RAKERNAS GERAKAN BELA NEGARA
Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 15 Maret 2017
Ceramah Kebangsaan
HAK ASASI NEGARA,
HAK ASASI BANGSA,
HAK ASASI MANUSIA.
Disampaikan oleh
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum
Komite Nasional Pembela Kedaulatan Negara dan Martabat Bangsa
(PKNMB)
Pengantar
Masyarakat, yaitu kumpulan para individu, pada umumnya hanya mengetahui mengenai
apa yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun pemahaman mengenai HAM
berbeda-beda, terutama di negara-negara bekas
penjajah. Hal ini sehubungan
dengan definisi, apa atau siapa yang disebut manusia. Di masa penjajahan yang
berlangsung selama ratusan tahun para penjajah memperjual-belikan manusia
sebagai budak, yang tentu tidak memiliki hak apapun.
Di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara resmi diberlakukan undang-undang
perbudakan dari tahun 1640 – 1862. (awalnya di bawah “pemerintahan VOC” sampai
31 Desember 1799, kemudian sejak 1 Januari 1800 di bawah pemerintahan Nederlands Indie). Setelah UU perbudakan
resmi dihapus, prakteknya masih berlangsung selama belasan tahun. Belanda
adalah pedagang budak terbesar di masa itu.
Tidak banyak yang mengetahui dan memahami mengenai Hak Asasi Bangsa (HAB),
apalagi mengenai Hak Asasi Negara.
Bahkan seorang Komisioner Komnas HAK RI, Natalius Pigai, juga tidak
mengetahui adanya Hak Asasi Bangsa dan Hak Asasi Negara. Hal ini terungkap
dalam silang-pendapat dengan saya di WA Grup Peduli Negara 1 (WAG PN 1) tanggal
16 September 2016, di mana dia menyatakan bahwa tidak ada Hak Asasi Bangsa dan
Hak Asasi Negara.
Kalimat pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah:
“Bahwa sesungguhnya
KEMERDEKAAN ITU IALAH HAK SEGALA BANGSA dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapus karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan”
Kelihatannya tidak banyak memahami kalimat ini, bahwa HAK ASASI BANGSA,
ialah KEMERDEKAAN, telah tertuang sebagai kalimat pertama dalam Pembukaan UUD
’45. Kalimat ini merujuk pada sejarah panjang penjajahan, yaitu Rights for selfdetermination of People
(Hak Bangsa-Bangsa menentukan nasib sendiri).
Hak Asasi Bangsa ini tidak mau diakui oleh negara-negara penjajah. Walaupun
kalimat ini tertera dalam Preambule PBB sejak berdirinya PBB tahun 1945, namun
semua negara penjajah yang juga ikut mendirikan PBB, enggan melaksanakannya.
Baru sejak awal tahun 60-an, setelah serangkaian pemberontakan terjadi di
wilayah-wilayah jajahan, perlahan-lahan negara-negara penjajah melepaskan
jajahannya.
HAK ASASI NEGARA, sebagaimana ditulis oleh Prof. FX Sugeng Istanto adalah:
1.
KEDAULATAN,
2.
KESETARAAN,
3.
MEMPERTAHANKAN DIRI.
Ini merupakan penjabaran dari Konvensi Montevideo 26 Desember 1933, yaitu Montevideo Convention on Rights and Duty of
States. Awalnya hanya dalam hubungan internasional, namun dalam perkembangan
selanjutnya, juga berlaku untuk dalam negeri, terutama dalam mempertahankan
Kedaulatan dan Keutuhan Negara.
Hak Asasi Manusia (HAM) rakyat Indonesia dilindungi oleh Negara. Para pendiri Republik Indonesia juga telah mengamanatkan hal ini dalam
Pembukaan UUD ’45, yaitu di alinea keempat:
“Kemudian daripada itu
untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia YANG MELINDUNGI SEGENAP BANGSA
DAN SELURUH TUMPAH DARAH INDONESIA ...”
Pelaksana tugas dari amanat ini adalah PEMERINTAH RI DAN TNI SERTA POLRI.
