya untuk meluruskan semua hal tersebut dengan membuka fakta-fakta yang sesungguhnya.

 

 

Perubahan di Cina Sejak Deng Xiaoping Berkuasa.

 

Setelah Mao Zedong meninggal tahun 1976, Deng Xiao Ping menjadi pemimpin Partai Komunis Cina tahun 1978. Dia meninggalkan sistem komunis, yaitu sistem ekonomi komunis yang intinya adalah semua alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara dan berpaling ke sistem perekonomian kapitalis..

 

Dia mulai mengirim sangat benyak generasi muda Republik Rakyat Cina (RRC) ke Singapura untuk mempelajari sistem perekonomian kapitalis. Dia menjadikan Cina menjadi satu negara dengan dua sistem. Sistem pemerintahnya tetap diktatur proletariat, yaitu hanya ada satu partai, sedangkan ekonominya menggunakan sistem kapitalis. Langkah Deng Xiaoping ini sekaligus sebagai pengakuan, bahwa sistem komunisme telah gagal, yaitu utamanya adalah, semua alat-alat produksi dikuasai oleh negara.

 

Perubahan besar ini tentu disambut baik oleh negara-negara dan para Cina perantauan yang anti komunis. Yang ditentang terutama adalah sistem perekonomian komunis. Perubahan ini tentu juga berpengaruh terhadap sikap etnis Cina yang anti komunis di Indonesia.

 

Pada bulan Agustus 1990 Indonesia dan RRC membuka kembali hubungan diplomatik yang dibekukan bulan Oktober 1967, setelah peristiwa G30S/PKI. Seperti telah ditulis di atas, Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan RRT/RRC karena keterlibatan RRT dan Partai Komunis Tiongkok dalam peristiwa tersebut. Sebelumnya, sudah banyak konglomerat Cina dari Indonesia yang menjalin hubungan dengan tanah leluhrnya.

 

Setelah berakhir Perang Dingin tahun 1991, dimunculkan gagasan untuk menata ulang dunia, yang diperkenalkan oleh Samuel Huntington, penasihat politik pemerintah Amerika Serikat. Dia menulis dalam bentuk esei dengan judul “The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order.” Artinya adalah “Benturan Peradaban dan Membangun Kembali Tatanan Dunia.” Dalam eseinya Huntington “memprediksi,” bahwa setelah hancurnya imperium komunis, konflik yang akan dihadapi oleh peradaban barat, dalam hal ini agama Kristen, adalah kebudayaan Cina dan Islam. dengan kata lain, Huntington mempersiapkan musuh bersama yang baru (new common enemy) untuk dunia barat, yaitu Cina dan Islam.

 

Tokoh-tokoh Cina juga melihat, dengan hancurnya komunisme yang merupakan musuh utama dunia barat, blok pertahanan barat (NATO) memerlukan musuh bersama yang baru (new common enemy). Cepat atau lambat, blok pertahanan barat akan berhadapan dengan Cina secara keseluruhan.

 

Adalah Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura yang menggagas pertemuan di Singapura untuk semua Cina perantauan di seluruh dunia. Bulan Agustus 1991 di Singapura diselenggarakan The World Chinese Enterpreneurs Convention (Konvensi Pengusaha Cina Dunia). Hadir sekitar 800 orang pengusaha Cina dari seluruh penjuru dunia, temasuk dari Indonesia. Sejak itu, ditetapkan untuk menyelenggarakan konvensi setiap dua tahun Pada pertemuan kedua di Hongkong tahun 1993, pengusaha-pengusaha dari RRC juga hadir.

