70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Amerika Serikat
Pasang surut hubungan Indonesia-Amerika Serikat
Batara R. Hutagalung
Pengamat politik internasional
Kehadiran Amerika Serikat di Nederlands Indie yang kemudian menjadi Republik Indonesia, dimulai awal abad 19 dengan dibukanya beberapa konsulat Amerika Serikat untuk perdagangan di beberapa kota di wilayah jajahan Belanda.
Kehadiran militer Amerika Serikat di Nederlands Indie terjadi pada bulan Januari 1942. Dalam rangka menghadapi agresi militer Jepang, dibentuk komando bersama, yaitu ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command). Namun invasi tentara Jepang tidak terbendung. Tentara Sekutu yang ada di Pulau Jawa menyerah kepada tentara Jepang pada bulan Maret 1942.
Setelah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sejak berdirinya Republik Indonesia, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengalami pasang–surut.
Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan bekas jajahannya dan meminta bantuan Sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu negara-negara yang tergabung dalam ABDACOM. Dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, Belanda behasil masuk ke bekas jajahannya, yang telah menjadi negara merdeka. Belanda melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948.
Pada awalnya, pemerintah Amerika Serikat masih berpihak kepada Belanda dan membantu Belanda dengan melatih para wajib militer yang akan dikirim ke Indonesia, serta membantu perlengkapan militer Belanda. Namun sejak The Indonesian National Revolution dibahas di Dewan Keamanan PBB, dalam semua resolusi Dewan Keamanan PBB sejak resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, Amerika bersikap positif terhadap Republik Indonesia.
Agresi militer Belanda kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, mendapat kecaman dari pemerintah dan rakyat Amerika. Beberapa Senator Amerika berkunjung ke Indonesia untuk memantau perkembangan secara langsung. Rakyat Amerika geram terhadap Belanda, karena Belanda juga menggunakan dana bantuan Amerika yaitu European Recovery Program (ERP) yang dikenal sebagai Marshall Plan, untuk membiayai agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia. Agresi militer belanda tersebut dibahas dalam sidang-sidang di Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat ikut menandatangani resolusi No. 64 tanggal 28 Desember 1948, yang isinya mendesak pemerintah Belanda untuk membebaskan Presiden Indonesia dan semua tahanan politik, yang ditahan oleh Belanda ketika melancarkan agresi militernya.
Usul dari Amerika Serikat bersama Kuba, Norwegia dan China (Taiwan) diterima oleh Dewan Keamanan dan dituangkan dalam resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949 yang isinya a.l. menyerukan kepada pemerintah Belanda untuk menghentikan segala tindakan militer, membebaskan tanpa syarat para pemimpin Republik Indonesia dan ke meja perundingan yang akan difasilitasi oleh PBB. Wakil-wakil Amerika memimpin komisi PBB untuk menjembatani konflik bersenjata antara Republik Indonesia dengan Belanda. pada agresi militer Belanda pertama bulan Juli 1947, wakil Amerika, Dr. Frank Graham menjadi Ketua komisi Jasa Baik PBB (Committee of Good Offices for Indonesia). Kemudian pada agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948, wakil Amerika Horace Merle Cochran menjadi ketua komisi PBB, United Nations Commission for Indonesia.
Amerika Serikat berperan dalam menekan pemerintah Belanda untuk ke meja perundingan, yaitu Konferensi Meja Bundar, yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar dibentuk Negara Republik Indonesia Serikat (United States of Republic Indonesia). Republik Indonesia Serikat terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom. Republik Indonesia merupakan satu dari 16 Negara- negara Bagian tersebut. Pada 27 Desember 1949, dilakukan pemindahan kedaulatan (transfer of sovereignty) dari pemerintah Nederlands Indie kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat.
Sehari kemudian pada 28 Desember 1949, Amerika Serikat resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia Serikat. Duta Besar Amerika Serikat yang pertama untuk Republik Indonesia Serikat adalah Merle Cochran, mantan Ketua Komisi PBB untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia), sedangkan Duta Besar Republik Indonesia Serikat pertama untuk Amerika Serikat adalah Ali Sastroamijoyo.
