ANALISIS KAMUS SEJARAH INDONESIA
Bagian 3
“Sejarah Baru Untuk Bangsa Indonesia?”
The first step in liquidating a people is to erase its memory. Destroy its books, its culture, its history. Then have someone write new books, manufacture a new culture, invent a new history. Before long the nation will begin to forget what it is and what it was.
Milan Kundera, 92 tahun. Sastrawan Perancis kelahiran Ceko.
(Terjemahannya: Langkah pertama dalam melikuidasi satu bangsa adalah menghapus ingatannya. Hancurkan buku-bukunya, budayanya, sejarahnya. Kemudian mintalah seseorang menulis buku-buku baru, membuat budaya baru, menciptakan sejarah baru. Tak lama kemudian bangsa itu akan mulai melupakan apa yang terjadi saat ini dan apa yang terjadi di masa lalu. Milan Kundera)
Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Pengantar
Untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap mengenai kesejarahan di Indonesia, harus juga diteliti buku-buku mata pelajaran sejarah yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidkan Republik Indonesia untuk sekolah-sekolah sejak beberapa tahun belakangan. Dalam hal ini buku-buku sejarah untuk SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum 2013, Edisi Revisi 2017.
Dengan mencermati buku-buku sejarah tersebut, terlihat benang merah penulisan mengenai beberapa peristiwa-peristiwa dengan penulisan di Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh Kemendikbud bulan April 2021.
Di bagian ketiga ini akan disorot beberapa hal, baik mengenai Kamus Sejarah Indonesia, maupun buku-buku sejarah untuk SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum 2013, Edisi revisi 2017, khusus mengenai hal-hal yang sehubungan dengan "aroma pesanan" etnis Cina di Indonesia.
Di bagian akhir analisis ketiga dan penutup ini, disampaikan ‘Fakta-Fakta Yang Ditemukan” dalam melakukan analisis, dan beberapa pertanyaan yang muncul dari hasil penelitian. Tidak dikemukakan kesimpulan penulis/peliti. Dipersilakan pembaca menarik kesimpulan sendiri, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan.
Di Kamus Sejarah Indonesia, yang disoroti adalah::
I. PERIODISASI
Yang perlu dipertanyakan pertama adalah, alasan membagi Sejarah Indonesia hanya menjadi dua bagian, yaitu periode “pembentukan negara 1900 – 1950” dan periode “pembangunan negara, 1951 – 1998.” Samasekali tidak ada ditulis periode penjajahan bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara/Nusantara, terutama penjajahan oleh bangsa Belanda, yang di beberapa wilayah berlangsung selama lebih dari 300 tahun.juga tidak ada periode pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda, yang kemudian menjadi Republik Indonesia.
Di dalam kamus jilid I, yaitu kurun waktu tahun 1900 – 1950, sebenarnya sampai tanggal 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942), wilayah yang dinamakan Nederlands Indië (India Belanda), adalah wilayah jajahan Belanda. Setelah itu, mulai tanggal 9 Maret 1942 sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu tanggal pernyataan menyerahnya Jepang kepada tentara Sekutu (Allied Forces), wilayah bekas jajahan Belanda tersebut berada di bawah kekuasaan pemerintahan militer Jepang.
Namun di dalam Kamus Sejarah Indonesia yang baru, mengenai penjajahan Belanda dan masa pendudukan pemerintah militer Jepang sangat minim ditulis, sehingga memberi kesan, bahwa kamus ini “memutihkan” lembaran hitam sejarah penjajahan Belanda dan pendudukan tentara Jepang di wilayah yang sekarang menjadi Republik Indonesia. Bahkan terkesan, kamus ini memutar-balikkan fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya. Hal ini dapat dilihat dari pengantar yang ditulis oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, di mana dia memuji Ratu Belanda. Di kalimat pertama pengantarnya dia menulis:
“Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru saja naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan parlemen Belanda bahwa pemerintah kolonial Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi terhadap bangsa bumiputra di Hindia Belanda. Ratu Belanda mengejawantahkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis yang kemudian diwujudkan dalam program Trias van Deventer yang meliputi irigasi, imigrasi dan edukasi.” (Catatan: menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang benar adalah utang, bukan hutang)
Luar biasa pujian ini. Dengan kata lain, Belanda, sang penjajahlah yang berjasa memberikan pendidikan kepada bangsa bumiputra (dahulu, istilah bahasa Belanda inlander diterjemahkan sebagai pribumi) sehingga kemudian para tokoh pribumi yang telah mendapat pendidikan dari Belanda, melakukan gerakan-gerakan kebangsaan untuk merdeka. Mungkin ini penjelasannya, mengapa masa penjajahan Belanda samasekali tidak ditulis dalam Kamus Sejarah Indonesia yang baru.
Pidato Wilhelmina ini disampaikan ditengah-tengah upaya Belanda menguasai seluruh Asia Tenggara, setelah ada perjanjian dengan Inggris untuk membagi-bagi wilayah jajahan. Sebelumnya, selama ratusan tahun Belanda dan Inggris saling memerangi, merampok dan saling membunuh dalam memperebutkan wilayah-wilayah jajahan di Asia Tenggara. Baik ketika Wilhelmina menyampaikan pidatonya, maupun setelah itu, masih berlangsung perang antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan dan kesultanan di Sumatra dan di Bali. Perang Aceh berlangsung dari tahun 1783 sampai tahun 1904. Namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1914. Perang Batak berlangsung dari tahun 1878 sampai gugurrnya Raja Sisingamangaraja XII bersama satu putri dan dua putranya dalam pertempuran melawan Belanda tanggal 17 Juni 1907. Puputan di dua kerajaan di Bali, yaitu perang sampai titik darah terakhir, juga berlangsung setelah pidato Wilhelmina tersebut, karena keserakahan Belanda untuk menguasai seluruh Asia Tenggara. Kerajaan Badung berakhir dengan Puputan Badung bulan September 1906, dan Kerajaan Klungkung berakhir dengan Puputan Klungkung bulan April 1908. Seperti Sisingamangaraja XII, raja-raja Badung dan Klungkung gugur bersama rakyatnya dalam perang melawan tentara Belanda, yang “lupa panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda” beberapa tahun sebelumnya Angka-angka tahun tersebut sekaligus membantah pernyataan Gubernur Jenderal Nederlands Indië ke 63, Bonifacius de Jonge, yang tahun 1935 mengatakan, bahwa Belanda telah berkuasa di wilayah ini sejak 300 tahun. Faktanya, kerajaan dan kesultanan di Sumatra dan Bali hanya dikuasai oleh Belanda selama sekitar 30-an tahun saja, sampai tanggal 9 Maret 1942 (atau tanggal 8 Maret 1942), yaitu tanggal menyerahnya Belanda tanpa syarat kepada balatentara Jepang.
