Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945 di Surabaya
(Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung: 10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?. Millenium Publisher, Jakarta, 2001. 472 halaman. Cuplikan dari halaman 229 - 271)
Pendahuluan
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, sebuah Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”
Isi pamflet tersebut dapat dikategorikan sebagai ultimatum, karena memberikan batas waktu penyerahan senjata, yaitu dalam waktu 2 x 24 jam. Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Dalam rombongan yang datang bersama Inggris, ternyata juga banyak orang Belanda. Mayor Jenderal drg. Mustopo segera berkeliling kota dengan mobil, sambil meneriakkan :” SIAAAP! SIAAAP!”
Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudriman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi, Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang (beberapa data menyebutkan sekitar 6.000 orang). Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, Jenderal Prusia yang legendaris, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30[1] dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Serangan terhadap pos pertahanan Inggris digambarkan oleh Kadim Prawirodirjo a.l. sebagai berikut:[2]
Daerah Utara:
Pasukan TKR Udara bersama-sama PRI Utara dan sebagian dari batalyon TKR Gresik terus menyerbu Lapangan Udara Morokrembangan. Sedangkan Pasukan batalyon TKR Laut No. 37 dan pasukan TKR Tanjung Perak secara jibaku (bunuh diri) menghadang iring-iringan tank dan melumpuhkan sekaligus. Pos pertahanan Inggris di Gedung Internatio diserang oleh Angkatan Muda PTT, PRI dari kantor besar, Pasukan TKR-HVA. Pos pertahanan Inggris di Gedung BPM, juga markas Mallaby, mendapat serangan dari Polisi dengan panser, dan dari batalyon Tank TKR, yang juga menyerang pos Inggris di Gedung Lindeteves.
Batalyon TKR Sambongan dan Pasukan Hisbullah/Sabillilah Kepanjen membagi kekuatannya dari arah timur dan barat.Batalyon TKR Tembaan bersama Polisi Koblen dan Pasukan Kereta Api serta laskar buruh menghadapi Inggris di Koblen. Pasukan Jarot serta kompi Kahim dari batalyon Gresik, turut ambil bagian dalam serangan ini.
Daerah Tengah:
Pasukan PRI Tengah bersama Pasukan Tank TKR, menghadapi Inggris di Alun-alun Contong. Bantuan datang dari Pasukan TKR Malang dan TKR Pasuruan, yang kemudian sebagian mengalihkan sasaran ke sekitar Koblen Pasar Turi. Pos Inggris di Gedung HBS harus menghadapi Pasukan TKR Gajah Mada dari arah barat, dan Pasukan Pelajar (TRIP) dari timur. Selain itu, batalyon TKR Laut Lastirah dan TKR Laut Jl. Sumatera, dibantu Pasukan Abdullah, menyerang dari arah selatan.
Pos Inggris di Hotel Brantas diserbu oleh Pasukan Pemuda Maluku serta sebagian dari Pasukan Jarot dan dari Polisi. Pasukan TKR Laut yang berpusat di Embong Wungu, bersama Polisi menguasai lalu-lintas di Kaliasin. Pos Inggris di Gedung RRI diserang oleh Pasukan TRIP dari arah timur dan dari belakang gedung, juga diserang oleh pasukan-pasukan lain.
DaerahSelatan:
Salah satu pos pertahanan Inggris yang cukup kuat, dilengkapi dengan Tank-Tank, menguasai komplek tahanan/interniran di Darmo. Daerah ini menjadi sasaran Pasukan Api, BPRI, PRI-10, Pasukan Sawunggaling serta Pasukan Artileri yang berpusat di Pakis Gunungsari. Pos Inggris di sekitar Kebun Binatang dan Stasiun Listrik Wonokromo, diserang oleh batalyonTKR Gunungsari, Artileri, TKR Sidoarjo serta laskar lain.
Pos Inggris di Gedung BPM Wonokromo, menjadi sasaran laskar Minyak, Batalyon TKR Sidoarjo, yang kemudian dibantu oleh pasukan-pasukan dari Malang, Pasukan Magenda dari Bondowoso dan dari Pasuruan.Bantuan datang juga dari Pasukan Sadeli Sastrawjaya dari Bandung dan dari Pasukan Slamet Haryanto dari Ponorogo. Pasukan TKR Mojokerto ikut ambil bagian di sektor Wonokromo Barat. Bantuan juga berdatangan dari para Kyai dari Banten serta Alim Ulama dari Asembagus. Mayor Jenderal Imam Sujai memimpin pasukan dari Divisi TKR Malang, dan datang bersama ribuan pasukan Ulama, yang ternyata datang tanpa membawa senjata apapun, bahkan nampaknya tanpa sebilah pisau pun.
