KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA
(KUKB)
Pada 5 Mei 2005, para aktifis Komite
Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) mendirikan Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB). Pengambilan nama “Utang Kehormatan” terinspirasi
oleh tulisan Dr. Theodor van Deventer –mantan pengacara di Semarang- tahun 1899
di majalah “de Gids” di Belanda
dengan judul “Een Ereschuld” (Satu
Utang Kehormatan), yang isinya merupakan kritik terhadap praktek-praktek
kolonialisme Belanda di Bumi Nusantara.
Tulisan tersebut mendorong
Pemerintah Belanda merubah kebijakan di tanah jajahannya, India-Belanda.
Kebijakan baru tersebut dinamakan “Politik Etis” (Ethische politiek), di mana kemudian dimulai memberikan pendidikan
yang lebih luas untuk pribumi, yang sebelum itu hanya dinikmati oleh segelintir
elit pribumi yang mendukung Belanda.
Tujuan kegiatan KUKB bukanlah
untuk membalas dendam, melainkan untuk mewujudkan suatu REKONSILIASI
YANG BERMARTABAT (Reconciliation
with dignity) antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda yang saling mengakui dan menghargai.
Hal ini pertama kali kami
sampaikan kepada Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Baron Schelto van
Heemstra, ketika kami sebagai pimpinan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa
Indonesia, pada 3 April 2002 diundang beliau ke Kedutaan Besar Kerajaan Belanda
di Jakarta. Tujuan rekonsiliasi ini juga kami sampaikan kepada Bert Koenders
dan Angelien Eijsink, anggota Parlemen dari Partij van de Arbeid, ketika
pimpinan KUKB bertemu dengan mereka di Gedung Parlemen Belanda pada 19 Desember
2005, demikian juga dalam surat elektronik (email) KUKB kepada Krista
van Velzen, anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis kami sampaikan tujuan
kegiatan KUKB.
Adalah suatu kenyataan, bahwa
–disukai atau tidak- hubungan Indonesia dengan Belanda telah terjalin lebih
dari 400 tahun. Selain banyak sisi negatif bagi bangsa yang terjajah, tak perlu
dipungkiri, bahwa juga ada sisi potitif dari masa penjajahan Belanda, yang di
beberapa daerah berlangsung lebih dari 300 tahun. Juga perlu diingat, bahwa
banyak orang Belanda yang sejak lebih dari 100 tahun lalu membela pribumi
terjajah seperti Dr. Theodor van Deventer, Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Prof. Wim Wertheim, berjuang di pihak bangsa Indonesia
secara politis seperti Dr. Francois Eugene Douwes Dekker (Setia Budi), dan
bahkan dalam perjuangan fisik seperti yang dilakukan oleh H. Poncke Princen.
Juga belakangan ini, di Belanda
banyak orang Belanda yang tetap bersimpati kepada bangsa Indonesia dan terbuka
untuk dialog secara jujur mengenai masa lalu hubungan Indonesia – Belanda,
terutama generasi muda Belanda, yang menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai
beban.
Namun Pemerintah Belanda sendiri
sebagai institusi, hingga saat ini tetap tidak mau mengakui kemerdekaan
Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan
Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) kepada
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini digarisbawahi oleh Menlu Ben Bot dalam wawancara
di Televisi Indonesia pada 19 Agustus 2005, di mana dia mengatakan, bahwa: “
... and recognition is something you can only
do once … so the transfer of sovereignty took place in 1949…”
Pada 20 Mei
2005, KUKB menyampaikan petisi kepada Pemerintah Belanda, yang isinya menuntut
Pemerintah Belanda untuk:
- Mengakui de jure Kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
- Meminta maaf kepada Bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan pelanggaran HAM Berat, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
- Bertanggungjawab atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
KUKB
membedakan antara sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Belanda, dan sikap
sebagian masyarakat Belanda terhadap Indonesia yang tidak hanya mendukung
pengakuan terhadap kemerdekaan RI 17.8.’45, melainkan juga mendukung pemberian
kompensasi kepada Indonesia.
Tuntutan
KUKB ini ditujukan kepada Pemerintah Belanda, dan bukan kepada bangsa Belanda,
juga bukan kepada mantan tentara Belanda, yang melakukan berbagai tindak
kejahatan dan pelanggaran HAM lain di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. KUKB
berpendapat, bukan hanya rakyat Indonesia yang menjadi korban agresi militer
Belanda, yang dilakukan setelah Perang Dunia II selesai, dan setelah
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan, melainkan tentara Belanda yang
dikirim untuk berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, juga merupakan
korban dari politik yang salah yang dijalankan Pemerintah Belanda waktu itu.
