Wednesday, April 01, 2020

Riwayat Perjuangan Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung


Riwayat Perjuangan
Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung
Disadur dari buku Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung:
‘Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa”

BIODATA LETKOL TNI (PURN.) DR. WILIATER HUTAGALUNG:

 

Wiliater Hutagalung lahir di Tarutung, Sumatra Utara, tanggal 20 Maret 1910 dari pasangan Thomas Hutagalung dan Mariana boru Sarumpaet.

Meninggal di Jakarta, pada 29 April 2002, di usia 92 tahun. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

 

Pasangan Thomas Hutagalung dan Mariana boru Sarumpaet, mempunyai 3 putra dan seorang putri. Yang tertua adalah Waldemar Hutagalung. Putra kedua, Luther Hutagalung. Anak ketiga, seorang perempuan bernama Orem boru Hutagalung. Wiliater adalah anak keempat.

 

 

Keluarga

 

Menikah dengan Maria Dora Elfrinkhoff-Rintjap yang berasal dari Minahasa, pada 20 Mei 1933 di Surabaya. Dikaruniai seorang putri dan lima orang putra.

Yang tertua adalah Marianna Dorothea Amelia, menikah dengan Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba. Dikaruniai tiga putri dan dua putra.

Yang kedua adalah Jan Waldemar, menikah dengan Pitua Bulan Wiltrixta boru Panggabean. Dikaruniai dua putra dan dua putri.

Yang ketiga adalah Ferdinand. Menikah dengan Saliyah. Dikaruniai seorang putri.

Yang keempat adalah Johan Adrian, menikah dengan Johanna Pa’at-Robot. Dikaruniai dua putra dan satu putri.

Yang kelima adalah Thomas Nuliater, menikah dengan Hotmaida boru Napitupulu.Dikaruniai dua putra dan satu putri.

Yang keenam adalah Batara Richard, menikah dengan Anis Setyawati. Dikaruniai seorang putra.

 

Adik kandung Maria Dora, Anna Paulina menikah dengan dr.Ferdinand Lumban Tobing yang kemudian menjadi Menteri Penerangan dan juga Menteri Transmigrasi. Dr.Ferdinand L. Tobing meninggal tanggal 7.10.1962 dan tanggal 17 November 1962 oleh Presiden Soekarno diberi gelar  Pahlawan Nasional Indonesia.

 

Seorang adik sepupu Maria Dora, Johana Rintjap, menikah dengan dr. Djafar Siregar Diapari. Dr. Djafar Siregar juga mengunjungi sekolah dokter NIAS, Surabaya, lulus tahun 1939.

 

 

Riwayat Pendidikan.

 

Wiliater masuk sekolah dasar Hollandsch-Bataksche School di Tarutung. Setelah tamat sekolah dasar ingin melanjutkan sekolah. Tetapi pada waktu itu di Tarutung tidak ada sekolah lanjutan selain sekolah dasar.

 

Keinginan untuk melanjutkan pendidikan sangat kuat dan tak dapat dibendung, sehingga akhirnya kedua orang tua Wiliater merelakan kepergian anak bungsunya untuk meninggalkan kampung halaman di usia 13 tahun, menyusul abangnya di Surabaya, guna menuntut ilmu yang lebih tinggi. Abangnya yang tertua, Waldemar Hutagalung telah beberapa tahun merantau ke pulau Jawa, dan hidupnya telah cukup mapan di Surabaya.

 

Pada tahun 1923 Wiliater berangkat menuju kota Medan, kemudian naik kapal laut ke Batavia (sekarang Jakarta), lalu melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Dengan bantuan abangnya, Wiliater diterima di Europesche Lagere School (ELS) di Surabaya. ELS awalnya hanya untuk anak-anak orang Belanda atau Eropa lainnya. Namun kemudian juga dibuka untuk anak-anak pribumi dari keluarga bangsawan, atau tokoh-tokoh masyarakat, atau pegawai di kantor pemerintah kolonial Belanda. Ketika Waldemar pindah ke Batavia, maka adiknya, Wiliater, bersekolah di Europeesche Lagere School di Jatinegara. Prestasinya di sekolah sangat bagus.

 

Pada tahun 1925 berdasarkan angka kelulusannya yang tinggi dan lulus tes, Wiliater diterima di sekolah HBS (Hoogere Burger School) sekolah elit yang lebih dikenal dengan nama lamanya, yaitu Koning Willem III School (KW III). KW III juga dikenal sebagai “Sekolah Anak Raja.” Teman sekolahnya antara lain Zairin Zain, yang kemudian menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat.

 

Pada waktu itu untuk pribumi tidak mudah diterima di sekolah elit KW-III. Selain angka kelulusan dari ELS yang tinggi, juga harus diselidiki kemampuan finansialnya, karena biaya di sekolah KW III sangat tinggi. Beruntunglah karena abangnya, Waldemar Hutagalung, untuk ukuran pribumi waktu itu tergolong berada, dan dengan kehidupan setara dengan orang Eropa, sehingga Wiliater dapat diterima di sekolah elit tersebut.

 

Setelah menamatkan sekolah HBS, sekali lagi berdasarkan prestasinya yang sangat baik, pada tahun 1928 Wiliater mendapat beasiswa dari kerajaan Swedia untuk melanjutkan pendidikan di sekolah dokter Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya. Wiliater lulus sebagai dokter dengan ijazah tertanggal 2 Maret 1937.

 

Di Surabaya juga didirikan Cabang organisasi Indonesia Muda, yang merupakan peleburan beberapa organisasi pemuda pribumi yang sebelumnya berdasarkan etnis(suku) dan agama. Wiliater Hutagalung juga menjadi anggota Indonesia Muda (IM) di Surabaya. Wiliater pernah menjadi ketua bidang olahraga sepakbola di Indonesia Muda. Wiliater juga menjadi pelatih olahraga anggar. Alat musik yang digemarinya adalah biola. Wiliater pernah menjadi anggota redaksi majalah mahasiswa.

 

 

Bekerja Sebagai Dokter

 

Setelah lulus menjadi dokter tahun 1937, dr. Wiliater Hutagalung mula-mula ditempatkan di dinas pemberantasan lepra di Semarang, kemudian dipindahkan ke Mojowarno, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Di Mojowarno, dr. Hutagalung bekerja di rumah sakit Zending dari tahun 1937-1940, antara lain di bagian interne, kemudian mengurus leproseri. Setelah itu dipindahkan ke Sanatorium Batu, Malang, untuk pendidikan khusus penyakit paru-paru. Pengetahun mengenai penyakit paru-paru ini kemudian sangat berguna, ketika merawat Panglima Besar Jenderal Sudirman yang menderita penyakit paru-paru.

 

 

Di Masa Perang Mempertahankan Kemerdekaan

 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ikut membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)/Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya dan sekitarnya.

 

Selama masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, aktiv di Dinas ketentaraan, baik di Surabaya/Jawa Timur mupun di Kementerian Pertahanan di Yogyakarta, dan memegang berbagai jabatan.

 

 

Kembali Bekerja Sebagai Dokter

 

Setelah perang mempertahankan kemerdekaan usai akhir tahun 1949, tahun 1950 mengundurkan diri dari dinas di Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pindah ke Jakarta. Membuka praktek dokter di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

 

Dr. Hutagalung menjadi anggota Dewan Perwakilan Kota Sementara Kotapraja Jakarta Raya, dari tanggal 6 Juli 1954 sampai tanggal 31 Agustus 1956. Tahun 1954 juga menjadi anggota Dewan Komisaris di Perusahaan Penerbangan Nasional Garuda Indonesia, sebagai wakil Pemerintah Indonesia. Waktu itu namanya Garuda Indonesia Airways NV.

 

Tahun 1965 pindah ke Bali dan membuka praktek dokter di Denpasar, di mana tinggal putrinya, Amelia, yang menikah dengan Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba.

 

Kemudian tahun 1974 pindah ke Batam di mana anak ketiganya, Ferdinand tinggal dan membuka praktek dokter di Batam. Berhenti aktiv sebagai dokter tahun 1978, kemudian kembali ke Jakarta.

 

Meninggal di Jakarta pada 29 April 2002, di usia 92 tahun. dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.

 

 

********



 

RIWAYAT PERJUANGAN

 

Di Masa Penjajahan Belanda

 

Tahun 1925, beberapa orang pemuda Batak yang melanjutkan pendidikan di Batavia, a.l. Ferdinand Lumban Tobing, Amir Syarifuddin Harahap, Sanusi Pane, dll., mendirikan organisasi Jong Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak). Wiliater Hutagalung ikut bergabung menjadi anggota Ikatan Pemuda Batak di Batavia. Sebelumnya, Wiliater menjadi anggota di perkumpulan sepakbola Batak, Bataksche Voetbal Vereeniging (BVV) di Batavia.

