Kontroversi HUT Jakarta
22 JUNI APA YANG DIRAYAKAN?
Renungan Jakarta
Catatan Batara R.
Hutagalung
Pendahuluan
Selama puluhan tahun, polemik mengenai Hari Ulang Tahun KOTA Jakarta hanya
seputar penetapan tanggalnya, yaitu tanggal 22 Juni. Namun tidak pernah ditanyakan, apakah tanggal 22 Juni 1527 adalah hari berdirinya kota, atau pemberian nama kota?
Dalam situs resmi DKI Jakarta, ditulis bahwa:[1]
”... Kota ini (Sunda Kalapa –pen.) kemudian diserang oleh seorang muda
usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa.
Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527.
Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.
Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai
Jayakarta...”
Dari kalimat tersebut di atas telah terdapat
kontroversi mengenai hari lahir KOTA Jakarta, yaitu:
1. “…
KOTA ini kemudian diserang …”
2. “…
Fatahillah mengubah nama SUNDA KALAPA…”
Kalimat tersebut jelas menyatakan, bahwa ada
KOTA yang diserang, yang kemudian diganti NAMAnya. Berarti kalau disebutkan
sebagai hari lahir KOTA Jakarta sangat salah, karena sebelum diganti namanya,
KOTA tersebut telah ada (eksis). Selain itu, nama kota Sunda Kalapa diganti
menjadi JAYAKARTA, bukan JAKARTA.
Arti Jayakarta berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya adalah KOTA KEMENANGAN. Penaklukkan Sunda Kalapa
bagi banyak orang dianggap sebagai peng-Islaman penduduknya yang sebelumnya
beragama Hindu, karena kota tersebut berada di wilayah kekuasaan Kerajaan
Pajajaran yang beragama Hindu.
Prasasti Tugu
Beberapa bukti menunjukkan, bahwa di tempat
yang sekarang berdiri KOTA yang dinamakan Jakarta, telah terdapat pemukiman
penduduk sebelum abad ke 5. Bahkan kota tersebut merupakan Ibukota suatu
kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti tertua di wilayah
Jakarta sekarang, yang dinamakan Prasasti Tugu. Prasasti ini diperkirakan
berasal dari abad ke 5, yang ditemukan di daerah Tugu dekat Gereja Tugu,
Jakarta Utara. Bunyi tulisan yang tertera di atas batu tersebut adalah
(terjemahannya):
Dahulu atas
perintah rajadhiraja Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang menonjol dalam
kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua
pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Chandrabhaga
setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.
Penggalian itu dimulai pada hari ketigabelas bulan terang bulan Caitra, selama
dua puluh satu hari.
Saluran baru dengan
air jernih bernama Sungai Gomati mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui
asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para
pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi.[2]
Purnawarman
adalah raja dari kerajaan Tarumanegara yang beragama Hindu. Apabila
terjemahannya memang benar, maka telah tertera pada prasasti tersebut, bahwa
pemukiman di mana prasasti ini ditemukan adalah IBUKOTA negara tersebut.
Mengenai nama SUNDA sendiri, baru tertera pada prasasti yang ditemukan di dekat
Ciampea (Leuwiliang), yang dinamakan Prasasti Kebon Kopi II, yang diperkirakan
berasal dari tahun 926/932 M.
Kerajaan Tarumanegara kemudian
digantikan oleh Kerajaan Pakuan Pajajaran, dengan perkiraan ibukotanya adalah
Bogor sekarang. Agama yang dianut juga agama Hindu. Dengan demikian, penduduk
asli Sunda Kalapa, atau Jakarta sekarang adalah etnis Sunda yang beragama Hindu,
atau sebagian terbesar beragama Hindu, di samping agama asli masyarakat Sunda sebelum masuknya agama
Hindu.
Dari teks di Prasasti tersebut terungkap, bahwa sejak abad 5, Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kalapa, juga sudah mengalami banjir, sehingga Raja Tarumanegara memerintahkan untuk membuat sodetan sungai.
Dari teks di Prasasti tersebut terungkap, bahwa sejak abad 5, Jakarta yang dahulu bernama Sunda Kalapa, juga sudah mengalami banjir, sehingga Raja Tarumanegara memerintahkan untuk membuat sodetan sungai.