Juga
tidak dilupakan para Indonesië weigeraars,
yaitu para pemuda Belanda, yang antara tahun 1946 – 1949 menolak untuk
berperang di Indonesia, sehingga lebih dari 1200 orang dijatuhi hukuman penjara
atas pembangkangan mereka, dan mungkin ribuan lainnya melarikan diri ke luar
Belanda atau bertahun-tahun menyembunyikan diri karena menolak perang kolonial
Belanda waktu itu.
REKONSILIASI
YANG BERMARTABAT yang kami maksud adalah, bukan hanya sekadar bersalaman dan
saling memafkan, melainkan juga pemulihan kehormatan bagi semua, yang berarti:
- Pengakuan resmi –de jure dan bukan hanya de facto- terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17.8.1945,
- Pemulihan kehormatan para Indonesië weigeraars (pembangkang perang di Indonesia) di Belanda,
Menlu
Belanda Ben Bot dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 mengakui
bahwa: “In retrospect,
it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of
history.”
Kebijakan yang
menempatkan Belanda pada “sisi yang salah dari sejarah”, telah memakan banyak
korban di kedua belah pihak.
KUKB juga
sepakat dengan pernyataan beliau, bahwa : “ … Although painful memories never go away, they must not be allowed to
stand in the way of honest reconciliation…”
Namun,
pernyataan-pernyataan tersebut hanya akan menjadi lip services, apabila tidak diikuti langkah-langkah nyata dan
tegas. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Belanda sebagai institusi
yang bertanggungjawab -yang telah mengakui menjalankan politik yang salah-
memperbaiki kesalahan dengan mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia adalah 17
Agustus 1945, meminta maaf dan memberi kompensasi kepada para korban dari
kebijakan politik yang salah tersebut.
*****
Susunan Pengurus KUKB
Dewan Penasihat
Ketua :
Lakma TNI AL (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc
Lakma TNI AL (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc
Anggota :
Mayjen TNI (Purm.) Soebiantoro, Angkatan ’45
Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, Angkatan ‘45/Wakil Ketua Umum LVRI
Mayjen TNI (Purm.) Soebiantoro, Angkatan ’45
Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, Angkatan ‘45/Wakil Ketua Umum LVRI
Suyatno Yosodipoero, Angkatan .45
Ir. Salahuddin Wahid,
A.M Fatwa, Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Leonard Tobing, Mantan Duta Besar RI untuk
Republik Ceko.
Marsekal Muda TNI (Purn.) Ir. Hasian Siregar,
MSc, MM
Dr. Saafroedin Bahar, manta Komisioner KOMNAS HAM/Widyaiswara LEMHANNAS
RI
Drs. Daeng M. Soleh
Dra. Irna H.N. Hadi Soewito
Para pendiri dan aktifis KUKB yang telah meninggal dunia
Alm. Hj. Lukitaningsih Irsan Rajamin, Angkatan ‘45
Alm. Mayjen TNI (Purm.) KRMH Jono Hatmodjo, Angkatan ‘45
Alm. H.M.S. Tadjoedin SH, Angkatan ‘45
Alm. Mayjen TNI (Purn.) E.W.P. Tambunan, Angkatan ‘45
Alm. Laksamana Madya TNI (Purn.) Wahyono SK, PhD
Alm. Abdul Irsan, SH., Mantan Duta Besar RI untuk
Kerajaan Belanda
Alm. Ir. Nuli S. Diapari
Pengurus Harian
Ketua :
Batara R. Hutagalung (Pendiri KUKB)
Wakil Ketua : Bambang Sulistomo
Wakil Ketua : Bambang Sulistomo
Sekretaris : Ir. Teuku Agam Saifudin
Bendahara :
Dipl. Ing.- Deddy Toekan
Wakil Bendahara :
Thomas Nuliater
Public Relations :
Shuniyya Ruhama H
Dokumentasi :
Panca Syurkani
Ananda Karunia
Penasihat Hukum : Martin Basiang, SH., mantan Jaksa Agung Muda RI
(non struktural)
indonesia tidak mengakui pluralisme?......coba diteliti lagi, secara tekstual dalam undang-undang mungkin iya. tapi coba liat dalam realitanya.......
ReplyDeletePak Batara,
ReplyDeletekapan ada kesempatan membagi catatan ini bersama para siswa-siswi kami di Lamongan?? Kesaksian seperti ini akan memperkaya wacana keIndonesiaan para pelajar. Daripada sekadar baca sejarah yang tertulis di buku teks wajib sekolahan ---yang kadang sudah bias oleh kepentingan politik dan bisnis sesaat--
ditunggu segera Pak Batara rawuhnya.
salam revolusi nan voluntary,
Gus Adhim
Jl. Raya Desa Turi 61 Rt/Rw 01 Kec. Turi
Lamongan 62252 Jawa Timur
0322-324471