Di era
Perang Asimetris (Asymmetric Warfare),
pengetahuan mengenai sejarah nasional dan internasional menjadi sangat penting,
karena dapat menjadi “senjata” ampuh untuk memojokkan suatu Negara, terutama
sehubungan dengan pelanggaran HAM, pembantaian massal atau kejahatan perang
yang telah dilakukan oleh suatu Negara.
Pengetahuan
sejarah nasional Indonesia dapat memperkuat dasar dan sekaligus sebagai
“serangan balik (counter)” terhadap
isu-isu yang selalu dilontarkan oleh Negara-negara tertentu untuk menjatuhkan
citra Indonesia sebagai NEGARA PELANGGAR HAM, juga sekaligus
“memoles” citra mereka sebagai “pengawas HAM internasional.”
Hal ini mulai dilakukan oleh negara-negara bekas penjajah, sejak
berakhirnya Perang Dingin (Cold war) tahun
1990 antara Blok Timur yang komunis dan Blok Barat yang anti komunis. Negara-negara
bekas penjajah tergabung di Blok Barat.
Sejak akhir tahun 90-an, di Belanda, Inggris, Australia, Amerika Serikat
dan Jerman, mulai diangkat kembali peristiwa G30S/PKI dan sejumlah peristiwa
yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1950, yang dituduhkan sebagai tindakan
PELANGGARAN HAM, terutama yang dituduhkan, telah dilakukan oleh TNI.
Hingga
saat ini, Belanda tetap tidak mau mengakui DE JURE kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Belanda juga
menganggap, bahwa Irian Barat secara yuridis bukan bagian dari NKRI, karena
tidak termasuk dalam perjanjian KMB.
Masih
sangat banyak orang Indonesia yang percaya dengan pendapat, bahwa Belanda menjajah
Indonesia selama
350 tahun. Juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan
sebagai revolusi, perang kemerdekaan/perang
merebut kemerdekaan, dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh
tentara belanda adalah membasmi para perampok, perusuh dan ekstremis yang
dipersenjatai Jepang.
Selain
itu, banyak pakar hukum orang Indonesia berpendapat, bahwa pada 17 Agustus
1945, Indonesia merdeka namun belum berdaulat. Bahkan ada yang
membela sikap belanda, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
TIDAK SAH, karena belanda tidak menyetujuinya.
Hal-hal
tersebut di atas sangat salah dan menyesatkan. Dikuatirkan, apabila
pendapat-pendapat tersebut di atas tidak dibantah dan diluruskan,
generasi-generasi mendatang di Indonesia juga percaya terhadap
pendapat-pendapat yang salah ini, yang sebagian besar adalah versi Belanda. Juga
tidak ada bantahan, apabila dunia internasional, terutama mantan
sekutu belanda di Perang Dunia II berpendapat demikian.
Oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu KEABSAHAN NKRI PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945
BERDASARKAN KONVENSI mONTEVIDEO, dan kedudukan NKRI dalam peta politik dan
hukum internasional. Juga sekaligus mengingatkan kekejaman di zaman penjajahan
Belanda, sebagai bagian dari strategi COUNTER atas isu pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Indonesia/TNI.
Hal ini berhubungan erat dengan politik dunia pada saat ini, terutama dalam
perjungan mempertahankan KEDAULATAN DAN KEUTUHAN NKRI dari upaya negara-negara
asing dan antek-anteknya untuk memecah-belah dan kemudian menguasai NKRI dengan
segala cara, termasuk berusaha memojokkan RI dengan isu PELANGGARAN HAM.
Bagian I
KEABSAHAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
1.
Latar belakang sejarah (Ringkas):
JASMERAH/MELAWAN LUPA!
Untuk
mengetahui kekejaman di masa penjajahan belanda dan pendudukan Jepang.
Belanda: A.l. Perbudakan,
monopoli perdagangan opium oleh pemerintah India Belanda, tukar-menukar jajahan
dengan Inggris, membagi-bagi pulau dengan Inggris dan Portugal; menghancurkan
pohon-pohon cengkeh untuk menjaga harga tinggi di Eropa. Tahun 1945 – 1950,
dengan bantuan 3 divisi tentara Inggris dan 2 divisi tentara Asutralia,
melancarkan agresi militer di Republik Indonesia, yang mengakibatkan tewasnya
sekitar satu juta (!) rakyat Indonesia (non
– combatant), hancurnya infra-struktur di berbagai daerah di Indonesia.