 

Sejak menjadi mahasiswa kedokteran di NIAS, Wiliater aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Bersama-sama mahasiswa-mahasiswa pribumi lain yang menginginkan kemerdekaan, lepas dari penjajah Belanda, ikut dalam perkumpulan rahasia yang bernama “Kendi,” yang merupakan gerakan bawah tanah. Kemudian Wiliater menjadi anggota organisasi pemuda pribumi, Indonesia Muda (IM), yang adalah hasil peleburan beberapa organisasi pemuda pribumi, sebagai hasil Kerapatan Pemuda Indonesia kedua (Kongres Pemuda kedua).

 

Sebelum Kerapatan Besar Pemuda Indonesia Pertama (Kongres Pemuda Indonesia pertama) di Batavia tahun 1926, semua organisasi pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, Nederlands Indië (India Belanda)  seperti Jong Bataksche Bond, Jong Java, Jong Ambon, dll., masih berdasarkan kesamaan etnis/suku atau berasal dari pulau yang sama seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes,  atau berdasarkan kesamaan agama seperti Jong Islamieten Bond.

 

Pada zaman kolonialisme Belanda, di bioskop-bioskop sebelum film dimulai, selalu diperdengarkan lagu kebangsaan Belanda, di mana seluruh penonton harus berdiri. Wiliater tidak pernah mau berdiri, sehingga beberapa kali mendapat teguran. Karena berbagai provokasi dan kegiatan melawan pemerintah kolonial, dr. Wiliater Hutagalung dikenakan tahanan rumah dan sebagai hukuman, akan “ditugaskan” dalam pemberantasan malaria di Boven Digoel (Digul Atas), Irian Barat. Pada waktu itu penyakit malaria menjadi penyebab utama kematian di Digul Atas.

Dalam mempersiapkan pelaksanaan hukuman, Wiliater ditempatkan di laboratorium dinas pemberantasan malaria di Surabaya di bawah pengawasan Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelijen Politik) pemerintah kolonial.

 

Pada 1 September 1939 pecah Perang Dunia II  di Eropa. Perang di Asia-Pasifik dimulai dengan penyerangan Jepang terhadap Pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941.

 

Kemudian Jepang melancarkan penyerangan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, Armada Jepang memblokade perhubungan laut di Asia Tenggara. Hal ini berdampak pada dr. Wiliater Hutagalung, yang tidak jadi diberangkatkan ke Boven Digoel (Digul Atas) untuk menjalani hukuman.

 

Awal tahun 1942 Jepang menyerang Nederlands Indië (India Belanda), yang dimulai dengan penyerangan terhadap Tarakan, di Kalimantan Utara. Pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mulai melancarkan serangannya terhadap pulau Jawa. Dalam waktu satu minggu seluruh Pulau Jawa jatuh ke tangan tentara Jepang. Pemerintah Nederlands Indië resmi menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang tanggal 9 Maret 1942 (ada sumber yang menyebut tanggal 8 Maret 1942). Maka berakhirlah penjajahan Belanda di Asia Tenggara.

 

 

Di Masa Pendudukan Tentara Jepang, 1942 – 1945

 

Setelah pemerintah Nederlands Indië menyerah kepada tentara Jepang, seluruh wilayah bekas jajahan Belanda berada di bawah pemerintahan militer Jepang. Sumatra di bawah pemerintahan militer Angkatan Darat (Nippon Rikugun), yaitu Tentara ke 25 berkedudukan di Bukittinggi. Jawa di bawah Nippon Rikugun, Tentara ke 16, berkedudukan di Batavia, yang namanya kemudian diganti oleh Jepang menjadi Jakarta pada 8 Agustus 1942. Wilayah Timur bekas jajahan Belanda, yaitu Kalimantan, Sulawesi dan Maluku berada di bawah kekuasaan Nipppon Kaigun, Angkatan Laut Jepang, Armada Selatan kedua, yang berpusat di Makassar. Namun Pangkalan Angkatan Laut terbesarnya ada di Surabaya.

 

Pendidikan khusus untuk memberantas penyakit Malaria ternyata menjadi sangat berguna untuk dr. Wiliater Hutagalung di masa pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda. Sebagai dokter yang mendapat pendidikan khusus untuk penyakit malaria, dr. Hutagalung diikutsertakan oleh pemerintah militer Jepang di Surabaya di bidang kesehatan, terutama dalam menangani masalah-masalah yang sehubungan dengan penyakit Malaria. Tentara Jepang di Surabaya tidak memiliki dokter spesialis penyakit malaria. Tugas utamanya adalah merawat tentara Jepang yang menderita penyakit malaria, dan langkah-langkah penjegahannya. Namun kedudukannya dimanfaatkan oleh dr. Wiliater Hutagalung, juga untuk membantu melakukan pemberantasan penyakit Malaria yang diderita oleh penduduk sipil di beberapa daerah, a.l. di Jawa Timur dan di Banten.

 

Karena keberhasilannya menangani penyakit Malaria di beberapa wilayah di mana terdapat markas-markas tentara Jepang, dr. Hutagalung mendapat kepercayaan yang besar dari pimpinan militer Jepang di Surabaya. Dr. Hutagalung memanfaatkan hal ini untuk menolong banyak pribumi yang mendapat kesulitan dengan pemerintah militer Jepang di Surabaya dan sekitarnya.

 

Selama 3,5 tahun masa pendudukan tentara Jepang di wilayah Jajahan Belanda, dr. Hutagalung yang dilibatkan oleh tentara Jepang di bidang kesehatan, dapat mempelajari struktur kemiliteran tentara Jepang, terutama dalam bidang kesehatan militer. Pengetahuan dan pengalaman ini kemudian sangat berguna, dalam membangun Tentara Nasional Indonesia, terutama Dinas Kesehatan Militer, baik ketika di Surabaya/Jawa Timur sejak tahun 1945 – 1947, kemudian tahun 1947 – 1949 di Kementerian Pertahanan RI yang berkedudukan di Yogyakarta.

 

 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

 

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dr. Wiliater Hutagalung ikut berperan dalam tiga peristiwa besar yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan ditulis di berbagai buku sejarah, yaitu:

1.   Perang di Surabaya/Jawa Timur melawan agresi militer tentara Inggris yang terjadi tanggal 28 – 30 Oktober, kemudian dalam  perang besar yang dimulai tanggal 10 November 1945.

2.   Menangani Hijrah Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah/Yogyakarta pada bulan Februari 1948, sebagai hasil Persetujuan Renville..

3.   Di masa agresi militer Belanda kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948, peran dr. Wiliater yang sangat menonjol adalah dalam perencanaan “Serangan Spektakuler” terhadap Yogyakarta, Ibukota Sementara Republik Indonesia pada waktu itu. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Serangan Umum 1 Maret 1949.”

 

 

Surabaya, Setelah Jepang Menyerah pada 15 Agustus 1945

 

Amerika Serikat menjatuhkan bom atom atas Hiroshima tanggal 6 Agustus dan atas Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu. Sejak itu, tentara Jepang menghentikan semua kegiatan baik militer maupun sipil di wilayah-wilayah yang mereka duduki, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda, Nederlands Indië.  Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik berakhir. Namun dokumen menyerahnya Jepang kepada Sekutu baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas kapal perang Amerika Missouri di Teluk Tokyo. Hal ini mengakibatkan antara tanggal 15 Agustus 1945 – 2 September 1945 terjadi yang dinamakan vacuum of power (kekosongan kekuasaan pemerintahan).

 

Di masa vacuum of power  tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia di  wilayah bekas jajahan Belanda/wilayah bekas pendudukan tentara Jepang, menyatakan kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara Republik Indonesia. Dengan demikian, pernyataan kemerdekaan Indonesia bukan merupakan pemberontakan atau revolusi terhadap Belanda, karena tanggal 9 Maret 1942 pemerintah Nederlands Indië telah menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang, dan “menyerahkan” seluruh wilayahnya kepada tentara pendudukan Jepang.

 

Negara-negara pemenang perang memerintahkan tentara Jepang di wilayah-wilayah yang mereka duduki selama Perang Dunia II, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda, untuk mengurung diri (internir mandiri), sambil menunggu kedatangan pasukan sekutu.

 

Di Surabaya dan sekitarnya setelah tanggal 15 Agustus 1945, tentara Jepang tiba-tiba hilang dari jalanan. Polisi militer Jepang tidak melakukan serah terima kepada siapapun. Tentara sekutu pemenang Perang Dunia II belum sampai ke perairan Indonesia. Bahkan di Surabaya/Jawa Timur, tentara Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris, baru tiba di pelabuhan di Surabaya pada 25 Oktober 1945, lebih dari dua bulan setelah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat. Di seluruh wilayah bekas pendudukan tentara Jepang timbul kekosongan pemerintahan dan kewibawaan. Tidak ada polisi, tidak ada yang dipatuhi atau disegani. tidak ada tempat mengadu, tidak ada yang berwenang menindak.