Setelah pidato Wilhelmina tersebut, para tokoh pribumi di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda), memulai gerakan kebangsaan untuk melepaskan diri dari penjajahan tidak lagi dengan kekuatan bersenjata, melainkan secara politis. Tokoh-tokoh pribumi, baik yang melanjutkan pendidikan di Belanda, maupun yang berada di Nederlands Indië yang melakukan gerakan untuk kemerdekaan, ditangkap-tangkapi. Mereka yang berada di Belanda, dimasukkan ke penjara dan yang di Nederlands Indië, dibuang ke berbagai tempat. Pada umumnya mereka dibuang ke pulau-pulau terpencil atau ke Digul, Papua Barat. Tindakan pemerintah Belanda dan pemerintah Nederlands Indië tidak menunjukkan panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi.
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ternyata Belanda “lupa lagi” akan “panggilan moral dan utang budi kepada bangsa pribumi di Hindia Belanda.” Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai detik ini, bulan Mei 2021, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949. Dengan bantuan sekutunya di Perang Dunia II, Inggris, Australia dan Amerika Serikat (ABDACOM - American, British, Dutch, Australian Command), Belanda berusaha menguasai bekas jajahannya yang telah menjadi Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Kemudian Belanda melancarkan dua kali agresi militernya terhadap Republik Indonesia. Kedua agresi militer tersebut merupakan pelanggaran perjanjian-perjanjian internasional, yaitu Perjanjian Linggajati yang difasilitasi oleh Inggris dan Perjanjian Renville yang difasilitasi oleh Dewan Keamanan PBB. Terutama dalam agresi militer Belanda kedua terhadap Republik Indonesia yang dilancarkan mulai tanggal 19 Desember 1948, tentara Belanda dan pasukan-pasukan yang membantunya, pasukan KNIL dan pasukan bangsa Cina Pao (Po) An Tui, telah membantai sekitar satu juta rakyat Indonesia tanpa proses hukum (unlawful killing). Sebagian terbesar korban tewas adalah sipil (non-combatant), termasuk perempuan dan anak-anak. Beberapa pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Belanda dan kaki-tangan serta antek-anteknya selama agresi militernya, merupakan pembersihan/pembantaian etnis, genosida. Semua peristiwa pembantaian etnis, kejahatan-kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945- 1950, masih dapat dituntut di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Bangsa dan negara Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat, bahwa Belanda tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan menghapus Republik Indonesia dari peta politik dunia. Dengan demikian, adalah fakta sejarah, bahwa INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH, dan TNI tidak terkalahkan.
Dari uraian di atas ini terbukti, ucapan Wilhelmina yaitu “panggilan moral dan utang budi bangsa Belanda kepada bumiputra (pribumi) di Hindia Belanda, adalah OMONG KOSONG BELAKA.
Nama lain dari suatu kamus adalah “Buku Pintar,” yaitu buku yang berisi informasi mengenai semua hal. Dalam hal ini semua hal yang sehubungan dengan sejarah, yaitu mengenai nama dan peristiwa di masa lalu. Apabila dinamakan Kamus Sejarah Indonesia, buku ini seharusnya dapat memberi informasi mengenai semua nama dan peristiwa yang telah terjadi di wilayah yang sekarang menjadi negara Republik Indonesia.
Konon pembuatan Kamus Sejarah Indonesia ini ingin meniru Encyclopaedia Britannica (Ensiklopedia Britania). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ensiklopedia adalah “buku atau seperangkat buku yang memberikan informasi mengenai tiap cabang ilmu pengetahuan atau suatu bidang dengan entri atau pasal-pasal yang tersusun menurut abjad.” Edisi pertama Ensiklopedia Britania terbit tahun 1768 di Inggris. Tahun 2010 terbit edisi ke XV, yang terdiri dri 32 jilid dengan 32.640 halaman. Dikerjakan oleh 100 editor waktu penuh (full time editor). Tahun 2008 tercatat nama 4.411 kontributor. Kalau dengan kualitas pengarang kamus sejarah Indonesia seperti ini, maka hanya akan membuang-buang dana besar lagi untuk meningkatkan kamus sejarah Indonesia menjadi Ensiklopaedia Sejarah Indonesia. Masih butuh waktu yang sangat panjang untuk “mencetak” sejarawan yang memiliki kualifikasi untuk memberi kontribusi seperti para kontributor Encyclopaedia Britannica.
