Karya Batara R. Hutagalung.
Penerbit Matapadi Yogyakarta.
Tebal buku 316 halaman.
Penjelasan mengenai buku ini
Buku ini merupakan rangkuman dari
artikel-artikel/tulisan-tulisan saya sejak tahun tahun 1999, kuliah umum dan
ceramah-ceramah yang saya berikan di berbagai Perguruan Tinggi di seluruh
Indonesia, ceramah-ceramah di lingkungan TNI/para Calon Atase Pertahanan serta
buku-buku yang telah saya terbitkan sejak tahun 2001.
Inti penulisan di buku ini adalah, menghapus mitos
"Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, Jepang menjajah Indonesia 3,5
tahun." Juga menghapus beberapa mitos lain.
Tidak pernah ada penjelasan bagaimana perhitungannya
sampai ke angka 350 tahun, kapan dimulainya dan kapan berakhirnya “penjajahan
Belanda di Indonesia.”
Kata INDONESIA sendiri baru “diciptakan” oleh seorang
Inggris George Samuel Windsor Earl, tahun 1850 dan dipopulerkan oleh seorang
Jerman, Adolf Bastian mulai tahun 1884.
Kata INDONESIA mulai digunakan di kalangan pribumi di
wilayah jajahan belanda sejak awal tahun 1920-an, untuk menggantikan nama
Nederlands Indie.
Kalimat yang semula dimaksud untuk membangkitkan
semangat rakyat Indonesia sejak 17 Agustus 1945, justru dijadikan olok-olok
oleh antek-antek belanda, yang mengatakan: “Memalukan, negeri sebesar Indonesia
dapat dijajah selama 350 tahun oleh bangsa yang negerinya lebih kecil dari
Provinsi Jawa Timur, dan penduduk Indonesia belasan kali lipat dari penduduk
Belanda.”
Selain menghapus beberapa mitos, buku ini juga
mengungkap pemalsuan sejarah Nusantara dan membongkar kejahatan-kejahatan yang
terjadi di masa penjajahan Belanda di Nusantara dan selama masa pendudukan
tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda.
Tokoh-tokoh yang telah membaca Naskah buku ini,
memberikan sambutan- sambutan dan komentar - komentar (endorsement).
Kata sambutan di buku:
1. Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono.
2. Brigjen TNI (Purn.) Dr. Saafroedin Bahar.
3. Prof. Drs. Pariata Westra.
Endorsement/komentar:
1. Prof. DR. Mestika Zed.
2. Prof. dr. Dewa Putu Widjana.
3. Prof. Dr. Marthen Napang.
I.
Kata
sambutan dari Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono.
S A M B U T A N
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera,
Om Swastiastu
1. Sebuah bangsa
didefinisikan oleh John Stuart Mill sebagai sekumpulan orang dengan solidaritas
dan loyalitas bersama yang tidak terjadi antara mereka dengan orang – orang
lain serta kehendak bersama untuk membangun sebuah Negara bagi perwujudan cita
– citanya dikemudian hari. Elemen – elemen obyektif Bangsa adalah wilayah
tinggal, bahasa dan lain sebagainya namun yang sangat menentukan adalah elemen
subyektifnya yaitu hasrat untuk bersatu. Globalisasi yang tidak terbatas pada
aspek ekonomi tetapi juga memberi dampak pada bidang Politik dan Budaya yang
amat nyata dan pada era sekarang ini sesungguhnya secara rasional dan sudah
final tidak mungkin meniadakan Negara Bangsa sebagai sebuah tatanan manusia di
muka bumi. Ingatan bersama atau common memory tentang kejayaan ataupun derita
bersama para pendahulunya serta hasrat yang kuat untuk mewujudkan masa depan
yang sejahtera dan sentosa dalam persatuan dan kesatuan amatlah menentukan bagi
kelestarian dan ketahanan Bangsa tersebut.
2. Dengan tetap menghargai
Sumpah Pemuda sebagai peristiwa bersejarah yang memiliki arti luar biasa
besarnya sebagai common memory, namun nyatanya secara legal formal Bangsa Indonesia
baru ada tanggal 17 Agustus 1945. V.O.C. Belanda yang mulai menetap di
Jayakarta pada tahun 1611 nyatanya memang mulai menguasai tempat - tempat atau
wilayah tertentu di Nusantara yang mempunyai kepentingan bagi pelayaran,
hubungan dan usaha dagangnya. Penguasaan itu di dalam banyak keadaan telah
didapatkannya melalui penaklukan atau kerjasama dengan para penguasa setempat
bahkan setelah kegagalan dua kali penyerangan terhadap Batavia pada tahun 1628
oleh Mataram, diputuskan untuk mulai berbaik – baik saja dengan Belanda sebab
bukankah mereka hanya hendak berdagang. Sebuah common memory yang kini masih
relevan dengan pesan wanti – wanti bahwa Globalisasi sebenarnya bukan saja
memberikan peluang tetapi juga punya muatan ancaman.
