Sunday, May 17, 2020

BANGSA INDONESIA LAHIR TANGGAL 17 AGUSTUS 1945

 

 

BANGSA INDONESIA

LAHIR TANGGAL 17 AGUSTUS 1945


Catatan Batara R. Hutagalung

Pendahuluan

Mungkin hampir semua orang Indonesia berpendapat, bahwa Bangsa Indonesia telah ada sejak lama, tanpa dapat menyebutkan sejak kapan adanya bangsa Indonesia. Hal ini saya alami dalam beberapa diskusi mengenai kebangsaan yang saya ikuti, di mana hadir juga banyak akademisi, termasuk beberapa guru besar. Dalam satu acara diskusi mengenai kebangsaan, pembahasannya tidak menyentuh bangsa dalam kaitan NATION (bahasa Inggris). Dalam beberapa ceramah saya yang juga dihadiri oleh beberapa Guru Besar dan akademisi, dapat memahami penjelasan saya, bahwa Bangsa Indonesia baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, dan Republik Indonesia adalah Negara bangsa (Nation State).  Mengenai hal ini telahsaya sampaikan dalam wawancara saya di satu Radio-Tv swasta tahun 2019 yang lalu.

 

Sebenarnya apabila mencermati pernyataan-pernyataan yang sering diucapkan oleh para pendiri Bangsa dan Negara Indonesia, sangat jelas bahwa Indonesia bukan hanya suatu Negara baru, melainkan Bangsa Indonesia juga Bangsa yang baru. Presiden RI pertama, Ir. Sukarno (1901 – 1970) sering mengatakan, perlunya PEMBANGUNAN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building).

 

Di sini terlihat kurangnya pemahaman mengenai bangsa dan kebangsaan (Nation and nationalism) pada generasi setelah Angkatan ‘45. Juga kurangnya pemahaman, bahwa Republik Indonesia adalah Negara Bangsa (Nation State), berbeda dengan negara yang berdasarkan etnis (suku).

 

Bangsa dalam pengertian NATION atau Natie (bahasa Belanda), adalah suatu entitas politik (political entity), bukan dalam pengertian sosio etnologi atau sosio antropologi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Bangsa adalah “Kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.” Ini definisi yang terlalu umum dan sederhana sehingga kurang jelas. Dalam pengertian ini berarti rakyat di kerajaan-kerajaan Kutai, Singosari, Kediri, Sriwijaya, Majapahit, dsb., adalah “bangsa-bangsa” Kutai, Singosari, Kediri, Sriwijaya, Majapahit, dsb., karena mereka mempunyai kesamaan asal keturunan, bahasa dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri. Bahkan memiliki kesamaan agama. Setelah mereka dikalahkan kemudian kerajaan-kerajaan tersebut lenyap, maka lenyap juga “bangsa” Kutai, Singosari, Kediri, Sriwijaya, Majapahit, dsb.

 

Memang tidak ada definisi yang baku mengenai Bangsa yang berlaku untuk semua negara atau kelompok manusia dan berlaku sepanjang masa. Namun penjelasan di KBBI terlalu terlalu singkat dan sederhana bila dibandingkan dengan penjelasan di Kamus Besar atau di Ensiklopedia di negara-negara lain, misalnya Encyclopaedia Britannica.

 

Bangsa Indonesia tidak harus mengikuti definisi-definisi yang dirumuskan oleh bangsa-bangsa Eropa atau bangsa lain. Bangsa Indonesia dapat dan berhak menetapkan sendiri definisi mengenai bangsa.




Sekilas Sejarah Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa

Sejarah penjajahan (kolonialisme) oleh bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia, dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis di Maluku tahun 1512. Kemudian berturut-turut datang bangsa Spanyol, Inggris dan terakhir bangsa Belanda. Perancis sempat menguasai wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggra, ketika Belanda diduduki oleh Perancis di masa kejayaan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) di Eropa.