Apabila generasi mendatang yang “buta sejarah” ingin mengetahui mengenai berbagai peristiwa sejarah yang telah terjadi di Asia tenggara yang sekarang menjadi Republik Indonesia, seperti a.l. peristiwa “Penjajahan VOC,” atau “Penjajahan Belanda,” atau “Kolonialisme Belanda,” atau “Perang Aceh,” atau “Perang Diponegoro,” atau “Genosida (pembantaian etnis) di Kepulauan Banda tahun 1621,” atau “Genosida Bangsa Cina oleh Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) bulan Oktober 1740,” atau “Perbudakan di zaman penjajahan Belanda,” atau “Pemboman Inggris di Surabaya 10 November 1945,” atau “Pembantaian Rawagede,” atau “Pembantaian Westerling,” atau “Pembantaian Galung Lombok,” atau “Gerbong Maut Bondowoso,” atau “Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh,” atau “Pembantaian di Rengat (Riau) bulan Januari 1949,” atau “Masa Pendudukan Tentara Jepang,” atau “Pembantaian di Mandor, Kalimantan Barat, yang dilakukan oleh tentara Jepang,” atau “Unit 731, Medical Experiment Militer Jepang,” dll., tidak akan mendapat jawaban di Kamus Sejarah Indonesia, yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada bulan April 2021. Juga akan sama halnya dii “Ensiklopaedia Sejarah Indonesia,” apabila tetap memegang periodisasi seperti kamus ini, dan kalau tidak ada peningkatan mutu para pengarangnya.
Dalam kamus yang baru ini, periodisasi sejarah di Asia tenggara/Nusantara dan sejarah Indonesia dibagi menjadi dua bagian/jilid, yaitu jilid I yang dinamakan sebagai “pembentukan negara,” memuat daftar informasi kesejarahan dalam kurun waktu 1900 – 1950. ”Pembentukan Negara” ini diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai “nation formation 1900 – 1950.” Jilid II memuat daftar informasi kesejarahan pada kurun waktu 1951 – 1998 pada masa “pembangunan negara” yang diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai “nation building.” Kata Pengantar ditulis oleh Direktur Sejarah Triana Wulandari.
Di sini ada kesalahan terjemahan atau mungkin kekeliruan pemahaman. Kalau judul aslinya dalam bahasa Indonesia adalah “pembentukan negara,” maka terjemahan bahasa Inggris seharusnya adalah “state formation.” Arti Nation Formation adalah Pembentukan Bangsa. Bangsa (Nation) di sini adalah pengertian politik, bukan dalam pengertian sosio etnologi atau antropologi budaya. Bangsa Indonesia, sebagai entitas politik “lahir” pada 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, seluruh bangsa Indonesia, harus mengetahui proses dan perjuangan panjang pembentukan bangsa (Nation Formation), dan akan mendirikan suatu negara bangsa (Nation state), yang akan dinamakan INDONESIA. Perjuangan ini dimulai tahun 1920-an. Menurut pendapat Prof. Sartono Kartodirjo, yang layak ditetapkan sebagai ‘Kebangkitan Bangsa’ adalah ‘Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia Tahun 1925.’ Pendapat Prof. Sartono Kartodirjo juga didukung a.l. oleh Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Achmad Syafi’i Maarif. Manifesto Politik ini dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Perhimpunan Indonesia didirikan di Belanda oleh pemuda-pemuda dan mahasiswa-mahasiswa pribumi dari wilayah jajahan Belanda di Asia tenggara, Nederlands Indië (India Belanda), yang melanjutkan pendidikan di Belanda. Awalnya, organisasi yang didirkan oleh Rajiun Harahap gelar Sutan Kasayangan Soripada tanggal 15 November 1908 bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Di zaman penjajahan, Belanda menamakan wilayah jajahannya sebagai Nederlands Indië (India Belanda), dan menamakan penduduknya sebagai Indiër (orang India). Setelah mengenal nama Indonesia tahun 1917, nama organisasi ini tahun 1922 resmi diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Ini merupakan organisasi pribumi pertama yang resmi menggunakan nama Indonesia.
Kemudian “pembangunan negara” dalam bahasa Inggrisnya adalah “state buliding.” Arti “nation buliding” adalah “pembangunan bangsa.” Yang sering diserukan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia sejak tahun 1945 adalah sebagai bangsa baru, perlu dilakukan “Nation and Character Building,” yaitu “Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa.” Sebagai bangsa, masyarakat Indonesia belum memiliki jatidiri (character) bangsa Indonesia. Yang ada adalah jatidiri kesukuan (etnis). Untuk membentuk jatidiri bangsa, memerlukan proses interaksi yang lebih intensif di antara suku-suku di Indonesia yang cukup panjang.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas ini, harus juga dijelaskan proses “penciptaan” nama Indonesia tahun 1850, dan mulai kapan nama Indonesia digunakan oleh pribumi di wilayah jajahan Belanda. Hal-hal tersebut terjadi di masa penjajahan Belanda. oleh karena tiu, sangat penting ditulis dengan rinci masa penjajahan Belanda, yang sangat kejam, sangat diskriminatif-rasialis terhadap pribumi, bahkan sangat tidak manusiawi dan sangat biadab. Selama lebih dari 200 tahun, di wilayah jajahannya, Belanda memberlakukan Undang-undang Perbudakan. Pribumi leluhur bangsa Indonesia diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, tanpa memiliki hak-hak sebagai manusia. Mitra penjajah dalam perdagangan budak dan perdagangan narkoba (candu) adalah pedagang-pedagang bangsa Cina.
II. SISTEMATIKA PENULISAN YANG KACAU
Penulisan peristiwa-peristiwa dan nama-nama orang yang tidak sesuai dengan periodisasi di kamus.
- Adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi di periode 1900 – 1950, ditulis di periode 1951 – 1998. Demikian juga sebaliknya.
- Abdul Kahar Muzakkar, ada di jilid I, halaman.1. Peristiwanya mulai tahun. 1951. Jadi seharusnya masuk di jilid II.
- Di Jilid I (hlm. 238), periode 1900 – 1950, ada nama Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga, lahir pada 14 Maret 1802 – 24.12.1873.