Gempuran meriam-meriam dari Kapal Perang Inggris serta serangan dari pesawat terbang mereka, tidak menyurutkan ataupun menggentarkan para pemuda Indonesia dalam serbuan terhadap pos pertahanan Inggris di dalam kota Surabaya.
Corak bertempur arek Suroboyo digambarkan oleh Kolonel Doulton:
“…orang Indonesia di Surabaya tidak menghiraukan kematiannya. Jika seorang laki-laki jatuh tertembak, 100 orang lainnya datang maju…maju terus mernyerang… senjata berbicara tiada putus-putusnya. Kematian telah bertumpuk-tumpuk di bawah dan di atasnya barikade berbentuk kuda-kuda.
Tetapi orang Indonesia makin bertambah banyak berdatangan, melangkahi para pemuda yang tewas bergelimpangan di depannya…”
Pos Pertolongan Pertama yang didirikan oleh TKR Surabaya di Sepanjang, di bawah pimpinan Letkol. dr. Irsan Rajamin Nasution, putra Walikota Rajamin Nasution, dibantu oleh Mayor dr. Syarif Thayeb, yang asal Aceh, beserta para sukarelawan/sukarelawati PMI, harus bekerja keras, siang dan malam, untuk merawat korban yang sangat banyak berjatuhan di pihak Indonesia.
Demikian catatan Kadim Prawirodirjo.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih[3], meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.
Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, mereka segera menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:[4]
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. W. Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
“We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
Enam butir isi perjanjian tersebut adalah:
1. Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
2. Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
3. Keselamatan segala orang (termasuk orang-orang interniran) akan dijamin oleh kedua belah pihak.
4. Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
5. Pada malam itu segala orang akan merdeka bergerak, baik orang-orang Indonesia maupun Inggris.
6. Segala pasukan akan masuk dalam tangsinya. Orang yang luka-luka dibawa ke rumah sakit, dan dijamin oleh kedua belah pihak.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan adalah[5]:
I. 1. The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is
to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried
out.
2. The Allied forces shall not guard the city.
1. The Allied Forces shall be withdrawn from buildings, such as the HBS (SMT) building, BPM building, etc; and concentrate at the Darmo P.O.W. camp and Tanjungperak.
1. Liaison with the TKR and the Armed Police Force shall be maintained by (a) liaison-officer(s).
2. The warf area shall be guarded by the Allies and the TKR.
II. Detailed armistic agreement regarding the Sourabaya-incident decided upon
on the 30th October 1945, announced by the Minister of Information.
1. The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
2. An organ for liaison between the Allied Forces and the Sourabaya authorities shall be established. This shall composed of Indonesians and some Allied Forces.
3. a. The Sourabaya-city harbour area shall be guarded by the Allied
Forces, TKR, and the Republican Police. Details concerning the
area to be garrisoned shall be decided by a liaison-Committee.
b. The Darmo area where Europeans and internees reside, shall be
guarded by the Allied Forces. The headquarters of the Allied
Forces shall be established within this area.
c. The Territory outside these two area shall be guarded by the
Indonesians.
4 The connection between the harbour area and the Darmo area shall
be guaranteed.
5. The removal of the Darmo area resident to the harbour area is, in
principle, to be considered un-interrupted.
6. Those who have detained by both parties, shall be returned to each
other.
7. The guarding shall be carried out sincerely so that the lives of all those
interned may be guaranteed.
8. Members of the Contact-Bureau:
British:
- Brig. A.W.S. Mallaby
- Col. L.P.H. Pugh.
- Major M. Hudson.
- Capt. H. Shaw.
- Wing Commander Groom.
Indonesians:
- Soedirman, Resident.
- Doel Arnowo.
- Atmaji.
- Mohammad.
- Sungkono.
- Kusnandar.
- Roeslan Abdulgani.