Dalam
tulisan ini tidak digunakan sumber dari Naskah Pangeran Wangsakerta, karena
masih sangat kontroversial. Sangat banyak pakar sejarah dan arkeologi yang menyatakan,
bahwa Naskah Wangsakerta tersebut palsu, karena ditulis setelah tahun 1960-an.
Catatan Tome Pires
Portugis
telah berhasil menguasai Malakka tahun 1511. Pada tahun 1522 Gubernur Portugis
d’Albuquerque yang berkuasa di Malakka mengirim utusannya, Enrique Leme yang
didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Pakuan Pajajaran, Sangiang
Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan dan perdagangan antara
Pajajaran dan Portugal. Hal ini ditulis oleh Tome Pires dalam catatan
hariannya.
Padrao (Prasasti) perjanjian kerjasama Raja Pajajaran dengan Portugis
Teks perjanjian Raja Pajajaran, Surawisesa dengan Portugis
Diperkirakan,
langkah ini diambil oleh raja Sunda guna memperoleh bantuan dari Portugal dalam
menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa
kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini
sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, tidak ada tentara tentara Portugis di Sunda Kalapa. 3 kapal Portugis yang datang setelah kejatuhan Sunda Kalapa, tidak mengetahui bahwa Sunda Kalapa telah dikuasai oleh Kesultanan Demak.
Tidak ada sumber yang dapat
menyebutkan dengan tepat dan rinci mengenai peristiwa penyerbuan tersebut. Yang
ada hanya berita yang ditulis oleh orang Portugis Joao de Barros, yang mulai
menulis tahun 1531, namun tulisan mengenai Sunda Kalapa baru diterbitkan tahun
1615. Dalam tulisan Barros ini pula pertama kali disebutkan nama Jayakarta,
yang ditulisnya sebagai Xacatara.
Beberapa sumber menyebutkan, bahwa
penyerangan dilakukan oleh pasukan Demak-Cirebon, namun menurut Prof. Slamet
Muljana, Kesultanan Cirebon didirikan oleh Fatahillah,[3] setelah
merebut Sunda Kalapa tahun 1526, di mana dia kemudian diangkat menjadi Sultan
di Banten. Nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta, yang artinya ‘Kota
Kemenangan’ atau ‘Kota Kejayaan.’[4] Setelah
Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di
bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.[5]
Mengenai penetapan tanggal perubahan
nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta, ada dua pendapat dari pakar sejarah. Prof.
Mr. Dr. Sukanto, yang pada tahun 1954 menerbitkan buku dengan judul “Dari Djakarta
ke Djajakarta” memperkirakan, bahwa nama Jayakarta (Djajakarta) diberikan pada
bulan Juni tanggal 22 tahun 1527, namun dia menambahkan: “…Harinya yang pasti kita tidak dapat menentukannya…”[6]
Namun pendapat Prof. Sukanto
mendapat tentangan. Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Dr. Hussein Djajadiningrat,
yang memperkirakan, bahwa perubahan nama dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta
dilakukan pada 17 Desember 1526.[7] Keduanya
menghitung berdasarkan kalendar Islam.
Adolf Heuken menyatakan, bahwa tidak
ada bukti yang kuat yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan, bahwa
ada perubahan nama yang dilakukan oleh Ftahillah setelah menduduki Sunda
Kalapa, apalagi untuk menentukan tanggal pemberian nama tersebut. Heuken
menemukan, bahwa 50 tahun setelah jatuhnya Sunda Kalapa ke tangan pasukan dari
Demak, nama Sunda Kalapa masih digunakan. selain itu Heuken juga meragukan, Fatahillah yang konon keturunan Arab yang lahir di Gujarat, India dan beragama Islam, mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta, artinya Kota Kemenangan, yang berasal dari bahasa Sansekerta yang digunakan oleh umat Hindu.
Jayakarta, Jajahan Belanda Pertama
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda. Bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis atau rumah Nassau.
Ketika
Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan
lagi bangunan serupa Nassau Huis yang
dinamakan Mauritius Huis. Dia
kemudian membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam.
Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi
areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang
kokoh.