- Di jilid II bahkan ada nama seorang Pahlawan Nasional dari abad 18, yaitu Pattimura (Thomas Matulesssy), lahir pada 8 Juni 1783. Nama Pattimura ada di jilid II, hlm. 209, di periode Nation Building 1951 – 1998.
Kalau ada nama Pahlawan Nasional yang lahir di abad 18, mengapa tidak ditulis nama Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, yang gugur dalam perang di abad 20. Tepatnya, Sisingamangaraja XII tewas dalam perang melawan Belanda tanggal 17 Juni 1907, bersama seorang putri dan dua orang putranya. Tahun 1907 termasuk di periode sejarah tahun 1900 – 1950. Nama Sisingamangaraja XII pun “menghilang” dari Kamus Sejarah Indonesia yang baru.
- Samin Soerosentiko. Lahir 1859. Jilid I, hlm. 247. Pendiri aliran Samin. Dia menganjurkan rakyat untuk menolak membayar pajak kepada penjajah. Namanya muncul lagi di jilid II, periode 1951 – 1998, hlm. 285.
- Tan Malaka, mantan Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) ditulis di jilid II, periode 1951 – 1998. Tan Malaka lahir tanggal 2 Juni 1897. Dieksekusi bulan Februari 1949. Seharusnya masuk di jilid I, periode 1900 – 1950. Keterangan mengenai Tan Malaka sangat panjang, mencapai dua halaman.
III. KESALAHAN-KESALAHAN PENULISAN NAMA DAN KETERANGAN MENGENAI NAMA DAN PERISTIWA
Nama-nama dan keterangan yang salah ditulis, a.l.:
- Thomas Stamford Raffles, ditulis sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. ini kesalahan, dia adalah Wakil Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderalnya adalah Lord Minto, berkedudukan di India.
- Surantiko Samin. Seharusnya Samin Surosentiko (jilid II, hlm. 285). Namanya sudah ada di jilid I, hlm. 247. Tahun 1907 Samin ditangkap dan dibuang ke Palembang). Ajarannya, menolak membayar pajak kepada belanda, mencapai puncaknya tahun 1914, ketika pajak naik.
Koreksi: Di beberapa artikel di media-online, juga di Wikipedia dan National geographic ditulis, Samin dibuang ke Sawahlunto, Sumatra Barat bersama 7 oang pengikutnya. Mereka kemudian dipaksa menjadi pekerja di tambang batubara..
- Henk Ngantunk. Seharusnya Henk Ngantung. (Jilid II, hlm. 81)
- Dr. Soetomo lahir 30 Juli 1988 (hlm. 307)
- Tadashi Meda. Seharusnya Tadashi Maeda, (hlm. 313).
- Di jilid I hlm. 319 ditulis:
“The Pearl of Orient” julukan yang diberikan untuk kota Batavia oleh para pelayar dan pedagang Eropa yang datang ke Batavia pada abad ke 16,
Koreksi: Nama Batavia baru diberikan sebagai pengganti nama Jayakarta, pada 4 Maret 1621, jadi di abad 17. Pada abad 16 belum ada nama Batavia. Juga pelabuhan Jayakarta pada abad 16 masih satu pelabuhan kecil. Pelabuhan internasional yang besar waktu itu adalah pelabuhan Banten.
Kelihatannya, mengenai “The Pearl of orient” ini hanya bersumber dari satu artikel di media-online, yang dikutip tanpa meneliti lebih lanjut. Julukan ini juga disandang beberapa kota lain di Asia, a.l. Hongkong, Manila, dll.
Namun, apa relevansinya ini ditulis di kamus sejarah Indonesia? Puji-pujian ini bukan kepada pribumi, melainkan kepada orang-orang yang membangun kota-kota tersebut, yaitu para penjajah.
- Agresi militer Belanda kedua ditulis 19 Desember 1947. Ini salah. Seharusnya 19 Desember 1948. (Jilid I, hlm. 14.)
- Aksi polisional (hlm. 21) adalah agresi militer Belanda.
Aksi polisionil kedua juga salah ditulis seperti pada informasi mengenai agresi militer Belanda hlm. 14. “Aksi polisionil kedua” ditulis pada 19 Desember 1947. Seharusnya 19 Desember 1948.
Ada beberapa nama yang dua kali ditulis, a.l.:
- Ahmad Subarjo (jilid II, hlm. 12). (Jilid I, hlm. 19).
- Daud Bereuh, dua kali. Hlm. 53 dan 54
- Sukiman Wiryosanjoyo.
- Ahmad Subarjo (jilid II, hlm. 12). (Jilid I, hlm. 19),
- Mas Tirtodarmo Haryono, Jilid II. Berturut-turut ditulis di halaman 162 dan 163.
- Sunario Sastrowardoyo ditulis dua kali berturut-turut. (Hlm. 298 dan 299).
- Samin Surosentiko (di jilid I, hlm. 247 dan di jilid II, hlm. 285)
- Kesalahan fatal dalam keterangan satu nama tokoh, adalah mengenai nama Soemitro. Ditlulis di Jilid II, hlm. 277 a.l. sebagai berikut:
“Soemitro, Menteri, Wakil Panglima ABRI dan Pangkopkamtib, salahsatu pendiri FEUI. Lahir di Probolinggo 13 Januari 1927, meninggal di Jakarta, 10 Mei 1998. Ia sangat dikenal karena dalam masa kepemimpinannya meletus peristiwa Malari, yang mengakibatkan pengunduran dirinya dari militer. Soemitro adalah anak dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Indonesia dan anggota BPUPKI. Dalam pemerintahan, posisi yang pernah diembannya adalah sebagai menteri Keuangan, Menteri Riset. Saat agresi Belanda II, ia menjabat Wakil Komandan Subwehrkreise di Malang dan mendapat perintah dari Panglima Komando Jawa, Kol. Nasution untuk melakukan perang Wingate. ... ia meraih gelar doktor di Nederlandse Ekonomise Hogeschool, Rotterdam, Belanda pada tahun 1943 ...”