Jepang: Romusha, Jugun Yanfu,
pembantaian intelektual Indonesia di Mandor (dekat Pontianak, Kalimantan Barat),
Unit 731.
2.
Tonggak-tonggak menuju kemerdekaan
a.
Sumpah pemuda 28.10.1928.: Berbagai
organisasi pemuda di wilayah jajahan belanda mencetuskan kehendak untuk
mendirikan Bangsa (Nation) dan Negara-Bangsa (Nation
state) yang akan dinamakan Indonesia.
b. Menyerahnya
Belanda kepada Jepang di Kalijati 9 Maret 1942: Berakhirnya penjajahan belanda di
bumi Nusantara/Asia Tenggara.
c.
Menyerahnya
Jepang kepada sekutu 15 Agustus 1945.
3.
Hal positif di masa pendudukan Jepang;
a.
Pendidikan politik (tanpa partai politik).
b. Pembentukan kekuatan militer, cikal-bakal
BKR/TKR/TRI/TNI: Heiho, Gyugun, PETA,
laskar-laskar, dan kepolisian, terutama kepolisian istimewa yang
menjadi cikal-bakal Brimob.
4.
Pernyataan kemerdekaan: Makna proklamasi
17.8.1945, Indonesia adalah Negara
terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaan setelah usai Perang Dunia II.
Kemudian menyusul Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September
1945. Proklamasi 17.8.1945 adalah simbol keberanian, tekad kesatuan dan
persatuan.
Keabsahan
Proklamasi 17.8.1945: Memiliki landasan hukum internasional, landasan politik,
dukungan moral Ratu Belanda dan Piagam PBB.
Proklamasi
17.8.1945 harus menjadi PILAR/PEDOMAN PERTAMA Kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Proklamasi kemerdekaan tertuang dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Proklamasi kemerdekaan tertuang dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
5.
1945 – 1950: Bukan revolusi, bukan perang
kemerdekaan, bukan pemberontakan - melainkan Perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda dan sekutunya serta kaki-tangannya..
6.
Pengorbanan ratusan ribu (bahkan mungkin mencapai satu
juta!) rakyat (pahlawan) tidak boleh dilupakan: Korban Westerling, Rawagede,
Kranggan, Rengat, gerbong Maut Bondowoso, dll.
7.
INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH. Sebagai
entitas politik Indonesia baru eksis sejak 17.8.1945. Belanda yang dibantu oleh sekutunya, yang adalah PEMENANG PERANG DUNIA II,
berusaha menjajah Indonesia, namun tidak berhasil. Yang dijajah Belanda adalah
kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara/Nusantara. Yang diduduki oleh Jepang antara 9 Maret 1942 – 15 Agustus 1945 adalah
wilayah BEKAS JAJAHAN BELANDA.
8. Indonesia sebagai PEMENANG, tidak perlu mengikuti
definisi-definisi “hukum internasional” mengenai HAK ASASI NEGARA (Rights of a state), HAK ASASI BANGSA (Rights of a Nation) dan HAK ASASI
MANUSIA (Human rights).
Ø HAK ASASI NEGARA (HAN)
-
Kedaulatan,
-
Kesetaraan,
-
Mempertahankan diri
Ø HAK ASASI BANGSA (HAB)
- KEMERDEKAAN, sebagaimana tertera sebagai alinea pertama
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Ø HAK ASASI MANUSIA (HAM)
- Definisi HAM dari negara-negara bekas penjajah selalu
berubah, disesuaikan dengan “kebutuhan”mereka.