Setelah Republik Indonesia Serikat berdiri, satu-persatu dari 15 negara bagian tersebut membubarkan diri dan bergabung ke Republik Indonesia. Pada 16 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitarian Republic of Indonesia) berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Melalui resolusi Dewan Keamanan No. 86 tanggal 26 September 1950, sepuluh anggota Dewan Keamanan setuju menerima Republik Indonesia menjadi anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. China (Taiwan) abstain dalam voting ini. Pada 28 September 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi anggota PBB ke 60. Untuk hampir semua negara-negara yang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia Serikat, tidak ada masalah sehubungan dengan perubahan bentuk Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga tidak ada masalah untuk Amerika Serikat. Merle Cochran tetap menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia sampai tanggl 27 Februari 1953. Demikian juga Ali Sastroamijoyo tetap sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat sampai Februari 1953.
Hanya satu negara yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, yaitu Belanda. Sampai artikel ini ditulis bulan November 2019, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949. Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menyampaikan secara lisan, bahwa mulai saat itu, 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda menerima Proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis. Artinya pemerintah Belanda hanya secara lisan menerima de facto kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pernyataan tertulis belum juga diberikan hingga saat ini.
Di awal tahun 1950-an, hubungan antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat sangat baik, dengan ditandai kunjungan Presiden Sukarno ke Amerika Serikat. Tahun1956 Presiden Sukarno memenuhi undangan dari Presiden Dwight D. Eisenhower. Sukarno disambut dengan sangat meriah oleh rakyat Amerika Serikat. Bahkan Presiden Sukarno mendapat kesempatan untuk berbicara di Kongres Amerika pada 17 Mei 1956. Sukarno menyampaikan penjelasan mengenai Pancasila, landasan filosofis negara Indonesia. Dalam pidato ini, setiap Sila yang disebutkan mendapat tepuk tangan yang meriah.
Di era Perang Dingin antara Pakta Warsawa dan NATO, kedua kubu berusaha menarik negara-negara lain masuk ke dalam kubunya. Setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955, posisi Indonesia di dunia internasional semakin menonjol. Indonesia sangat gigih melawan imperialisme dan kolonialisme. Pada waktu itu masih sangat banyak negara-negara di Asia dan Afrika berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa Barat, yang adalah anggota NATO. Peran penting Indonesia di Asia dan Afrika tentu sangat mengkhawatirkan negara-negara yang masih memiliki jajahan di kedua benua tersebut. Pada tahun 1957 Amerika Serikat mulai mengintervensi politik dalam negeri Indonesia dengan membantu gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Melalui CIA, Amerika memasok persenjataan untuk kedua gerakan tesebut.
Tahun 1961 Presiden Sukarno berkunjung lagi ke Amerika untuk kedua kali dan bertemu dengan Presiden John F. Kennedy. Kennedy mendukung upaya Indonesia untuk memasukkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia, sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Setelah Presiden Kennedy tewas terbunuh di Dallas pada 22 November 1963, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat di era administrasi Lyndon B. Johnson semakin memburuk. Terungkap upaya-upaya Amerika dan Inggris untuk menggulingkan Sukarno.
Indonesia menjadi medan laga untuk dinas-dinas rahasia dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Jerman, Uni Soviet, Cekoslovakia dan RRC, Puncaknya terjadi pada tanggal 30 September/1Oktober 1965 di mana 6 Jenderal TNI tewas dibunuh, kemudian terjadi pembantaian terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia, atau yang dituduh sebagai anggota PKI. Diperkirakan yang tewas dibunuh antara 500.000 – 1 juta orang. Terungkap bahwa CIA menyusun daftar nama 5.000 tokoh-tokoh PKI yang kemudian diserahkan kepada TNI. Dalam pertarungan di Indonesia pada waktu itu pemenangnya adalah NATO. Blok Timur tersingkir dari Indonesia, bahkan tanggal 1 Oktober 1966 Indonesia membekukan hubungan dengan RRC, karena keterlibatannya dalam mendukung PKI.
Sampai berakhirnya Perang Dingin tahun 1991, Indonesia mendapat sangat banyak bantuan dari negara-negara yang tergabung dalam NATO, terutama dari Amerika Serikat. Bantuan yang diberikan bukan hanya dana, melainkan juga perlengkapan militer. Tahun 1967 Amerika Serikat memprakarsai dibentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang mengkoordinir bantuan dari negara-negara barat untuk Indonesia. Intervensi yang berlebihan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh Ketua IGGI, Jan Pronk dari Belanda, membuat pemerintah Indonesia menghentikan hubungan dengan IGGI tahun 1992. Setelah IGGI dibubarkan, dibentuk wadah baru, yaitu Consultative Group on Indonesia (CGI). CGI dibubarkan tahun 2007.