 

Akibat kekosongan pemerintahan ini maka penjahat-penjahat dapat merajalela. Pembunuhan, perkosaan, perampokan terjadi tanpa halangan atau pengadilan. Rakyat membentuk kelompok-kelompok untuk menjaga daerahnya. Tidak ada pengaturan. Kemudian kelompok-kelompok kecil saling bergabung dan berusaha untuk mendapatkan senjata dengan merampas dari tentara Jepang..

 

Di antara kelompok-kelompok yang awalnya dibentuk untuk keamanan lingkungan sendiri, ada yang berkembang menjadi kelompok-kelompok kriminal yang agresif dan menjurus kepada teror.

 

Pada saat kekalahan Jepang, pemerintah sipil di Surabaya terdiri dari Gubernur Suryo, Residen Sudirman dan Walikota dr. Irsan Radjamin Nasution. Mereka memutuskan untuk membentuk pasukan pertahanan kota dan sebagai pimpinan diangkat Sungkono, bekas anggota Angkatan Laut Belanda.

 

Pasukan pertahanan kota Surabaya ini awalnya tidak mampu mengatasi kejahatan, karena kurang memiliki kendaraan, kekurangan senjata dan kekurangan dana. Pada awalnya sasaran para perampok adalah rumah-rumah yang dahulu dihuni oleh perwira-perwira Jepang, yang penuh dengan makanan dan minuman serta pakaian. Kemudian mereka beralih ke rumah sakit–rumah sakit yang ditinggalkan oleh tentara jepang.

 

 

Pembentukan Cikal Bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Jawa Timur

 

Tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyetujui dibentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan bagian dari Badan Penolong Korban Perang, suatu organisasi sosial. Pada 23 Agustus 1945, Presiden Sukarno menyerukan agar di daerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk KNID dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pembentukan BKR di Surabaya dipelopori a.l. oleh RM Yonosewoyo, Sungkono, dr.Radjamin Nasution, Surachman, Abdul Jabar, dr. Wiliater Hutagalung, dll.

 

Berdasarkan pengalamannya selama lebih dari tiga tahun di bagian kesehatan militer Jepang di Surabaya, dr. Hutagalung lebih memilih ikut membentuk BKR daripada ikut dalam pembentukan KNID.

 

Dr. Hutagalung mendapat pangkat Kolonel dan awalnya bertugas sebagai dokter. Kemudian Kol. dr. Hutagalung diangkat sebagai Perwira Penghubung (Liaison officer). Hutagalung mendapat tugas ke Gresik, Mojokerto, Sidoarjo dan Jombang untuk mengumpulkan para berkas anggota PETA serta menganjurkan mereka untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah masing-masing. Hasilnya adalah :

·        Pasukan Gresik dengan komandan Kretarto.

·        Pasukan Mojokerto dengan komandan Marhadi

·        Pasukan Sidoarjo dengan komandan R. Kadim Prawirodirdjo

·        Pasukan Jombang dengan komandan Samekto Kardi.

 

Tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah  pusat di Jakarta mengumumkan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan gabungan dari BKR-BKR dan laskar-laskar pemuda. Demikian juga di Surabaya dan sekitarnya. BKR-BKR dan laskar-laskar dileburkan ke TKR. Tanggal 7 Januari 1946 nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Nama ini tidak bertahan lama, karena pada 26 Januari 1946 namanya diganti lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Terakhir tanggal 3 Juni 1946 namanya diganti menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digunakan sampai sekarang.

 

Dalam reorganisasi TNI pada bulan Mei tahun 1946, di Jawa Timur terdapat tiga divisi, yaitu Divisi V/Ronggolawe, Divisi VI/Narotama dan Divisi/VII Suropati. Kolonel dr. Wiliater Hutagalung menjadi dokter di Divisi/VI Narotama, sampai pertengahan tahun 1947. Kemudian Hutagalung  pindah ke Kementerian Pertahanan di Ibukota Sementara, Yogyakarta.

 

Pada 25 Oktober 1948, ketiga divisi tersebut digabungkan menjadi satu dan dinamakan Divisi I Jawa Timur. Peresmiannya dilakukan pada 17 Desember 1948, dua hari sebelum agresi militer Belanda kedua. Pada ulang tahun ketiga, tanggal 17 Desember 1951, Divisi I Jawa Timur dinamakan sebagai Divisi Brawijaya. Sekarang dikenal sebagai Kodam V/Brawijaya.

 

Catatan:

Awal tahun 1948 dilakukan Reorganisasi-Rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI. Salahsatu keputusannya adalah, semua pangkat diturunkan satu sampai dua tingkat. Hal ini dikarenakan, pada waktu pembentukan BKR/TKR, masing-masing menetapkan sendiri pangkat yang disandangnya. Akibatnya, sebelum dilakukan Re-Ra, TNI memiliki lebih dari 60 orang yang berpangkat Jenderal atau Laksamana. Banyak dari mereka sebelumnya tidak memiliki  latar belakang kemiliteran.

Dr. Hutagalung juga pangkatnya turun menjadi Letnan Kolonel.

 

 

Berperan Dalam Membangun Dinas Kesehatan Divisi I Jawa Timur

 

Pengalamannya yang banyak di kalangan militer Jepang selama 3,5 tahun, sangat membantu dr. Wiliater Hutagalung dalam membangun Dinas Kesehatan Militer di Surabaya, yang kemudian sangat bermanfaat dalam perang besar di Surabaya/Jawa Timur yang dimulai tanggal 10 November 1945.

 

Kebutuhan Dinas Kesehatan militer, terutama di masa perang, sangat berbeda dengan kebutuhan Dinas Kesehatan sipil. Pengalaman selama 3,5 tahun di kalangan militer Jepang dan dalam pertempuran di Surabaya tanggal 28 – 30 Oktober 1945, serta selama perang di Surabaya/Jawa Timur melawan tentara Inggris yang dimulai tanggal 10 November 1945, menjadi masukan yang sangat berharga dalam Reorganisasi-Rasionalisasi TNI tahun 1948 di Yogyakarta untuk membangun dan mengembangkan Dinas Kesehatan TNI.

 

 

Sangat Berperan Dalam Pembentukan Pasukan Sriwijaya

 

Tahun 1943 tentara ke 25 Jepang membentuk Giyugun (Tentara Sukarela) di Sumatera dan Malaysia. Anggota Giyugun adalah putra-putra dari orang-orang terpelajar, a.l. guru dan pegawai pemerintah. Giyugun di Sumatra Utara terdiri dari pemuda-pemuda asal Aceh, Deli dan Tapanuli. Akhir tahun 1944, sekitar 2.000 anggota Giyugun dikirim ke Morotai, Halmahera Utara, untuk membantu tentara Jepang dalam perang melawan tentara Amerika Serikat.

 

Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, sisa pasukan Giyugun yang masih hidup dilepaskan tanpa diurus kepulangan mereka ke Sumatra Utara, sehingga semua harus mencari jalan sendiri untuk kembali ke Sumatera Utara. Sekitar 400 pemuda mantan anggota Giyugun terdampar di Surabaya.

 

Secara kebetulan dr. Wiliater Hutagalung bertemu dengan dua orang pimpinan mantan anggota Giyugun yang terdampar di Surabaya. Kebetulan kedua orang tersebut adalah yang dari Tapanuli. Mereka menerima usul Hutagalung untuk tinggal di Surabaya dan membentuk pasukan sendiri. Pasukan tersebut dinamakan Pasukan Sriwijaya dan komandannya bernama Jansen Rambe yang berasal dari Tapanuli. Pasukan Sriwijaya ini juga dikenal sebagai Pasukan Jansen Rambe.

 

Dalam pertempuran 28-30 Oktober 1945 di Surabaya, Pasukan Sriwijaya ikut dalam penyerangan terhadap pos pertahanan Inggris di Darmo. Dalam perang melawan agresi militer Inggris yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya pada 10 November 1945, mereka ditempatkan di perbentengan di Kedung Cowek, karena mereka memiliki pengalaman dalam menggunakan meriam-meriam besar  dan artileri penangkis serangan udara peninggalan tentara Jepang. Sekitar sepertiga dari pemuda-pemuda asal Aceh, Deli dan Tapanuli gugur di benteng-benteng di Kedung Cowek, Surabaya.

 

 

Berperan Dalam Pertempuran 28-30 Oktober 1945 di Surabaya

 

Kol. dr. Wiliater Hutagalung, ikut berperan dalam pertempuran heroik di Surabaya yang berlangsung dari tanggal 28 – 30 Oktober 1945. BKR/TKR dan laskar-laskar pemuda di Surabaya dan sekitarnya menggempur 8 pos pertahanan tentara Inggris di bawah komando Brigjen AWS Mallaby. Dalam pertempuran yang berlangsung selama dua hari, tanggal 29 Oktober, tentara Inggris yang adalah salahsatu pemenang Perang Dunia II terpaksa mengibarkan bendera putih, meminta berunding. Di pos pertahanan Inggris di Darmo, Kol. Hutagalung menerima perwira tentara Inggris yang berkebangsaan Australia, Kapten Flower, yang membawa bendera putih untuk berunding.