Dari
basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, dan
membumihanguskan keraton serta seluruh pemukiman penduduk diratakan dengan
tanah. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Horn, namun de Heeren
Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang
bermukim di tepi Sungai Rhein yang
kini dihuni oleh orang Belanda.
Pada
4 Maret 1621 penguasa VOC resmi mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, yang digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa,
Jayakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Tanggal 30 Mei 1619
dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di Batavia, yang resmi berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan
menyerahnya Pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Panglima
Tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, Letnan Jenderal Hein ter Poorten
menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender) kepada balatentara Dai Nippon, dan menyerahkan jajahan Belanda kepada Jepang.
Setelah Jepang menguasai seluruh
wilayah bekas jajahan Belanda, Jepangpun melakukan penggantian nama-nama Belanda
menjadi nama Jepang, seperti nama jalan, bangunan/hotel, dll. Untuk mengambil
hati rakyat di bekas jajahan Belanda, pada 8 Agustus 1942 Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta Tokubetsu Shi,
yang artinya adalah Kota Istimewa Jakarta.
Tidak dijelaskan mengapa diganti menjadi
Jakarta, dan bukan nama sebelum Batavia,
yaitu Jayakarta. Kemungkinan penulisan/penyebutan nama ini berdasarkan
penyebutan dari masa Purtugis atau Belanda, yang menyebut Jayakarta sebagai Xakatra atau Jakatra. Telah sering
terjadi, penulisan sesuatu nama oleh orang asing menjadi berubah, seperti Holland menjadi Belanda, France menjadi Prancis, Passer Baru (tertera di gerbang masuk
jalan) kemudian dikenal sebagai Pasar Baru. Juga kata dari bahasa Sansekerta Mahardikka menjadi Mardijker lalu berubah menjadi MERDEKA!
” ...Jakarta bermula dari sebuah
bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama
berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan
internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit
melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan
mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat
dikatakan sangat sedikit.
Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa,
yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda,
beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan
kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang
Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa.
Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari
sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda
Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini
diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada
akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.
Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
* Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
* 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
* 4 Maret
1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
* 1 April
1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
* 8 Januari
1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 8 Agustus
1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
* September
1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
* 20
Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 24 Maret
1950 diganti menjadi Kota Praja Jakarta.
* 18
Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya...”
Demikian sejarah Kota Jakarta,
sebagaimana tertera di situs resmi DKI Jakarta.
Penetapan 22 Juni sebagai HUT Jakarta
Mengenai
hal ini, mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo menuturkan:[9]
“… Jawabannya perlu dicari dalam dua hal, yaitu:
penggagas ide dan penetapan tanggal 22 Juni itu. Penggagas ide adalah Sudiro
yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya. Kemudian pada tahun
1958 jabatan Sudiro adalah Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kotapraja Jakarta
raya. Sudiro memegang jabatan ini sampai tahun 1960.
Sebagai petinggi yang mengurus ibukota negara Republik
Indonesia Sudiro berkeinginan agar warga Jakarta dapat merayakan ulang tahun
kota-nya dengan meriah setiap tahun. Paling tidak ada perayaan yang dinikmati
bersama oleh semua orang yang menjadi penduduk Jakarta. Pada awal tahun 1954 ia
menghubungi beberapa orang ahli sejarah, di antaranya: Mr. Muh. Yamin, Sudarjo
Tjokrosisworo (wartawan senior) dan Mr. Dr. Sukanto. Kepada mereka diminta
kesediaan untuk meneliti kapan kota Jakarta didirikan. Permintaan ini jelas
mengacu kepada kota Jakarta dan bukan Batavia yang didirikan oleh Jan
Pieterszoon Coen.
Dari ke tiga orang yang diminta, hanya Mr. Dr. Sukanto
yang menyambut baik dan menuliskan hasil penelitiannya berjudul Dari Djakarta
ke Djajakarta. Buku ini terbit pada akhir tahun 1954 sebagaimana dicantumkan
dalam kata pendahuluan, sedangkan kata pengantar ditulis oleh Walikota Sudiro.