Demikian yang ditulis di Kamus Sejarah Indonesia.
Koreksi: Di sini kelihatannya dua nama Soemitro dijadikan satu dalam keterangannya, yaitu Prof. Soemitro Djojohadikusumo, pakar ekonomi, dan Jenderal TNI (Purn.) Soemitro, mantan Pangkopkamtib.
Menarik untuk mengetahui reaksi dari keluarga Prof. Soemitro Djojohadikusumo, dan keluarga Jenderal TNI (Purn.) Soemitro, apabila membaca keterangan di Kamus Sejarah Indonesia yang baru, mengenai ayahanda atau kakek mereka.
IV. NAMA BANGSA ASING:
- Benedict Anderson. Tidak jelas apa perannya dalam Pembangunan negara Indonesia 1950 – 1998. Kalau alasannya bahwa dia adalah seorang Indonesianis, artinya pakar sejarah mengenai Indonesia, sangat banyak orang asing, Eropa, Amerika, Australia, Inggris, dll., yang juga pakar sejarah mengenai Nusantara dan Indonesia. Mengapa hanya nama Benedict Anderson yang ditulis?
- Bangsa asing yang jelas perannya dalam membantu perjuangan Indonesia di masa agresi militer Belanda a.l. adalah Ktut Tantri (Muriel Scott Walker), perempuan keturunan Skotlandia-Amerika,
V. “PENULISAN YANG “BERAROMA PESANAN.”
Ada kesamaan penulisan yang “beraroma” pesanan dari etnis Cina dalam Kamus Sejarah Indonesia yang baru diterbitkan oleh Kemendikbud pada bulan April 2021, dengan buku-buku sejarah yang diterbitkan tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk SMA, MA, SMK dan MAK Kurikulum 2013/Revisi 2017. Di Analisis Kamus Sejarah Indonesia Bagian kedua dan di Bagian ketiga telah ditulis cukup rinci mengenai bangsa Cina, baik di masa penjajahan, maupun di masa agresi militer Belanda di Rep;ublik Indonesia 1945 – 1949..
Editor Kamus Sejarah Indonesia yang baru, Prof. Susanto Zuhri mengatakan a.l.: “Semua tokoh-tokoh yang berperan besar dalam Pembentukan Negara dan Pembangunan Negara Indonesia harus ditulis dalam Kamus Sejarah Indonesia.” (Lihat:
Sehubungan dengan munculnya banyak nama-nama etnis Cina di kamus, muncul pertanyaan: “Apa peran besar orang-orang tersebut dalam Pembentukan Negara dan Pembangunan Negara Indonesia, sehingga harus ditulis di Kamus Sejarah Indonesia.” Juga ada nama satu surat kabar berbahasa Cina Kung Yung Pao di masa penjajahan, yang tidak jelas apa perannya dalam pembentukan negara Indonesia. Bahkan pemiliknya, Oei Tiang Tjoei yang ikut mewakili bangsa Cina dalam BPUPK bulan Juni-Juli 1945, menolak menjadi warga negara Indonesia, negara yang akan didirikan. (Lihat Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI halaman xxxvii. Diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI).
Berikut ini disampaikan analisis terhadap buku-buku sejarah untuk SMA dll., yang sehubungan dengan “aroma pesanan etnis Cina.”
********
BUKU-BUKU SEJARAH UNTUK SEKOLAH
YANG DITERBITKAN OLEH KEMENDIKBUD TAHUN 2017
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai kesejarahan di Indonesia, harus juga meneliti buku-buku sejarah terbaru untuk sekolah-sekolah yang diterbitkan tahun 2017 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kekurangan-kekurangan, kesalahan-kesalahan, dan ”aroma pesanan etnis Cina,” bukan hanya ada di Kamus Sejarah Indonesia yang baru diterbitkan oleh Kemendikbud bulan April 2021, namun hal-hal tersebut ternyata juga sudah ada di buku-buku sejarah untuk SMA/MA/SMK/MAK, kelas X dan XI, Kurikulum 2013, Edisi Revisi 2017 yang diterbitkan oleh Kemendikbud tahun 2017.
Selain cukup banyak terdapat kesalahan seperti di Kamus Sejarah Indonesia yang baru, ada penulisan beberapa peristiwa yang "beraroma pesanan etnis Cina.” Di Kamus Sejarah Indonesia, muncul cukup banyak nama-nama etnis Cina, baik di masa penjajahan Belanda, maupun setelah tahun 1951 (lihat Analisis Kamus Sejarah Indonesia Bagian kedua).
Di bawah ini beberapa contoh penulisan di buku sejarah Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2017, yang sehubungan dengan bangsa Cina di masa penjajahan Belanda:
Untuk Kelas X
Di halaman 35 dsl: Ini sehubungan dengan asal-usul nenek-moyang/leluhur bangsa Indonesia, yang masih ditulis juga berdasarkan Teori Migrasi yang kuno, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan.
Koreksi: Teori migrasi yang dinamakan “The Yunnan Theory” pertama kali diperkenalkan tahun 1889. Teori ini “berbau” pesanan/titipan dari penjajah, untuk membingungkan pribumi di wilayah jajahannya, yang sejak ratusan tahun memiliki antipati terhadap bangsa Cina yang ada di wilayah jajahan Belanda. sebagaimana diutarakan di atas, bangsa Cina merupakan mitra penjajah dalam berbagai bidang, terutama di bidang perdagangan. Komoditi dagangnya tidak terbatas pada rempah-rampah, gula, candu (opium) saja, melainkan juga manusia. Antipati pribumi terhadap bangsa Cina di masa penjajahan Belanda, bukan disebabkan oleh “kecemburuan” atas kekayaan bangsa Cina, atau berdasarkan rasialisme, melainkan sebaliknya, karena diskriminasi rasial yang mengistimewakan bangsa Cina di segala bidang kehidupan dan tindakan-tindakan bangsa Cina terhadap pribumi.