 

Atas permintaan Panglima tentara Inggris, Mayjen Hawthorne, tanggal 29  Oktober Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap diterbangkan ke Surabaya untuk menyelesaikan “The Sourabaya incident” (versi tentara Inggris). Kol. Dr. Wiliater Hutagaklung, sebagai Liaison Officer (Perwira Penghubung) yang mengenal Amir Syarifuddin Harahap sejak  bersama-sama di organisasi pemuda Batak (Jong Bataksche Bond) di Batavia (Jakarta) tahun 1925, ikut dalam perundingan tersebut. Tanggal 30 Oktober tercapai kesepakatan gencatan senjata  antara pihak Indonesia dengan tentara Inggris.

 

Ketika  menyebar-luaskan kesepakatan gencatan senjata di 8 pos pertahanan Inggris, dalam suatu peristiwa tembak-menembak di depan gedung Internatio dekat Jembatan Merah, Brigjen Mallaby tewas. Pimpinan tentara Inggris menuduh pihak Indonesia telah melanggar gencatan senjata dan membunuh Brigjen Mallaby secara licik. Kedua hal tersebut dijadikan alasan oleh tentara Inggris untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan melancarkan agresi militernya yang dimulai tanggal 10 November 1945 pukul 10.00.

 

Namun Kol. Hutagalung yang juga berada di tempat kejadian di depan Gedung Internatio menyatakan, bahwa justru pihak Inggrislah yang mulai menembak dan melanggar gencatan senjata. Penjelasan dr. Hutagalung ini di kemudian hari dapat dibuktikan kebenarannya.

 

 

Berperan Dalam Perang Besar Yang Dimulai Tanggal 10 November 1945 di Surabaya/Jawa Timur

 

Pada 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan dengan mengerahkan pasukan terbesarnya setelah berakhirnya Perang Dunis II. Serangan tentara Inggris dilakukan melalui udara, laut dan darat

 

Dalam pertempuran yang berlangsung selama lebih dari tiga minggu di kota Surabaya, dr. Wiliater Hutagalung, sebagai dokter di Divisi VI (waktu itu) memimpin tenaga medis dan para-medis mendirikan Rumah Sakit – Rumah Sakit darurat di luar kota Surabaya untuk menolong dan merawat para prajurit yang luka-luka di medan pertempuran. Setelah tentara Inggris menguasai kota Surabaya, perang besar menjalar ke Jawa Tmur, karena tentara Inggris terus menyerang tentara Indonesia yang sudah terdesak keluar kota Surabaya. Akibatnya, Rumah Sakit–Rumah Sakit darurat terpaksa berpindah-pindah tempat karena serangan tentara Inggris yang terus memukul mundur tentara Indonesia.

 

Sementara itu, Belanda mulai mengirim tentara wajib militernya ke Indonesia, juga ke Surabaya/Jawa Timur, dan ikut berperang bersama tentara Inggris. Rumah Sakit darurat antara lain di Gatul. Kemudian setelah tentara Inggris dan Belanda menyerang terus dan mendesak pasukan Indonesia mundur lebih jauh, maka Rumah Sakit darurat di Gatul terpaksa ditinggalkan, dan harus membuat Rumah Sakit darurat di Pengkol. Dr. Hutagalung tetap bersama Divisi VI/Narotama sampai berakhirnya perang di Jawa Timur.

 

Catatan:

Mengenai dr. Wiliater Hutagalung di Surabaya tahun 1945- 1946, ada ditulis dalam buku-buku:

-      Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmodjo (Autobiografi).

-      Brigjen TNI (Purn.)  Kadim Prawirodirdjo: “Dari Panggung Perang Kemerdekaan Indonesia.”

-      Brigjen TNI (Purn.) drg. Barlan Setiadijaya; “10 November 1945. Gelora Kepahlawanan Indonesia.”

-      Dalam sambutan Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono, di buku Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung.

-      Berita-berita di berbagai media, terutama yang sehubungan dengan Pasukan Sriwijaya dan Benteng Kedung Cowek di Surabaya.

 

 

Berperan Dalam Menangani Hijrah Siliwangi, Februari 1948.

 

Perang tanpa pernyataan perang antara Republik Indonesia melawan Inggris dan Belanda di Jawa dan Sumatra diakhiri dengan gencatan senjata pada 14 Oktober 1946. Kemudian dilakukan perundingan Linggajati. Sementara di wilayah Indonesia Timur dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali dst., berkat bantuan dua divisi tentara Australia di bawah pimpinan Letjen Leslie Morshead, sejak tanggal 15 Juli 1946 Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur. Kemudian Belanda mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). Dalam persetujuan Linggajati, pemerintah Belanda mengakui de facto Republik Indonesia hanya atas Sumatra, Jawa dan Madura.

 

Kol. dr. Wiliater Hutagalung sejak pertengahan tahun 1947 berdinas di Kementerian Pertahanan di Ibukota Sementara, Yogyakarta.

 

Belanda melanggar Perjanjian Linggajati dengan melancarkan agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947. Fokus penyerangan kilat tentara Belanda terhadap Republik Indonesia di Sumatra dan Jawa, dengan sandi “Operatie Product” (Operasi produk), adalah untuk merebut dan menguasai daerah-daerah perkebunan dan pertambangan serta pelabuhan yang berada di wilayah Republik Indonesia. Agresi militer Belanda ini berlangsung singkat, sampai tanggal 5 Agustus 1947. Yogyakarta, Ibukota RI sementara, tidak menjadi sasaran utama penyerangan tentara Belanda.

 

Dalam operasi militer yang singkat ini, tentara Belanda berhasil menguasai sentra-sentra produksi Republik Indonesia di Sumatra dan Jawa. Agresi militer Belanda ini berakhir dengan dilakukannya perundingan di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948. Salahsatu butir dalam Perjanjian Renville adalah, pihak Republik Indonesia harus menarik pasukan-pasukan TNI dan laskar-laskar pemuda pendukung Republik Indonesia dari wilayah-wilayah yang dikuasai oleh tentara Belanda.

 

Jumlah pasukan Divisi Siliwangi dan laskar-laskar beserta keluarga mereka yang harus keluar dari Jawa Barat diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Mereka akan ditampung di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Jawa Tengah dan Yogyakarta.. Pihak Republik Indonesia hanya diberi waktu selama tiga minggu untuk menyediakan penampungan mereka di di Jawa Tengah dan di Yogyakarta.

 

Bedasarkan konsep yang disusun dan disampaikannya dalam rapat di Kementerian Pertahanan, dr. Hutagalung ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno untuk menangani kepindahan dan penampungan Pasukan Siliwangi, yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Hijrah Siliwangi. Ketua Panitia Hijrah adalah Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata.

 

Kol. dr. Hutagalung diangkat sebagai Ketua Sekretaris merangkap Ketua Bendahara dan menjadi penanggungjawab utama Hijrah Siliwangi. Rangkap dua jabatan penting ini tidak lazim, baik dalam suatu organisasi, maupun dalam suatu kepanitiaan. Namun ini menunjukkan peran khusus Kol. Dr. Hutagalung dalam menangani penampungan Divisi Siliwangi dan laskar-laskar beserta keluarga mereka. Untuk menyediakan pemondokan bagi sekitar 30.000 orang hanya dalam waktu tiga minggu, dengan kondisi pada waktu itu, tahun 1948, diperlukan terobosan-terobosan agar tidak terjadi hambatan dalam pelaksanaan Hijrah Siliwangi.

 

Pemindahan pasukan Divisi Siliwangi dan laskar-laskar beserta keluarga mereka dari Jawa Barat dimulai pada 1 Februari dan selesai tuntas pada 22 Februari 1948. Pihak Republik Indonesia berhasil menampung sekitar 30.000 pasukan Divi Siliwangi dan laskar-laskar beserta keluarga mereka di Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam waktu tiga minggu.

 

Catatan:

Mengenai peran dr. Hutagalung dalam menangani Hijrah Siliwangi, selain dalam buku Autobiografinya, ada di buku-buku:

1.   Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang dalam buku “Laporan Dari Banaran.” Diterbitkan pertama tahun 1960.

2.   Hijrah Siliwangi. Diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat Tahun 2004.

 

 

Berperan Dalam Persiapan Mengantisipasi Agresi Militer Belanda II dan Berperan dalam Perang Melawan Agresi Militer Belanda II.

 

Selain sebagai perwira menengah yang tergolong senior, dr. Hutagalung juga termasuk dalam tim dokter yang merawat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Oleh karena itu Letkol dr. Hutagalung selalu ikut terlibat dalam semua rapat-rapat dan perundingan-perundingan penting di jajaran pimpinan TNI.