Sukanto yang waktu itu adalah juga Kepala Arsip Negara
(sekarang Arsip Nasional RI) mengambil ancang-ancang tanggal pendirian
Djajakarta oleh Falatehan dalam menentukan hari ulang tahun kota Jakarta. Ia
berkesimpulan hari itu adalah tanggal 22 Juni 1527. Maka dengan Surat Keputusan
tertanggal 23 Februari 1956 no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta
Raja menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta…
… Perhitungan kalender yang digunakan oleh Sukanto dan
Husein Djajadiningrat, yang diakui oleh ke duanya, masih bersifat perkiraan
teoritis. Jadi, penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari ulang tahun Jakarta
adalah sebuah ketetapan politik yang diambil dalam sidang Dewan Perwakilan Kota
Sementara Djakarta Raja atau DPRD Jakarta waktu itu. Seperti yang diakui oleh
Sudiro sendiri, bahwa dasar hukum penetapan tanggal tersebut diperlukan untuk
menghindari berbagai polemik yang akan timbul. Maka sejak tahun 1956 sampai
sekarang warga Jakarta merayakan ulang tahun kotanya setiap tahun, bahkan
perayaan itu menjadi lebih meriah dibandingkan dengan perayaan di masa Sukarno
berkuasa…”
Demikian
penuturan Fauzi Bowo dalam situsnya.
Kesimpulan
Mengenai tanggal penetapan ”Hari
Kelahiran Jakarta” adalah tanggal 22Juni 1527, masih sangat kontroversial,
karena pengusulnya sendiri tidak yakin mengenai tanggal tersebut, dan hanya
PERKIRAAN saja.
Juga kalau mau menetapkan sebagai
hari ulang tahun NAMA, juga salah, karena yang diperdebatkan oleh Prof.
Djajadiningrat dan Prof. Sukanto adalah penetapan tanggal penggantian nama dari
Sunda Kalapa menjadi JAYAKARTA, dan bukan JAKARTA.
Nama JAKARTA ditetapkan oleh
penguasa baru, Jepang, pada 8 Agustus 1942, sebagai pengganti nama dari
Belanda: Batavia.
Kalau dipandang dari eksistensi
pemukiman yang awalnya bernama Sunda Kalapa, jelas penetapan ‘Hari Jadi’ ini
salah, karena telah terbukti, bahwa pemukiman ini pernah menjadi IBUKOTA
Kerajaan Tarumanegara pada abad 5. Paling tidak, bukti yang sangat kuat, bahwa
sebelum tanggal 22 Juni 1527 telah ada kota yang bernama Sunda Kalapa, adalah
penyerangan pasukan Demak itu sendiri terhadap Sunda Kalapa yang waktu itu
adalah bagian dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.
Selain itu, sangat ironis apabila
tanggal penghancuran suatu kota/kerajaan di bumi Nusantara yang dilakukan oleh
pasukan dari kota/kerajaan lain yang juga dari Nusantara, ditetapkan sebagai
“Hari Kelahiran” kota yang dihancurkan tersebut. Pasukan penyerang dipimpin
oleh orang asing (Fatahillah), yang bukan dari Nusantara.
Asal-usul Fatahillah (Faletehan)
sendiri juga tidak jelas. Beberapa sumber menyebutkan bahwa dia keturunan Arab yang lahir di Gujarat, India. Kemudian dia menjadi pemimpin pasukan dari Kesultanan Demak,
yang mengalahkan Kerajaan Banten dan setelah itu menduduki Sunda Kalapa. Naskah Purwaka Caruban Nagari yang
diteliti oleh Prof. Slamet Mulyana menulis, bahwa Panglima Demak yang berasal
dari Pasai, yang berhasil menguasai Banten dan kemudian Sunda Kalapa tahun 1526
dan 1527 bernama Fadillah Khan. Menurut Prof. Slamet Muljana, nama lengkap
Fatahillah adalah Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar Ibrahim
al-Gujarat. Naskah Purwaka Caruban Nagari sendiri tidak menyebutkan adanya
pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Juga ada yang menyebutkan, bahwa tanggal 22
Juni adalah tanggal Fatahillah berhasil “mengusir” Portugis yang
beragama Kristen. Pendapat ini samasekali tidak memiliki latar belakang
sejarah, karena pada waktu itu tidak ada benteng Portugis, tidak ada tentara Portugis di Sunda Kalapa. Perjanjian kerjasama yang disepakati tahun 1522 antara Raja Pajajaran dengan Portugis belum terlaksana.