- T.D. Kundan.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober (The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled), bahwa persenjataan yang dimiliki TKR dan laskar-laskar pemuda tidak akan dilucuti (butir I.1.), dan pengakuan terhadap TKR yang dipersenjatai (butir II.1.). Selain itu, pihak Sekutu menuntut, agar supaya di pihak Indonesia diatur kepangkatan serta seragam yang jelas, untuk membedakan tentara reguler/TKR yang diakui oleh Sekutu dengan laskar, yang dianggap oleh Sekutu sebagai kaum “ekstremis.“ Mereka juga kesulitan untuk memposisikan counterpart mereka dari pihak Indonesia.
Mengenai jabatan dan kepangkatan, Ruslan Abdulgani menuturkan:[6]
“Akhirnya, sebelum pulang diadakan satu pembicaraan dan satu persetujuan, bahwa sekarang ada truce agreement dan bahwa di dalam truce agreement itu akan diadakan satu joint committee dan di dalam joint committee dari Inggris adalah Brigadir Mallaby, Kolonel Pugh, Mayor Hudson, Kapten Shaw, Wing Commander Groom. Dari pihak Indonesia adalah Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Muhamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, Kundan. Saya sekretaris, sana Kapten Shaw. Kapten, sekretaris juga. Des Alwi sama lain lain itu masuk: “Eh, Cak, kamu itu berunding dengan siapa?”,
“Itu Kapten Shaw”,
“Lha pangkat mu opo?”, (pangkatmu apa?)
“Ndak duwé opo-opo”, (Nggak punya apa-apa)
“Ayo jadi Kapten, because Shaw is a Captain, I should also be a Captain, terus lapor nanggoné Mustopo.” (karena Shaw adalah Kapten, saya harus jadi Kapten juga. Terus melapor ke tempat Mustopo)
“Mus!”,
“Opo!”, (apa)
“Ruslan dadékno kapten!”, (Ruslan kamu jadikan kapten!)
“Kenopo!”, (mengapa)
“Ngadepi Kapten!”, (menghadapi kapten!)
“Dadékno kono!” (jadikan sana!)
Terus pergi ke Sungkono saya dapat pakaian dengan bintang tiga. Baru saya ngerti kalau kapten itu bintang tiga.
Terus dibisiki: “Cak, engko né ono letnan, kon ojo ngéné (maksudnya hormat-red), letnané kudu ngéné”, [Cak, nanti kalau ada letnan, kamu jangan gini (beri hormat, pen.), letnannya yang harus begini]
“Oh, ya”
“Itu nék kolonel kon sing ngéné”, (itu kalau kolonel, kamu yang harus gini)
“Nék podo kapten?”, (kalau sama-sama kapten?)
“Menengo waé!” (Ya diam saja!)
Maafkan saudara, a Captain is born. (seorang kapten telah lahir)
Demikian tutur Ruslan Abdulgani.
Sebenarnya boleh dikatakan, bahwa Presiden Sukarno, dengan menanda-tangani kesepakatan Sukarno - Hawthorn ini telah menyelamatkan Brigade 49 dari kehancuran total. Bagi para pejuang di Surabaya, hal ini menimbulkan masalah yang besar. Mereka dihadapkan pada dua pilihan yang tidak enak: mengikuti permintaan Bung Karno berarti ibarat kucing melepaskan tikus yang sudah ada di mulut. Tidak mematuhi, berarti tidak mengakui Presiden Sukarno dan akan dianggap sebagai pasukan liar. Akhirnya mereka tunduk pada perintah Presiden.[7] Menganggap dengan adanya gencatan senjata pertempuran benar-benar berakhir, pada hari itu juga, 30 Oktober 1945, Bung Karno dan rombongan pun segera kembali ke Jakarta.