Dalam hal perdagangan budak, penjajah bekerjasama dengan para pedagang bangsa Cina. Undang-Undang Perbudakan resmi diberlakukan di wilayah jajahan Belanda dari tahun 1640 – 1862. Lebih dari 200 tahun. Walaupun Undang-Undang Perbudakan sudah resmi dihapus, namun prakteknya berlangsung sampai abad 20. Di Sumbawa sampai tahun 1910. Di Pulau Samosir bahkan masih berlangsung sampai tahun 1914.
Mengenai keberadaan bangsa Cina di wilayah jajahan Belanda, juga ditulis oleh Thomas Stamford Raffles, Wakil- Gubernur Jenderal Inggris di wilayah bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara tahun 1811 – 1816.. Dalam buku yang ditulisnya dengan judul “History of Java” (Sejarah Jawa), Raffles memberi penilaian yang sangat negatif mengenai keberadaan bangsa Cina di wilayah jajahan Belanda.
Teori migrasi yang paling kuno tersebut, “The Yunnan Theory,” sudah dibantah oleh teori-teori migrasi berdasarkan penelitian-penelitian terbaru, yang telah mengikut-sertakan penelitian genetika. Memang di dalam buku tersebut di atas juga ditulis mengenai teori migrasi “Out of Africa” dan “Out of Taiwan,” Namun tidak disoroti pendapat dari Prof. Stephen Oppenheimer yang mengeluarkan teori “Out of Sundaland.” Dalam bukunya ‘Eden in the East. The Drowned Continent of Southeast Asia,’ dia menulis bahwa awal peradaban manusia bukan di Mesopotamia, melainkan di Asia Tenggara yang sekarang Indonesia. Oppenheimer juga menulis, bahwa budidaya menanam padi bukan dimulai di Cina, melainkan di Sundaland, 9.000 tahun lalu.
Selain teori-teori migrasi yang disebut di atas, masih ada beberapa teori lain, di antaranya pendapat dari Prof. Arysio Santos, pakar atom fisika dari Amerika Serikat. Dia telah melakukan penelitian selama hampir 30 tahun. Prof Arysio Santos menulis buku dengan judul “Atlantis. The Lost Continent Finally Found.” Dia berpendapat bahwa Atlantis yang ada dalam buku dari filsuf Yunani, Plato, berada di wilayah Indonesia sekarang. Artinya, sekitar 10.000 tahun lalu telah ada peradaban tinggi di Asia Tenggara, di sekitar Sumatra Selatan dan Jawa Barat. Teori-teori dari Prof. Stephen Oppenheimer dan Prof. Arysio Santos juga memiliki legitimasi yang sama seperti teori-teori migrasi yang lain, namun ada pihak di Indonesia yang terus mengangkat dan menonjolkan ”Yunnan Theory” dan bahkan berhasil memasukkannya di buku-buku pelajaran untuk sekolah,
Hingga tahun 2008/2009 semua penelitian mengenai teori-teori migrasi dan asal-usul leluhur bangsa Indonesia dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan dari Barat..Tahun 2008, 99 orang pakar genetika Asia, di antaranya Prof. Sangkot Marzuki Batubara, ketika itu adalah Direktur Institut Microbiologi Eijkman, Jakarta, melakukan penelitian bersama mengenai genetika bangsa-bangsa di Asia,
Hasil penelitian tersebut antara lain adalah, ternyata genetika bangsa Melayu lebih tua daripada genetika bangsa Cina. Prof. Sangkot Marzuki berpendapat, bahwa justru bangsa Melayu adalah nenek-moyang bangsa Cina, bukan sebaliknya.
Penelitian-penelitian dan berbagai penulisan sejarah Nusantara di masa pra-kolonial, dilakukan seluruhnya oleh orang-orang Eropa, terutama orang-orang Belanda. Sumber-sumber sejarah Nusantara, seperti Negara Kertagama, La Galigo, dll., berada di Belanda. Penulisan sejarah Nusantara di buku-buku sekolah di Indonesia sejak tahun 1950-an sampai sekarang tahun 2019, masih banyak dari sudut pandang atau versi mantan penjajah. Hal ini a.l. disebabkan di tahun 1950-an belum adanya pribumi yang menjadi pakar-pakar sejarah, antropologi, etnologi dan ilmu-ilmu sosial lain.
Sudah waktunya anak-bangsa, pribumi bangsa Indonesia yang menggali, melakukan penelitian dan menulis sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia, dari sudut pandang dan untuk kepentingan Bangsa Indonesia, sebagaimana dicita-citakan oleh Prof. Sartono Kartodirjo.
Untuk Kelas XI Semester I
Di halaman 92 - 93, ditulis: “Orang Cina berontak” di Batavia bulan Oktober 1740 – 1743.
Koreksi: Cerita ini total salah dan bahkan merupakan pemalsuan sejarah, karena sejak tahun 1619 bangsa Cina adalah mitra penjajah dalam berbagai bidang, bukan hanya bidang perdagangan, termasuk dalam perdagangan budak, melainkan di bidang-bidang lain, a.l. bangsa Cina adalah pelaksana pemungutan pajak, pengelola perkebunan tebu, pengelola tanaman opium yang diolah menjadi candu (narkoba). Juga pelaksana perdagangan candu serta pemilik rumah-rumah madat. Penulisan mengenai orang Cina berontak “berbau pesanan” dari komunitas bangsa Cina di Indonesia, yang berusaha “memutihkan lembaran hitam” peran bangsa Cina di masa penjajahan Belanda.
