“Jenderal” Naga Bonar Bukan Cerita Fiktif
Cerita ringan dari sejarah perang mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia
Catatan Batara R. Hutagalung
Masih ingat cerita Jenderal Naga Bonar?
Kisah seperti ini bukanlah suatu karangan fiktif,
melainkan menggambarkan situasi setelah proklamasi kemerdekaan RI pada
17.8.1945, di mana sebelum terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI),
kelompok-kelompok masyarakat/pemuda membentuk sendiri berbagai laskar dan
pasukan bersenjata serta menentukan sendiri pangkat yang mereka sandang.
Ternyata banyak sekali yang tidak mengetahui sejarah
pembentukan dan perkembangan TNI antara tahun 1945 – 1950, dan bukan hanya
masyarakat sipil saja, melainkan juga di kalangan TNI sendiri, bahkan juga
perwira-perwira tinggi TNI banyak yang “buta” sejarah.
"Jenderal" Naga Bonar
Diperankan oleh Deddy Mizwar.
Latar
Belakang Sejarah
Setelah para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945
menyatakan berdirinya Republik Indonesia, dan kemudian pada 18 Agustus mengangkat
Ir. Sukarno sebagai Presiden serta Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden, dirasakan
perlunya republik yang baru ini memiliki tentara atau pasukan untuk pertahanan
Negara dan kepolisian untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
ketenteraman. Untuk
pembentukan organisasi bersenjata Republik Indonesia timbul perbedaan pendapat
yang hangat.
Walau pun tentara Jepang telah melucuti persenjataan yang
telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh
pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di
Indonesia
mulai mengambil alih kepemimpinan, baik
pemerintahan sipil maupun militer.
Setelah Jepang secara resmi menandatangani dokumen
Menyerah-Tanpa-Syarat pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missouri di
Tokyo Bay, pada 10 September 1945 pemerintahan militer Jepang di Indonesia
menyatakan, bahwa mereka akan menyerahkan wewenang kepada tentara Sekutu, dan
tidak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Langkah ini mengakibatkan rasa
permusuhan terhadap Jepang bangkit kembali dan mulai timbul ketegangan antara
rakyat Indonesia dengan
tentara Jepang, sedangkan tentara Sekutu belum datang di Indonesia . Ketidakpercayaan rakyat
kepada tentara Jepang bermuara pada
pengambilalihan pemerintahan serta perebutan senjata dari tentara Jepang.
Perebutan senjata secara besar-besaran dari tentara Jepang
di berbagai kota di Indonesia dimulai sekitar akhir
bulan September 1945. Reaksi dari pimpinan Jepang berbeda-beda. Panglima
Tentara Jepang di Jawa Barat, Mayor Jenderal Mabuchi, bertindak sebagaimana
yang digariskan oleh pimpinan Angkatan Darat Jepang (Rykugun), yaitu tidak mendukung proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Dengan tipu muslihat, pada tanggal 9 Oktober 1945, dia menangkap
pimpinan pemuda dan mempermalukan mereka dengan membawa mereka keliling kota dalam tank-tank
Jepang. Tanggal 10 Oktober, Mabuchi memerintahkan untuk melakukan razzia dan
menyita kembali semua senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia . Ketika beberapa hari
kemudian Brigadir Jenderal
MacDonald memimpin Brigade 37 (Brigade Gurkha) masuk ke Bandung, keadaan di
dalam kota telah tenang kembali, berkat tindakan Mabuchi.
Berbeda dengan Angkatan darat Jepang, banyak perwira tinggi
Angkatan Laut Jepang, seperti L:aksamana Maeda, sangat bersimpati dengan
Indonesia, dan bahkan membantu pimpinan Indonesia.
Di beberapa kota
di Jawa Tengah, sikap pimpinan Jepang juga beragam. Di Magelang, walaupun wakil
RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of
War and Internee) Inggris, Letkol Tull melancarkan protes, tanggal 5
Oktober 1945 Jenderal Junji Nakamura mulai menyerahkan sejumlah besar senjata
kepada rakyat Indonesia, dan bahkan tanggal 6 Oktober 1945, tentara Jepang
menyerahkan wewenang atas kota tersebut kepada pimpinan Republik Indonesia, dan
mereka pindah ke Ambarawa untuk diinternir.