Brigadier Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Pemberitaan melalui radio kurang bermanfaat karena aliran listrik hampir di seluruh kota dimatikan. Sore hari, iring-iringan mobil mencapai Gedung Internatio.[8] Mallaby sendiri tampak sangat terpukul dengan kekalahan pasukannya di dalam kota. Ini terlihat dari sikapnya yang setengah hati waktu menyebarluaskan berita hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Memang semula beredar isu, bahwa mayat Mallaby tidak ditemukan, namun beberapa hari kemudian, jenazahnya diserahkan oleh dr. Sugiri kepada tentara Inggris. Sebermula Mallaby dimakamkan di dekat Tanjung Perak, kemudian dipindahkan ke Morokrembangan dan terakhir dipindah ke Commonwealth War Cemetary di Menteng Pulo, Jakarta, di barisan (grove location) V.G.2[9]. Jadi, tidak benar bahwa mayat Mallaby tidak ditemukan.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby sampai sekarang masih sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Semua saksi mata pihak Indonesia menyatakan, bahwa yang melanggar gencatan senjata adalah Inggris, bukan pihak Indonesia. Kesaksian ini disampaikan oleh a.l. Sungkono, dr. W. Hutagalung, Ruslan Abdulgani, Subiantoro, I.Sutrisno Trisnaningprojo, dll. yang pada saat kejadian ada di muka Gedung Internatio. Bahkan T.D. Kundan -warga India yang berpihak kepada Indonesia- yang menjadi penterjemah di Kontak Biro menyatakan kepada pimpinan Indonesia, bahwa dia sendiri mendengar ketika Mallaby memerintahkan kepada Kapten Shaw yang akan memasuki Gedung Internatio, agar setelah 10 menit ada di dalam gedung, memberi perintah kepada pasukan Inggris untuk menembak masa yang mengerumuni gedung tersebut. Mohammad Mangundiprojo, yang bersama T.D. Kundan menemani Kapten Shaw memasuki Gedung Internatio membenarkan hal ini, dan menuliskan secara rinci kejadian tersebut (teks lengkap kesaksian M. Mangundiprojo lihat lampiran V, hlm. 230).[10]
Pernyataan-pernyataan dari pihak Indonesia tersebut tentu akan mendapat penilaian, bahwa adalah wajar, untuk membela diri pihak Indonesia mengatakan bahwa tentara Inggrislah yang memulai penembakan dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata.
Ini akan menjadi sangat berbeda, apabila kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg[11], seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan[12]:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara curang” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara curang” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot sebagai berikut[13] :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square. The previous day I had been to Battalion HQ for a conference but then fighting broke out again and I was stranded until I rejoined the Company at night during one of the so-called truces. I call it so-called because on return to the building I discovered that I could not withdraw a section of mine posted in Jail nearby. In fact they were imprisoned and later murdered.
Regarding the 4.30 p.m. visit I shall give below what I remember of the scene which remains fairly vividly etched in my memory.
When Brig. Mallaby (BM) left after his first visit, armed Indonesians again started massing in the square. We already knew that the surrounding buildings were manned and our position was getting worse as armed men were coming very near the building. When BM returned at 4.30 p.m. the situation was almost out of control. A few Indonesians (I presume local leaders) surrounded BM and they had to push through the crowd to get him near the Bank Building and he once again told me that there was a chance for the truce being extended.
After he said this 2 or 3 Indonesians made speeches but I could see that the crowd was not going to listen to speeches for long. Meanwhile BM was being hustled away from the speakers and eventually they too had to stop talking and they were being hustled away in another direction.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see BM or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw.
We soon cleared the square and just as the last people were running away we could hear shots being fired into a car (presumably the BM’s car). BM most certainly was not killed by our firing because we stopped as soon as we cleared the armed mob from the veranda and immediate vicinity of the building.”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang, apabila terdengar bunyi ledakan ataupun tembakan, akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Pihak Indonesia menyatakan, bahwa ada yang mendengar Mallaby menyampaikan perintah kepada Capt. Shaw agar sepuluh menit setelah di dalam gedung, pasukan Inggris membuka tembakan (open fire). Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
dan juga kalimat dalam tulisannya:
“When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attemp to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.”
Gopal sendiri menggaris bawahi kalimat
”The Decission was mine and mine alone.”
Kesaksian Gopal ini rupanya untuk menghilangkan tuduhan pihak Indonesia yang mendengar, bahwa sebenarnya Mallaby yang memberikan perintah untuk “open fire”, karena dia tidak mempercayai jaminan keselamatan yang diberikan oleh pihak Indonesia dan memperkirakan, paling tidak beberapa dari mereka akan selamat. Oleh sebab itu dia menyuruh Kapten Shaw masuk ke Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris, untuk menyampaikan perintahnya.
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) –kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw- cocok dengan kesaksian T.D. Kundan, yang mengatakan bahwa dia mendengar ketika Mallaby memberikan perintah kepada Kapten Shaw, agar pasukan yang berada di dalam Gedung Internatio menembaki orang-orang Indonesia yang berada di sekitar gedung tersebut.