3. Sekedar penalaran yang
wajar mengakui bahwa tempat – tempat dan wilayah – wilayah tertentu saja di
Nusantara memang pernah dijajah oleh Belanda secara sporadis dan untuk masa
tertentu. Bahkan G.J. Resink seorang Ahli Hukum Belanda yang juga seorang
Pengamat Sejarah dalam bukunya berjudul “Bukan tiga ratus lima puluh tahun”
menyatakan bahwa Penjajahan atas tempat – tempat dan wilayah – wilayah
Nusantara itu menurut bukti – bukti hukum dan sejarah tidak berlangusng selama
350 tahun. Saya memahami bahwa para pemimpin Perjuangan Kemerdekaan yang
menggunakan angka 350 tahun dijajah dengan melalui dramatisasi bermaksud untuk
meng – gelorakan semangat berjuang bagi Kemerdekaan. Tetapi belum sebuah
kearifan namun sesuatu penalaran yang wajar saja berpendapat bahwa dramatisasi
itu sekaligus juga mengandung kenisthaan. Apalagi dramatisasi itu tidak pernah
dibuktikan oleh fakta sejarah.
4. Saya mengenal Penulis
sebagai Putra Letnan Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung (Almarhum), seorang senior
saya yang menjabat sebagai Dokter Divisi VI/Narotama pada awal tahun 1946.
Percakapan selama tumpangan kendaraan dari front Legundi, Surabaya kebelakang
yang diberikan kepada saya yang ketika itu seorang Kapten berumur 18 tahun
memberikan inspirasi yang luar biasa besarnya kepada saya dengan kepribadian
Almarhum. Menjelang usia 90 tahun ini saya amat bersyukur bisa mengenal
Putranya yang dengan caranya menunjukkan dedikasi dan komitmen yang begitu
besar kepada Bangsanya. Diantarantya, meluruskan Sejarah, memperbaiki common
memory, membunuh dramatisasi yang negative serta membangun optimisme dan
harapan bagi Bangsanya.
5. Tiada lain, semoga buku
ini bermanfaat bagi segenap Warga Bangsa kita sebagai salah satu bekal Budaya
bagi pelestarian dan pensejahteraan dirinya dalam suasana kehidupan bersama
antar Bangsa yang tetap harus menjunjung tinggi etika namun tidak pernah
meninggalkan hukum alam tua “Survival of the fittest” yang bermakna kelestarian
hanya untuk yang kuat. Yang lemah akan tersingkir untuk punah. Nusantara yang
dulu abai dan terpecah belah memang mengundang penjajahan. Indonesia yang
bersatu dan waspada Insya Allah akan mempunyai masa depan yang sejahtera dan
kuat sentosa.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Jakarta, 27 Nopember 2017
Jendral TNI (Purn)
---------------------------------------------
II.
Brigjen
TNI (Purn.) Dr. Saafroedin Bahar.
PARADIGMA BARU SEJARAH NASIONAL
Saya mengenal Sdr Batara Richard Hutagalung –
selanjutnya saya sebut sebagai bung Batara – sewaktu beliau bersama dengan
rekan-rekannya dari Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI
) menemui saya di Sekretariat Negara sekitar tahun 1999. Pada saat itu
saya menjabat sebagai Asisten Menteri Sekretaris Negara bidang Persatuan dan
Kesatuan Bangsa.
Ada yang khas dari masalah yang beliau
sampaikan kepada saya, yaitu bahwa Kerajaan Belanda belum mengakui legitimasi
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Materi ini belum banyak
diketahui orang, dan tentu saja menarik perhatian. Setahu saya belum ada fihak
yang mengangkat tema itu, baik dalam forum akademik maupun dalam tataran
pemerintahan. Saya sendiri juga belum demikian faham relevansi dari kenyataan
itu, yang kemudian ternyata memang tidak bisa diabaikan. Semenjak itu,
bung Batara ini dengan tidak henti-hentinya meminta perhatian publik terhadap
hal ini, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa.
