Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Selama lebih dari seratus
tahun, sejak tahun 1893, Jan Pieterszoon Coen, mantan Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) “berdiri” dengan megah dan tenang
di kota kelahirannya, Hoorn, di Belanda bagian utara. Namun sejak enam bulan
belakangan, terutama dua minggu terakhir ini, “ketenangannya” sangat terusik.
Terusiknya ketenangan
tersebut diawali dengan robohnya secara misterius patung JP Coen nan megah
tersebut dari beton penyangganya pada 16 Agustus 2011, sehari sebelum bangsa
Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 2011. Dan kurang dari satu bulan sebelum putusan pengadilan sipil di
Den Haag, pada 14 September 2011, yang memenangkan gugatan 9 janda dan satu korban
selamat peristiwa pembantaian penduduk sipil di Rawagede, terhadap pemerintah
Belanda. Pengadilan sipil di Belanda menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan
bertanggungjawab atas pembantaian 431 penduduk desa Rawagede pada 9 Desember
1947, serta menghukum pemerintah Belanda untuk meminta maaf kepada keluarga
korban pembantaian, dan memberi kompensasi kepada para penggugat. (Mengenai
putusan pengadilan sipil di Den Haag ini, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-putusan-pengadilan-belanda-14.html)
(Lihat juga: Rawagede. Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf
(Lihat juga: Rawagede. Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf
Jan Pieterszoon Coen, nama
ini menyimbolkan dua zaman berbeda, untuk kurun waktu yang bersamaan.
Hingga beberapa waktu yang
lalu, untuk sebagian besar warga Belanda, JP Coen menyimbolkan awal dari zaman
keemasan –de gouden eeuw- bagi
Belanda. Ketika menjadi Gubernur Jenderal VOC (masa jabatan pertama 1619 – 1623, masa jabatan
kedua 1627 – 1629),
pada 30 Mei 1619 dia menyerang kota
Jayakarta. Setelah menghancurkan dan membumihanguskan kota tersebut, dia
mengganti nama kota tersebut menjadi Batavia, sesuai kehendak de Heeren Seventien, atau 17 orang penguasa
kongsi dagang VOC di Belanda, yang waktu itu disebut sebagai Staaten Generaal. Dia menjalankan dengan
keras dan kejam system perdagangan dengan kekuatan militer. VOC, suatu kongsi
dagang yang mendapat hak (Oktrooi –
piagam) dari Staaten Generaal di
Belanda untuk memiliki pasukan sendiri, mencetak mata uang dan menyatakan
perang terhadap suatu Negara. Dengan demikian VOC memiliki status seperti layaknya
suatu Negara. Di zaman penjajahan Belanda, VOC dikenal sebagai “kumpeni.”
(Lihat tulisan mengenai VOC di:
Namun untuk penduduk di bumi
Nusantara, nama Jan Pieterszoon Coen identik dengan kekejaman dan awal dari
sejarah panjang penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang di beberapa daerah,
terutama Batavia dan Maluku, berlangsung lebih dari 300 tahun…sampai tanggal 9
Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah India-Belanda kepada Jepang. (Lihat:
9 Maret 2012, 70 tahun berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara. http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/03/9-maret-2012-70-tahun-berakhir.html)
Pada waktu itu, Belanda
belum menjadi penguasa tunggal di Asia Tenggara. Pesaing kuatnya adalah
Inggris, Spanyol dan Portugal. Namun dengan kekuatan militernya, perlahan-lahan
Belanda berhasil mengalahkan para pesaingnya di wilayah, yang kemudian
dinamakan sebagai Netherlands Indiƫ (India Belanda).
System “perdagangan” yang
dilakukan VOC a.l.:
Apabila ada raja atau sultan
yang menolak untuk berdagang dengan syarat yang ditentukan oleh VOC, maka raja
atau sultan tersebut ditangkap dan dibuang ke daerah lain atau ke negara lain.