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia telah “secara curang membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby; juga ada yang menceriterakan bahwa tank pasukannyalah yang menghacurkan mobil Mallaby dst. Tercatat pengakuan dari Dukut Hendronoto, bahwa dialah yang menembak Mallaby. Keterangannya dimuat dalam majalah Tempo, No. 37, tanggal 12 November 1977. Kemudian muncul lagi pengakuan dari Abdul Azis di Buana Minggu, Jakarta, tanggal 22 Desember 1986. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.)
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:[14]
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed to the Government offices, where we were each to collect an Indonesian representative. From there one of us was to go north, and the other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”
Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis antara lain:[15]
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”
Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:[16]
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, a.l. kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.
Sehubungan dengan pernyataan T.D. Kundan, yang mengatakan bahwa dia mendengar perintah Mallaby kepada Kapten Shaw sebelum memasuki gedung, agar setelah 10 menit ada di dalam gedung dan melihat bahwa massa belum tenang, harus memberikan perintah untuk menembak, pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Kemudian mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Juga Dul Arnowo mencatat laporan Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Ali Harun menuturkan:
Tentang kejadian-kejadian yang mengenai meninggalnya Brigadir Mallaby.
Pada hari bulan 30 Oktober 1945, jam 15.00 sore di gedung sekolah Al Irsyad sampai jam 17.00 sore tantara Inggris dan Gurkha mengadakan tembakan pada penduduk di sekitar gedung tersebut. Sampai jam tersebut rakyat tak mengadakan perlawanan. Serentak mereka (Inggris + Gurkha) turun dari gedung itu, dan mengadakan gerakan baru, yakni : menguasai Industri (dengan adanya stelling di gedung H. Abassamin dan sekitarnya), maka rakyat mengadakan perlawanan seru, dan membakar gudang Abassamin yang menjadi sarang-sarang tentara tersebut. Sampai jam 18.00 malam mereka mundur kembali ke gedung Al Irsyad. Pada jam 18.30 wakil PRI Pusat Utara akan mengadakan perundingan dengan Kontak-Biro, serentak datang pengurus Kontak-Biro (di rumah Tn. Dul. Arnowo), maka dapat keterangan dari orangnya Pak Dul, bahwa Pak Dul dan Pak Dirman dan Kundan bersama Brigadir Mallaby dan 2 orang Inggris sudah pergi ke gedung Internasio, guna mengurus pemberhentian tembakan; sesuai dengan perjanjian yang dilakukan oleh Presiden Ir. Sukarno cs dan Brigadir Mallaby. Tetapi menurut keterangan yang kami dapat, serentak mereka itu berada di muka gedung tersebut, mendapat tembakan-tembakan tersebut dari fihak Inggris). Maka diminta, supaya dapat berusaha, supaya orang-orang tersebut selamat. Salah satu jalan ialah minta pertolongan pada 2 orang wartawan Inggris yang berada di Simpang Hotel. Sedatang kami di Simpang Hotel dapat persetujuan dari 2 orang wartawan tersebut, lalu pergi ke gedung Internasio dengan mobil S 1 kepunyaan PRI Pusat Utara.
Sebelum sampai di gedung Internasio terlebih dulu 2 orang wartawan tersebut tinggal di markas besar tentara Inggris, yakni pusat BPM di jalan Sositet untuk memberi tahukan maksud-maksud wartawan tadi dan mendapat berita dari markas besarnya, bahwa markas besar inggris dalam tempo 5 menit akan memberi tahu pada tentara Inggris yang berada di gedung Internasio supaya menghentikan tembakannya, karena 2 orang wartawan itu akan datang tersebut, perlu bermusyawarah. Maka kami terus menuju ke gedung Internasio diantar oleh Sdr. Sukarno dengan 5 orang pemuda dari Yogyakarta yang berkendaraan sebuah mobil merek Studebaker. Sesampainya di gedung PRI Sulawesi kita disetop oleh kawan PRI dan diberitahukan bahwa kita jangan meneruskan perjalanan, meskipun memakai bendera putih dan tanda Palang Merah pada lampu mobil, sebab tentu akan mendapat tembakan-tembakan dari gedung Internasio.