Apabila alasannya adalah penaklukan suatu
kerajaan Hindu oleh Kerajaan Islam, dan kemudian dilakukan Islamisasi
penduduk setempat, juga sangat tidak tepat, karena agama Hindu adalah satu dari
lima agama “resmi” yang diakui di Indonesia. Apakah tanggal 22 Juni termasuk "merayakan" pengIslaman ummat Hindu?
Juga jelas, bahwa Fatahillah tidak
dapat disebut sebagai ”pahlawan” untuk penduduk Sunda Kalapa, bahkan sebaliknya, Fatahillah adalah agresor yang menghancurkan Sunda Kalapa dan membunuh penduduknya.. Dia boleh disebut sebagai
pahlawan untuk kesultanan Demak.
Dari penjelasan Gubernur DKI waktu itu, Faizu Bowo, bahwa penetapan tanggal 22 Juni 1527 sebagai Hari Ulang Tahun Jakarta adalah KEPUTUSAN POLITIK, bukan berdasarkan fakta-fakta sejarah. hal ini menjadi sangat aneh, bahwa suatu peristiwa sejarah diputuskan secara politik. Bukan hanya tidak memperhatikan fakta sejarah saja, melainkan mengabaikan perasaan keturunan penduduk Sunda Kalapa, bahwa peristiwa kehancuran kota dan pembunuhan terhadap leluhur mereka, kiri "DIRAYAKAN" setiap tahun secara besar-besaran. Di zaman penjajahan, setiap tahun Belanda merayakan kemenangan atas Jayakarta setiap tanggal 30 Mei, yaitu ketika Jan Pieterszoon Coen mengalahkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Jadi penduduk Sunda Kalapa dan keturunannya, dua kali mengalami penghinaan. Yang pertama dari penjajah, dan yang kedua dari bangsa sendiri.
SAMPAI KAPAN?
Oleh karena itu menjelang tanggal 22 Juni timbul pertanyaan: “Apa yang akan dirayakan?”
SAMPAI KAPAN?
Oleh karena itu menjelang tanggal 22 Juni timbul pertanyaan: “Apa yang akan dirayakan?”
Sudah waktunya bangsa Indonesia terutama para pimpinan pemerintah DKI dan penduduk Jakarta jujur
terhadap sejarahnya!
PASSER BAROE Bukan Pasar Baru
Ketidak-cermatan
dalam melakukan penelitian, bukan hanya sebatas dalam menetapkan “Hari Jadi
Jakarta”, melainkan juga pengertian mengenai Pasar Baru, Selama puluhan tahun,
warga Jakarta hanya mengetahui, bahwa Pasar Baru memang pasar sejak dahulu.
Di WIKIPEDIA, yang
banyak menjadi rujukan sebagai sumber informasi juga ditulis, bahwa Pasar Baru
adalah Pusat Perbelanjaan Tertua di Jakarta. Di Wikipedia tertera: “Pasar Baru
adalah kawasan perdagangan yang berpusat di Jalan Pasar Baru, Kelurahan
Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar,
Jakarta Pusat.
Pusat perbelanjaan ini didirikan pada tahun 1820, dan merupakan pusat
perbelanjaan tertua di Jakarta.”
(lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Baru).
Gerbang Passer Baroe
Apabila dicermati tulisan yang tertera di Gerbang Masuk, tertera: “BATAVIA. PASSER BAROE. 1820.”
Pada waktu itu, tidak
banyak jembatan penyeberangan di Sungai Ciliwung. Selain itu, tempat penyberangan
juga berfungsi sebagai pos pemeriksaan surat jalan. Pribumi tidak dapat sesuka
hati berpergian dari satu daerah ke daerah lain, tanpa ada surat jalan dari
pejabat Negara di tempat tinggalnya.
Jadi yang didirikan
tahun 1820 bukanlah PASAR, melainkan PASSER, yaitu Jembatan Perliwatan,
sekaligus sebagai pos pemeriksaan surat jalan.
Sebagaimana biasanya, sejak TEMPO DOELOE sampai sekarang, di tempat-tempat yang banyak dilalui orang, atau kendaraan, di sana banyak didirikan tempat berjualan. Demikian juga halnya dengan PASSER BAROE.