 

Pendekatan ini membuahkan sinergi dan kerjasama semua orang Cina di seluruh dunia di berbagai bidang, bukan hanya di bidang perekonomian dan perdagangan saja, melainkan juga di bicang politik untuk ikut berkiprah di kancah politik internasional. Pemerintah RRC dan para Cina perantauan mengumpulkan dana untuk pencalonan Bill Clinton menjadi presiden periode kedua tahun 1996. Pada pencalonan Bill Clinton pertama kali tahun 1992, keluarga konglomerat Indonesia, Mochtar dan putranya James Riady telah ikut menyumbang dana.  Pada pencalonan kedua tahun 1996, kedutaan Besar RRC di Washington dan Konsulat Jenderal RRC di Houston, menjadi pusat pengumpulan dana untuk Bill Clinton. Selain keluarga Riady dari Indonesia, juga ada penymbang dari Hongkong, bahkan dari Republik Cina Taipei (Taiwan).

 

Hal ini dibongkar a.l. oleh Bob Woodward, jurnalis dari The Washington Post. Nama Bob Woodward menjadi sangat terkenam setelah dia mengungkap skandal penyadapan Watergate yang dilakukan oleh Presiden Richard Nixon. Pengungkapan skandal ini mengakibatkan Richard Nixon mengundurkan diri sebagai presiden, sebelum dilakukan impeachment untuk menurunkannya. The Washington Post juga menulis, bahwa Mochtar Riady dan anaknya James Riady, telah lama memiliki hubungan dengan Ministry of State Security (Kementerian Keamanan) RRC. Sumber informasinya adalah dari FBI dan CIA.

 

Di tahun 2000-an sudah sangat banyak orang-orang Cina RRC yang menjadi milyarder US $. Namun Partai Komunuis Cina (PKC) menetapkan, orang-orang yang medapat izin untuk menjalankan usaha-usaha pribadi, hanya anggota PKC yang patuh dan setia kepada partai. Oleh karena itu, di negara-negara blok NATO, keberadaan perusahaan-perusahaan RRC di negara-negara mereka, sangat diawasi dengan ketat.

 

Sistem perekonomian kapitalis ini dilanjutkan oleh Xi jinping, yang menjadi pemimpin RRC sejak tahun 2012. Tahun 2013 dia memperkenalkan konsepnya yang waktu itu dinamakan OBOR (One Belt One Road), yang kemudian diganti namanya menjadi BRI (Belt and Road Inititive). Konsep OBOR ini pertamakali diperkenalkan di Indonesia tahun 2013, kemudian di Kazakhstan. Di bawah Xi Jinping, RRC melakukan ekspansi ekonomi besar-besaran ke seluruh dunia. Dengan konsep ini, Xi Jinping ingin mengulang “jalur sutra” (silk road) darat, dengan ditambah  dengan “jalur sutra laut” (Maritime silk road). Jalur sutra laut ini ingin diterapkan di Indonesia sebagai “tol laut.”

 

Pengamat politik internasional menilai, konsep Xi jinping ini tidak lain adalah ingin mengambil alih kepemimpinan dunia, yaitu dengan “Pax Sinica.” (“Perdamaian Cina”), meniru yang dinamakan “Pax Romana,” (Perdamaian Roma) dari zaman kekaisaran Roma. Yang dimaksud adalah damai, namun di bawah naungan Roma.  Tujuan utamanya adalah mengamankan jalur perdagangan imperium Roma di seluruh dunia. Tujuan ini yang membuat semua Cina perantauan mendukung gagasan Xi Jinping yang sekarang dikenal sebagai Belt and Road Initiative.

 

Dengan berubahnya haluan Cina di bidang perekonomian, yaitu meninggalkan sistem ekonomi komunis, dan beralih ke sistem ekonomi kapitalis, tidak ada lagi halangan untuk semua pengusaha bangsa Cina perantauan dengan pemerintah RRC. Demikian juga dengan pengusaha-pengusaha etnis Cina di Indonesia yang selama ini anti komunis, kini bekerjasama dengan pemerintah Cina. Sebagai pengusaha tentu tujuannya adalah mengusai pasar sebesar-besarnya, dengan kata lain, menguasai pasar dunia.

 

Oleh karena itu, semua bangsa Cina di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,  mendukung gagasan Xi Jinping, Belt and Road Initiative (BRI) untuk merealisasikan Pax Sinica.