 

Setelah Perjanjian Renville ditandatangani, pimpinan TNI mendapat laporan dari kalangan intelijen, bahwa Belanda terus mendatangkan tentara dalam jumlah besar dari Belanda. Selain itu Belanda  menambah jumlah pasukan KNIL dan pasukan bangsa Cina di Indonesia Pao (Po)  An Tui.  Oleh karena itu pimpinan TNI memperkirakan, Belanda akan melancarkan agresi militer yang jauh lebih besar dari agresi militer pertama tahun 1947.

 

Sejak bulan Mei 1948 dilakukan persiapan menghadapi agresi miiter Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatra. Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara Teritorium Jawa, membentuk tim yang menyusun strategi pertahanan untuk menghadapi agresi militer Belanda II. Dipersiapkan tempat Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat.

 

Letkol dr. Hutagalung sebagai perwira senior yang sudah memiliki pengalaman perang di Surabaya/Jawa Timur dan di masa agresi militer Belanda pertama, ikut terlibat dalam menyusun konsep yang dinamakan Pertahanan Rakyat Total. Dalam Pertahanan Rakyat Total ini, melibatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh Republik Indonesia di Sumatra dan Jawa. Ditetapkan tugas-tugas pemerintah sipil, dari mulai Gubernur sipil sampai Kepala Desa. Strategi pertahanan ini  kemudian dikenal sebagai strategi Perang Gerilya. Konsep ini dituangkan dalam Perintah Siasat 1 yang ditandatangani oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 12 Juni 1948.

 

Letkol dr. Hutagalung berperan dalam menyusun konsep kesiapan di bidang kesehatan dalam Strategi Pertahanan Rakyat Total, a.l. mempersiapkan pos-pos kesehatan di gunung-gunung di masa Perang Gerilya. Sebanyak mungkin obat-obatan dan peralatan kesehatan dibawa ke pos-pos kesehatan tersebut.

 

Enam bulan sebelum Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, TNI telah siap dengan konsep Pertahanan Rakyat Total menghadapi serangan tersebut..

 

Pada bulan September 1948 Wiliater Hutagalung diangkat menjadi Perwira Teritorial dengan jabatan Kepala Pos Penghubung. Hutagalung ditugaskan untuk membangun jaringan gerilya di Divisi II dan Divisi III (waktu itu) di Jawa tengah. Di masa Perang Gerilya melawan agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1948, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II/GM (Gubernur Militer) II Kol. Gatot Subroto dan Panglima Divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng.

 

Yang telah diantisipasi oleh pimpinan TNI sejak bulan Maret 1948 kemudian terbukti. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militernya terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Perang Gerilya dimulai. Belanda mengerahkan pasukan terbesarnya setelah usai Perang Dunia II, dengan dibekali persenjataan paling moderen waktu itu, yang diperoleh dari mantan sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia (ABDACOM – American, British, Dutch, Australian Command).

 

Seperti pada waktu melancarkan agresi militerya yang pertama bulan Juli 1947, untuk mengecoh opini dunia internasional, Belanda menyatakan agresi militernya sebagai “aksi polisional,” yaitu untuk memulihkan keamanan dalam negeri Belanda. Pada 5 Januari 1949 Belanda mengeluarkan pernyataan, bahwa “aksi polisional” telah berakhir, dan menyatakan bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi. Namun dunia internasional, terutama negara-negara di Asia yang mengetahui keadaan yang sesungguhnya, berpendapat lain. 

 

Walaupun tentara Belanda berhasil menawan hampir semua pimpinan pemerintah Republik Indonesia, namun Belanda tidak berhasil menghancurkan Republik Indonesia dan TNI. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat, tetap menyuarakan eksistensi Republik Indonesa. TNI di Jawa dan Sumatera terus-menerus melancarkan serangan-serangan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.

 

Wakil-wakil Republik Indonesia di luar negeri, terutama di PBB dan di India terus melobi dunia internasional untuk mendukung perjuangan Indonesia melawan agresi militer mantan penjajah. Pada 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi agar Belanda membebaskan para pemimpin Republik Indonesia dan maju ke meja perundingan yang akan difasilitasi oleh PBB. Juga diberitakan, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bersidang lagi pada bulan Maret untuk membahas konflik Indonesia – Belanda. pemerintah Belanda menolak usulan PBB dengan menyatakan, bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi.

 

 

Sangat Berperan Dalam Perencanaan “SERANGAN SPEKTAKULER TERHADAP YOGYAKARTA,” dalam rangka  Serangan Umum 1 Maret 1949

 

Para gerilyawan TNI di Jawa Tengah dan di Jawa Timur melalui “Radio Rimbu” dapat menangkap siaran radio yang memberitakan, bahwa Belanda menolak Resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949, dengan alasan bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada.

 

Pimpinan TNI berpendapat, untuk menunjukkan kepada dunia internasional atas kebohongan Belanda bahwa TNI sudah tidak ada, harus dilakukan serangan secara besar-besaran di seluruh wilayah basis gerilyawan TNI di Pulau Jawa, yang tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda. Keberhasilan operasi militer ini sekaligus akan memperkuat posisi delegasi Indonesia dalam sidang di Dewan Keamanan PBB di Lake Success (tempat kedudukan PBB pada waktu itu).

 

Letkol dr. Wiliater Hutagalung sejak bulan September 1948, dalam rangka mengantisipasi agresi militer Belanda, diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan membangun jaringan gerilya di Divisi II dan Divisi III, Jawa Tengah. Jabatannya adalah Kepala Pos Penghubung (Liaison Officer), yaitu penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto dan Panglima divisi II/Gubernur Militer III, Kol. Bambang Sugeng. Selama agresi militer Belanda II, dr. Hutagalung bermarkas di lereng Gunung Sumbing, bersama Panglima divisi III/GM III Kol. Bambang Sugeng. Selain sebagai perwira, sebagai dokter spesialis Paru dr. Hutagalung juga ikut dalam tim dokter yang merawat Panglima Besar Sudirman.

.

Pada akhir Januari 1948, dr. Hutagalung kebetulan berada di tempat Panglima Besar Sudirman di dekat Pacitan, Jawa Timur. Setelah mendengar berita mengenai penolakan Belanda atas Resolusi PBB tanggal 28 Januari, pimpinan TNI merancang serangan secara besar-besaran di wilayah Divisi I (Jawa Timur), Divisi II (Jawa tengah Bagian Timur) dan di Divisi III (Jawa Tengah Bagian Barat) yang dilaksanakan hampir besamaan pada awal bulan Maret 1949. Serangan Umum adalah serangan yang serentak dilakukan di wilayah suatu Divisi.

 

Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung untuk menyusun konsep serangan, yang harus diketahui oleh dunia internasional, untuk membantah kebohongan pemerintah Belanda. Untuk penyerangan terhadap Yogyakarta, Hutagalung menyusun konsep khusus, yang waktu itu dinamakan "Serangan Spektakuler Terhadap Ibukota Yogyakarta" yang diduduki oleh tentara Belanda. Dirancang “skenario” agar serangan tersebut diketahui oleh dunia internasional, sehingga dapat mengungkap kebohongan Belanda, bahwa TNI sudah tidak ada.

 

Pada 18 Februari 1948 diadakan rapat besar antara pimpinan militer dan sipil di markas Panglima Divisi III/GM III di lereng Gunung Sumbing. Selain mempersiapkan pasukan yang akan melakukan serangan, juga dibahas mengenai logistik, para medis, dan tata-cara penyebar-luasan berita mengenai serangan.

 

Dipersiapkan pemuda-pemuda yang tinggi dan gagah, yang fasih berbahasa Inggris atau Belanda. Mereka akan diberi seragam perwira TNI. Pada waktu dimulai serangan terhadap Yogyakarta, mereka dipersiapkan untuk memasuki Hotel Merdeka (sekarang Hotel Grand Inna), di mana para wartawan asing menginap. “Para perwira TNI” tersebut akan menerangkan kepada wartawan-wartawan asing, bahwa serangan tersebut adalah bagian dari serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara besar-besaran terhadap tentara Belanda di seluruh Pulau Jawa.

 

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel TB Simatupang yang juga bermarkas di lereng Gunung Sumbing, di pedukuhan Banaran, diminta membuat teks berita mengenai serangan yang akan dilancarkan terhadap Yogyakarta. Teks berita tersebut disampaikan oleh Simatupang sehari sebelum serangan dilancarkan, ke dua stasiun pemancar, yaitu di Playen milik AURI dan di Wiladek milik Pemerintah RI di Jawa tengah. Sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang dapat memberi perintah kepada penanggungjawab stasiun pemancar milik AURI di Playen. Simatupang berpesan agar teks tersebut disiarkan setelah serangan terlaksana keesokan hari, yaitu tanggal 1 Maret 1949. Pada 1 Maret 1949 sudah berada di Wiladek dan dapat langsung menyiarkan berita tersebut..

