Sehubungan dengan peristiwa pembantaian di
Rawagede, walaupun pemerintah Belanda telah secara resmi meminta maaf dan
memberikan kompensasi kepada para janda yang menuntut di pengadilan di Belanda,
ternyata belum selesai dibahas di Belanda. Dalam berita di Radio Nederland siaran
Indonesia (Ranesi) Kamis, 12.01.2012, dimajukan beberapa pertanyaan:
“Ada satu hal penting yang tidak terlalu
diperhatikan dalam kasus Rawagede. Apa status wilayah ini? Banjir darah itu
terjadi di Rawagede tapi diperkarakan di pengadilan Den Haag, Belanda. Jadi
hukum mana yang berlaku?”
Mengenai masalah yuridiksi, apakah
Rawagede pada saat terjadi pembantaian oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947,
adalah wilayah Republik Indonesia atau masih wilayah Netherlands Indië, saya
sampaikan sebagai berikut:
Memang pers dan masyarakat di
Indonesia sebagian terbesar, tidak memperhatikan hal ini. Sebagian besar tentu
karena tidak membaca putusan (vonis) pengadilan di Den Haag, yang memenangkan
sebagian tuntutan para janda dan korban selamat terakhir, Sa’ih. Salinan
putusan itu telah saya muat di weblog saya. Dalam bahasa Belanda di http://indonesiadutch.blogspot.com),
dan sebagian terjemahan dalam bahasa Indonesianya di http://batarahutagalung.blogspot.com
Saya sangat memperhatikan putusan
pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011, dan menyoroti dasar
pertimbangan hakim, yaitu sebagai fakta-fakta (feiten), bahwa sampai
tahun 1949, Indonesia dengan nama Netherlands
Indië adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Ini memang klaim dari pemerintah Belanda hingga detik ini.
Saya sendiri tidak akan
mempermasalahkan, bahwa hal ini dipakai sebagai dasar putusan pengadilan di Den
Haag, karena walau bagaimanapun, pengadilan di seluruh dunia termasuk di
Belanda, harus mengikuti kebijakan politik pemerintahnya.
Oleh karena itu, yang dituntut oleh
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), adalah pemerintah
Belanda, agar mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945. Mengenai pemberian pengakuan de jure kepada negara lain, memang wewenang pemerintah, karena ini masalah politik, dan bukan masalah hukum. (Lihat petisi online KNPMBI tertanggal 22.4.2005: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html).
Setelah aktifis KNPMBI pada 5
Mei 2005 di Jakarta mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), maka
tuntutan ini dilanjutkan oleh KUKB.
Mengenai putusan pengadilan di Den
Haag ini telah saya tulis sebagai pengantar dalam informasi mengenai perjuangan
KNPMBI dan KUKB. (Lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dan-kukb.html.
Dimuat di weblog pada 26 November 2011).
Dasar putusan pengadilan di Den Haag
ini juga saya kemukakan dalam surat terbuka saya kepada Menteri Luar Negeri RI
Marty Natalegawa pada 17 Desember 2011. (Lihat:
Mengenai masalah apakah Rawagede
tahun 1947 adalah wilayah Republik Indonesia atau wilayah Belanda, bagi bangsa
Indonesia bukan suatu pertanyaan lagi, melainkan suatu pernyataan yang tegas: Tentara
Belanda telah melakukan agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan
berdaulat. Mengenai keabsahan proklamasi 17.8.1945, lihat tulisan: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html.
Laporan pemerintah Belanda tahun 1969, yang diterbitkan dengan judul: “De Excessennota, Nota betreffende het
archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door
Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, yang disingkat menjadi De Excessennota, menyebut, “ekses” yang
dilakukan oleh MI;LITER BELANDA DI INDONESIA TAHUN 1945 – 1950. Di sini tidak
disebutkan “Netherlands Indië”, melainkan INDONESIA Pakar-pakar hukum di Belanda sendiri
mengatakan, bahwa yang dengan lunak disebut sebagai ekses, tidak lain adalah
kejahatan perang (oorlogsmisdaden).
