Sunday, January 12, 2020

Puputan Margarana: Australia dan Inggris Harus Ikut Bertanggungjawab


Ceramah Kebangsaan
Di
Universitas Warmadewa,
Denpasar, 20 November 2014



PUPUTAN MARGARANA:
AUSTRALIA DAN INGGRIS
HARUS IKUT BERTANGGUNGJAWAB

















Oleh
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)


Pendahuluan

Sejak tahun 2002, ketika memulai kegiatan membuka lembaran sejarah yang sehubungan dengan perang mempertahankan kemerdekaan  antara tahun 1945 – 1950 terungkap fakta, bahwa sebagian terbesar masyarakat di Indonesia tidak mengetahui mengenai berbagai peristiwa kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan berbagai pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, dalam upaya menjajah kembali bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menyampaikan kepada masyarakat luas di seluruh Indonesia, mengenai hal-hal tersebut di atas. Selain agar seluruh masyarakat mengetahuinya, juga menjelaskan pentingnya peristiwa-peristiwa tersebut diangkat kembali.

Tujuan utamanya adalah demi harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, yaitu pengakuan de jure terhadap proklamasi kemerdekaan 17.8.1945. Selain itu, pemerintah Belanda juga harus meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan bertanggungjawab atas agresi militer yang telah mengakibatkan tewasnya sekitar 800.000 – satu juta jiwa rakyat Indonesia. Agresi militer tersebut juga mengakibatkan hancurnya infrastruktur dan kemunduran perekonomian  Repulik Indonesia, yang tahun 1945 baru akan memulai pembangunan, akibat pendudukan Jepang yang tidak kalah kejamnya antara tahun 1942 – 1950.

Khusus untuk rakyat Indonesia di wilayah timur, perlu mengetahui, bahwa peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Westerling bersama anak-buahnya dan Puputan Margarana, terjadi karena bantuan tentara Inggris dan Australia kepada Belanda. Seandainya tentara Inggris dan Australia tidak membantu Belanda untuk kembali menjajah Bumi Nusantara, maka tidak perlu jatuh korban jiwa yang mencapai sekitar satu juta, dan Indonesia tidak mengalami kehancuran infrastruktur serta perekonomian akibat agresi militer Belanda tersebut. Bangsa Indonesia dapat memulai pembangunan tahun 1945, bukan mulai tahun 1950!


Latar Belakang Sejarah

Pada 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk menjajah kembali. Bahkan hingga kini, September 2013, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indoesia adalah 17.8.1945. Di Indonesia ternyata banyak sekali yang tidak mengetahui mengenai sikap pemerintah Belanda ini.

Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan” kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). RIS telah dibubarkan pada 16.8.1950 dan pada 17.8.1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI berdasarkan proklamasi 17.8.1950.
Pengakuan de jure terhadap proklamasi 17 Agustus 1945 membawa masalah yang sangat besar untuk pemerintah Belanda, terutama untuk veteran Belanda. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17.8.1945, maka:
  1. Yang Belanda namakan sebagai “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan berdaulat,
  2. Belanda harus membayar pampasan perang, seperti yang telah dibayar oleh Jepang kepada Negara-negara di Asia akibat agresi militer Jepang ke Asia Timur dan Asia Tenggara antara tahun 1942 – 1945,
  3. Veteran Belanda menjadi penjahat perang.

Alasan Belanda melancarkan “aksi polisional” adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban “di dalam negeri”, yaitu membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Penamaan “aksi polisional” ini juga untuk mengecoh opini dunia, dengan menyatakan bahwa tindakan ini adalah untuk menyelesaikan masalah “dalam egeri” Belanda.

Dengan demikian, apabila bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda seperti ini, maka bangsa Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang berada di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.

Setelah Perang Dunia ke II berakhir, Belanda tidak memiliki angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda digilas oleh tentara Jerman tahun 1940, dan tentaranya di India-Belanda dihancurkan oleh tentara Jepang. Oleh karena itu, pemerintah Belanda meminta bantuan kepada sekutunya, Inggris.

Di Chequers, sekitar 100 km dari London, pemerintah Inggris dan Belanda mengadakan perundingan. Ini merupakan kelanjutan dari agenda rahasia antara Perdana Meteri Iggris, Winston Churchill dan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt di Konferensi Yalta, di mana kekuasaan Negara-negara di Asia akan dikembalikan kepada situasi sebelum agresi militer Jepang. Artinya Negara-negara jajahan akan “dikembalikan” kepada tuan-tuan penjajahnya.

Pada 24 Agustus 1945 Inggris dan Belanda mencapai kesepakatan yang dinamakan Civils Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini, pemerintah Inggris menyatakan kesediaannya untuk membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya dengan kekuatan militer. Salahsatu butirnya persetujuan adalah, tentara Inggris akan  “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia (pada waktu itu TNI belum terbentuk), dan kemudian wilayah yang telah “dibersihkan”, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Pelaksanaan tugas ini diserahkan kepada Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command), Vice Admiral Lord Mountbatten. Dia memperkirakan, untuk melaksanakan tugas ini dia memerlukan enam divisi, namun dia hanya memiliki tiga divisi, yaitu British-Indian Divisions.

Mountbatten mendapat tambahan pasukan dua divisi tetara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morshead, yang sebelumnya termasuk South West Pacific Area Command (Komando Pasifik Barat Daya), yang dipimpin oleh Jenderal Douglas McArthur.