Dari biodata beliau saya tahu bahwa beliau
bermukim di Eropa Barat selama kurang lebih 27 tahun, dan kelihatannya sangat
menguasai hukum internasional, khususnya tentang Konvensi Montevideo 1933
– yang juga menjadi perhatian saya – serta berbagai dokumen yang terkait dengan
proses perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saya dapat mengerti kepedulian beliau yang demikian tinggi terhadap perjuangan
kemerdekaan ini oleh karena Bapak beliau – Letnan Kolonel dr Wiliater
Hutagalung – adalah seorang perwira Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Darat.
Setelah saya pensiun dari Sekretariat Negara,
dan meneruskan karir di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – Komnas HAM –
saya memelihara komunikasi dengan bung Batara ini, dan merasa bergembira bahwa
setapak demi setapak perjuangan beliau membuahkan hasil, baik di Eropa Barat
maupun di Indonesia sendiri. Dengan argumentasi yang kuat, berbagai fihak mulai
memberikan dukungan. Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Kerajaan
Inggeris mengakui telah terjadinya kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan – war crimes dan crimes against humanity - dan
telah memberikan reparasi – ganti rugi – kepada para korban atau
keluarga yang ditingggalkan mereka.
Namun ganti rugi terhadap para korban
bukanlah tujuan akhir dari perjuangan bung Batara dan teman-temannya. Tujuan
akhir yang ingin dicapainya adalah pulihnya kehormatan Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dengan pengakuan formal Kerajaan Belanda terhadap
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan bukan
sejak tanggal 27 Desember 1949, yaitu sejak penyerahan kekuasaan dari Kerajaan
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat.
Walaupun menurut Konvensi Montevideo 1933
tidak diperlukan adanya pengakuan formal terhadap sebuah proklamasi
kemerdekaan, namun ada implikasi yang besar dalam masalah ini. Dengan tidak
mengakui Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka dua kali
agresi militer yang dilancarkan Kerajaan Belanda – tahun 1947 dan 1948 – hanyalah
merupakan aksi polisionil, dan para pejuang kemerdekaan adalah merupakan penjahat
dan kelompok kriminal, yang penyelesaiannya merupakan masalah dalam negeri
Kerajaan Belanda di daerah koloninya Hindia Belanda. Implikasi ini sudah barang
tentu tidak bisa diterima. Dua kali agresi militer yang dilancarkan Kerajaan
Belanda terhadap Republik Indonesia per definisi adalah agresi militer terhadap
sebuah negara yang berdaulat, yang dipertahankan oleh pasukan Republik
Indonesia, baik yang regular maupun yang irregular.
Bung Batara melanjutkandan memperdalam
pengkajiannya terhadap sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, bukan hanya sejak
awal abad ke 20, tetapi jauh ke abad-abad sebelumnya, yaitu semenjak
diumumkannya Dekrit Tordesilas 1494 oleh Paus Alexander VI Borgia, yang
membagi dunia dalam dua bagian besar, separo untuk Kerajaan Portugal, dan
sisanya untuk kerajaan Sepanyol. Kedua kerajaan Eropa Barat ini, serta berbagai
kerajaan lainnya, secara setahap demi setahap, dengan menggunakan strategi
pecah-dan kuasai, divide et impera, menaklukkan kerajaan-kerajaan yang
ada di Nusantara pada saat itu. Penguasaan kerajaan-kerajaan Barat ini berakhir
pada bulan Maret 1942, sewaktu Gubernur Jenderal Hindia Belanda beserta
Panglima Balatentara Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Panglima
Balatentara Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Kekuasaan Balatentara Jepang ini sendiri
berakhir dengan pernyataan menyerahnya Kekaisaran Jepang tanpa syarat kepada
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, setelah negerinya dua kali dibom atom oleh
Tentara Sekutu, pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.Upacara resmi penyerahan
tanpa syarat ini dilaksanakan di atas kapal penjelajah Missouri di Teluk
Tokyo pada tanggal 2 September 1945. Dengan kata lain, kurun antara tanggal 9
Agustus 1945 dan 2 September 1945 adalah kurun kosongnya kekuasaan - vacuum
of power - di kepulauan Nusantara ini. Pada momen kosongnya kekuasaan
inilah Bangsa Indonesia memroklamasikan kemerdekaannya.