Situasi di Semarang
berbeda dengan penyerahan wewenang di Magelang. Sikap tidak percaya pemuda Indonesia
kepada Jepang, dipicu oleh berita mengenai tindakan Mayor Jenderal Mabuchi di
Bandung. Ketika Jenderal Nakamura ke luar dari Magelang, dia juga menyediakan
pengawal bersenjata untuk membantu Letkol Tull memindahkan tahanan dari
kamp-kamp interniran besar dekat Magelang dan Ambarawa untuk dibawa ke Semarang . Berita-berita
mengenai teror yang dilakukan oleh bekas interniran Belanda dan Indo terhadap
pihak Indonesia di berbagai kota, terutama Jakarta dan insiden bendera di
Surabaya tanggal 19 September 1945, memperbesar kecurigaan pemuda Indonesia,
bahwa ada konspirasi antara Jepang dan Inggris untuk membantu Belanda kembali
berkuasa di Indonesia.
Di Surabaya terjadi perebutan senjata dari tangan tentara
Jepang secara besar-besaran, dan menelan korban jiwa yang sangat besar di kedua
belah pihak. Para pemuda di Surabaya bahkan menyerang markas besar Kempeitai, polisi militer Jepang yang di
masa pendudukan Jepang sangat kejam dan ditakuti oleh rakyat. Senjata yang direbut
dari tangan Jepang terdiri dari senjata ringan sampai senjata berat, seperti
tank, meriam-meriam besar dan bahkan pesawat terbang. Setelah itu, sekitar
30.000 pemuda di Surabaya dan sekitarnya memiliki senjata. Bahkan pimpinan di
Surabaya dapat mengirim 4 gerbong senjata ke Jakarta dan satu gerbong ke
Yogyakarta.
Waktu itu TNI masih mengikuti sistim kepangkatan Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal. Setelah tahun 50-an, TNI mengkuti sistim kepangkatan Inggris, dan sejak itu baru diberlakukan pangkat Brigadir Jenderal di TNI.
Sebelum
dilakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) di TNI tahun 1948 banyak
terdapat Mayor Jenderal dan Laksamana. Setelah Hijrah Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang mencatat,ada sekitar 60 orang dengan Pangkat Mayor Jenderal dan Laksamana. Setelah pelaksanaan Re-Ra, SEMUA TURUN
PANGKAT. Rata-rata turun sampai dua tingkat. Bahkan ada yang turun dari Jenderal Mayor menjadi Mayor.
Waktu itu TNI masih mengikuti sistim kepangkatan Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal. Setelah tahun 50-an, TNI mengkuti sistim kepangkatan Inggris, dan sejak itu baru diberlakukan pangkat Brigadir Jenderal di TNI.
Bulan
Desember 1947 Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin Harahap menyusun konsep
untuk Re-Ra. Namun dia meletakkan jabatannya setelah persetujuan Renville, dan
diganti oleh Drs. M. Hatta. Pelaksanaan Re-Ra dilakukan oleh Kabinet Hatta.
Yang
tidak mau diturunlan pangkatnya, mengundurkan diri dari dinas ketentaraan, dan pensiun
dengan pangkat terakhirnya.
Setelah
Jenderal Sudirman meninggal Januari 1950, TNI tidak memiliki seorang pun dengan
pangkat Jenderal. Pangkat tertinggi di TNI adalah kolonel. Kepala Staf Angkatan
Perang (KSAP), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), para Panglima Divisi, semua
berpangkat kolonel.
Sampai
tahun 1950, pangkat tidak penting. Yang penting adalah jabatan seseorang.
Komandan Sub-Wehrkreis ada yang mayor, dan ada yang letnan. Ketika serah-terima
perlengkapan KNIL ke TNI bulan Januari 1950, kepala delegasi adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung,
yang menjabat sebagai Kepala Staf ‘Q” (logistik) sedangkan wakilnya adalah Kolonel GPH Jatikusumo, yang sampai bulan November 1949 adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD).