Ditulis a.l.:
“... Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang menikah dengan penduduk Jawa khususnya ke Batavia...”
Koreksi: Di masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, sebelum kedatangan Belanda/VOC, BELUM ADA BATAVIA. Yang ada adalah kota pelabuhan kecil yang bernama Jayakarta. Pelabuhan internasional yang besar di Asia Tenggara adalah Banten. Pedagang-pedagang bangsa Cina cukup banyak di Banten, dan hanya ada segelintir bangsa Cina di Jayakarta. Tahun 1619 Belanda mendatangkan sekitar 600 pedagang bangsa Cina yang dipimpin oleh souw Beng Kong, dari Banten ke Jatakarta. Tahun 1622 baru ada sekitar 1000 orang Cina di Jayakarta/Batavia.
Selanjutnya ditulis:
“ ... Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian dan keamanan kota Batavia dan sekitarnya. Ternyata kota Batavia juga menjadi daya tarik bagi orang-orang Cina miskin untuk mengadu nasib di kota ini. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua yang memiliki modal. Banyak di antara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri. Sudah barang tentu hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan Kota Batavia. Akhirnya VOC mengeluarkan kebijakan membatasi imigran Cina...”
Fakta sebenarnya mengenai “orang Cina berontak”: Yang terjadi pada bulan Oktober 1740 adalah pembantaian/genosida terhadap bangsa Cina oleh Belanda di Batavia, akibat krisis ekonomi. Anjloknya harga gula dunia dan persaingan dengan Brazil, mengakibatkan dipecatnya kuli-kuli bangsa Cina di perkebunan-perkebunan tebu yang ada di sekitar Batavia. Para pengangguran tesebut mulai bertindak kriminal dan melakukan pencurian, perampokan bahkan pembunuhan. Hal ini menimbulkan kegelisahan dan bahkan kemarahan Belanda terhadap bangsa Cina. Akibatnya, terjadilah pembantaian terhadap bangsa Cina di Batavia, di mana diperkirakan 10.000 orang bangsa Cina tewas dibantai oleh tentara VOC dan orang-orang Eropa lain yang tinggal di Batavia. Beberapa ratus orang Cina yang selamat, melarikan diri ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan ke Kalimantan Barat.
Rincian mengenai VOC, dan kekejaman Belanda dalam peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa lain, a.l. genosida di Kepulauan Banda bulan Mei 1621, dapat dibaca di weblog. Judul tulisan:
“VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie)”
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa.
Selengkapnya silakan klik:
https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
Berdasarkan cerita sejarah palsu ini, tahun 2015 di Anjungan “Taman Budaya Tionghoa”, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dibangun Monumen untuk “Perjuangan Laskar Tiongkok Mengusir Penjajah.” Monumen sejarah palsu ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Secara keseluruhan, halaman 92 – 93 sangat salah dan tidak ada referensi yang valid, yang mendukung kebenaran cerita tersebut.
FAKTA-FAKTA YANG DITEMUKAN
Di sini tidak disampaikan kesimpulan dari analisis Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh Kemendukbud bulan April 2021. Hanya disampaikan fakta-fakta yang ditemukan dalam kamus tesebut. Dipersilakan pembaca yang menarik kesimpulan sendiri, berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Fakta-fakta tersebut adalah:
1. Dari periodisasi terlihat “hilangnya” masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa, terutama penjajahan Belanda di wilayah yang sekarang menjadi Republik Indonesia. Dengan hilangnya sejarah penjajahan, maka hilang juga kekejaman-kekejaman, bahkan kebiadaban-kebiadaban yang dilakukan oleh penjajah dan antek-antek serta kaki-tangannya dalam menindas pribumi di wilayah jajahan. Kebiadaban-kebadaban tersebut antara lain adalah pembantaian etnis (genosida), perampokan harta Nusantara, pemberlakukan sistem tanam paksa yang membawa keuntungan yang sangat besar untuk penjajah dan para mitra dagangnya, namun membawa kesengsaraan yang menyebabkan ribuan rakyat mati kelaparan di tanah yang subur.
Bahkan di kamus ini bukan menulis kekejaman-kekejaman penjajah, melainkan sebaliknya, ratu Belanda dan beberapa orang Belanda, termasuk Gubernur Jenderal Dirk Fock dipuji-puji. Penulisan nama orang Belanda mendapat atribut TUAN DAN NYONYA, seperti di zaman penjajahan, yaitu penyebutan para jongos pribumi kepada para majikan orang Belanda.
2. Dengan hilangnya sejarah penjajahan Belanda dan masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 - 1949, maka hilang juga lembaran hitam sejarah bangsa Cina baik di masa penjajahan, maupun di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Sebagaimana telah diutarakan di atas, di masa penjajahan Belanda sejak tahun 1619 – 1942, bangsa Cina adalah mitra penjajah di sebaga bidang, bukan hanya di bidang pewrdagangan saja, melainkan dalam pengelolaan perkebunan, pelaksanaan pemungutan pajak, pengelolaan rumah-rumah judi dan rumah-rumah madat, dll.
Dalam upaya menjajah Republik Indonesia setelah bangsa Indonesia menyatakan kemredekaan pada 17 Agustus 1945, mulai tahun 1946 Belanda merekrut bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia untuk menjadi anggota pasukan Pao (Po) An Tui. Belanda membentuk, membiayai dan melatih pasukan Pao (Po) An Tui. Pasukan bangsa Cina ini ikut berperang di pihak Belanda dalam agresi militer Belanda I, tanggal 21 Juli 1947 dan agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948.