Bung Batara membuat garis batas yang
jelas antara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru terbentuk pada tahun
1945 , dengan demikian banyak satuan kenegaraan yang ada sebelumnya. Dengan
merujuk pada pengertian formal Negara, bung Batara merintis suatu paradigma
baru dalam Sejarah Nasional Indonesia, yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia belum pernah dijajah. Yang pernah di jajah demikian lama adalah kerajaan-kerajaan
lokal besar kecil yang telah lama ada sebelumnya.
Suatu fakta yang sangat menarik, yang
dimintakan perhatian oleh bung Batara adalah bahwa Kerajaan Belanda masih
melakukan campur tangan terhadap berbagai masalah dalam negeri Indonesia,
khususnya dalam masalah Papua dan rangkaian tuduhan tentang telah terjadinya
rangkaian pelanggaran berat hak asasi manusia di Indonesia. Paling akhir,
Kerajaan Belanda ini memfasilitasi diadakannya International Peoples’
Tribunal 1965 di kota Den Haag, Negeri Belanda, yang nota bene diprakarsai
dan melibatkan beberapa tokoh-tokoh Indonesia sendiri. Padahal
Kerajaan Belanda sendiri antara tahun 1945 – 1949 telah melakukan berbagai
kejahatan perang dan pelanggaran berat hak asasi manusia, yang diperkirakan
memakan korban sekitar satu juta orang !Kenyataan ini mereka usahakan untuk
ditutupi dengan berbagai cara.
Saya dapat memahami dan bersimpati terhadap
paradigma baru Sejarah Nasional Indonesia yang diprakarsai bung Batara
ini, bukan saja oleh karena sesuai dengan pengertian Negara menurut Konvensi
Montevideo 1933, tetapi juga oleh karena dapat menjernihkan benang merah
perjuangan panjang Bangsa Indonesia untuk hidup sebagai Bangsa yang merdeka
dalam sebuah Negara Kebangsaan yang berdaulat.
Saya berharap agar buku ini mendapat
perhatian yang wajar, bukan hanya oleh para sejarawan, tetapi juga oleh para
pakar ilmu politik, para perwira militer, para politisi, pejabat pemerintahan,
serta para diplomat dan ahli hukum internasional, para pegiat hak asasi
manusia, dan tentu saja oleh generasi muda Indonesia yang cinta kepada Bangsa,
Tanah Air, serta Negaranya.
Jakarta, 29 November 2017.
Dr. Saafroedin Bahar, Brigadir Jenderal TNI {
Purnawirawan ).
Mantan Asisten Mensesneg.
--------
III.
Prof.
Drs. Pariata Westra.
Saya hadir di tiga Orasi Kebangsaan yang
disampaikan oleh Sdr. Batara Hutagalung di Yogyakarta.
Yang pertama tanggal 18 Desember 2014 di
Wisma Kagama, dalam rangka peringatan HARI BELA NEGARA (19 Desember 1948).
Yang kedua tanggal 9 Maret 2015 di FH
Universitas Gajah Mada, dalam rangka memperingati ‘Berakhirnya Penjajahan
Belanda di Bumi Nusantara’ tanggal 9 Maret 1942.
Orasi Kebangsaan ketiga tanggal 24 April 2015
di SMAN-1 Yogyakarta, dalam rangka peringatan 60 tahun Konferensi Asia
Afrika.
Sdr. Batara Hutagalung menggunakan paradigma
yang berbeda dalam melakukan penelitiannya mengenai berbagai peristiwa sejarah,
dan logika yang digunakan sangat jitu.
Hasil penelitiannya sangat mengejutkan,
karena telah berhasl merubah cara pandang dan penilaian publik terhadap sejarah
Nusantara dan sejarah Indonesia.
Penelitian Sdr. Batara mengenai kemerdekaan
suatu negara sangat tepat.
Merujuk pada kemerdekaan negara-negara yang
telah menyatakan kemerdekaannya dan sanggup mempertahankan diri, a.l. Belanda
yang menyatakan kemerdekaan dari penjajahan Spanyol tahun 1581, maka pernyataan
kemerdekaan dari sesuatu negara baru tidak memerlukan pengakuan dari
siapapun. Yang penting sanggup mempertahankan kemerdekaannya dari
serangan mantan penjajahnya.
Hal ni tentu berlaku juga untuk
Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia
dicetuskan di masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power), sehingga dengan
demikian pernyataan kemerdekaan Indonesia bukan suatu pemberontakan terhadap
siapapun. Juga bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan
atau merubah sistem pemerinthan. Pada waktu itu tidak ada pemerintahan
samasekali.