 

Tujuan bangsa-bangsa Eropa sejak awal bukanlah untuk berdagang, melainkan untuk menguasai wilayah-wilayah di luar Eropa. Hal ini dapat dilihat dari Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty) yang disepakati oleh dua kekuatan dunia waktu itu, Portugal dan Spanyol. Dalam rangka mencari wilayah untuk dijadikan pemukiman (koloni) bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol yang adalah bertetangga di Eropa selatan, mereka saling berperang. Untuk mengakhiri pertikaian tersebut, kedua negara Katholik tersebut sepakat untuk membuat perjanjian. Dengan difasilitasi oleh Paus Alexander VI, pada 7 Juni 1494 di kota Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan untuk membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan kedua negara tersebut di luar Eropa.

 

Patokannya adalah Kepulauan Tanjung Verde di sebelah barat pantai Afrika. Sekitar 39°53'BB. Belahan dunia sebelah timur menjadi “milik” Portugis dan “separuh dunia” di sebelah barat Kepulauan Verde menjadi “milik” Spanyol. Namun ketika mereka bersaing lagi di Maluku sejak tahun 1521, dibuat perjanjian baru yaitu Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. di mana Maluku “diserahkan” kepada Portugis. Spanyol menyingkir ke Filipina dan kemudian menjadi penjajah di Filipina.


Treaty of Tordesillas

Peta dunia hasil Perjanjian Tordesillas.



Negara-negara Eropa lain tidak mengakui Perjanjian Tordesillaas dan Zaragoza, sehingga dalam memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa, mereka saling berperang, merampok dan membunuh. bahkan menjual tawanan-tawanan perang sebagai budak, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Selama lebih dari 250 tahun, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia.

 

Melalui perang dan perjanjian-perjanjian, awal abad 20, dengan pengecualian Timor Timur yang dikuasai oleh Portugis, Belanda menjadi penguasa tunggal di wilayah yang kemudian menjadi Nederlands Indie (India – Belanda). Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Asia Tenggara, tepatnya di Banten, tahun 1596. Pada 20 Maret 1602, di Belanda didirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oost-indische Compagnie – VOC. VOC memperoleh piagam (Ooktroi) dari penguasa di Belanda, Staatengeneraal seperti layaknya suatu negara, yaitu:

berhak memiliki tentara,

berhak mencetak mata uang sendiri,

berhak memungut pajak,

berhak melakukan perjanjian dengan suatu negara,

berhak menyatakan perang terhadap suatu negara, dll.

 

Kepala Kantor Dagang Pusat bergelar Gubernur Jenderal, dan Kepala Kantor Dagang Cabang bergelar Gubernur. Semula VOC membuka kantor dagangnya di Banten. Kemudian VOC meminta izin kepada Pangeran Jayakarta untuk membuka kantor dagang di Jayakarta. Setelah mendapat izin, VOC mendirikan kantor berfondasi Batu dan berdinding kayu. Kemudian VOC menyewa lahan 1,5 hektar dan membangun kantor dan gudang yang kokoh seperti suatu benteng, dengan tembok setinggti 7 meter. Dari “kantor dagang” ini VOC di bawah Gubernur Jenderal VOC ke 4, Jan Pieterszoon Coen (1587 - 1629) menyerang tuan rumah, dan berhasil mengalahkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Dengan demikian, tanggal 30 Mei 1619 adalah awal penjajahan Belanda di Asia tenggara/Nusantara. “Bapak” penjajahan Belanda adalah jan Pieterszoon Coen (JPC). Semboyan JPC adalah: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” artinya “jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu, karena Tuhan bersama kita.” Semboyan JPC ini yang dipakai Belanda sampai menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati, Jawa Barat pada 9 Maret 1942.[1]



[1] Mengenai tanggal menyerahnya Belanda kepada tentara Jepang di Kalijati dekat Subang, Jawa barat, ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1842