 

Jakarta, 31 Agustus 2021

 ********

 

Beberapa Link berita sehubungan dengan penggantian istilah Tionghoa menjadi Cina



Selengkapnya silakan klik:

 

https://pustamun.blogspot.com/2017/01/tahukah-kamu-orang-yang-melarang-imlek.html 

 

 

********

 

 

Kristoforus Sindhunata; Tokoh “Penghianat” Etnis Tionghoa

 

Herman Tan

 

Selengkapnya silakan klik:

 

https://www.tionghoa.info/kristoforus-sindhunata/

 

 

********

 

Bandung 1959 (6) Tekanan terhadap Warga Tionghoa Pro Taiwan

 

3 Mei 2016

 

Selengkapnya silakan klik:

 

https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/572860c14d7a61e90723f95a/bandung-1959-6-tekanan-terhadap-warga-tionghoa-pro-taiwan 

 

 

 

********

 

 

 

 

Lampiran 1.

 


 

Jumat, 12 Juni 2015

 

Ong Tjong Hay dan Lauw Chuan To, pelopor diskriminasi Tionghoa era Orde Baru

 

 

Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia, era Orde Baru diingat sebagai era yang penuh diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dalam berbagai hal kecuali ekonomi. Banyak yang menganggap Presiden Suharto sebagai penguasa Orde Baru adalah pelopor dari diskriminasi tersebut. Fakta yang tak diketahui umum, pelopor diskriminasi Tionghoa era Orde Baru adalah dua orang Tionghoa bernama Sindhunata (Ong Tjong Hay) dan Junus Jahja (Lauw Chuan To).

 

BKPKB dan LPKB

 

Kristoforus Sindhunata adalah Ketua BKPKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) dan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Kedua organisasi tersebut didirikan oleh Junus Jahja ((Lauw Chuan To) seorang Tionghoa Muslim yang juga pro-assimilasi. Sedangkan Sindhunata adalah Tionghoa Katholik dan pernah menjadi Wakil Ketua PMKRI.

 

LPKB mencanangkan assimilasi sebagai "terapi" penyelesaian masalah Tionghoa. Dengan assimilasi mereka bermaksud golongan Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaannya dengan menanggalkan semua kebudayaan Tionghoa, mengganti nama ke nama-nama yang tidak berbau Tionghoa dan kawin campuran. Dengan demikian, golongan Tionghoa tidak lagi bereksistensi sebagai golongan terpisah dari golongan mayoritas.  Ia juga mengaku bahwa ia bersama kelompoknya, para penganjur asimilasi di Indonesia, adalah konseptor Inpres 14/1967 yang melarang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Tionghoa diselenggarakan di tempat terbuka.

 

Suharto pun menganggap usulan larangan Imlek berlebihan

 

Sindhunata dengan LPKB nya bahkan mengusulkan pelarangan total terhadap perayaan kebudayaan Tionghoa. Namun, Presiden Soeharto kala itu menilai usulan Sindhunata terlalu berlebihan. Soeharto tetap mengizinkan perayaan kebudayaan Tionghoa, namun dilakukan secara tertutup. Aturan itu kemudian diresmikan dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Hampir 33 tahun warga Tionghoa tak bisa merayakan kebudayaannya di depan umum. Angin segar kemudian datang setelah reformasi.

 

Assimilasi vs Integrasi

 

Sudah sejak dulu terjadi kontradiksi antar kedua kubu LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) dan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan dengan ideologinya "Integrasi" dan LPKB dengan program "Asimilasi"nya yang dibawakan oleh Sindhunata. Keduanya sama sama keturunan Tionghoa, dan keduanya mengaku berusaha untuk membawa WNI etnis Tionghoa untuk bersama membangun Indonesia. Keduanya juga pernah menjabat di struktur pemerintah RI. Secara garis besar marilah kita uraikan apa itu Integrasi dan Asimilasi sebagai refreshing.

