Pengorbanan Rakyat di Galung Lombok
Bagian Dari Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI
Oleh
Batara R.
Hutagalung
Ketua Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Disampaikan
dalam Seminar:
“PERAN BUDAYA
DALAM MENGELIMINIR KONFLIK HORISONTAL DALAM MASYARAKAT”
(Mengenai penyelenggara, lihat di bawah ini)
Senin, 18
Juni 2012
Ruang Pola
Kantor Bupati Majene
Majene, Sulawesi BaratDari kiri: Moderator, Said Sagaff, Maskur, Ditjen Kesbangpol Kemdagri,
DR Idham Khalid, Batara R. Hutagalung, DR Anhar Gonggong
Pendahuluan
Dengan penuh kekuatiran, kita mencermati
makin melunturnya semangat kesatuan dan persatuan bangsa, serta makin pudarnya
rasa nasionalisme pada generasi muda Indonesia. Ketidakpedulian ini terlebih
ditunjukkan pada minat terhadap segala sesuatu yang menyangkut atau berbau
sejarah.
Hal-hal yang seharusnya menyangkut martabat
bangsa, perjuangan dan pengorbanan di masa lalu, sangat diabaikan dan
perlahan-lahan lepas dari ingatan.
Yang membuat generasi tua, terutama Angkatan
’45, menjadi sangat prihatin adalah, hilangnya rasa kebersamaan dan
solidaritas. Tidak terlihat lagi rasa senasib-sepenanggungan seperti di masa
pendudukan Jepang 1942 – 1945 dan di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan
melawan agresi militer Australia, Inggris dan Belanda, antara tahun 1945 –
1950. Perjuangan tidak hanya dilakukan oleh kekuatan bersenjata Republik
Indonesia, seperti BKR, TKR, TRI, TNI, Laskar-laskar dan kelompok-kelompok
bersenjata pendukung Republik Indonesia, melainkan juga di bidang diplomasi
serta dukungan rakyat, yang telah jenuh dengan penjajahan Belanda dan
pendudukan tentara Jepang yang sangat kejam dan tidak manusiawi.
Menghargai jasa-jasa pahlawan adalah hal yang
memang harus dilakukan oleh suatu bangsa, namun di lain pihak, pengorbanan yang
telah dilakukan oleh rakyat dalam rangka mendukung perjuangan juga tidak boleh
dilupakan. Tanpa dukungan rakyat, perjuangan fisik tidak mungkin dapat
dilakukan. Boleh dikatakan, rakyatlah yang memberi makan dan minum serta
merawat para pejuang. Seringkali rakyat menyembunyikan atau menjaga kerahasiaan
tempat persembunyian para pejuang.
Namun apabila terjadi pembalasan bahkan teror
dari pihak aggressor, maka yang paling dahulu dan paling banyak menjadi korban
adalah rakyat, tidak terbatas pada laki-laki, melainkan juga perempuan dan
anak-anak. Juga sering terjadi perkosaan terhadap perempuan Indonesia. Bahkan
di masa pendudukan Jepang, belasan ribu –mungkin puluhan ribu- gadis-gadis dan
perempuan Indonesia dijadikan alat pemuas nafsu tentara Jepang. Mereka disebut
sebagai wanita penghibur atau jugun ianfu.
Ratusan ribu laki-laki dijadikan kuli paksa (romusha) untuk bekerja demi kepentingan militer Jepang, termasuk
membangun jembatan di Birma. Pengorbanan dan penderitaan seperti ini tidak
boleh dilupakan, dan bahkan hak-hak mereka untuk memperoleh keadilan dan
kompensasi atas penderitaan yang telah dialami oleh mereka beserta keluarga
mereka, harus diperjuangkan.