Pada 25 April 1974 terjadi revolusi di Portugal di mana Marcelo Caetano digulingkan oleh militer. Pemerintah baru di Portugal melepaskan semua jajahan Portugal, termasuk Timor Timur. Terjadi perebutan kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di Timor Timur, yang kelihatannya akan dimenangkan oleh kelompok Fretelin yang berhaluan kiri. Di era Perang Dingin, kemenangan kekuatan yang berhaluan kiri di Timor Timur meresahkan NATO. Kekuatirannya adalah apabila Uni Soviet akan membangun pangkalan militer di Timor Timur yang letaknya di muka Australia.
Pada 6 Desember 1975 Presiden Amerika Gerald Ford didampingi Menteri Luar Negeri Henry Kissinger berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Suharto. Fokus pembahasan adalah rencana penyerbuan ke Timor Timur yang akan dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kunjungan ini merupakan signal, bahwa Amerika Serikat memberi “lampu hijau” kepada Indonesia untuk melancarkan serangan.
Kissinger masih berpesan kepada Suharto, agar serangan dilaksanakan setelah Ford dan Kissinger meninggalkan Indonesia. ABRI menyerang Timor Timur pada 7 Desember 1974. Media internasional memberitakan, terjadi banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Indonesia selama perang berlangsung. Diperkirakan korban tewas di kalangan penduduk Timor Timur antara 50.000 – 80.000 jiwa. Namun di masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan negara-negara NATO lain tidak terlalu mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan terus memberikan bantuan dana serta persenjataan kepada Indonesia.
Setelah Perang Dingin berakhir tahun 1991, sikap negara-negara NATO berubah terhadap beberapa negara, ternasuk terhadap Indonesia. Di negara-negara bekas anggota ABDACOM, pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1965 mulai diangkat ke permukaan. Di Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia, berbagai kalangan sangat gencar memojokkan Indonesia dengan isu-isu pelanggaran HAM.
Di Belanda pada 11 Februari 1991 didirikan organisasi yang dinamakan Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO). Tujuan organisasi yang mirip dengan PBB ini adalah membantu anggota2nya untuk memperoleh kemerdekaan. Gerakan2 separatis di Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka, menjadi anggota UNPO sejak tanggal didirikannya. Timor Leste menyusul pada Januari 1993.
Setelah terjadi insiden Santa Cruz di Dili, Timor Timur pada 12 November 1991 di mana sekitar 200 orang tewas tertembak oleh ABRI, Amerika Serikat dan NATO menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia berupa embargo senjata. Pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan Referendum di Timor Timur. Rakyat Timor Timur diberi opsi, apakah akan menerima Otonomi Khusus di wilayah Indonesia atau menolak otonomi khusus dan memisahkan diri dari Indonesia. Sebanyak 75,80% rakyat Timor Timur memilih opsi kedua dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur merdeka pada 20 Mei 2002, dan menamakan diri Timor Leste. Amerika mencabut embargo senjata terhadap Indonesia tahun 2005.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dilengserkan dari kursi kepresidenan. Beberapa pengamat melihat, bahwa para konglomerat yang dibesarkan oleh Suharto, termasuk dalam kelompok yang ikut berperan dalam menggulingkan Suharto. Presiden Bill Clinton yang dikenal dekat dengan keluarga Riady, diduga ikut terlibat dalam penggulingan Suharto.
Di masa administrasi Presiden George Walker Bush dari tahun 2001 – 2009 diwarnai dengan konflik dengan dunia Islam, termasuk dengan Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Diawali dengan serangan pesawat terbang yang merobohkan dua menara World Trade Centre di New York pada 11 September 2001, kemudian diikuti dengan penyerangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak. Di Indonesia juga terjadi serangkaian pemboman, a.l. Bom Bali I dan Bom Bali II, yang menewaskan ratusan wisatawan mancanegara, terutama wisatawan asal Australia. Langkah GW Bush dipandang sebagai realisasi tesis atau esei dari Samuel Huntington mengenai benturan peradaban. Lebih jelasnya ini dinilai sebagai konflik antara peradaban barat dengan Islam.