Kemudian VOC mengangkat raja atau sultan yang mau berdagang dengan syarat yang
ditentukan oleh VOC.
Kepulauan Banda, penghasil
tunggal pala, pada waktu itu masih berdagang dengan Inggris, dan hal ini sangat
tidak disenangi oleh Coen. Pada bulan Mei 1621 JP Coen mengerahkan armada dan
kekuatan militernya yang terbesar untuk menyerang Banda. Ribuan penduduk Banda
dibunuh, dan sisanya sebanyak 883 orang dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai
budak. JP Coen bukan hanya mengawali penjajahan di bumi Nusantara, melainkan
juga mengawali perdagangan budak, yang secara resmi berlangsung hingga tahun
1863, namun pada kenyataannya, praktek-praktek perbudakan di beberapa daerah di
Nusantara masih berlangsung hingga akhir abad 19.
Boleh dikatakan Coen “mengganti total”
penduduk Banda dengan pendatang dan budak dari daerah lain untuk mengerjakan perkebunan dan perdagangan
pala. Seorang kenalan saya yang berasal dari Maluku, setelah mendengar
penjelasan dari saya mengatakan, bahwa selama ini dia heran, mengapa penduduk
Banda kelihatan lebih putih, tidak seperti penduduk di sekitar Banda. Kini dia
mengetahui, mengapa penduduk Banda sangat berbeda dengan penduduk pada umumnya di Maluku.
Di puncak masa perdagangan
budak pada pertengahan abad 18, populasi budak di beberapa kota seperti Batavia
dan Makassar mencapai lebih dari 50 (!) % dari seluruh jumlah penduduk..
Akhir tahun 1799 VOC yang
hancur karena korupsi –pelesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie- dibubarkan, seluruh wilayah yang dikuasai
oleh VOC kini diambilalih oleh pemerintah Be;landa, yang membentuk Netherlands
Indiƫ (India Belanda), yang juga diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC yang terakhir juga merupakan Gubernur Jernderal India
Belanda pertama. (Mengenai VOC lihat:
Setelah JC Coen tahun 1629 mati
karena penyakit, kelihatannya para Gubernur Jenderal penerusnya bersaing dalam
kekejaman. Sejarah mencatat antara lain Sistim Tanam Paksa; Hongi Tochten,
yaitu ekspedisi pelayaran di Maluku untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh guna
menjaga agar harga tetap tinggi; pengasingan/pembuangan raja/sultan/tokoh yang
menentang Belanda.
Beberapa yang sangat menonjol antara lain Gubernur Jenderal Adriaen Valckenier (1737 – 1741). Di masa pemerintahannya pada bulan Oktober 1740 terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa di Batavia, di mana diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa –termasuk lansia,wanita dan anak-anak- tewas dibantai.
Beberapa yang sangat menonjol antara lain Gubernur Jenderal Adriaen Valckenier (1737 – 1741). Di masa pemerintahannya pada bulan Oktober 1740 terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa di Batavia, di mana diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa –termasuk lansia,wanita dan anak-anak- tewas dibantai.
Kemudian ketika Joannes
Benedictus van Heutsz menjadi Gubernur Militer dan Sipil di Aceh (1898 – 1904)
kemudian menjadi Gubernur Jenderal di India Belanda (1904 – 1909), Aceh menjadi
ladang pembantaian tentara Belanda.
Di kota kelahirannya, tahun 1893 masyarakat Hoorn mendirikan patung JP Coen yang sangat megah, dengan tulisan di bawah patungnya yang merupakan glorifikasi “prestasi’ nya selama menjadi Gubernur Jenderal. Patung itu berdiri tegak dengan megah …sampai 16 Agustus 2011.
Tanggal 20 maret 2002, pada
puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) melakukan
demonstrasi di kedutaan Belanda, memrotes perayaan besar-besaran tersebut.