Peserta seminar
Ada yang berpendapat, bahwa kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda dan tentara Jepang tidak dapat dimaafkan, dan nyawa manusia yang telah dibunuh, tidak dapat dinilai dengan uang. Ini memang benar, namun di lain pihak, agresi militer yang telah dilakukan oleh tentara Jepang, kemudian oleh tentara Belanda, dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi Australia, telah menghancurkan bukan hanya gedung-gedung dan perumahan penduduk, melainkan juga menghancurkan perekonomian di desa-desa dan di daerah-daerah di mana mereka melakukan pembantaian massal. Yang dibunuh sebagian terbesar adalah laki-laki, tenaga produktif di desa-desa pertanian. Dengan dibunuhnya sebagian besar tenaga produktif di desa-desa tersebut, mengakibatkan terpukulnya perekonomian setempat untuk 20 atau 30 tahun, dan bahkan lebih lama lagi untuk memulihkan kembali perekonomian setempat.
Hal-hal tersebut di atas harus menjadi dasar
untuk memperjuangkan hak-hak para korban secara keseluruhan, baik memberikan
rasa keadilan dengan permintaan maaf dari Negara aggressor, maupun pembangunan
sarana/prasarana sosial, seperti sekolah, rumah sakit, dll., yang dapat
dinikmati oleh para keluarga dan keturunan korban agresi militer Jepang,
Belanda, Inggris dan Australia.
Di banyak Negara, peristiwa-peristiwa yang
sehubungan dengan Perang Dunia atau perang kemerdekaan Negara-negara tersebut,
hingga kini masih dikenang terus. Para pelaku kejahatan perang hingga sekarang,
setelah lebih dari 70 (!) tahun, masih terus diburu, seperti penjahat perang
Jerman, yang di masa Perang Dunia II yang melakukan pembunuhan massal atau
membunuh penduduk sipil.
Bulan Oktober 2009, berkat kegigihan upaya
keluarga korban, seorang mantan perwira Jerman, Heinrich Boere, ditangkap dan
dimajukan ke pengadilan di kota Aachen, Jerman. Pada bulan Maret 2010 dia
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti, 66 (!) tahun sebelumnya,
yaitu tahun 1944, membunuh tiga penduduk sipil di Belanda. Ketika vonis
dijatuhkan, Heinrich Boere berusia 88 tahun.
Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di
Den Haag, Belanda, memenangkan gugatan 8 janda dan seorang korban selamat dari
pembantaian di Rawagede. Pada 9 Desember 1947 tentara Belanda membantai 431
laki-laki di atas usia 15 tahun di desa Rawagede. Pengadilan Belanda menyatakan
pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab atas peristiwa
pembantaian tersebut. Pemerintah Belanda diharuskan memberi kompensasi kepada
para penggugat. Masing-masing penggugat memperoleh 20.000 Euro.
Sebelumnya, pada bulan Februari 2009
pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan, akan membantu pembangunan Desa
Rawagede. Pemerintah Belanda kemudian menyalurkan dana sebesar 850 ribu Euro.
Dengan demikian pemerintah Belanda telah memberikan dana sebesar 1.030 juta
Euro untuk Desa Rawagede dan para janda serta seorang korban selamat.
Kasus Rawagede dan kasus vonis penjara seumur
hidup untuk Heinrich Boere telah menunjukkan, bahwa peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi lebih dari 60 tahun yang lalu, masih dapat dimajukan ke pengadilan,
baik di Jerman maupun di Belanda.
Demikian juga semua peristiwa kejahatan
perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda
selama agresi militer Belanda di Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, masih dapat dibuka kembali dan ditempuh
jalur hukum. Pembantaian di Rawagede (kini bernama Balongsari), bukanlah
satu-satunya kebiadaban yang dilakukan oleh tentara Belanda dalam agresi
militernya di Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945.
Peserta seminar
Dalam kegiatan menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya November 1945 dan kegiatan menuntut pemerintah Belanda, telah terjalin kerjasama yang baik dari berbagai kalangan, lintas partai, agama, ideologi, etnis dsb. Hal ini menunjukkan, bahwa apabila bangsa Indonesia menghadapi “musuh” bersama di luar, maka bangkit rasa nasionalisme yang kuat, dan mengesampingkan semua masalah dalam negeri. Hal seperti ini juga ditunjukkan bangsa Indonesia, dalam pertandingan olahraga apabila menghadapi Negara lain. Nasionalisme bangsa Indonesia bangkit!