 

Integrasi :

 

Membaur dalam suatu masyarakat yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas dari masing masing komponen yang ambil bagian dari pembauran tersebut, mirip dengan teori "Pluralism" atau "Multiculturalism"

 

Asimilasi:

 

Memadukan masyarakat yang berasal dari suku dan budaya berlainan menjadi satu kesatuan tanpa mempertahankan kebudayaan atau identitas komponen itu berasal , mirip dengan teori "Melting Pot"

 

Kesimpulan

 

Ternyata, pelopor diskriminasi Tionghoa era Orde Baru bukanlah Presiden Suharto yang beretnis Jawa, melainkan para pengkhianat Tionghoa yakni Sindhunata dan kelompoknya. Suharto memang tidak bisa dibilang sama sekali tak terlibat, namun setidaknya ini bisa mengubah cara pandang kita tentang Orde Baru dan diskriminasi nya. Selain itu, diskriminasi Tionghoa tidak dimulai di era Suharto, melainkan Sukarno, lewat perpres yang melarang etnis Tionghoa berdagang di daerah kecamatan.

 

Hal ini mungkin bisa membuat malu teman-teman Tionghoa yang tahun lalu (2014) merayu dan cenderung memaksa teman-teman Tionghoa nya untuk memilih PDIP dan Jokowi karena Sukarno dianggap pro-tionghoa dan Suharto anti-tionghoa. Juga orang-orang yang menyebarkan ketakutan buatan bahwa Prabowo anti-tionghoa karena merupakan menantu Suharto.

 

Salam Indonesia Raya,

 

Patrick Ong

 

Sumber:

http://treaction.blogspot.com/2015/06/ong-tjong-hay-dan-lauw-chuan-to-pelopor.html?m=1 

 

 

====================

 

Lampiran 2

 

 

Lieus Sungkharisma: Panggil Saya Si Cina, Tionghoa Itu Ahok, Licik dan Pengkhianat

 

JUMAT, 07 APRIL 2017 |

 

Pernyataan Sikap Majelis Adat Budaya Tionghoa Indonesia yang mengatasnamakan masyarakat Tionghoa Indonesia, mendapat reaksi serius dari Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) Lieus Sungkharisma.

 

Apalagi pernyataan sikap yang ditandatangani Harso Utomo Suwito dan Chandra Kirana itu menuduh Lieus Sungkharisma mencatut dan mendompleng nama Tionghoa untuk kepentingan pribadinya, terutama dalam setiap demo anti Ahok.

 

Atas adanya pernyataan sikap itu, Lieus mengatakan meski dirinya sama sekali tak menganggap majelis adat budaya Tionghoa itu ada, namun pernyataan itu telah menyadarkannya betapa saat ini penyebutan Tionghoa saat ini telah disalahgunakan untuk kepentingan politik golongan tertentu.

 

“Apalagi lembaga majelis adat itu muncul hanya untuk mendukung Ahok agar jadi gubernur Jakarta,” kata Lieus kepada redaksi, Jumat (7/4).

 

Ditambahkan Lieus, pernyataan sikap semacam itu semakin menguatkan pandangannya selama ini bahwa penyebutan Tionghoa itu memang hanya untuk kamuflase belaka.

 

“Penggunaan nama Tionghoa telah digunakan untuk tujuan yang licik,” tegas Lieus.

 

Karena itulah, ujar Lieus lagi, sejak hari ini ia tidak mau lagi disebut Tionghoa.

 

“Mulai hari ini panggil saya Cina. Lieus Sungkharisma si Cina. Saya tak cocok lagi menggunakan kata Tionghoa yang dulu ikut saya perjuangan penggunaannya. Sebab pada kenyataannya sebutan Cina saat ini lebih terhormat dari penyebutan Tionghoa,” kata Lieus.

 

Pernyataan tegas Lieus untuk tak mau lagi disebut Tionghoa tampaknya berkaitan erat dengan situasi politik yang berkembang saat ini. Terutama sejak Ahok menggantikan Jokowi sebagai gubernur Jakarta.