 

Pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 secara serentak dilancarkan Serangan Umum terhadap pertahanan tentara Belanda di wilayah Divisi II dan Divisi III.

 

Konsep yang disusun oleh Letkol. dr. Wiliater Hutagalung berjalan lancar. Serangan terhadap Yogyakarta dilancarkan pada 1 Maret 1949 mulai pukul 06.00 sampai pukul 12.00. sore hari tanggal 1 Maret 1949, berita mengenai serangan tersebut secara estafet disiarkan dari Playen dan Wiladek ke Banten, kemudian dari Banten diteruskan ke Bukittinggi. Siaran dari dari Bukittinggi dapat ditangkap di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Selanjutnya  siaran dari Kuta Raja dapat mencapai Singapura, Birma dan  New Delhi, India. Dari Singapura, Birma dan New Delhi berita mengenai serangan besar-besaran yang dilakukan oleh TNI sampai ke PBB di Amerika Serikat. Dunia internasional kini mengetahui kebohongan Belanda, dan ternyata Tentara nasional Indonesia masih ada, serta sanggup melancarkan serangan secara besar-besaran terhadap pertahanan tentara Belanda di pulau Jawa. Hal ini disampaikan oleh Lambertus Nicodemus Palar, pimpinan delegasi Republik Indonesia, dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Maret 1949.

 

Berita mengenai serangan TNI terhadap pertahanan Belanda di Yogyakarta, dimuat dalam harian Merdeka yang terbit di Batavia (Jakarta) tanggal 3 Maret 1949.

 

Fase perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, sangat menentukan hidup-matinya negara dan bangsa Indonesia. Apabila TNI kalah dalam perang tersebut, maka negara dan bangsa Indonesia lenyap dari peta politik dunia.

 

Agresi militer Belanda II berakhir dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil KMB, dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia menjadi satu dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom dalam RIS.

 

Pada bulan Agustus 1949, Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung diangkat menjadi Kwartiermeestergeneraal Staf “Q” (Kepada Staf “Q”) yang membidangi logistik. Dr. Hutagalung memimpin delegasi TNI dalam perundingan dengan Belanda untuk melaksanakan serah-terima perlengkapan KNIL ke TNI, sesuai dengan hasil Perundingan KMB. Tentara KNIL diwakili oleh Mayjen Dirk Reinhard Adelbert van Langen.

 

Catatan:

Mengenai peran Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung di masa Perang Gerilya melawan agresi militer Belanda II dan perannya dalam perencanaan “Serangan Umum 1 Maret 1949, ada di buku-buku:

 

-      Judul buku: Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung: Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa (Autobiografi)

Sambutan Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution.

-      Judul Buku: Memenuhi Panggilan Tugas. Kenangan Masa Gerilya. Jilid 2 A.

Penulis: Jenderal Besar TNI DR. Abdul Haris Nasution..

Tahun: 1983.

-      Judul Buku: Soedirman. Seorang Panglima. Seorang Martir.

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dan TEMPO

-      Judul Buku: SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 DI YOGYAKARTA

Penerbit: SESKOAD, Bandung, Tahun: 1989

-      Judul Buku: Laporan Dari Banaran

Penulis: Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang

Penerbit: Sinar Harapan. Tahun: 1980.

-      Judul Buku: Panglima Bambang Sugeng

Penerbit: Keluarga Besar Pejuang Mantan KSAD Bambang Sugeng. Tahun: 2009

-      Dalam informasi yang dikeluarkan oleh Humas DI Yogyakarta sehubungan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ditulis:

“Aktor penting Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan HB IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Selain 2 nama besar tresebut, ada dr. Wiliater Hutagalung yang menjadi penghubung Jend. Sudirman dgn. Panglima Divisi II & III.”

 

 

Mengundurkan diri dari TNI

 

Setelah selesai melaksanakan tugas sebagai Ketua Delegasi TNI dalam serah-terima perlengkapan KNIL ke TNI, pada bulan Januari 1950 Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung mengundurkan diri dari dinas di TNI. (Lihat lampiran).

Letkol. dr. Hutagalung mengundurkan diri dari TNI karena tidak setuju dengan hasil KMB, yaitu a.l.:

 

1.       Pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

2.       Republik Indonesia yang harus membayar kepada Belanda utang negara Nederlands Indië (India Belanda) kepada pemerintah Kerajaan Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan US $ 1,1 milyar). Di dalam jumlah 4,5 milyar gulden, termasuk biaya dua agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. .

3.       Diterimanya mantan tentara KNIL ke tubuh TNI. Dari sekitar 65.000 orang mantan tentara KNIL, sekitar 23.000 diterima di TNI dengan pangkat yang sama. Tetapi sebelum KNIL dibubarkan, pangkat mereka dinaikkan sampai dua tingkat. Di tahun 1970-an ada bekas tentara KNIL yang sampai tahun 1949 berperang di pihak Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia, mencapai pangkat Mayor Jenderal di TNI.

 

Demikian peran Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Catatan:

Keterangan yang lebih rinci mengenai Riwayat Perjuangan Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, dapat dibaca dalam buku Autobiografi, yang diterbitkan tahun 2016 dengan judul: “Riwayat Perjuangan Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung. Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa.”

Buku Autobiografi tersebut dilampirkan di sisi dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tulisan Riwayat Perjuangan ini.

 

 

Aktivitas Setelah Tahun 1950

 

Setelah mengundurkan diri dari TNI, pada bulan Juli 1950 bersama keluarga pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, dan membuka praktek dokter di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada waktu itu, dr. Hutagalung merupakan dokter pertama di Kebayoran Baru.

 

Kemudian bersama iparnya, dr. Djafar Diapari Siregar, dr. Wiliater Hutagalung aktif di partai politik Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI). Dr. Djafar Siregar semula adalah anggota DPR RIS mewakili Daerah Otonom Banjar, Kalimantan Selatan. Kemudian setelah RIS pada 16 Agustus 1950 dibubarkan, dr. Siregar  menjadi anggota DPR RI

 

Setelah Kabinet Wilopo meletakkan jabatan pada 3 Juni 1953, Presiden Sukarno menunjuk KRMT Wongsonegoro SH sebagai formatur Kabinet.

Dr. Wiliater Hutagalung yang adalah teman seperjuangan Wongsonegoro di masa agresi militer Belanda ke II, 19 Desember 1948 – 10 Agustus 1949, mewakili Partai Serikat Kerakyatan Indonesia ikutserta dalam tim formatur penyusunan kabinet. Tim formatur berhasil menysun Kabinet yang dikenal sebagai Kabinet Ali Sastroamidjojo – Wongsonegoro. Sebagai anggota tim formatur, Partai SKI mendapat “jatah” satu kursi menteri.

 

Dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo – Wongsonegoro, Partai Serikat Kerakyatan Indonesia menunjuk dr. Ferdinand Lumban Tobing untuk duduk di Kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsonegoro. Dr. Ferdinand L. Tobing menduduki posisi Menteri Penerangan.

 

Melalui jalur politik, dr. Wiliater Hutagalung dan para mantan perwira TNI yang mengundurkan diri dari dinas TNI karena menolak hasil-hasil KMB, terus berjuang agar hasil-hasil KMB yang sangat merugikan Republik Indonesia dan menguntungkan Belanda secara politik dan finansial, dibatalkan.

 

Tidak lama setelah diresmikan, satu-persatu negara Bagian dan Daerah Otonom dari Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Pada 16 Agustus 1950, RIS resmi dinayatak bubar, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945.

 

Tahun 1956, dengan UU No. 13/1956, Tentang:  PEMBATALAN HUBUNGAN INDONESIA-NEDERLAND BERDASARKAN PERJANJIAN KONPERENSI MEJA BUNDAR, yang disahkan pada 3 Mei 1956  dan diundangkan pada tanggal 22 Mei 1956, pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan seluruh hasil KMB.

 

Pemerintah Indonesia juga tidak membayarkan sisa cicilan utang pemerintah Nederlands Indië sebesar 500 juta gulden kepada pemerintah Belanda. Bahkan pada 17 Agustus 1960, pemerintah Republik Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda. Semua warga negara Belanda harus keluar dari Republik Indonesia. Dengan demikian, Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung dan para perwira TNI yang awal tahun 1950 menolak hasil KMB, berada pada pihak yang benar.

 

Dr. Hutagalung menjadi anggota Dewan Perwakilan Kota Sementara Kotapraja Jakarta Raya, dari tanggal 6 Juli 1954 sampai tanggal 31 Agustus 1956. Tahun 1954 juga menjadi anggota Dewan Komisaris di Perusahaan Penerbangan Nasional Garuda Indonesia, sebagai wakil Pemerintah Indonesia. Waktu itu namanya Garuda Indonesia Airways NV.