Latar
Belakang Sejarah
Ketika Belanda pada 9 Maret 1942 secara resmi
menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang dan menyerahkan seluruh jajahannya,
Netherlands Indie (India-Belanda),
maka pada saat itu Belanda telah kehilangan hak sejarahnya. Tanggal 9 Maret
1942 juga merupakan tanggal berakhirnya secara resmi penjajahan Belanda di Bumi
Nusantara.
Jepang kemudian menyatakan menyerah kepada
tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun penandatanganan dokumen menyerah
tanpa syarat (unconditional surrender)
baru dilakukan pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missouri di Tokyo
Bay.
Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai
tanggal 2 September terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Di masa vacuum
of power tersebut, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan kemudian mengangkat Presiden, Wakil
Presiden serta membentuk pemerintahan. Dengan demikian, tiga syarat utama
pembentukan suatu Negara telah terpenuhi, yaitu:
- Adanya wilayah,
- Adanya penduduk yang permanent,
- Adanya pemerintahan
Seperti yang disyaratkan Konvensi Montevideo,
Uruguay, yang ditandatangani pada 26 Desember 1933.
Dengan demikian,
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dicetuskan pada 17.8.1945, bukan
merupakan pemberontakan terhadap negara manapun, baik terhadap Jepang maupun
Belanda, karena Jepang telah menyatakan menyerah kepada tentara Sekutu, dan
pemerintahan Netherlands Indië-pun
tidak ada sejak tanggal 9 Maret 1942.. Juga bukan revolusi, karena tidak ada
pemerintahan yang digulingkan. Mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 bukan
perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan
kemerdekaan.
Syarat keempat, yaitu kemampuan untuk
menjalin hubungan internasional tidak menjadi syarat mutlak. Pada 10 Juni 1947,
satu bulan sebelum Belanda melancarkan agresi militer I, Mesir mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia, yang diikuti oleh Liga Arab, dan kemudian oleh
India setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Oleh karena itu, ketika Belanda
melancarkan agresi militer I pada 22 Juli 1947, keempat syarat Konvensi
Montevideo telah terpenuhi. Dengan demikian, jelas yang dilakukan oleh tentara
Belanda adalah agresi militer terhadap satu Negara merdeka dan berdaulat.
Pemerintah Belanda
tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan meminta bantuan
Inggris sebagai sekutu, karena setelah berakhirnya Perang Dunia II, baik di
Eropa maupun di Asia, Belanda praktis tidak memiliki tentara yang kuat. Pada 24
Agustus 1945 di kota Chequers dekat London, ditandatangani perjanjian antara
Inggris dan Belanda yang dinamakan Civil
Affairs Aggreement (CAA), di mana Inggris mewajibkan diri membantu Belanda
untuk memperoleh kembali jajahannya, Netherlands
Indië, yang baru menyatakan kemerdekaannya. Dalam perjanjian tersebut,
Inggris akan “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah
“dibersihkan”, akan diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA).
Di kancah diplomasi, untuk perundingan di
Linggajati, Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior, Lord Miles
Lampson Killearn, menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr untuk memimpin
perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan
Belanda.
Sebenarnya perjanjian Chequers tersebut
antara Inggris dan Belanda, di mana Inggris membantu Belanda “membersihkan”
kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah kekuatan bersenjata RI
dihancurkan, maka wilayah tersebut diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord
Louis Mountbatten, Supreme Commander
South-East Asia Command tidak mempunyai cukup pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara
Inggris dibantu dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie
Morsehead -yang karena kekejamannya mendapat julukan "Ming the merciless", tokoh kejam dalam cerita fiksi Flash
Gordon- yang sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area Command)
pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur. Hal ini jelas penyalahgunaan tugas
dari Allied Forces (tentara Sekutu).