Setelah lembaran hitam sejarah bangsa Cina sejak zaman penjajahan dan di masa agresi militer Belanda “hilang,” di Kamus Sejarah Indonesia muncul banyak nama-nama bangsa Cina, yang tidak dketahui di mana peran besar mereka dalam pembentukan negara dan pembangunan negara Indonesia, sehingga nama-nama tersebut ditulis di Kamus Sejarah Indonesia.
3. “Hilangnya” banyak nama Pahlawan Nasional Indonesia, terutama dari kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pejuang-pejuang yang melawan Belanda dari Kamus Sejarah Indonesia, sangat mengherankan. Apakah para pengarang kamus ini tidak mengetahui, bahwa di toko-toko buku dapat dibeli Album Pahlawan Nasional Indonesia? Seandainya kurang lengkap, dapat ditanyakan ke Kementerian sosial RI. Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional Indonesia dibahas di Kementerian Sosial RI. Dengan demikian, Kementerian Sosial memiliki data paling lengkap mengenai Pahlawan Nasional Indonesia, berikut peran dari para Pahlawan nasional Indonesia. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal, kalau sangat banyak nama Pahlawan Nasional Indonesia tidak ada di Kamus Sejarah Indonesia dengan alasan “alpa, lalai atau lupa.”
4. Di lain pihak, semua nama-nama tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia lengkap ditulis di Kamus Sejarah Indonesia. Keterangan mengenai PKI dan tokoh-tokoh PKI juga sangat panjang.
5. Rangkuman dari butir 1 – 4: Di Kamus Sejarah Indonesia yang baru ini, banyak nama Pahlawan nasional Indonesia yang “hilang.” Sebagian besar nama-nama yang hilang adalah dari kalangan Tentara nasional Indonesia (TNI). Bahkan banyak dari mereka yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Lembaran hitam sejarah penjajahan bangsa Belanda dan lembaran hitam sejarah peran bangsa Cina yang menjadi mitra Belanda di masa penjajahan juga “hilang.” Di lain pihak, ratu Belanda dan orang-orang Belanda sang penjajah dipuji. Nama-nama tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia lengakp ditulis. Di Kamus Sejarah Indonesia yang baru, muncul nama-nama orang-orang bangsa Cina yang tidak ada perannya dalam pembentukan negara dan pembangunan negara Indonesia.
BEBERAPA PERTANYAAN
Mencermati ‘FAKTA-FAKTA YANG DITEMUKAN,’ memunculkan beberapa pertanyaan.
Kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang fatal di kamus ini memunculkan pertanyaan, apakah para pengarang Kamus Sejarah Indonesia benar pakar-pakar Indonesia dan bukan orang asing? Sangat banyak kejanggalan dan keanehan di kamus ini. Kalau para pengarang kamus ini sejarawan bangsa Indonesia, seharusnya mengenal Pahlawan-Pahlawan Nasional Indonesia dan tokoh-tokoh pribumi yang selama puluhan tahun berkiprah di kancah politik, perekonomian nasional dan kemiliteran. Namun faktanya, yang muncul adalah nama-nama etnis Cina yang selama puluhan tahun tidak ada dalam catatan sejarah di buku manapun.
Merujuk pada butir 5 mengenai ‘Fakta-Fakta Yang Ditemukan’ memunculkan pertanyaan, apakah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sedang “mengarang sejarah baru” untuk bangsa Indonesia?
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid mengatakan, bahwa penyusunan Kamus Sejarah Indonesia dimulai tahun 2017, artinya ketika itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Muhadjir Effendi. Demikian juga, buku-buku sejarah untuk SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum 2013 Edisi revisi 2017, diterbitkan oleh Kemendikbud tahun 2017, di masa Prof. Muhadjir Effendi menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun Kamus Sejarah Indonesia diterbitkan oleh Kemndikbud bulan April tahun 2021, di mana Menteri Pendidikan dan Kebudayaannya adalah Nadiem Makarim.
Kelihatannya, pertanyaan-pertanyaan yang sehubungan dengan Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan bulan April 2021, dan buku-buku sejarah yang diterbitkan tahun 2017, harus dijawab oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2004 – 2019 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 – 2024. Juga harus dijawab oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Direktur Sejarah Kemendikbud, Editor Kamus dan para sejarawan, baik pengarang buku-buku sejarah Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2017 maupun para pengarang Kamus Sejarah Indonesia.
S A R A N
- Bukan hanya kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan pada bulan April 2021 saja yang harus ditarik dari peredaran, melainkan buku-buku sejarah untuk SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum 2013, Revisi 2017 yang diterbitkan oleh Kemendikbud, juga harus ditarik dari peredaran.
- Harus dilakukan penelitian yang lebih cermat untuk penulisan buku-buku sejarah dan penulisan Kamus Sejarah Indonesia..
- Penulisan ulang harus obyektif, bukan untuk kepentingan politik atau untuk kepentingan satu golongan, apalagi untuk kepentingan bangsa asing mantan penjajah.
- Periodisasinya harus diubah, dengan memasukkan era penjajahan bangsa-bangsa Eropa, agar generasi muda Indonesia juga mengetahui mengenai penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Yang menjajah kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara bukan hanya Belanda.
- Sistematika penulisan harus sangat diperhatikan.
- Sangat perlu melibatkan pakar komunikasi dan pakar bahasa dalam
menyusun redaksi/formulasi kalimatnya.
- Untuk menuliskan berbagai peristiwa, a.l. mengenai perang, diplomasi, HAM, dll., sangat diperlukan keterlibatan para pakar dari berbagai bidang, a.l. bidang kemiliteran, diplomasi, hukum internasional, sosiologi/psikologi massa (Mass psychology), dll.
- Rencana penerbitan Ensiklopedia Indonesia sebaiknya ditunda dahulu, sampai tersedia kontributor yang benar-benar memiliki kualifikasi standar internasional.
********
No comments:
Post a Comment