Jan Pieterszoon Coen

Komoditi utama yang diperdagangkan oleh Belanda sejak tahun 1600 selain rempah-rempah, adalah perdagangan budak dan candu (opium). Harga rempah-rempah terutama cengkeh dan pala, di Eropa dapat mencapai 400 kali lipat dari harga pembelian di Maluku/Kepulauan Banda. Ukuran kekayaan pada waktu itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah kolonial memegang monopoli perdagangan candu. Dengan praktek-praktek “dagang” yang sangat agresif dan brutal, dalam waktu singkat VOC menjadi perusahaan raksasa. Tahun 1637 VOC menjadi perusahaan terkaya sepanjang masa. Nilai asetnya apabila dikonversikan dengan nilai ekonomi abad 21, mencapai 7,9 TRILYUN US $. Tidak ada satupun perusahaan raksasa multi nasional sekarang yang dapat mencapai prestasi kekayaan VOC tahun 1637. Oleh karena itu, Belanda menyatakan zaman VOC sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Ini tentu sangat ironis. Di abad 19, kontribusi keuntungan dari Nederlands Indie (India Belanda) terhadap APBN Negara Belanda mencapai 12,5 %. Sampai tahun 1939, kontribusi dari Nederlands Indie terhadap APBN Belanda masih 9%. Kekayaan yang membuat Belanda menjadi salahsatu negara terkaya di dunia bukan hanya diperoleh melalui perdagangan umum, melainkan diperoleh melalui penjajahan, perampokan, pembantaian massal/genosida, perdagangan budak dan perdagangan candu/narkoba.

 

Praktek-praktek penjajahan Belanda yang sangat kejam, yang di beberapa wilayah di Asia Tenggara berlangsung selama lebih dari 300 tahun, tepatnya di Jayakarta (sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda, telah membangkitkan rasa kebencian terhadap penjajah dan kaki-tangannya. Hukman mati yang paling kejam dan sadis adalah penyulaan (silakan cari di google dengan memasukkan kata kunci “penyulaan”). Di wilayah jajahan Belanda, selama lebih dari 200 tahun, yaitu dari tahun 1642 – 1860 resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Seperti ditulis di atas, ukuran kekayaan di masa itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Tentara Belanda yang menangkap orang-orang yang akan dijadikan budak, kebanyakan dari daerah-daerah yang mereka taklukkan.  Ada juga raja-raja dan penguasa setempat yang menjual rakyatnya sebagai budak.

 

Bulan Mei 1619 terjadi genosida, pembantaian etnis Wandan, penduduk asli Kepulauan Banda. Diperkirakan sekitar 13.000 penduduk tewas dibantai dengan sadis, sekitar 1.000 orang berhasil menyelamatkan diri ke pulau-pulau yang berdekatan, kemudian sisanya sekitar 870 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dibawa ke Batavia dan dijual sebagai budak. Ketika wilayah jajahan Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis, Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Untuk kepentingan pertahanan, tahun 1809, dia membangun jalan Raya Pos sepanjang 1.000 km dari Anyer ke Panarukan. Dia memberlakukan sistem Rodi, yaitu kerja paksa dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Hal ini mengakibatkan ribuan pekerja pribumi meninggal.

 

Sistem Tanam Paksa (Culutuurstelsel) yang diberlakukan antara tahun 1830 – 1870 membawa keuntungan yang luar biasa besarnya untuk penjajah. dalam kurun waktu 40 tahun pelaksanaan sistem Tanam Paksa, keuntungan bersih (bahasa Belanda: Batig slot) yang diperoleh penjajah sekitar 850 juta gulden. Tahun 1992 ada yang mengkonversikan dengan index perekonomian tahun 1996. Nilainya sekitar 15,5 milyar gulden. Namun sistem tanam paksa yang membawa keuntungan besar untuk penjajah, menimbulkan kesengsraan untuk pribumi yang dijajah. Tahun 1949 di Grobogan ribuan orang mati kelaparan.