Tiga divisi tentara
Inggris di bawah komando Letjen Phillip Christison untuk Sumatera dan Jawa
serta 2 divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morsehead di
Indonesia Timur, berusaha “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik
Indonesia. Pasukan Australia di Indonesia Timur berhasil menghancurkan sebagian
besar perlawanan bersenjata pendukung Republik Indonesia. Pada 15 Juli 1946,
tentara Australia menyerahkan seluruh wilayah Indonesia Timur kepada NICA. Pada
16 Juli 1946, Wakil Gubernur Jenderal van Mook menggelar Konferensi Malino,
yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi di
Denpasar bulan Desember 1946, Negara Indonesia Timur disahkan. Setelah itu, di
daerah-daerah yang dikuasai oleh Inggris dan kemudian diserahkan kepada
Belanda, Kemudian van Mook “berhasil” mendirikan 15 “Negara” dan wilayah Otonom lainnya, a.l. Negara
Sumatera Timur dll..
Ternyata tentara Australia tidak sepenuhnya
berhasil menghancurkan TRI (Tentara Rakyat Indonesia, yang pada 3 Juli 1947
menjadi Tentara Nasional Indonesia – TNI) dan laskar-laskar di seluruh
Sulawesi, termasuk di Sulawesi Selatan.
Peserta seminar
Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Pembantaian
oleh Westerling di Sulawesi Selatan
(Catatan: Dahulu peristiwa ini dikenal
sebagai pembantaian di Sulawesi Selatan, namun setelah pemekaran wilayah,
beberapa daerah yang dahulu termasuk Sulawesi Selatan sekarang termasuk
provinsi Sulawesi Barat).
Pada 15 Juni 1946 didirikan pusat pelatihan
yang dinamakan Depot Speciale Troepen
– DST (Depot Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen (Direktorat
Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat
ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan
yang akan dibentuk di India Belanda. Kamp dan pelatihan DST semula ditempatkan
di Polonia, Jakarta Timur.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat
menjadi Komandan pasukan khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin
DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan
pangkatnya pun tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu
pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil”
menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap
sebagai pahlawan dan pangkatnya naik menjadi kapten.
Westerling menggunakan metode teror yang
sangat kejam, dan melakukan eksekusi di tempat, yang dinamakan standrechtelijke executie (tembak di
tempat) terhadap penduduk di Sulawesi Selatan, yang sebagian terbesar adalah
penduduk sipil – non combatant- tanpa
proses pengadilan apapun. Pimpinan sipil dan militer Belanda mengetahui
mengenai hal ini, namun mendiamkannya selama beberapa minggu, sampai akhirnya
tercium juga oleh pers mengenai peristiwa-persitiwa pembantaian massal terhadap
penduduk sipil di Sulawesi Selatan, dan kemudian memberitakannya.
Sementara hasil perundingan Linggajati tengah
dalam proses ratifikasi (diratifikasi oleh kedua Negara pada 25 Maret 1947),
tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian massal terhadap rakyat
Indonesia di daerah-daerah yang mendukung Republik Indonesia di luar Jawa dan
Sumatera.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat di
Sulawesi Selatan, pada 9 November 1946 Letnan Jenderal Spoor dan Kepala
Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan
pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara Belanda di Jakarta.
Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan
kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung
Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan
tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen
memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang tentara dari Depot Pasukan Khusus
(DST) menuju Makassar. Sebelumnya, Netherlands
Eastern Forces Intelligent Service - NEFIS (Badan Intelijen Militer
Belanda) telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut
diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945.
Anggota DST segera memulai tugas intelnya dengan bantuan pribumi yang pro
Belanda untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung
mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada
5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan
markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan
pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de
Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi
Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada
ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan
tahanan. Westerling menyusun sendiri buku pedoman untuk Counter Insurgency tersebut, yang tak lain adalah terror.
Dari kiri: DR Idham Khalid, Batara R. Hutagalung
Gelombang pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
Pola terror Westerling menggunakan tiga fase.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal
lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring
ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung
ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45
seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua.
Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa
jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang, kemudian perempuan dan anak-anak
dipisahkan dari pria.
Fase kedua adalah mencari “kaum ekstremis”,
“perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi
ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia
memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat
dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut.
Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat,
dilaksanakannya Standrechtelijke
excecuties. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah
dihukum adalah "11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.”
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat
untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi
desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.”
Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang
berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44
penduduk desa.
Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi
pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin
sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13
Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di
sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai
81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15
Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota
Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen
mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda
berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal
16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah
tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.