- Republik Indonesia telah lebih dahulu menetapkan HAM
dalam UUD ’45, yaitu yang tertuang dalam Sila Kedua: Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Bagian
II
INDONESIA DI ERA PERANG ASIMETRIS
Analisis
situasi masa kini. Sejak dimulainya perang dingin antara kubu yang dipimpin
oleh Amerika Serikat melawan kubu yang dipimpin oleh Uni Sovyet tahun 1947, selain
berada di era perang asimetri (Asymmetric
Warfare), Indonesia selalu menjadi “medan perang” untuk berbagai konflik
kekerasan, atau perang perwakilan (Proxy
War), baik itu yang berlatar belakang ideologi maupun SARA. Serangan
terhadap ketahanan nasional Indonesia, yaitu IPOLEKSOSBUD, diperluas dengan
serangan terhadap Konstitusi, ketahanan
energi dan ketahanan pangan.
Di era
perang dingin, pemerintah dari negara-negara barat tidak pernah menuding
Indonesia melakukan pelanggaran HAM, termasuk di Timor Timur. Bahkan pada waktu
itu, Negara-negara barat men-suply
Indonesia dengan persenjataan dan bantuan dana serta dukungan lain. Setelah
hancurnya imperium komunis Uni Sovyet, beberapa Negara, terutama Belanda,
Australia, Inggris dan Amerika Serikat (ABDACOM)
sangat gencar melakukan pembentukan opini negatif terhadap Indonesia. Indonesia
dipersepsikan sebagai NEGARA PELANGGAR
HAM. Beberapa Negara barat kemudian melakukan embargo senjata. Selain yang
sehubungan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS),
Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan (dahulu) Timor Timur, juga yang selalu di-blow-up oleh Negara-negara tersebut
adalah peristiwa tahun 1965.
Sangat
ironis, Negara-negara yang RATUSAN TAHUN melakukan berbagai pelanggaran HAM
berat, seperti penjajahan, perbudakan, kejahatan perang dan kejahatan atas
kemanusiaan, kini bertindak seolah-olah mereka adalah pembela dan pengawas HAM
di seluruh dunia.
Bung Karno
telah memprediksi apa yang akan dihadapi baik oleh bangsa
Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, dalam pidato pembukaan KAA
pada 18 April 1955 Bung Karno mengatakan:
“Saya
tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta
kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan
caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan
lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti
baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol
intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen
kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin
namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Yang telah
diprediksi oleh Bung Karno tahun 1955 (!), apabila mencermati perkembangan
perpolitikan dunia internasional 50 tahun belakangan ini, di Indonesia terlihat
dengan sangat nyata.
Pengaburan penulisan
sejarah nasional juga merupakan bagian dari perang asimetri ini. Hal ini
diformulasikan dengan tepat sebagai berikut:
“Adapun
langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui beberapa tahapan. Pertama,
penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat
menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya,
sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori,
juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, memutus
hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek
moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga,
dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”
Memasuki
tahun 2015, pelaksanaan hukuman mati terhadap sejumlah gembong narkoba dilaksanakan,
antara lain ada warganegara belanda dan australia.
Kedua Negara tersebut bereaksi sangat keras terhadap pelaksanaan eksekusi, dan
mengecam Indonesia, Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM.
Apabila mengetahui sejarah penjajahan Belanda di Nusantara, terutama di
masa agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1950, tentu dapat segera
melihat, bahwa ini juga cara belanda untuk memutar-balik fakta mengenai
pelanggaran HAM.
Slama masa penjajahan Belanda sampai tanggal 9 Maret 1942, dan di masa
agresi militer Belanda di Indonesia, Belanda telan membantai JUTAAN PENDUDUK
SIPIL (NON-COMBATAN) TANPA PROSES HUKUM APAPUN.
Di masa penjajahan belanda, pemerintah kolonial memonopoli perdagangan
opium, menggunakan opium sebagai senjata untuk menghancurkan mental pribumi
dengan resmi diizinkan didirikan rumah-rumah madat.
Bagian
III
COUNTER PEMBENTUKAN OPINI NEGATIF
TERHADAP INDONESIA
Bukan
hanya pengetahuan mengenai hukum internasional saja, melainkan juga pengetahuan
yang cukup mendalam mengenai sejarah nasional dan mancanegara, terutama sejarah
Negara-negara tertentu yang sering memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran
HAM, dapat digunakan sebagai senjata yang sangat ampuh dalam meng-counter berbagai isu yang dilontarkan
oleh Negara-negara tersebut.