Tetapi kita meneruskan perjalanan. Karena menurut keterangan markas besar Inggris yang diterima oleh 2 orang wartawan tersebut tentara-tentara yang berada di Internasio tidak akan melepaskan tembakan-tembakan karena sudah diperintahkan oleh markas besarnya. Setelah kami berada di gedung Internasio, maka kita mendapat tembakan-tembakan yang hebat dari atas gedung itu selama kurang lebih 45 menit, sehingga sopir kami (Sech Assegaf) kena peluru dan auto tidak dapat jalan karena rusak. Kemudian kami dengan dua orang wartawan-wartawan itu berteriak keras ditujukan ke gedung Internasio yang maksudnya supaya menghentikan tembakan-tembakannya.
Tetapi tidak diindahkan, bahkan tembakan-tembakan itu semakin seru sampai kurang lebih 20 menit. Sesudah itu tembakan diberhentikan dan dua wartawan tersebut mengadakan pembicaraan dengan tentara-tentara Inggris, dari jauh kurang lebih 20 meter dari gedung tersebut.
Kesimpulan dari pada pembicaraannya yakni : “Supaya dari Internasio menghentikan tembakannya dan rakyat yang berada di sekeliling gedung tersebut mengundurkan diri”. Dengan segera tembakan-tembakan dihentikan. Waktu kami akan meninggalkan tempat itu maka kami melihat satu mobil yang terbakar karena ledakan mortir. Menurut keterangan-keterangan dari orang-orang di sekeliling mobil itu, bahwa Brigadir Mallaby dengan anggota Kontak-Biro berada di dalamnya. Pun ada seorang dari angkatan laut yang berada di dekatnya luka karenanya. Orang tersebut diangkut dengan mobilnya Sdr. Sukarno ke pusat rumah sakit umum. Hal ini dilaporkan juga oleh Sdr. Sukarno kepada Tn. Dul Arnowo.
Maka kami dengan dua wartawan Inggris tersebut mendukung sopir kami yang luka kena tembakan tadi dan mendapat pertolongan satu mobil terus menuju ke markas besar Inggris untuk mengantarkan dua orang wartawan tadi.
Sesudahnya kami mengantarkan si sopir Syekh Assegaf tersebut ke rumah sakit, kami kembali lagi ke markas besar Inggris untuk mengambil dua wartawan tadi, tetapi menurut keterangan dari markas besar Inggris, dua orang wartawan tersebut sudah kembali ke tempatnya (Simpang Hotel). Maka kami kembali ke Simpang Hotel dan ternyata benar bahwa dua orang wartawan tersebut telah berada di hotel.
Satu jam kemudian lalu diadakan perundingan wartawan-wartawan Inggris dan India di hotel tersebut. Di antaranya yang hadir satu wartawan dari Antara dan seorang pemudi Indonesia. Sebelum perundingan dimulai, maka kami sudah menerangkan peristiwa-peristiwa itu kepada wartawan-wartawan Antara.
Perlu kami terangkan bahwa selama perjalanan kami itu selalu diikuti oleh seorang persfotograaf bangsa Indonesia dari Jakarta bernama Sofjan yang bertempat tinggal di Simpang Hotel kamar nr. 23. Demikianlah keterangan kami, dan kesimpulan daripada meninggalnya Brigadir Mallaby itu adalah nyata sekali karena ledakan yang dilemparkan dari gedung Internasio.
Keterangan di atas ini kami buat dengan sesungguhnya dan dapat dipakai seperlunya bagi mereka yang berkepentingan.
Surabaya, tanggal 1 Nop. 1945.
Yang membuat
Tt (Ali Harun)
Anggota Pengurus PRI Pusat Utara
Di Jalan Kampement no. 212
Telp nr. 0.2681
Yang menyaksikan dengan mata sendiri
Tt (Sukarno)
Ketua Badan Penerangan Markas Besar PRI
Di Jalan Pahlawan nr. 15, tilp. No. 2936 S/7
Yang mengambil turunan : Sekretariat Residen Surabaya
Surat tersebut dibawa oleh dr. Wiliater Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Imam Sutrisno Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith sendiri, tetapi menurut Imam Sutrisno Trisnaningprodjo, seorang saksi mata yang melihat kejadian tersebut menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby. I.S. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. (Lihat kesaksian lengkap dari I.Sutrisno Trisnaningprojo di lampiran II). Jadi, Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil[17]. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan I.S. Trisnaningprojo yang dilengkapi sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, van der Post menuliskan:[18]
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.”