Adalah fakta, bahwa sesudah usai Perang Dunia
II, Indonesia adalah negara dan bangsa pertama yang menyatakan kemerdekaan,
sehingga dengan demikian, Indonesia adalah pelopor kemerrdekaan bangsa-bangsa
terjajah.
Saya sependapat dengan Sdr. Batara, bahwa
harus dilakukan penelitian yang cermat mengenai sejarah Nusantara dan sejarah
Indonesia dari sudut pandang serta untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, buku-buku sejarah untuk
sekolah-sekolah harus ditulis ulang, tidak hanya sekadar revisi, agar generasi
muda Indonesia tidak lagi membaca sejarah yang salah.
Sdr. Batara telah memberikan makna dan nilai
baru serta kebanggaan untuk Bangsa Indonesia. Sudah waktunya dan sudah
sepantasnya Sdr. Batara Hutagalung mendapat penghargaan gelar akademis, Doktor
HC.
Prof. Drs. Pariata Westra, SH., SE., MPb.
Ag., MM, Mantan Guru Besar FISIP UGM, Anggota MPR RI 1992 - 1997.
----------------------
Endorsement/komentar:
1. Prof. DR.
Mestika Zed.
Buku ini merupakan sebuah buku sejarah yang
sangat kuat dan dengan keberanian intelektual yang nyaris tak tertandingi oleh
kebanyakan sejarawan Indonesia dalam membeberkan fakta-fakta sejarah kolonial
Belanda di Indonesia, yang terkesan didiamkan selama ini.
Fakta-fakta tentang kejahatan Belanda dan
sekutunya di masa lalu, mitos dan manipulasi tafsir sejarah kolonial mulai dari
zaman Jan Pieters zoon Coen di awal abad ke-17 hingga perang kemerdekaan
Indonesia 1945-1950, dipaparkan dalam buku ini tanpa tedeng aling-aling.
Penulis misalnya mempertanyakan mengapa
Belanda masih tidak mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia
berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi hanya menyetujui dengan setengah
hati “pemidahan kekuasaan” lewat KMB pada penghujung 1949 itu.
Buku ini harus diberi tempat terhormat dalam
khazanah sejarah bangsa, bukan hanya karena ketulusannya dalam menyuarakan
secara kritis sejarah bangsa, melainkan juga nilai tambah yang diberikann dalam
menghidupkan kembali sukma nasionalisme yang mulai pudur di banyak kalangan
anak bangsa dewasa ini.
Buku ini pada hemat saya ‘wajib’ dibaca,
terutama oleh para politisi kita yang rabun sejarah dan para pengambil
keputusan yang sibuk dengan rutinitas, di samping tentunya untuk kaum
terpelajar Indonesia dan peminat sejarah pada umumnya.
***
― DR. Mestika Zed
Guru besar Sejarah Ekonomi
Universitas Negeri Padang
-------------------------------
2. Prof. dr.
Dewa Putu Widjana.
.Tidak kusangka, Batara Hutagalung temanku
semasa SMA adalah sosok penekun sejarah khususnya sejarah perjuangan bangsa.
Lebih membanggakan lagi bahwa dia telah berhasil mengkompilasi serta membukukan
hasil penelitiannya ke dalam sebuah buku dengan judul: Indonesia Tidak Pernah
Dijajah.
Isi buku ini sangat bombastis, meluruskan
banyak sejarah Indonesia. Saya sangat yakin buku ini akan menjadi instrumen
penggugah rasa nasionalime khususnya di kalangan generasi muda Indonesia.
Congratulation Bro.
Prof. Dr.Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp.
ParK. Rektor Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali.
------------------------------------
3. Prof. Dr. Marthen Napang.
Prinsip penegakan hukum terhadap pelaku
kejahatan HAM dilakukan tanpa mengenal batasan waktu (Prinsip Non-Lapse of Time
/ Ketidakberlakuan Daluarsa), telah dikodifikasikan dalam Roma Statuta of
International Criminal Court 1998, sehingga setiap negara memiliki kewajiban
internasional untuk menuntut pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku kejahatan
HAM baik selaku individual maupun kenegaraan dalam Pengadilan HAM Tetap dan
Pengadilan HAM Ad Hoc.
Oleh karena itu tragedi kekejaman kemanusiaan
yang terjadi di beberapa wilayah RI yang dilakukan oleh Pasukan Militer
Belanda, dapat diadili dalam Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia, Belanda atau
Internasional.
Prof. Dr. Marthen Napang, SH., MH., MSi. Guru
Besar FH Universitas Hasanuddin.
********
No comments:
Post a Comment