1. Prinsip Carl von Clausewitz: Angriff ist die beste Verteidigung (Menyerang
adalah Pertahanan terbaik). Selama
ini politik LN Indonesia terlalu defensif, terutama menghadapi beberapa negara
barat yang selalu memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM:
Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Jerman.
2.
Sehubungan dengan tudingan pelanggaran HAM, baik sehubungan dengan Peristiwa G30S/PKI maupun yang terjadi di Papua,
Aceh dan Maluku perlu ditegaskan, bahwa adalah hak setiap Negara untuk
mempertahankan integritas/keutuhan wilayahnya.
Contoh-contoh:
a.
Amerika Serikat: ketika Negara-negara di
selatan ingin memisahkan diri, ditumpas dengan keras dan menelan korban jiwa lebih dari 600 ribu orang.
b.
Negara-negara penjajah menumpas dengan kejam
gerakan-gerakan kemerdekaan dari Negara-negara jajahan. A.l. di India, pembantaian Amritsar oleh tentara Inggris; penumpasan
pemberontakan Mau-Mau di Kenya oleh tentara Inggris, dll.
c.
Khusus Belanda: Setelah
kehilangan hak sejarahnya pada 9 Maret 1942, belanda masih
ngotot ingin menguasai Indonesia. Melancarkan agresi militer dengan bantuan 3 divisi tentara Inggris
dan 2 divisi tentara Australia.
Terjadi
pembantaian terhadap satu juta penduduk
sipil
di Indonesia, yang oleh Belanda dianggap sebagai perusuh, pengacau
keamanan, perampok dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
3. Membongkar semua kasus genosida (pembantaian etnis),
kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan serta kejahatan agresi yang telah
dilakukan oleh negara-negara tersebut selama masa penjajahan. Mengajukan
kasus-kasus kejahatan Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Di Mahkamah Kejahatan Internasional (International
Criminal Court) yang berkedudukan di Den
Haag, Belanda, 4 kejahatan tersebut di atas dinyatakan tidak mengenal azas
kadaluarsa.
Mahkamah Kejahatan Internasional berada di bawah Dewan Keamanan PBB.
Sejak
tahun 1999, segelintir anak bangsa yang terdiri dari angkatan ’45 dan generasi
penerusnya, melakukan upaya untuk meng-counter
pembentukan opini negatif tersebut, dengan mendirikan NGO yang berbentuk
Komite, dan mulai menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya November
1945.
Setelah
berhasil menuntut pemerintah Inggris, kemudian menuntut pemerintah Belanda
untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17.8.1945 dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas
penjajahan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan
berbagai pelanggaran HAM berat lain.
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) tanggal 15 Desember 2005 membawa
masalah pengakuan kemerdekaan RI 17.8.1945 dan kasus pembantaian 431 penduduk
sipil di desa Rawagde ke parlemen Belanda.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di
atas Kapal Perang Renville, dan di masa
GENCATAN SENJATA, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa, NON COMBATANT,
tanpa proses hukum apapun.
Bulan September 2009 KUKB membawa kasus pembantaian ini ke pengadilan sipil
di Den Haag. Tanggal 14 September 2011 pengadilan sipil di Belanda menjatuhkan
vonis, bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab.
Vonis pengadilan sipil di Belanda ini merupakan Yuris Prudensi untuk semua
kasus pembantaian terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh tentara Belanda
dan sekutunya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Sesuai dengan Statuta Roma
tahun 1999, semua kasus ini bahkan dapat dimajukan ke Mahkamah Kejahatan
Internasional (International Criminal
Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahkamah Kejahatan
Internasional ini berada di bawah Dewan Keamanan (Security Council) PBB.
Yang telah
dan sedang dilakukan adalah membongkar kasus-kasus genosida, kejahatan perang
dan kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh
Negara-negara tesebut selama agresi militer mereka di Indonesia antara tahun
1945 – 1950. Kejahatan-kejahatan tersebut oleh PBB tahun 1968, kemudian
diperkuat dengan Statuta Roma tahun 1998, dinyatakan tidak mengenal azas
kadaluarsa.
Jakarta, Maret 2017.
********
No comments:
Post a Comment