Mardijkers
… MERDEKA
Sejak tahun 1640, di
wilayah kekuasaannya, VOC memberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Setelah VOC
dibubarkan pada 31 Desember 1799 dan semua wilayah dan kewenangannya diambil
alih langsung oleh pemerintah Belanda, maka Undang-Undang Perbudakan
dilanjutkan sampai tahun 1842.
Selain
merampas/merampok harta dari wilayah yang dikalahkan, VOV/Belanda juga
mengambil penduduknya untuk dijadikan budak yang diperjual-belikan. Setelah
berhasil mengalahkan Portugis di Malakka, Belanda membawa prajurit-prajurit
Portugis sebagai budak ke Batavia. Mereka yang terdiri dari campuran orang Portugis dan India,
dinamakan Mardijkers. Mereka beragama Kristen katolik.
Setelah para budak
tersebut bersedia menganut agama Kristen Protestan seperti aliran yang dianut
oleh orang Belanda, mereka dibebaskan.
Apabila mereka
melalui Passer/pos pemeriksaan, mereka hanya mengangkat tangan mereka sambil
mengatakan “Mardijkers.” Sebagian keturunan mereka masih tetap tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara, dan masih memelihara tradisi nenek-moyang mereka.
Sebagaimana juga
dengan kata Holland menjadi Londo, Broer menjadi Bung, Donna menjadi Nona,
dll., maka Mardijkers kedengarannya sebagai “MERDEKA.”Lambaian tangan kaum
Mardijkers diduga sebagai simbol orang MERDEKA
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,Republik Indonesia menetapkan Jakarta sebagai Ibukota. Namun Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan melancarkan agresi militer.
Karena suasana di Jakarta semakin berbahaya untuk para pemimpin Republik Indonesia, maka pada 4 Januari 1946 Pemerintah Indonesia menerima tawaran Sultan Hamengku Buwono IX, untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Belanda menguasai Jakarta dan mengganti namanya kembali menjadi Batavia.
Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, di mana Republik Indonesia menjadi satu dari 16 Negara Bagian RIS. Pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan RIS Arnold Mononutu mengumumkan keputusan pemerintah RIS untuk mengganti nama Batavia menjadi Jakarta.
Pada 16 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,Republik Indonesia menetapkan Jakarta sebagai Ibukota. Namun Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan melancarkan agresi militer.
Karena suasana di Jakarta semakin berbahaya untuk para pemimpin Republik Indonesia, maka pada 4 Januari 1946 Pemerintah Indonesia menerima tawaran Sultan Hamengku Buwono IX, untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Belanda menguasai Jakarta dan mengganti namanya kembali menjadi Batavia.
Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, di mana Republik Indonesia menjadi satu dari 16 Negara Bagian RIS. Pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan RIS Arnold Mononutu mengumumkan keputusan pemerintah RIS untuk mengganti nama Batavia menjadi Jakarta.
Pada 16 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
********
Referensi
-
Hadi
Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), Verenigde
Oostindische Companie (VOC). Dua Sisi
Dari Perusahaan Multinasional Dunia Yang Pertama. Hasil Seminar –
Forum Dialog Indonesia – Belanda. Diterbitkan oleh Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di
Jakarta. Jakarta, Juli
2003.
-
Heuken SJ, Adolf, Sumber-Sumber
Asli Sejarah Jakarta, Jilid I – III. Dokumen-dokumen sejarah
Jakarta. Cipta Loka
Caraka, Jakarta 1999.
-
Hanna,
Willard A., "Indonesian Banda", Colonialism and its Altermath in
the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991
(Reprint).
-
Mendatu, Achmanto, Etnik dan etnisitas.
-
Muljana, Prof. Dr. Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di
Nusantara. LKiS,
Yogyakarta, Cetakan VII, Februari 2009.
-
Post,
Laurens van der, The Admiral's Baby, John Murray, London, 1996.
-
Seemann, Dr. Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch-Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000.
-
Vermeulen, J.Th., De
Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938.
-
Villiers, John, Südostasien vor der Kolonialzeit, Fischerweltgeschichte, Fischer Taschenbuch
Verlag, Frankfurt am Main, 1980.
