Sabtu, 10 Desember 2011 | 11:25 WIB
TEMPO.CO, Karawang - Ketua Umum Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung menilai pemerintah Belanda sengaja
berlama-lama mengurus gugatan warga Rawagede.
"Ada kesan
mengulur-ulur sehingga sejumlah korban keburu meninggal," kata Batara saat
ditemui Tempo di Karawang, Jumat, 9 Desember 2011.
Menurut Batara, pada 2008, mereka mengajukan sembilan nama
korban Rawagede. Tapi hingga akhirnya pengadilan sipil memutuskan kemenangan
korban pada 14 September 2011, korban yang bertahan tinggal enam orang. Satu
korban luka tembak, Saih bin Sakam, meninggal pada 5 Mei 2011.
Tapi Batara bersyukur
karena akhirnya kemenangan ada di tangan dan korban dapat kompensasi serta
permintaan maaf. "Kami hargai itu meski banyak tuntutan yang belum
dipenuhi," ujar dia.
Menurut Ketua Yayasan
Rawagede, Sukarman, awalnya ada 51 janda yang diajukan mendapatkan kompensasi
pada 1990. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut hingga 28 orang, lalu
menjadi sembilan orang pada 2008. Sembilan orang inilah yang maju ke Pengadilan
Sipil Den Haag.
Ketika diputuskan
pada tahun ini, jumlah orang yang menerima tinggal 6 orang. Meski hanya enam,
tiga orang ahli waris lainnya juga mendapat kompensasi yang sama senilai US$ 20
ribu tiap bulan.
Berikut adalah
sembilan nama penerima dana kompensasi:
1. Wisah binti Silain
(alm): ahli waris Tasma,
2. Layem binti Murkin
(alm): ahli waris Mustarwarjo,
3. Saih bin Sakam
(alm): ahli waris Tasmin,
4. Wanti binti Dodo,
5. Taswi,
6. Tijeng binti
Tasim,
7. Wanti binti
Sariman,
8. Cawi binti Basian,
dan
9. Lasmi Binti
Kasilan.
DIANING SARI
Koreksi: Kompensasi sebesar 20.000 Euro tidak diberikan untuk tiap bulan, melainkan hanya untuk satu kali.
No comments:
Post a Comment