KNPMBI menyatakan, bahwa zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan
pembantaian ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan penduduk Nusantara, nenek
moyang bangsa Indonesia, serta perampokan kekayaan Nusantara. Oleh karena itu,
KNPMBI menuntut agar pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia,
dan mengembalikan kekayaan Nusantara yang telah dirampok oleh Belanda selama
ratusan tahun.
KNPMBI menerima usul Duta
Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra untuk menyelenggarakan seminar
mengenai dua sisi VOC. Seminar diselenggarakan pada 3 dan 4 September 2002,
dengan menghadirkan 6 sejarawan Indonesia, dan 4 sejarawan dari Belanda.
Tuntutan KNPMBI berjalan
terus. Pada 5 Mei 2005, aktifis KNPMBI mendirikan Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB), dan menuntut pemerintah Belanda untuk:
- Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
- meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, berbagai pelanggaran HAM berat, kejahatan atas kemanusiaan,
Pada 15 Desember 2005, ketua
KUKB bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB membawa kasus pembantaian di Rawagede
ke parlemen Belanda, juga disampaikan, bahwa hingga saat ini pemerintah Belanda
tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah
27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan” kewenangan (soeveriniteitsoverdracht) kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sejak tahun 2002 hingga
tahun 2008, hampir setiap tahun KNPMBI dan kemudian KUKB mengadakan demonstrasi
di kedutaan Belanda di Jakarta, dan hamper setiap tahun menyelenggarakan
seminar dan diskusi seputar penjajahan Belanda di bumi Nusantara, terutama
mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede.
Pada 16 Agustus 2005,
Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot, di Jakarta menyampaikan, bahwa
kini (sejak 16.8.2005), pemerintah Belanda MENERIMA proklamasi 17.8.1945 secara
moral dan politis. Sehari sebelumnya, di
Den Haag, dia menegaskan, bahwa pemerintah Belanda mulai saat itu, menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945.
Artinya, sampai 16.8.2005, ternyata Republik Indonesia untuk pemerintah
Belanda, tidak ada samasekali, dan tanggal 16.8.2005 naik tingkat menjadi “anak
haram”, yaitu hanya diterima keberadaannya, tetapi tidak diakui legalitasnya!
Pimpinan KUKB ke parlemen
Belanda pada Desember 2005, Oktober 2007 dan April 2008. pada Desember 2005,
dibentuk KUKB Cabang Belanda, yang pada Februari 2007 menjadi Yayasan KUKB.
KUKB berhasil melobi
sejumlah pihak di Belanda, termasuk di parlemen Belanda (Tweede Kamer) untuk
mendukung kegiatan dan gugatan KUKB kepada pemerintah Belanda. (Mengenai
perjuangan KNPMBI dan KUKB lihat:
Sejak beberapa tahun
belakangan, masyarakat Belanda, terutama generasi mudanya, mulai sangat kritis
menilai masa lalu Belanda di Indonesia. Menurut beberapa kalangan, termasuk
kalangan Belanda, kegiatan KNPMBI dan KUKB yang konsisten sejak 10 tahun (2001 –
2012), merupakan penyebab dibahasnya secara meluas peran Belanda di masa lalu
di Indonesia. Di kalangan generasi muda Belanda, VOC kini mendapat penilaian
yang negatif. Dalam suatu kesempatan, Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda
dari Partai Sosialis, mencap Perdana Menteri Belanda Balkenende memiliki mental
VOC, dan ini dalam pengertian negatif.
Penilaian terhadap beberapa
mantan Gubernur Jenderal-pun berubah. Patung Gubernur Jenderal Joannes Benedictus
Heutsz pernah dirusak orang tak dikenal.