-
Vink , Markus,
“The World's Oldest Trade": Dutch
Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century, http://www.historycooperative.org/cgi-bin/justtop.cgi?act=justtop&url=http://www.historycooperative.org/journals/jwh/14.2/vink.html
-
Weber, Max: Wirtschaft und Gesellschaft. Grundriß der
verstehenden Soziologie. Tübingen
1976.
[2][2] Muljana, Prof. Dr. Slamet, Dari Holoton ke Jayakarta, Jakarta 1980,
hlm. 19. Lihat juga: Heuken, Adolf
SJ., Sumber-Sumber
Asli Sejarah Jakarta, Jakarta 1999
hlm. 16.
[3] Mengenai sosok Fatahillah terdapat
beberapa perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa dia
keturunan
Arab yang lahir di Gujarat, dan ada yang berpendapat bahwa di lahir di Demak.
Juga ada yang
berpendapat bahwa dia adalah Sunan Gunung Jati, namun ada pula yang
membantahnya.
[4] Muljana, Prof. Dr. Slamet, Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara.
LKiS, 2009., hlm 234.
[5] Muljana, op.cit., hlm. 229.
[6]
Muljana, loc.cit., hlm. 225.
[7] Ibid., hlm. 227.
3 comments:
Jakarta yang sebelumnya adalah Jayakarta diubah menjadi Batavia berdasarkan atas keputusan pada tanggal 12 Maret 1619 untuk memberi nama baru bagi kota, “Batavia”, sesuai dengan nama suku bangsa Jerman kuno di negeri Belanda.
(M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2008. Hal 58.)
Jakarta yang sebelumnya adalah Jayakarta diubah menjadi Batavia berdasarkan atas keputusan pada tanggal 12 Maret 1619 untuk memberi nama baru bagi kota, “Batavia”, sesuai dengan nama suku bangsa Jerman kuno di negeri Belanda.
(M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi, 2008. Hal 58)
Ini salah satu 'insight' menarik, dengan menelusuri ragam jejak-jejak sejarah Bangsa jauh sebelum terbentuk menjadi Republik di era modern. Sejarah era monarki pertengahan milenium kedua sampai era revolusi di titik 1967 masih berkutat mengenai bentuk kolektif apa yang pas dari ragam Bangsa yang tersebar di tujuh belas ribu pulau -Majapahit menamakan kumpulan ini sebagai Nusantara, sekumpulan wilayah kini bernama ASEAN yang disatukan dalam tata kelola Sentralistik.
70 tahun Indonesia, setelah Revolusi Agustus 1945, menjangkarkan identitasnya sebagai kesatuan bangsa yang menolak kolonialisme dan penjajahan manusia atas manusia di jajaran komunitas internasional. Manusia-manusia modern ini yang kemudian hadir merenda kembali seperti apa konsep komunal bernama Indonesia, adakah budaya Indonesia, atau senyatanya keragaman budaya tersebut adalah identitas endemik yang tidak musti diseragamkan. Artinya setiap babakan peristiwa sebelum era revolusi, Tatanan Monarki, yang diruntuhkan oleh kapitalisme yang berselubung penegakan kedaulatan atas nama sebuah keyakinan. Atau hanya murni politik.
Peristiwa Bubat, Prabu Ragamulya, pendudukan sepihak Sunda Kalapa ;Jakarta-Jayakarta-Batavia-SundaKalapa, alih nama Cipamali, dan lain sebagainya adalah penanda-penanda yang perlu dikaji kembali dalam konteks kekinian -yang konon disebut peradaban modern dan rasional. Apakah peristiwa masa lalu tidak berimbas dengan eksistensi kita dan menjadi lembaran usang atau justru banyak selubung kebijaksanaan yang terbuai zaman dan kita menjadi rabun terhadap identitas sejarah tersebut tanpa ada pretensi mencari kebenaran-kebenaran yang (mungkin) ditenggelamkan oleh kekuasaan dari satu tatanan orde. Apakah kita berani jujur terhadap masa lalu, apakah narasi sejarah sudah dituliskan sesuai konteksnya, atau apa kita perlu memperbaikinya demi esok Nusa yang gemilang dan generasi penerus yang cemerlang teguh dengan daya juang dan terang identitas sejarah bangsanya.
Sunda Kalapa menolak lupa!
Post a Comment