Ketika Barrack H. Obama menggantikan GW Bush tahun 2009, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat sangat baik. Ini disebabkan antara lain karena Obama pernah tinggal dan bersekolah di Sekolah Dasar di Jakarta selama beberapa tahun. Setelah bercerai dengan ayahnya, ibunya Obama menikah dengan seorang warga negara Indonesia. Sejak tahun 1967 Obama tinggal selama beberapa tahun di Jakarta.
Di masa administrasi Presiden Obama, terjadi peningkatan dalam hubungan bilateral di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi di mana terjadi peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Juga adanya kemudahan untuk warga negara Indonesia yang ingin berkunjung ke Amerika Serikat. Ditandatanganinya US–Indonesia comprehensive Partnership menunjukkan perhatian besar Amerika terhadap Indonesia, yang diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, keamanan kawasan di Asia Tenggara juga mendapat perhatian dari Obama. Hal ini sehubungan dengan munculnya RRC bukan hanya sebagai kekuatan ekonomi, melainkan juga sebagai kekuatan militer.
Sejak beberapa tahun beredar rekaman video yang berisi pernyataan-pernyataan Presiden GW Bush, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, purnawirawan Jenderal Wesley Clark, John McCain dan ulasan-ulasan di media-media di Amerika Serikat, sehubungan dengan Al Qaida, Taliban dan ISIS. Dari pernyataan-pernyataan para politisi Amerika tersebut terungkap, bahwa Al Qaida, Taliban dan ISIS dibentuk serta dibiayai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Hal ini tentu menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian pihak di Indonesia berpendapat, bahwa isu radikalisme Islam dan teroris Islam dimunculkan oleh pihak NATO untuk memojokkan Islam. Isu ini dinilai sebagai upaya NATO dalam mencari atau menetapkan The new common enemy. Hal ini dilakukan, setelah the old common enemy, yaitu imperium komunis Uni Soviet dan Pakta Warsawa lenyap tahun 1991.
Pengganti Barrack Obama, Donald J. Trump, merombak total politik luar negeri Amerika Serikat. Beberapa pengamat di Indonesia menilai, terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika ke 45 berdampak lebih baik dibandingkan apabila Hillary Clinton yang menjadi Presiden Amerika. Hal ini sehubungan dengan kedekatan keluarga Clinton dengan RRC dan para konglomerat China perantauan (oversea Chinese), antara lain dengan keluarga Riady dari Lippo grup. Pada waktu pencalonan Bill Clinton sebagai presiden petama kali tahun 1992, keluarga Riady diduga ikut mendanai. Pada pencalonan kedua tahun 1996, bukan hanya para konglomerat dari Indonesia, Taiwan dan Hong Kong, pemerintah RRC ikut terlibat dalam pengumpulan dana untuk pencalonan Bill Clinton. Hal ini diungkap a.l. oleh jurnalis ternama Bob Woodward di The Washington Post. Diberitakan, Kedutaan Besar RRC di Washington menjadi pusat pengumpulan dana. Para konglomerat tersebut telah memiliki hubungan yang lama dengan Dinas Rahasia RRC, Ministry of State Security (MSS).
Para calon presiden Amerika Serikat dilarang menerima sumbangan dana dari orang-orang yang bukan warganegara Amerika. Skandal ini terungkap dan James Riady dijatuhi hukuman harus membayar denda yang cukup tinggi. Diperkirakan, apabila Hillary Clinton yang menjadi Presiden Amerika Serikat, maka bukan hanya bisnis keluarga Riady yang akan sangat mulus, melainkan ekspor RRC ke Amerika akan makin meningkat dan upaya RRC untuk menancapkan kukunya di Indonesia akan lebih mudah dan kokoh.
Fokus kebijakan politik Donald Trump adalah internal Amerika Serikat dengan slogan yang dicanangkannya pada waktu kampanye, yaitu Make America Great Again (MAGA). Gebrakan pertama adalah penarikan diri Amerika dari Trans Pacific Partnership (TPP) tahun 2017. TPP dinilai tidak membawa keuntungan sama sekali untuk Amerika Serikat, bahkan hanya menjadi beban.