Beberapa kalangan Indonesia ada juga yang mencurigai, bahwa yang membunuh Brigadier Mallaby adalah kaki-tangan Belanda, karena situasi di sekitar Gedung Internatio pada saat itu sulit dikendalikan. Tidak jelas diketahui yang mana pasukan/laskar Indonesia, dan yang mana kakitangan Belanda yang menyusup. Tokoh-tokoh Indonesia tersebut mengungkapkan, bahwa Belanda kuatir, tentara Inggris di Surabaya tidak membela kepentingan mereka; jadi apabila Mallaby dinyatakan dibunuh oleh pihak Indonesia, maka pembalasan pasti akan dilakukan oleh tentara Inggris terhadap Indonesia.
Dengan adanya keterangan I.S. Trisnaningprojo, berarti Smith tidak mengetahui, apakah Mallaby memang terkena tembakan dari pemuda Indonesia yang dia lihat dari luar mobil, apalagi mati akibat tembakan pistol tersebut. Dari pengakuannya sendiri dia menyatakan bahwa mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar akibat ledakan granat yang dia lempar. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Brigadier Aulbertin Walter Sothern Mallaby, terbunuh oleh Captain R.C. Smith, anak buahnya sendiri. Suatu kecelakaan yang berakibat sangat fatal bagi rakyat Surabaya.
Mengomentari peristiwa pertempuran 28 – 30 Oktober 1945, dalam surat tertanggal 20 Februari 1974 kepada Parrot, Kapten Smith menulis kalimat yang memberi gambaran mengapa Pemenang Perang Dunia II sangat mau dan sekaligus sangat marah:[19]
“… the whole incident –and, in fact the whole of our stay in Sourabaya- made an indelible impression. I understand that a great deal of politics was mixed up in it, but as a military operation, it was a disaster …”
Walaupun pengakuan tersebut ditulis hampir 30 tahun kemudian, namun itu adalah sungguh suatu pengakuan yang jujur dan sangat berani, yang datang dari seorang mantan perwira Inggris yang gentlemen.
Sosok Brigadier Mallaby, Perwira Administrasi
Sebenarnya, Mallaby berpangkat Mayor Jenderal dan bertugas sebagai salah seorang perwira administrasi yang diperbantukan di stafnya Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Allied Forces untuk Asia Pasifik. Boleh dikatakan sebagian besar kariernya dihabiskan di belakang meja, dan bukan di medan pertempuran.[20] Dengan asumsi bahwa tugas yang akan dilakukan adalah tugas administratif, melucuti persenjataan tentara Jepang yang sudah menyerah, membebaskan tawanan dan interniran Eropa serta memulihkan law and order, Mountbatten menugaskan perwira administrasi terbaiknya.
Kelihatannya dinas rahasia Inggris kurang atau bahkan tidak mendapat informasi mengenai kekuatan serta persenjataan pasukan-pasukan Republik Indonesia, terutama di Surabaya. Kekuatan Brigade 49 sekitar 5.000 personal, sedangkan di pihak Republik Indonesia, rakyat yang dipersenjatai mencapai 30.000 orang, ditambah dengan lebih dari 100.000 pemuda yang ikut meramaikan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan Inggris. Di samping adanya keangkuhan, Mallaby juga melakukan kecerobohan besar. Hanya satu hari setelah pendaratan di medan yang tidak dikuasainya, menempatkan pasukan-pasukannya dalam satuan yang relatif kecil, tersebar di dalam kota, tanpa persiapan logistik ataupun paramedis yang memadai. Mungkin disebabkan karena dia memang bukan perwira tempur, melainkan perwira administrasi. Pasukan yang dipimpinnya, Brigade 49 dari Divisi 23 memang punya pengalaman tempur; tetapi di hutan-belantara di Burma. Sedangkan yang dihadapi di Surabaya adalah perang di dalam kota dan mereka terpaksa bertahan di dalam gedung-gedung dimana saluran air dan listrik dimatikan.
Selain itu, kecerobohan lain adalah membebaskan Kolonel (Naval Captain) Huyer, perwira Angkatan Laut Belanda yang ditangkap dan dipenjarakan oleh pasukan Indonesia, bukan oleh Jepang. Mallaby telah mengetahui kebencian Indonesia terhadap Belanda, namun mengabaikan hal ini.