 

“Penggunaan nama Tionghoa telah disalahgunakan oleh segelintir orang untuk kepentingan politik dan ekonominya. Jadi penyebutan Tionghoa saat ini hanya untuk kamuflase saja. Pada kenyataannya orang Tionghoa itu pengkhianat, licik dan tak pandai berterima kasih. Ahok itu contohnya,” tambah Lieus.

 

Memang bukan tanpa alasan jika Lieus mengatakan sifat licik dan pengkhianatan Tionghoa itu. Dulu, kata Lieus, atas nama Tionghoa yang minoritas Ahok naik menjadi wakil gubernur Jakarta karena didukung Partai Gerindra.

“Tapi setelah ia terpilih dan menjabat, Partai Gerindra justru dikhianatinya. Demikian juga dengan relawan Teman Ahok yang dibentuknya. Setelah anak-anak itu berjibaku dan bahkan menerima cacimaki dari banyak orang, Ahok justru meninggalkannya. Ini hanya dua bukti kecil dari sifat pengkhianatan Tionghoa yang identik dengan Ahok dan pendukungnya itu,” jelas Lieus.

 

Penyebutan Tionghoa yang cuma untuk kamuflase itu, juga diungkapkan Lieus melalui sejumlah peristiwa yang terjadi selama Ahok menjabat gubernur Jakarta.

 

“Bukannya berterima kasih pada para pembantunya di jajaran Pemprov DKI, dalam hampir setiap rapat Ahok justru marah-marah dan memaki-maki mereka. Ia juga licik dengan selalu menjadikan anak buahnya tumbal untuk setiap persoalan yang terjadi di Jakarta,” kata Lieus.

 

Menurut catatan, dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi, sebagai orang Cina Lieus memang telah melakukan banyak hal dibanding orang-orang Tionghoa yang sekarang ini sok berkoar-koar tentang  persatuan dan kebhinnekaan. Lieus sudah aktif di KNPI dan merupakan salah satu eksponen 6 OKP yang keras menentang rezim Orde Baru. Saat Reformasi ia bahkan sempat ditahan karena membela warga Mangga Besar yang tanah dan rumahnya digusur secara sewenang-wenang.

 

Pleidoinya untuk kasus itu, “Memperjuangkan Hak Tanah Untuk Rakyat” yang dibacakannya dalam sidang di Pengadilan Jakarta Barat, bahkan kemudian dibukukan. Tak hanya itu, ia juga aktif menggalang aksi demo terhadap setiap kali ada kasus ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.

 

Atas aktivitas dan kiprahnya itulah sejumlah media kemudian menobatkannya sebagai tokoh Tionghoa. Namun Lieus memang tak menolak penobatan itu. Tapi kini, setelah menyadari penyebutan Tionghoa itu tak sesuai dengan harapannya, Lieus justru menolak disebut Tionghoa.

 

“Cukup sudah saya disebut Tionghoa. Saya tak mau lagi dikelompokkan pada orang Tionghoa yang licik, pengkhianat dan tak tau berterima kasih. Tionghoa saat ini sangat bertolak belakangan dengan Tionghoa yang saya perjuangkan dulu. Sekarang panggil saja saya Cina. Itu lebih terhormat buat saya,” demikian Lieus.[san]

 



Sumber:

 

https://rmol.id/amp/2017/04/07/286823/lieus-sungkharisma-panggil-saya-si-cina-tionghoa-itu-ahok-licik-dan-pengkhianat 

 

 

======================

 

Lampiran 3.