Tiga divisi tentara Inggris ditugaskan untuk Sumatera, Jawa dan Madura, sedangkan dua divisi tetara Australia ditugaskan untuk “mengamankan” seluruh wilayah Indonesia bagian timur, dari Kalimantan Sulawesi, Bali, NTB sampai Irian.

Tentara Inggris mendapat perlawanan yang sangat dahsyat di Sumatera dan Jawa, terutama di Medan dan Surabaya, yang membuat Inggris memaksa Belanda untuk melakukan perundingan perdamaian dengan pihak Republik Indonesia, yang dilaksanakan di Linggajati.

Di Indonesia bagian timur, tentara Australia memuluskan kembalinya Belanda sebagai penguasa. Pada 15 Juli 1946, pimpinan tentara Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia timur kepada Dr. van Mook, mantan Wakil Gubernur Jenderal India Belanda. Sehari kemudian, pada 16 Juli van Mook menggelar Konferensi Malino, di mana diletakkan dasar untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), yang akan dikukuhkan dalam “Konferensi Besar” pada bulan Desember di Bali.

Namun rencana peyeleggaraan konferensi di Bali tidak berjalan dengan mulus, karena pada waktu itu Republik Indonesia telah membentuk angkatan perang. Bali berada di bawah komando Letkol I Gusti Ngurah Rai. Pada 23 November 1946 terjadi pertempuran yang dinamakan Puputan Margarana, di mana Ngurah Rai gugur bersama 95 orang anak-buahnya.

Sementara itu, di Sulawesi, terutama di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap tentara Belanda sangat dahsyat dan menyebabkan pimpinan tertinggi tentara Belanda di Jakarta memutuskan, untuk mengirim pasukan elit Depot SpecialeTroepen (DST) di bawah komando Letnan Raymond P.P. Westerling.

Sejarah mencatat, selama terror Westerling dan anak-buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian termasuk Provinsi Sulawesi Barat) yang berlangsung dari 11 Desember 1946 sampai 2 Maret 1947 telah terjadi banyak pembantaian terhadap penduduk sipil (non combatant). Mereka dibunuh tanpa proses hukum apapun.

Banyak peristiwa yang terjadi selama perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang hingga sekarang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia sendiri. Terutama yang sehubungan dengan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, dengan bantuan tentara Inggris dan Australia.

Juga sangat sedikit penelitian mengenai latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Seandainya tentara Inggris dan Australia hanya melaksanakan tugas dari Tentara Sekutu (Allied Forces) dan tidak memiliki agenda terselubung untuk membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya, maka berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, seperti ‘Pemboman Surabaya November 1945’, ‘Pertempuran Medan Area Desember 1945’, ‘Palagan Ambarawa Desember 1945’, ‘Bandung Lautan Api, April 1946’, ‘Pembataian Westerling di Sulawesi Selatan/Barat 11 Desember 1946 – 2Maret 1947’, ‘Puputan Margarana, Bali Novemver 1946’, ‘Gerbong Maut Bondowoso November 1947’,  ‘Pembantaian dfi Rawagede 9 Desember 1947’, ‘Pembantaian 1.500 penduduk di Kranggan, Jawa Tengah Januari-Februari 1949’, ‘Jembatan Ratapan Ibu, Payakumbuh, Sumatera Barat’, dll, tidak akan terjadi.

Oleh karena itu, dengan mengacu pada hukum ‘SEBAB – AKIBAT’, maka Australia dan Inggris harus bertanggungjawab atas terjadiya peristiwa-peristiwa tersebut. Namun yang mennjadi akar permasalahan adalah: BELANDA TIDAK MAU MENGAKUI DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945!


                                                             ******** 









Membela Martabat Bangsa dan Memperjuangkan Keadilan Untuk Korban Agresi Militer 1945 - 1950

Sejak tahun 2002, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), dan kemudian sejak 5 Mei 2005 dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menuntut pemerintah Belanda untuk:

I.        MENGAKUI DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA ADALAH 17 AGUSTUS 1945,
II.   MEMINTA MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, KEJAHATAN PERANG, KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN DAN PELANGGARAN HAM BERAT, TERUTAMA YANG DILAKUKAN OLEH TENTARA BELANDA SELAMA AGRESI MILITER DI INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 – 1950.

Menurut pendapat para aktifis KNPMBI dan KUKB, masalah pengakuan de jure terhadap proklamasi 17.8.1945 adalah masalah martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagai konsekwensi logis dari pengakuan de jure, pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang (war reparation).

Dengan dibentuknya Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun 2002, diberikan landasan hukum internasional untuk membawa semua kasus-kasus tersebut ke pengadilan kejahatan internasional. Berdasarkan Statuta Roma, yang melandasi  pembentukan International Criminal Court  (ICC), empat jenis kejahatan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:

  1. Genocide (pembantaian etnis),
  2. War crime (kejahatan perang),
  3. Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan), dan
  4. Crime of aggression (kejahatan agresi).

Sebagai bukti bahwa untuk kejahatan perang tidak mengenal kadaluarsa adalah proses pegadilan terhadap seorang mantan tetara Jerman. Pada bulan Oktober 2009, seorang mantan perwira Jerman, Heinrich Boere, ditangkap di kota Aachen, Jerman, dan dimajukan ke pengadilan. Pada bulan Maret 2010, oleh pengadilan dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, usianya 89 tahun. Kejahatannya: Tahun 1944, 66 tahun (!) sebelumnya, dia terbukti membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda!




*******


No comments:

Post a Comment