 

Walaupun telah mengundurkan diri dari TNI tahun 1950, namun sampai awal tahun 1980-an masih dilibatkan oleh teman-teman seperjuangannya, Angkatan ’45, dalam berbagai hal yang sehubungan dengan pemerintahan, terutama yang sehubungan dengan TNI, a.l. resmi menjadi penasihat di Inspektorat Jenderal Pemeriksaan Umum TNI AD, ketika Brigjen TNI Sungkono, teman seperjuangannya di Surabaya/Jawa Timur tahun 1945-1946, menjabat sebagai Inspektur Jenderal.

 

Tahun 1957 dr. Hutagalung membantu Mas Isman, yang dikenalnya dalam perjuangan di Surabaya tahun 1945, mendidikan Koperasi Simpan Pinjam Gotong Royong (KOSGORO). Dr. Hutagalung menyetor simpanan yang sangat besar waktu itu, yang menjadi modal awal untuk KOSGORO.

 

Dr. Hutagalung ikut membentuk organisasi Angkatan ’45 Nasional, yang merupakan perubahan dari organisasi yang lama, yang hanya mencakup wilayah Jakarta. Dr. Hutagalung ikut dalam penyelanggaraan Musyawarah Besar I Angkatan ’45 yang dilaksanakan tahuhn 1959 dan Musyawarah Besar II tahun 1963.

 

Tahun 1978, dalam pembentukan Kabinet Pembanguan III, berdasarkan konsepnya di bidang pertanian, oleh Angkatan ’45 dan Legiun Veteran RI, dr. Hutagalung diusulkan menjadi Menteri Pertanian. Namun tidak berhasil dalam tahap akhir seleksi oleh Presiden Suharto. Kemudian, setelah tidak berhasil menjadi Menteri Pertanian, juga di tahun 1978 dr. Hutagalung akan diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman. Namun karena ada suatu peristiwa yang sebenarnya  tidak ada kaitan dengan dr. Wiliater Hutagalung, namun mengakibatkan pengangkatan dr. Wiliater Hutagalung menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman menjadi batal.

PENGHARGAAN

 

Mendapat Tanda Kehormatan BINTANG GERILYA

 

Atas jasa-jasa dan keberaniannya, berdasarkan Keputusan Presiden No. 002/TK/Tahun 1995, tertanggal 20 Januari 1995 Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dianugerahi Tanda Kehormatan BINTANG GERILYA oleh Negara.

 

Dalam pertimbangan untuk pemberian Tanda Kehormatan ditulis:

 

1. bahwa untuk menghargai jasa-jasanya yang luar biasa dengan menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetiaan dalam berjuang dan berbakti terhasap Negara dan Bamgsa Indonesia selama perjuangan fisik antara Tahun 1945 sampai dengan Tahun 1950 terutama pada waktu Perang Kemerdekaan I dan II di daerah Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, Magelang (Gunung Sumbing) dan Yogyakarta, perlu menganugerahkan Tanda Kehoematan BINTANG GERILYA kepada Letnan Kolonel (Purn.) Dr. Wiliater Hutagalung, Mantan Kwartiermeester Generaal Staf "Q" Angkatan Darat;

 

2. bahwa penganugerahan Tanda Kehormatan tersebut penting untuk menjadi teladan bagi setiap Warga Negara Indonesia. 

 

Bertindak sebagai saksi untuk pengusulan pemberian Tanda Kehormatan Bintang Gerilya adalah Presiden Jenderal TNI (Purn.) Suharto dan Jenderal TNI (Purn.) Surono Reksodimedjo, mantan KSAD dan mantan Menko Menko Polkam serta mantan Menko Kesra. Pemberian Tanda Kehormatan BINTANG GERILYA kepada Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dilaksanakan pada bulan Juni 1995, dan disampaikan oleh Wakil Kepala Staf AD, Letjen FX Sudjasmin. Hadir dalam acara pemberian Tanda Jasa Bintang Gerilya, Kol. TNI (Purn.) Alex Evert Kawilarang, mantan Pangdam Siliwangi, yang dikenalnya sejak tahun 1948 di Yogyakarta, setelah Hijrah Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa tengah dan Yogyakarta.

 

Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung meninggal di Jakarta pada 29 April 2002, di usia 92 tahun. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.







 

 

Nama dr. Wiliater Hutagalung Menjadi Nama Jembatan Gantung di Tarutung

 

Atas jasa-jasanya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Bupati Tapanuli Utara, Drs. Nikson Nababan Msi., berinisiatif memberikan nama untuk satu bangunan di Tarutung, kota kelahiran dr. Wiliater Hutagalung.

 

Pada 28 Desember 2021, Bupati Tapanuli Utara, Drs. Nikson Nababan bersama Komandan Korem 023/Kawal Samudera, Kol. Febriel B. Sikumbang, meresmikan pemberian nama Jembatan Gantung di Kelurahan Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara yang sedang dalam pembangunan, menjadi Jembatan Gantung Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung.

 

 

********


Buku Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung

  



 Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung 
Yang memberi sambutan dalam buku Aurobiografi:
1. Jenderal Besar TNI DR. Abdul Haris Nasution.
Dalam sambutannya, Jenderal Nasution menulis a.l.
:" Secara pribadi saya mengenal Sdr. Dr. Wiliater Hutagalung ketika Siliwangi hijrah ke Yogya pada tahun 1948 sebagai hasil dari persetujuan Renville." 

2. Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono (tahun 2020 berusian 92 tahun
Dalam sambutannya, Jenderal Widjojo Soejono menulis a.l. perkenalannya dengan Letkol dr. Wiliater Hutagalung:
"Pada suatu sore hari, di akhir tahun 1946, dari front sebutan kami garis depan di masa itu, saya harus meninggalkan Desa bernama Legundi untuk berurusan dengan Markas Divisi yang berlokasi di Selorejo di sebelah Timur Kota Mojoagung. Menanti tumpangan kendaraan cukup lama, akhirnya datang sebuah mobil yang penumpangnya menawari saya untuk ikut. 
Melihat penumpang tersebut adalah seorang Letnan Kolonel, saya langsung menghormat setelah diperintahkan duduk berdampingan dengan beliau di mobil. Ternyata beliau adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater Hutagalung, Dokter Divisi kami.
Percakapan yang terjadi di antara kami terbatas pada kondisi pertempuran setempat dan tuga-tugas kami ketika itu. Perjalanan membawa kami melewati Kota Mojoagung dan berbelok melalui jalan kelas dua menuju ke Selorejo, lokasi Markas Divisi kami."
 

                                    ********
 

LAMPIRAN-LAMPIRAN

 

 Daftar lulusan Sekolah Dokter NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), Surabaya, Tahun 1923 - 1941. (Sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Wiliater Hutagalung lulus tahun 1937







                                    ********

Diterima Presiden Suharto di Kediaman di Jl. Cendana. November 1994.
Mengurus Tanda Kehormatan Bintang Gerilya.
Presiden Suharto menugaskan Sesmil Mayjen TNI Pranowo untuk menindaklanjutinya.



              ********


Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung memperoleh Tanda Kehormatan Bintang Gerilya.
Diberikan oleh WAKASAD, Letjen. TNI FX Soedjasmin. Juni 1995.

Ikut hadir Kol. TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang (berkemeja batik biru)

Mantan Pangdam Siliwangi, Pendiri cikal-bakal KOPASSUS





 

 

 

 



Piagam Tanda Kehormatan Bintang Gerilya.








                    
******** 
 
dr. Wiliater Hutagalung bersama pengusaha Tumpal Dorianus (TD) Pardede 
dan Menristek Bacharuddin Jusuf Habibie. di Jakarta tahun 1979.


 
*****
 

Acara syukuran Ulang Tahun ke 91 Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung di Gedung Joang ’45. Bulan Maret 2001.


Duduk di depan dari kiri:
Brigjen TNI (Purn.) drg. Soemiarso, Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jono Hatmodjo, Mayjen TNI (Purn.) Soehario Padmodiwirjo (Hario Kecik), Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Komjen Pol (Purn.) M. Jasin, Mayjen TNI (Purn.) EWP Tambunan.
Berdiri di belakang, memakai jilbab hijau, Ibu Endang Asrahardjo, putri dari Mayjen TNI (Purn.) Bambang Sugeng . 