Di masa pembentukan BKR/TKR, tokoh-tokoh masyarakat
yang merasa memiliki banyak pengikut, membentuk pasukan atau laskar, dan
mengangkat dirinya menjadi perwira-perwira, walaupun mereka sebelumnya tidak
memiliki latar belakang militer, seperti mantan anggota KNIL, Heiho atau PETA, ataupun badan-badan keamanan
lain bentukan Jepang. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ada yang mengangkat
dirinya menjadi Laksamana ataupun Jenderal, seperti dalam kisah Jenderal Naga
Bonar.
Batara Hutagalung menjadi Narasumber dalam Diskusi Publik di FISIP Pasca Sarjana UNPAD,
Bandung (Dago) 26 Mei 2016,
Pembahas: Prof. Dede Mariana dan DR Reza Dienaputra
Dihadiri oleh Wagub Jawa Barat, Deddy Mizwar.
Kebanyakan laskar-laskar itu tidak memiliki senjata,
atau kalaupun ada, rasio jumlah senjata dengan jumlah pasukan satu berbanding
lebih dari sepuluh. Artinya satu senjata peninggalan atau yang dirampas dari
tentara Jepang, untuk sepuluh orang atau lebih.
Setelah Re-Ra, yang menyandang pangkat perwira
tinggi hanya tinggal dua orang, yaitu Letnan Jenderal Sudirman, yang adalah
Panglima Besar/Kepala Staf Angkatan Perang, dan Mayor Jenderal Oerip
Soemohardjo, Kepala Staf Umum. Pada waktu itu, TNI masih mengikuti sistim
kepangkatan tentara Belanda, yang tidak mengenal pangkat Brigadir Jenderal.
Setelah Oerip Soemohardjo (akhir 1949) dan Sudirman (Januari 1950) meninggal,
TNI tidak memiliki seorang perwira tinggi dengan pangkat Jenderal. Pangkat
tertinggi waktu itu adalah kolonel.
Di
Surabaya, setelah selesai pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober 1945, sebagai
hasil perundingan Sukarno-Hawthorn, disepakati untuk membentuk suatu joint committee (komisi bersama) yang terdiri dari wakil-wakil
Republik dan Sekutu. Ruslan Abdulgani ditunjuk sebagai salah seorang yang
mewakili Republik di badan tersebut. Karena counterpartnya
adalah seorang Kapten, Ruslan Abdulgani menuturkan bagaimana “lahirnya” seorang
kapten (Lihat: Batara R. Hutagalung, 10
November ’45. Mengapa Inggris membom Surabaya?, Millenium Publisher,
Jakarta, 2001, hlm. 244 – 245.
Disampaikan oleh Roeslan Abdulgani dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back
Ground and Consequences” di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000.):
Seminar Internasional di LEMHANNAS RI, 27.10.2000
Dari kanan: Ruslan Abdulgani, Batara R. Hutagalung (Moderator), Richard Gozney (Duta Besar Inggris)
“Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
“Ndak duwé opo-opo”,
(Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten”,
because Shaw
is a Captain, I should also be a Captain,
terus lapor nanggoné Mustopo. (karena
Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor ke tempat
Mustopo)
“Mus!”,
“Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno
kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
“Kenopo!”,
(mengapa)
“Ngadepi Kapten!”,
(menghadapi kapten!)
“Dadékno kono!”
(jadikan sana !)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang
tiga. Baru saya ngerti kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak,
engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red), letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau
ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat- pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel,
kamu yang harus gini)
“Nék podo kapten?”,
(kalau sama-sama kapten?)
“Menengo waé!” (Ya
diam saja!)
Maafkan saudara, a
Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
Demikian tutur Ruslan Abdulgani.
Catatan:
KMA = Koninklijke Militaire Academie (Akademi
Militer Kerajaan Belanda).
CORO = Corps Opleiding Reserve Officieren
(Korps Pendidikan Perwira Cadangan)
Tulisan
ini dikutip dari:
- Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris membom Surabaya?, Millenium Publisher, Jakarta, 2001. 472 halaman.
- Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949, Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010. 742 halaman.
-
Kawilarang, Alex E., Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
*******
No comments:
Post a Comment