Dewan Kota Hoorn memutuskan,
untuk tetap memasang kembali patung JP Coen di tempatnya semula. Anggota Partai
Sosialis Hoorn pada 11 Maret 2012 di malam hari menempuh langkah untuk
menempelkan plakat keterangan mengenai JP Coen dalam tiga bahasa, yaitu
Belanda, Inggris dan Indonesia (!). Namun pejabat pemerintah kota Hoorn mengajak
masyarakat Hoorn untuk pada 17 Maret 2012 bersama-sama menghancurkan plakat
yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis, yang dianggap illegal.
Teks dalam bahasa Indonesia di
plakat tersebut sebagai berikut:
… JAN PIETERSZOON COEN (HOORN, 1587 - BATAVIA, 1629)
Pedagang, direktur jendral dan gubernur jendral di
Persatuan Perusahaan
Hindia Timur (VOC).
Dipuji sebagai pendiri kekaisaran bisnis yang paling
sukses di VOC dan Batavia,
yang saat ini dikenal sebagai jakarta. Dikritik
karena kebijakannya yang agresif
dalam memperoleh monopoli di VOC.
Coen membasmi penduduk kepulauan Banda pada 1621,
setelah para penduduknya memasok pala untuk orang-orang Inggris, yang dilarang
oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie. Ribuan warga Banda dibunuh. Ratusan
dideportasi sebagai budak ke Batavia, di mana mereka akhirnya dikalahkan atau
dibunuh.
Karena pembantaian ini Coen mendapat julukan “Jagal
dari Banda”.
Patungnya, dibuat oleh Ferdinand Leenhoff pada 1893,
tidak lagi dianggap sebagai tanda penghormatan oleh warga kota Hoorn…
Erich van de Beek,
pemrakarsa kegiatan ini, mengirim beberapa informasi yang sangat penting kepada
saya pada 16 Maret 2012, termasuk teks bahasa Inggris dan Indonesia tulisan di
plakat yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis di Patung JP Coen.
Kelihatannya JP Coen belum
juga dapat “beristirahat” dengan tenang. Pro dan kontra patungnya ini sedang
berlangsung dengan sengit sejak beberapa hari, di mana saya ikut terlibat.
Lihat:
Demikian juga masalah
Indonesia dengan Belanda tidak akan selesai, apabila pemerintah Belanda tetap
bersikukuh tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah
17.8.1945, dan tetap menganggap Indonesia sebagai “anak haram.”
Melihat sikap pemerintah
Belanda seperti ini, generasi angkatan ’45 tentu masih ingat berbagai
penghinaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap pribumi sampai 9 Maret 1942. Di
berbagai tempat, seperti kolam renang, tempat-tempat hiburan elit, dll., terpampang
plakat dengan tulisan, yang dalam bahasa Indonesia artinya “TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI". Dalam bahasa Belanda tulisannya adalah:
VERBODEN VOOR HONDEN EN
INLANDERS
Jakarta, 17 Maret 2012
*******
MASA LALU MARTABAT BANGSA DIINJAK2...MASA SEKARANG MARTABAT BANGSA DIGADAIKAN....KAPAN RAKYAT MENIKMATI KEMERDEKAAN....DULU BANGSA MENJADI BUDAK ASING...SEKARANG BANGSA MENJADI BUDAKNYA BUDAK ASING....
ReplyDeleteTHE DUTCH GOVERNMENT ARE FORCED NOT ABLE I RECOGNIZE THE INDONESIAN INDEPENDENCE PROCLAMATION OF AUGUST 17,1945.BECAUSE IT WILL RESULTED TO MANY CONSEQUENCES INCLUDING FINANCIAL. AS THE POLICIONELE ACTIE I/II WOULD BE REGARDED AS AN ATTACK TO AND INDEPENDENT COUNTRY.
ReplyDeleteI was born in the Netherlands.
ReplyDeleteI never knew anything about the cruelties of colonialism. I was
like a German civilian who first learned of the holocaust. "Wir haben es nicht gewuszt". I take the view that each human individual is responsible for his/her own deeds. May the laws of Karma cause retribution to the evil ones.