Kematian Mallaby boleh dikatakan suatu “blessing” (berkah) tersendiri bagi beberapa pihak di kalangan militer Inggris, karena apabila Mallaby tidak mati dalam pertempuran, kemungkinan besar akan dihadapkan ke pengadilan militer atas beberapa kecerobohannya yang mengakibatkan kekalahan Inggris dalam pertempuran 28-29 Oktober 1945 serta tewasnya banyak serdadu Inggris. Bila hal ini terjadi, di samping terungkapnya kelemahan dinas rahasia Inggris, tentu juga akan menyeret Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Pasifik, atasan Mallaby yang memberi tugas. Selain itu, tidak dapat dilupakan, bahwa Lord Louis Mountbatten adalah bangsawan yang termasuk keluarga dekat Raja Inggris.
J.G.A. Parrot bahkan berkomentar: [21]
“In some ways death may have come as a merciful relief for the unlucky Mallaby. One wonders what his thoughts were as he lay crouched in the back of Soedirman’s Lincoln sedan. What a squalid end to a brilliant career. Up to 1945 all had been success for this intelligent, urbane officer. He had been an advicer to Mountbatten, a major general at 42—he appeared destinated to reach the highest ranks in his profession. After the 49 Brigade disaster, his career would have been finished. He would almost certainly have had to face a Court of Enquiry, and might even have been court-martialed for incompetence. The British Army rarely tolerates failure; when it occurs, scapegoats have to be found. Many survivors of the initial Surabaya fighting still feel bitter over the treatment they received from the Army establishment. ………..General Pugh (former Second in Command 49 Brigade) has also told me how shabbily he was treated after the Surabaya affair, but has requested that the details be not published.”
Pada bulan Februari 1947, Lord Louis Mountbatten diangkat menjadi Wakil Raja (Vice Roi) Kerajaan Inggris untuk India. Tingkat bangsawannya juga naik menjadi Earl.
[1] Mengenai waktu penyerangan, ada pendapat yang berbeda. Ada yang mengatakan, bahwa penyerangan
dimulai tanggal 28 Oktober, sore hari. Namun mereka yang ikut dalam rapat dengan pimpinan Divisi VI
(Surabaya), mengatakan dengan pasti, bahwa sesuai dengan putusan rapat, serangan dimulai pukul 04.30. Di
beberapa tempat, penyerangan memang dilakukan pada siang hari, dan ada pula yang dimulai sore hari.
[2] Prawirodirjo, Dari Panggung Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, jilid 3, hlm. 390 - 399.
[3] Brigjen (Purn.) Drg. Barlan Setiadijaya sempat memotret tentara Inggris yang membawa bendera putih
tersebut, namun sayang klisenya kemudian hilang.
[4] Kolonel. A.J.F. Doulton, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-
1947. Aldershot: Gale and Polden, 1951, hlm. 257
[5] Terjemahan bahasa Indonesia, lihat lampiran.
[6] Sebagaimana disampaikan pada Seminar Internasional The Battle of Surabaya, November 1945. Back
Ground and Consequences. Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
[7] Hutagalung, ibid., hlm. 23.
[8] Gedung tersebut adalah kantor dari Internationale Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam.
[9] Abdulgani, ibid., hlm. 70.
[10] Drg. Barlan Setiadijaya, 10 November 1945. Gelora Kepahlawanan Indonesia, Yayasan Dwi Warna, Jakrta,
1991, hlm. 414 – 417.
[11] Parrot, ibid, hlm. 102.
Parrot memperkirakan, perwira yang memberikan informasi kepada Tom Driberg adalah Captain Shaw,
yang setelah peristiwa di Surabaya, dipindahkan ke Singapura.
[12] Parrot, loc.cit.
[13] Parrot, ibid., hlm. 101. Terjemahan bahasa Indonesia, lihat lampiran IX, hlm. 246.
[14] Parrot, ibid., hlm. 95 – 99. Terjemahan bahasa Indonesia, lihat lampiran X, hlm. 248.
[15] Parrot, ibid., hlm. 104 – 105.
[16] Parrot, loc.cit.
[17] Lihat kesaksian I.Sutrisno Trisnaningprodjo di lampiran VI, hlm. 233, serta sketsa lokasi di lampiran II A
dan II B.
[18] van der Post, ibid., hlm. 225.
[19] Parrot, ibid., hlm. 105.
[20] Parrot, ibid., hlm. 91.
[21] Ibid., hlm. 106.
No comments:
Post a Comment