 

 

"Mengenang Torehan Luka Bagansiapiapi"

 

Judul Buku : Gema ProklamasiKemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi

 

Penulis : Sudarno Mahyudin

Penerbit : Adicita, Yogyakarta

Cetakan : Pertama, 2006

Tebal : xv + 106 halaman

 

Kemerdekaan Indonesia senantiasa diikuti oleh beragam peristiwa bersejarah. Peristiwa bersejarah tersebut merupakan rekam cetak historis yang ditorehkan oleh semangat perjuangan bangsa yang penuh luka-luka. Tak hanya pertempuran-pertempuran politik yang terus bergolak, bahkan konflik antarsuku ternyata juga turut mengharu-biru dalam proses perjuangan bangsa Indonesia. Kemajemukan suku bangsa di Indonesia, yang sejatinya menjadi penguat budaya, berbalik menjadi bumerang karena semangat primordialisme sempit yang sarat muatan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Setidaknya itulah yang mewarnai peristiwa Bagansiapiapi di ranah Melayu pada tahun 1946, yang telah menorehkan kisah memilukan bagi Riau Daratan, terutama warga pribumi dan etnis Cina.

 

Soedarno Mahyudin, penulis buku ini, sengaja menghadirkan buku ini dalam rangka mengenang kembali tragedi Bagansiapiapi sebagai upaya pembelajaran bagi segenap elemen bangsa Indonesia agar dapat mengapresiasi budaya dari etnis yang berbeda di wilayah masing-masing, khususnya terhadap etnis Cina. Peluncuran buku ini, setidaknya menjadi titik tolak adanya saling pengertian dan harapan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

 

Bagansiapiapi merupakan wilayah yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Kala itu, Belanda menyebutnya sebagai Een China in Oost Indie. Hal itu disebabkan komposisi penduduknya yang didominasi oleh etnis Cina. Etnis Cina di Bagansiapiapi dikenal sebagai representasi entitas budaya yang berbeda dengan orang-orang Cina dari wilayah lain. Selain karena keuletannya dan kegigihannya, semangat chauvinisme juga melekat erat dalam sanubari mereka. Sebetulnya, berapapun jumlah warga etnis tertentu di wilayah Indonesia bukan sebuah risiko. Kerentanan konflik hanya akan terjadi bila suatu etnis menyanjung primordialisme sempit sehingga merendahkan etnis lain. Dan, inilah yang terjadi di Bagansiapiapi.

 

Meletusnya peristiwa Bagansiapiapi I yang dikenal sebagai ‘peristiwa bendera‘, dipicu oleh tersumbatnya komunikasi antara warga pribumi dengan etnis Cina yang kala itu mengibarkan bendera Kuo Min Tang tanpa didampingi bendera merah putih, simbol identitas negara Indonesia yang baru saja merdeka. Kondisi ini menjadikan masyarakat pribumi khususnya Melayu, merasa terinjak-injak harga dirinya. Terlebih, permintaan penurunan bendera diabaikan oleh warga Cina. Pertikaian ini berakhir dengan tewasnya Kapitan Lu Cin Po, pemimpin warga Cina. Sayangnya, sejarah kelam tak berhenti di sini. Rentetan peristiwa terus berlanjut hingga menimbulkan peristiwa Bagansiapiapi II yang lebih dahsyat, yang dikenal dengan peristiwa ‘tentara jambang‘.

 

Rekaman sejarah menyebutkan bahwa tentara jambang merupakan satuan komponen tentara desersi (tentara yang membelot dari tugas). Dalam peristiwa ini, tentara jambang mengurung anak-anak dan perempuan, merampas harta benda, bahkan memperkosa gadis-gadis Cina di desa pantai Panipahan (hlm.21). Carut marut ini berlangsung di Sungai Rokan, Kubu, serta Panipahan. Maka, aksi balas dendam pun dilakukan. Warga Cina dengan pasukan Cina-nya yang diberi nama Poh An Tui, ganti membunuh warga Indonesia. Pertalian erat antara etnis Cina di Medan, Singapura, dan Malaysia serta suplai senjata memperkuat posisi etnis Cina di Bagansiapiapi. Peristiwa Bagansiapiapi berkecamuk dengan sangat tragis. Nyawa tak lagi berharga di tengah kobaran emosi yang menyala. Dalam kurun waktu yang sangat singkat, sejak Maret hingga September 1946 peristiwa ini telah merenggut kurang lebih 2.500 jiwa warga Indonesia dan etnis Cina.