Gebrakan besar dari Trump adalah menghadang ekspansi RRC dengan program Belt and Road Inisiative (BRI) Presiden China Xi Jinping. Ketika pertama kali diperkenalkan ke dunia internasional, yaitu di Indonesia tahun 2013, konsep Xi Jinping masih bernama One Belt One Road (OBOR). Banyak kalangan menilai, bahwa konsep Xi Jinping ini merupakan kelanjutan ambisi China yang dicanangkan oleh RRC tahun 1949, yaitu program “Maraton 100 tahun” untuk menguasai dunia. Berarti targetnya tahun 2049 China sudah menguasai dunia. China pada saat ini telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Di bidang militer kekuatan China masih di bawah Amerika Serikat dan Rusia. Namun China mebangun Angkatan Perangnya secara besar-besaran dan mulai menunjukkan gigi di Laut China Selatan.
Trump menuduh, terjadinya defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap China sejak beberapa tahun belakangan karena praktek-praktek perdagangan yang curang yang dilakukan oleh China. Oleh karena itu Trump mengenakan tarif yang tinggi untuk produk-produk dari China. China membalas dengan langkah yang sama, yaitu mengenakan tarif yang tinggi untuk produk-produk Amerika yang akan masuk ke China. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China dimulai.
Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia ini tentu berdampak negatif untuk perekonomian global. Juga berimbas ke Indonesia. Perang dagang ini makin memperlemah perekonomian Indonesia. Tarif tinggi yang dikenakan terhadap produk-produk asal China yang akan masuk ke Amerika membuat banyak perusahaan asing di China merelokasikan industrinya ke negara-negara di Asia Tenggara. Namun belum satupun yang merelokasikan usahanya ke Indonesia.
Di bidang ekonomi, Amerika Serikat memang dapat menarik diri dari keterlibatannya di Asia Timur dan Asia Tenggara, tetapi Amerika Serikat tidak boleh menarik diri dari keterlibatan militernya di kawasan ini, karena berarti akan menyerahkan kawasan ini di bawah hegemoni RRC. Presiden Filipina Rodrigo Duterte bulan Oktober 2019 berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan Presiden Vladimir V. Putin. Topik utama yang dibahas adalah keamanan di Laut Cina Selatan. Filipina yang adalah sekutu Amerika Serikat, telah beberapa kali menentang klaim RRC atas perairan yang hingga saat ini diakui dunia internasional sebagai bagian dari Filipina. Putin telah menyatakan kesediaan Rusia untuk hadir di kawasan Laut China Selatan. Dalam peta RRC, Kepulauan Natuna yang secara internasional diakui adalah bagian dari Republik Indonesia, dimasukkan menjadi wilayah RRC.
Kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya di Asia Tenggara terlalu besar untuk dilepaskan kepada RRC. Sebut saja Freeport yang merupakan salahsatu tambang emas terbesar di dunia. Ini saja sudah menjadi alasan untuk Amerika Serikat tidak melepaskan keterlibatannya dalam hal keamanan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Kehadiran tiga kekuatan terbesar dunia di kawasan Laut China Selatan, akan dapat menjaga perimbangan kekuatan dan stabilitas di kawasan yang berpotensi besar menjadi pemicu konflik bersenjata.
Kepentingan ini juga berlaku untuk Indonesia. Demi menjaga perimbangan kekuatan agar dominasi RRC di Asia Tenggara dan di Indonesia tidak menjadi mutlak, suka atau tidak suka, untuk menjaga keseimbangan kekuatan militer di Laut China Selatan, kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara masih sangat diperlukan. Juga untuk kepentingan Amerika Serikat sendiri, dan sekutunya.
Pengangkatan Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan RI dinilai sangat tepat untuk menjaga perimbangan kekuatan Amerika Serikat dan China di Indonesia, karena Prabowo Subianto dan keluarganya sejak puluhan tahun dikenal cukup dekat dengan Amerika Serikat dan Blok Barat. Perekonomian Indonesia saat ini sangat didominasi oleh para konglomerat keturunan China yang memiliki hubungan erat dengan RRC.
Melihat pasang-surut hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat selama puluhan tahun menunjukkan masih berlakunya adagium, bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanya kepentingan. Tidak ada salahnya slogan Trump Make America Great Again diadopsi oleh Indonesia menjadi Make Indonesia Great Again.
********
Artikel ini telah dimuat di Mingguan berbahasa Inggris, Independent Observer pada bulan Desember 2019.
***
No comments:
Post a Comment