Setelah daerah sekitar Makassar
“dibersihkan”, gelombang kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya
adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan
intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100
orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu
bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini
dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan
Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung
Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama
diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
Gelombang ketiga mulai dilancarkan pada 26
Desember 1946, yaitu terhadap Goa yang dilakukan dalam tiga serangan, yaitu
tanggal 26 dan 29 Desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan
kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di
kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi
Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan Noodtoestand (keadaan darurat) untuk
wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah
dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan dilakukan banyak tempat.
Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat
yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947
sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan ke Madello (15.1.),
Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang
(18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan
Suppa (28.1.).
Pembantaian
di Galung Lombok
Salah satu ladang pembantaian yang terkejam
dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Galung Lombok pada 1 Februari 1947.
Pembantaian seperti ini telah dilakukan
oleh tentara Inggris di
Amritsar, India, yang dikenal sebagai pembantaian Jallianwala Bagh, atas perintah Brigadir Jenderal
Reginald Dyer pada hari minggu, 13 April 1919. Di tengah kerumunan massa
sekitar 15.000 – 20.000 orang, 50 serdadu melakukan penembakan secara
membabi-buta, yang mengakibatkan korban tewas diperkirakan mencapai 1.000 orang
dan 1.500 lain luka-luka.
Galung Lombok termasuk Kecamatan Tinambung,
Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi
Sulawesi Barat. Letaknya sekitar 300 km di sebelah utara Makassar dan sekitar 8
km dari Majene, Ibukota Sulawesi Barat.
Dengan pola sweeping dan standrechtelijke
executie ala Westerling yang sama, ribuan penduduk dari berbagai daerah,
seperti Tinambung, Majene, Tande dan Renggeang digiring ke Galung Lombok. Di
hamparan sebuah alun-alun mereka dipersaksikan sekitar 30 mayat yang telah
terkapar dalam genangan Lumpur bersimbah darah yang masih segar. Mereka yang telah
menjadi korban itu adalah pemimpin-pemimpin politik dari masyarakat Mandar yang
dicap oleh pasukan Westerling sebagai ekstremis yang membangkang atau menentang
kekuasaan pemerintah Belanda.
Ketika kumpulan masyarakat itu dengan
perasaan ngeri dan harus menyaksikan gelimpangan mayat, pada sore hari
tiba-tiba ada laporan bahwa di Segeri Talolo, Majene, terjadi penghadangan
terhadap rombongan pasukan Belanda, yang mengakibatkan tiga orang tentara
Belanda tewas. Mendengar laporan ini, komandan pasukan Belanda, Letnan
Vermeulen, sangat marah dan memerintahkan untuk memberondong secara membabi
buta kerumunan manusia dengan senapan mesin. Korban berjatuhan saling
bertindihan antara satu dengan yang lain. Sedangkan yang masih hidup, berpura-pura
mati dengan membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke dalam kubangan darah
saudara-saudaranya yang sudah tewas.
Demikian sekelumit gambaran yang dipaparkan oleh
M. Thalib Banru mengenai peristiwa pembantaian rakyat di Galung Lombok, yang
terjadi pada 1 Februari 1947.
Dalam laporan resminya yang ada di De Exessennota, pemerintah Belanda hanya
menyebut, bahwa korban tewas di Galung Lombok pada hari itu antara 350 – 400
jiwa. Tidak disebutkan berapa orang yang terluka. Dalam pembantaian oleh
tentara Inggris di Amritsar, laporan resmi pemerintah Inggris menyebutkan,
bahwa korban tewas “hanya” 379 dan luka-luka sekitar 1.000 orang. Namun Kongres
Nasional India menyebutkan, bahwa korban tewas mencapai 1.000 orang.
Bangsa Indonesia mencatat, selama agresi militer Belanda di Indonesia, terjadi berbagai pelanggaran HAM berat, bahkan juga kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta perkosaan terhadap perempuan Indonesia yang dilakukan oleh tentara Belanda seperti yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (sekarang setelah pemekaran, beberapa daerah masuk ke Provinsi Sulawesi Barat), di Rawagede yang terjadi pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk desa tewas dibantai tanpa proses, pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Kereta Maut Bondowoso-Surabaya, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, dll.