 

Konon, representasi etnis Cina di Bagansiapiapi yang melebihi separuh komunitas warga Indonesia menjadi pemicu konflik, di samping kurangnya komunikasi, provokasi, primordialisme, serta tindakan emosional akibat kesalahpahaman (hlm. vi). Tak heran, komposisi penduduk yang tidak seimbang ini menjadikan Bagansiapiapi bagaikan tanah air tersendiri bagi etnis Cina kala itu. Sehingga, ketika bara kemerdekaan tengah membuncah ke dalam jiwa bangsa Indonesia, sikap dan perbuatan warga Cina di Bagansiapiapi justru dianggap melecehkan kemerdekaan dan kedaulatan pemerintah Indonesia (hlm.15).

 

Peristiwa ini memberi pemahaman kepada kita bahwa warga pribumi di Bagansiapiapi sesungguhnya merasa terasing di negeri sendiri. Berdasarkan data yang dihimpun Sudarno, terungkap bahwa semua pokok perekonomian ada di tangan etnis Cina, mulai dari mata pencaharian sebagai nelayan, petani, kuli, tongkang-tongkang yang ribuan jumlahnya, hingga komponen cerdik pandai (hlm.101). Oleh sebab itu, Sudarno mengungkapkan bahwa komponen masyarakat yang tidak imbang antara warga pribumi dengan etnis Cina di Bagansiapiapi membutuhkan penanganan dan kebijakan khusus. Dalam konteks ini, menjaga harmoni dan harga diri bangsa Indonesia harus dikedepankan. Melalui peristiwa ini, kita dapat memetik makna bahwa simbol dan identitas kesukubangsaan yang bermuara pada etnosentrisme tertentu kerap menyimpan bahaya laten yang siap meledak.

 

Buku ini menghadirkan fakta-fakta kelam sejarah masa lalu disertai sumber informasi yang cukup akurat. Catatan-catatan sejarah dihimpun dengan lengkap dan rapi. Tanggal dan pelaku sejarah didokumentasikan secara apik dengan bentuk penyajian yang informatif. Buku ini sengaja dihadirkan agar kita tak lagi mengulang sejarah kelam kerusuhan antaretnis, tak lagi menyanjung tinggi identitas kesukuan, tak lagi memandang rendah etnis lain, dan tak lagi merasa terancam dengan kehadiran etnis yang berbeda di lingkungan sosial kita. Setidaknya, peristiwa ini mengingatkan kita pada kerusuhan serupa di Jakarta pada tahun 1998 yang melibatkan warga Indonesia dan etnis Cina.

 

Buku ini dapat menambah pemahaman bagi masyarakat Indonesia, terutama menyangkut hubungan warga Indonesia dengan etnis Cina. Di dalamnya terselip pesan bahwa sebagai bagian dari masyarakat, kita harus mawas diri, menahan diri, menjaga marwah negeri, serta mengembangkan sikap apresiatif terhadap kebudayaan lain di negeri tercinta ini.

 

Sebagaimana kata pengantar oleh penerbit dalam buku ini, bahwa dinamika kehidupan, arus budaya, serta keterikatan sebuah suku bangsa menjadi begitu berarti ketika sebuah etnik di ceruk negeri asing terbangkitkan semangat primordialismenya, disebabkan oleh dominasi penduduk dan ekonominya. Kiranya, kaum perantauan juga perlu bercermin dan menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Seperti bunyi petuah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

 

Semoga buku ini mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman yang lebih arif dalam menyelami fenomena kemajemukan bangsa. Dengan demikian, apresiasi budaya dapat menafikan stereotipe terhadap etnis yang berbeda, sehingga mampu menenggelamkan semangat primordialisme. ***

 

Oleh : Nanum Sofia (Mahasiswi S2 Psikologi UGM)

 

Sumber:

 

 

https://www.demokrasi.co.id/2016/10/peristiwa-bagansiapi-api-konflik.html?m=1

 



[1] Ada sumber yang menyebut, pemerintah India Belanda menyerah kepada tentara Jepang tanggal 8 Maret 1942.