Sehubungan dengan masalah yuridiksi
untuk suatu perkara pembunuhan terhadap penduduk sipil di masa perang, Jerman telah
menunjukkan, bahwa Tempat Kejadian Perkara (TKP) tidak menjadi hambatan di
pengadilan di Jerman, seperti pada sidang pengadilan seorang bekas perwira
Jerman, Heinrich Boere, 88 tahun, yang pada bulan Oktober 2009 dimajukan ke
pengadilan di Aachen, Jerman. Pada bulan Februari 2010 oleh pengadilan di
Jerman dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti bersalah,
tahun 1944 (!) –berarti 66 tahun sebelumnya- membunuh tiga (!) penduduk sipil
di Belanda. (Lihat:
Dari putusan pengadilan di Den Haag
14 September 2011, dan pengadilan di Jerman tahun 2010, yang harus dibaca
adalah:
1. Untuk kasus pembunuhan seperti ini, setelah lebih dari
60 (!) tahun, tetap masih bisa dibuka, dan tidak mengenal azas kadaluarsa
(statute of limitation). Ini
sesuai dengan statuta Roma yang berlaku di International Criminal Court yang berkedudukan di Den Haag,
bahwa untuk genosida (pembantaian etnis), kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan dan kejahatan agresi, tidak mengenal azas kadaluarsa.
2. Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, memutuskan
pemerintah Belanda BERTANGGUNGJAWAB atas pembantaian yang terjadi di
Rawagede.
Putusan ini membuka pintu
selebar-lebarnya untuk dimajukannya puluhan ribu (!) kasus-kasus serupa yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia selama agresi militer Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950
Kemungkinan akan terjadi
perkembangan seperti ini telah saya kemukakan kepada Duta Besar Belanda (waktu
itu) Baron Schelto van Heemstra, pada 3 April 2002, ketika pimpinan KNPMBI
bertemu dengan dia dan menyampaikan tuntutan KNPMBI. Saya katakan, ada
kata-kata bijak dalam bahasa Jerman yang berbunyi: “Lieber Ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang
terjemahannya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu
drama tanpa akhir.” Kalimat ini saya ulangi kepada Duta Besar Nikolaos van Dam,
dalam acara peringatan ke 61 peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember
2008, dan terakhir kepada Duta Besar Tjeerd de Zwaan, pada 9 Desember 2011,
dalam sambutan saya di acara peringatan ke 64 di Rawagede. (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html)
Sekarang tergantung pada pemerintah
Belanda, apakah akan menutup lembaran hitam yang penuh darah sejarah agresi
militer Belanda di Indonesia secara dramatis, artinya memenuhi semua tuntutan
KNPMBI/KUKB, atau akan membiarkan drama ini berkelanjutan dan tidak diketahui
kapan berakhirnya, karena kami akan menuntut terus!
KUKB telah menawarkan untuk
dilakukannya suatu rekonsiliasi yang bermartabat antara bangsa Indonesia dengan
bangsa Belanda. Bermartabat di sini artinya antara dua bangsa dari dua Negara
merdeka, yang saling menghargai dan mengakui. Apabila Negara yang satu tidak
mau mengakui negara yang lain secara yuridis, atau setara, tidak mungkin dapat
dilakukan rekonsiliasi yang bermartabat. Sehubungan dengan ini terungkap, bahwa
hubungan “diplomatik” antara Republik Indonesia dengan Belanda sangat aneh.
Dengan demikian, Belanda berhubungan de
jure dengan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang telah dibubarkan pada
16.8.1950, dan dengan NKRI hanya hubungan de
facto! Sangat aneh!
Batara R. Hutagalung, Ketua
KNPMBI/KUKB
Tanggapan ini juga dimuat di Rakyat Merdeka-Online:
Catatan:
Perundingan Linggajati antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang difasilitasi oleh Inggris, telah menghasilkan persetujuan mengenai status Republik Indonesia dan rencana pembentukan Republik Indonesia Serikat serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947 antara lain: Belanda MENGAKUI DE FACTO REPUBLIK INDONESIA ATAS SUMATERA, JAWA DAN MADURA.
Perundingan Linggajati antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang difasilitasi oleh Inggris, telah menghasilkan persetujuan mengenai status Republik Indonesia dan rencana pembentukan Republik Indonesia Serikat serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947 antara lain: Belanda MENGAKUI DE FACTO REPUBLIK INDONESIA ATAS SUMATERA, JAWA DAN MADURA.
Jadi ketika peristiwa pembantaian di
Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, sebelum disetujuinya perjanjian
Renville, Rawagede de facto adalah
wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, Belanda telah melanggar
persetujuan Linggajati.
mksih atas infonya gan, dan sukses! :)
ReplyDeletepenerjemah bahasa jerman
penerjemah bahasa belanda