                                                                  ********


Tulisan Mengenai Letkol TNI dr Wiliater Hutagalung Dalam Buku2

I.              Peran Kolonel dr. Wiliater Hutagalung Dalam Pembentukan Divisi I Surabaya/Jawa Timur dan Dalam Perang di Surabaya/Jawa Timur 1945 – 1947

1.    Judul Buku: Sejarah Pengalaman Pribadi/Autobiografi
Penulis: Mayjen TNI (Purn.) R.M. Jono Hatmodjo
Penerbit: Pribadi
Tahun: 1983.
Halaman 10.
Cuplikan.
Pembentukan Divisi I/TKR.Surabaya.
September 1945:
“Dr. Hutagalung, ahli Malaria diangkat sebagai Kepala Liaison Divisi dengan Pangkat KOLONEL.”
Catatan: setelah pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) TNI tahun 1948, di mana semua pangkat perwira TNI diturunkan, dr. Wiliater Hutagalung juga turun pangkatnya menjadi Letnan Kolonel.

***

2.    Judul buku: Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa (Autobiografi)
Penulis: Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung
Penerbit: Matapadi
Tahun: 2016
Halaman: xxix – xxxiii
Cuplikan:
Sambutan Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono (92 tahun)
Mengenal Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dalam peertempuran di Jawa Timur tahun 1945.
Isi sambutan, lihat buku Autobiografi Letkol TNI (Purn,) dr. Wiliater Hutagalung

***
3.    Judul buku: Indonesia Tidak Pernah Dijajah
Penulis: Batara R. Hutagalung
Penerbit: Matapadi
Tahun: 2017
Halaman: xxiii – xxv
Cuplikan:
Sambutan Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono.
“Saya mengenal Penulis sebagai Putra Letnan Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung (Almarhum), seorang senior saya yang menjabat sebagai Dokter Divisi VI/Narotama pada awal tahun 1946. Percakapan selama tumpangan kendaraan dari front Legundi, Surabaya kebelakang yang diberikan kepada saya yang ketika itu seorang Kapten berumur 18 tahun memberikan inspirasi yang luar biasa besarnya kepada saya dengan kepribadian Almarhum. Menjelang usia 90 tahun ini, saya amat bersyukur bisa mengenal putranya yang dengan caranya menunjukkan dedikasi dan komitmen yang begitu besar kepada bangsanya. Diantaranya dengan meluruskan sejarah, memperbaiki common memory, membunuh dramatisasi yang negative serta membangun optimisme dan harapan bagi bangsanya.”

***

Mengenai Peran Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung di Surabaya/Jawa Timur tahun 1945 – 1946, masih ada dua buku lagi di Dinas Sejarah TNI AD di Bandung, di mana ditulis mengenai dr. Wiliater Hutagalung.

***

II.            Peran Letkol. dr. Wiliater Hutagalung Dalam Panitia Hijrah Siliwangi.

1.    Judul Buku: Laporan Dari Banaran
Penulis: Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang
Penerbit: Sinar Harapan.
Tahun: 1980.
Halaman 264.
Cuplikan. Glosarium.
Hutagalung, dr.,aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945.
Tahun 1948 ditunjuk  sebagai wakil Angkatan Bersenjata pada Komisi Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik Indonesia dari Wilayah yang diduduki Belanda.

***

2.    Judul Buku: HIJRAH SILIWANGI
Penerbit: Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat
Tahun: 2008
Halaman: 62 dan 64
Cuplikan:
SUSUNAN PENGURUS PANITIA HIJRAH.
Ketua: Arudji Kartawinata, (Kementerian Pertahanan)
Wakil Ketua I: Jenderal Mayor Ir. Sakirman
Wakil Ketua II: Moh. Siraj (Kementerian Dalam Negeri)
Ketua Sekretaris: Dr. Hutagalung (Kementerian Pertahanan)

Bidang Keuangan.
Ketua: Dr. Hutagalung (Kementerian Pertahanan).


********

III.           Peran Letkol. TNI dr. Wiliater Hutagalung Di Masa Agresi Militer Belanda II dan Dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

1.    Judul Buku: Memenuhi Panggilan Tugas. Kenangan Masa Gerilya.
Penulis: Jenderal Besar TNI DR. Abdul Haris Nasution.
Tahun: 1983.
Cuplikan:
“Saya menginap di rumah Panglima B. Sugeng. Juga bertemu Bapak Kolopaking. ... Juga hadir Letkol. dr. Hutagalung yang menjadi penasihat Gubernur Militer.”

2.    Judul Buku: Soedirman. Seorang Panglima. Seorang Martir.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dan TEMPO
Tahun: Desember 2012
Halaman: 51 - 52
Cuplikan:
Siasat Jitu Nomer Satu.
“Kala itu Jenderal Soedirman  juga memanggil Letnan Kolonel dr. Wiliater  Hutagalung, yang ketika itu berada di Markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah perwira teritorial yang bertugas di Jawa tengah dan dokter. Ia ikut memeriksa kesehatan Jenderal Soedirman, yang terkena sakit paru-paru. “Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi serangan,” demikian kata Soedirman kepada Hutagalung.

Sang Jenderal juga memanggil Panglima Divisi III yang membawahkan Pulau Jawa, Kolonel Bambang Sugeng ke Pacitan. Mereka akhirnya sepakat menunjuk Soeharto menjadi komandan lapangan serangan umum besar-besaran. Bambang menulis surat  perintah kepada Soeharto untuk memimpin penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta. Pada akhir Februari Soeharto, Bambang, Hutagalung dan Simatupang bertemu di sebuah pematang sawah di desa Brosot, Yogyakarta, membicarakan rencana serangan tersebut.”

***

3.    Judul Buku: SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 DI YOGYAKARTA
Penerbit: SESKOAD, Bandung
Tahun: 1989
Halaman: 363
Cuplikan:
Lampiran VIII.
Surat.
No.: 3/2/Ko.D.III/49
Tanggal 20 Maret 1949
Kepada : PT Kol. AH Nasution
Dari: Ko. Daerah III Letkol Soeharto

--------- I s i surat --------

Tembusan kepada:
1.    Jth. Pt. Gub. Mil. III
2.    Jth. Pt. Kol. Djatikusumo.
3.    Jth. Pt. Lt. Kol. Dr. Hutagalung
4.    -7
8. A r c h i e f.

Catatan: Dokumen ini menunjukkan bahwa Letkol. TNI dr. Wiliater Hutagalungada dalam struktur TNI, yang perlu mendapat informasi (tembusan surat) mengenai hal2 di tubuh TNI pada waktu itu.)

***

4.    Judul Buku: Laporan Dari Banaran
Penulis: Letjen TNI (Purn.) TB Simatupang
Penerbit: Sinar Harapan.
Tahun: 1980.
Halaman: 165 – 166.
Cuplikan:
Kembali ke Yogyakarta.

“Pada suatu hari, Dr. Hutagalung yang pada waktu itu bekerja pada Staf dari Kolonel Bambang Sugeng, tiba di Banaran dengan nafas yang terengah-engah. Dia rupanya telah berjalan cepat untuk membawa kabar penting yang baru didengarnya melalui radio, yakni bahwa Jenderal Spoor telah meninggal di Jakarta.”
(Catatan: Spoor meninggal tanggal 25 Mei 1949)


***

5.    Judul Buku: Panglima Bambang Sugeng
Penerbit: Keluarga Besar Pejuang Mantan KSAD Bambang Sugeng
Tahun: 2009
Halaman: 196.
Cuplikan: Kesaksian (bu Suharti (79 tahun)
Persiapan Serangan di Samigaluh.
“Waktu itu sekitar bulan Februari 1949, saya menyaksikan kakak ipar saya Bapak Bambang Sugeng mengadakan rapat dengan Letkol Dr. Hutagalung yang merupakan penasehat militer beliau bersama Letkol Sarbini komandan Wehrkreise II dan Ajudan Panglima Bambang Sugeng bernama Kapten Wiluyo beserta kurir beliau bernama Rahmat.”

***

Dalam informasi yang dikeluarkan oleh Humas DI Yogyakarta sehubungan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 ditulis:
Aktor penting Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan HB IX dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Selain 2 nama besar tresebut, ada dr. Wiliater Hutagalung yang menjadi penghubung Jend. Sudirman dgn. Panglima Divisi II & III.
(Catatan: Lihat dokumen, di mana tertera bahwa Letkol dr. Wiliater Hutagalung menjabat sebagai Pos Penghubung Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng).


                                                        ********





















********
 
 Beberapa dokumen yang ada di 
Dinas SEjarah TNI AD di Bandung





                                                                

 





 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

********

Surat Pemberhentian Atas Permintaan Sendiri.

Ditandatangani Oleh Presiden RI Sukarno Tanggal 26.12.1949

Satu Hari Sebelum Republik Indonesia Serikat (RIS) Diresmikan.

 


 




********

Di Humas Pemda DI Yogyakarta.



********


Anggota Dewan Perwakilan Kota Sementara 
Jakarta Raya



********


Anggota Persatuan Purnawirawan ABRI (PEPABRI)



********
 
 
 
Buku Autobiografi Letkol. TNI dr. Wiliater Hutagalung juga tersedia di 
Perpustakaan Nasional Australia (National Library of Australia).



********



Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dimakamkan di

Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

 

 


 

********






No comments:

Post a Comment