Memperjuangkan
keadilan bagi korban agresi Belanda
Dalam upaya menjajah
kembali Indonesia melalui pengerahan militer secara besar-besaran, tentara
Belanda telah melakukan sangat banyak kejahatan perang dan kejahatan atas
kemanusiaan, serta melanggar konvensi Jenewa mengenai perlindungan terhadap
penduduk sipil di dalam suatu perang. Untuk menghindari tudingan ini, Belanda
menamakan agresi militernya sebagai “aksi polisional”, yaitu dengan dalih
membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang
dipersenjatai oleh Jepang, guna memulihkan kembali “Rust en Orde (Law and Order).
Namun lembaran paling
hitam dalam sejarah Belanda ini, selama 20 tahun sampai tahun 1969, di Belanda
sendiri tidak pernah diberitakan apalagi dibahas. Seolah-olah ada “gerakan
tutup mulut”. Kebisuan ini “dipecahkan”
oleh Prof. Joop Hueting, Guru Besar Psikologi, yang mengritisi berbagai kecaman
di Belanda atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Amerika di My Lai,
Vietnam pada bulan April 1968, yang baru terungkap akhir 1968. Prof. Hueting,
yang adalah mantan wajib militer yang ditugaskan untuk perang di Indonesia
mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun
1946 – 1949 lebih kejam daripada yang dilakukan oleh tentara Amerika tersebut.
Pernyataan ini tentu sangat mengejutkan masyarakat di Belanda. Prof. Hueting
diwawancarai oleh berbagai media, di mana dia juga mengungkapkan apa yang telah
dilakukan olehnya dan pasukannya.
Pada bulan Januari
1969 parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda melakukan penelitian terhadap
hal-hal yang telah disampaikan oleh Prof. Hueting. Pemerintah Belanda membentuk
tim antar departemen, yang pada bulan Juni menyampaikan laporannya, yang diberi
judul “De Excessennota, Nota betreffende
het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door
Nederlandse militairen in de periode 1945-1950.” Di dalamnya terdapat
laporan sekitar 140 “ekses” yang telah dilakukan oleh tentara Belanda. Namun
pakar-pakar hukum di Belanda menyebut, bahwa yang dinamakan “ekses” oleh
pemerintah Belanda, tak lain adalah Oorlogsmisdaden,
kejahatan perang.
Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda Ben Bot mengakui, bahwa pengerahan militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah, di mana jatuh korban di kedua belah pihak. Namun kalau dilihat perbandingan jumlah yang tewas, maka ucapan ini terdengar seperti nada yang sangat sumbang. Di pihak Belanda dinyatakan sekitar 6.000 orang tewas, semuanya tentara. Namun tidak semuanya mati dalam pertempuran, melainkan juga banyak yang mati karena sakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh Letjen Simon Hendrik Spoor, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, yang menembak kepalanya sendiri karena kecewa atas disetujuinya perundingan perdamaian antara Belanda dan Republik Indonesia. Korban di pihak Indonesia, menurut catatan Belanda, sekitar 150.000 orang.
Sangat disayangkan, pihak Republik Indonesia
sendiri tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya jumlah korban jiwa
di kalangan rakyat Indonesia, demikian juga kehancuran perumahan, bangunan dan
perekonomian rakyat. Sebagian besar korban tewas adalah penduduk sipil, non combatant. Apabila membandingkan
jumlah korban di beberapa daerah dengan angka resmi yang dilaporkan oleh
pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota
terlihat perbedaan yang cukup besar mengenai jumlah yang tewas. Sebagai contoh,
peristiwa pembantaian di desa Rawagede. Dalam laporannya pemerintah Belanda
menyebut jumlah penduduk yang dibunuh 20 orang, sedangkan menurut data
setempat, jumlah penduduk yang dibantai tanpa proses pada 9 Desember 1947
sebanyak 431 orang. Demikian juga di daerah-daerah lain, jumlah korban ternyata
jauh lebih banyak dibandingkan data dalam laporan resmi pemerintah Belanda.
Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang tidak ada dalam laporan pemerintah
Belanda tersebut. Oleh karena itu jumlah korban tewas di seluruh Indonesia
diperkirakan dapat mencapai 1 juta jiwa.
Pemberian cinderamata dari Ketum KKMSB, Mayjen TNI (Purn.) Salim Mengga
kepada Batara R. Hutagalung. Tampak di sebelah kanan, DR Anhar Gonggong
Pemerintah Belanda sangat gigih memperjuangkan keadilan bagi warganya, seperti yang ditunjukkan atas peristiwa tewasnya seorang wartawan Belanda, Sander Thoenes di Timor Timur tahun 1995. Perdana Menteri Belanda Balkenende, dalam setiap kesempatan, baik dalam kunjungannya ke Indonesia, maupun ketika bertemu dengan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam Konferensi Anti Rasisme di Durban tahun 2002, selalu mempertanyakan kelanjutan pengusutan mengenai tewasnya seorang wartawan Belanda tersebut. Pihak Belanda menuduh, bahwa tewasnya wartawan tersebut karena dibunuh oleh TNI.
Demikian juga dengan parlemen Belanda, yang
sebelum tahun 2008 hampir setiap tahun ke Indonesia untuk “kunjungan kerja”,
guna memantau perkembangan HAM di Indonesia. Dalam kunjungannya ke Indonesia
tahun 2008, delegasi parlemen Belanda masih mengritisi berbagai pelanggaran HAM
yang terjadi di Indonesia, namun secara resmi, delegasi parlemen Belanda
menolak untuk berkunjung ke Rawagede, bahkan menolak untuk bertemu dengan
beberapa janda dan seorang korban selamat dari Rawagede, yang datang
mengunjungi mereka di Hotel tempat mereka menginap di Jakarta. Dari 7 orang
anggota delegasi, akhirnya hanya tiga orang yang secara informal, di akhir
kunjungan resmi, bersedia menemui keluarga korban dari Rawagede.
Adalah Komite Nasional Pembela Martabat
Bangsa Indonesia (KNPMBI) yang pada 20 Maret 2002 pertama kali menuntut
pemerintah Belanda untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan memberi kompensasi
kepada para korban serta keluarga korban agresi militer Belanda. Tahun 2002,
bangsa Belanda merayakan secara besar-besaran sepanjang tahun, 400 tahun
berdirinya VOC yang jatuh pada 20 Maret 2002.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI tidak hanya
sehubungan dengan Belanda, maka pada 5 Mei 2005, para aktifis KNPMBI mendirikan
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pada 15 Desember 2005, pimpinan KUKB
membawa kasus Rawagede ke parlemen Belanda. Sejak itu bergulirlah kasus
peristiwa pembantaian di Rawagede ke seluruh media, baik di Belanda, Indonesia
maupun di media internasional.
Setelah putusan pengadilan sipil di Den Haag
14 September 2011, Duta Besar Kerajaan Belanda, Tjeerd de Zwaan hadir pada acara
peringatan di Rawagede tanggal 9 Desember 2011. Dalam sambutannya, Dubes
Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban di
Rawagede.
Letkol.
Haryono, Dandim Karawang, Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda.
Batara
R. Hutagalung, Ketua KUKB
*******
Narasumber :
Seminar diselenggarakan atas
kerjasama Kementerian Dalam Negeri RI,
Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Ditjen Kesbangpol) bersama
Badan Pengurus Pusat Kerukunan
Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB).
Seminar dibuka oleh Bupati
Kabupaten Majene, H. Kalma Katta S.Sos.
- DR. Anhar Gonggong.
- DR. Idham Khalid, M.Pd.
- Batara R. Hutagalung.
Moderator: Drs. H.M. Said Saggaf, MSi
Keynote Speaker: Maskur,
dari Ditjen Kesbangpol Kemdagri.
Peserta lebih dari 300
orang, yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat Mandar, baik dari Pusat
(anggota DPD) maupun dari berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Majene.
Juga hadir Wakil Bupati
Polewali Mandar (Polman).
No comments:
Post a Comment