 

Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang membagi penduduk menjadi tiga golongan, yaitu:

Bangsa Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.

Timur asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).

Pribumi (Inlander).

 

Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling).

 

Dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik, tanggal 9 Maret 1942,[1] Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel, tempat pemandian umum, bioskop, bahkan di perkumpulan olahraga, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya, TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb., hanyalah para jongos.

 

Setelah selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda naik tingkat menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal tersebut di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi, yang sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan dengan anjing.

 

Demikian sekilas mengenai kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman kolonialisme Belanda di Asia tenggara. Hal-hal tersebut di atas yang membangkitkan kesadaran dan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan asing

 



[1] Ada juga sumber yang menulis, menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Dalam buku Autobiografi dari Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda, menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 9 Maret 1942.


Judul buku yang terbit di Belanda

Tidaklah mengherankan, di daerah-daerah yang mengalami kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa seperti ini, timbul kebencian yang juga luar biasa besarnya di kalangan pribumi, bukan hanya terhadap penjajah, melainkan juga terhadap kakitangannya yang bekerjasama dengan penjajah selama ratusan tahun. Pembalasan dendam yang juga kejam terhadap mantan penjajah dan antek-antek serta kaki-tangannya atas penidasan selama ratusan tahun, dilampiaskan pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

 

 

Gerakan Kemerdekaan

 

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, di Eropa timbul gerakan untuk membentuk ‘Tatanan Baru Dunia' (New World Order), yang menentang bentuk monarchi absolut (kekuasaan raja yang tidak terbatas) dan menentang kemapanan para pemodal besar (kapitalis). Ideologi komunisme dan sosialisme yang anti kapitalisme/imperialisme muncul dan berkembang pesat. Hal ini berpengaruh pada pemuda-pemuda pelajar/mahasiswa yang berasal dari negara-negara jajahan yang berada di Eropa. Gerakan internasional untuk mengubah tatanan dunia membangkitkan rasa nasionalisme mereka, termasuk para pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara yang belajar di beberapa negara di Eropa, terutama di Belanda.

 

Tahun 1908 di Nederlands Indie (India-Belanda) didirikan organisasi yang dinamakan  Budi Utomo. Pada awalnya hanya untuk membantu para pemuda etnis Jawa memperoleh pendidikan. Bahkan etnis Sunda tidak termasuk di dalamnya. Budi Utomo bukan organisasi politik dan masih kooperatif dengan pemerintah kolonial. Baru di tahun 1920-an Budi Utomo bersifat politis dan menerima anggota yang bukan etnis Jawa

 

Juga di tahun 1908, para pemuda pribumi yang belajar di Belanda, mendirikan organisasi yang dinamakan Indische Vereeniging (Perhimpunan India - PI). Indische Vereeniging didirikan oleh para pemuda pribumi dari berbagai daerah jajahan Belanda, a.l. dari etnis Jawa, Batak, Minahasa, Minangkabau, Sunda, dll. Awalnya, Indische Vereeniging didirikan hanya untuk tujuan sosial dan sekadar bernostalgia sesama perantau dari wilayah jajahan Belanda. Pada waktu itu, wilayah Nederlands Indie dan penduduk pribuminya oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indie (India). Penyebutan ini sering menimbulkan kerancuan dengan Sub-kontinen India, yang waktu itu dijajah Inggris. Setelah datangnya tokoh-tokoh politik pribumi dari Nederlands Indie, a.l. dr. Cipto Mangunkusumo (1886 – 1943), Suwardi Suryaningrat (1889 - 1959), dll., maka Indische Vereeniging menjadi organisasi politik yang berjuang untuk kemerdekaan, lepas dari penjajahan Belanda.

 

Kegiatan yang paling penting yang dilakukan adalah menerbitkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka melalui majalah, yang juga dapat dibaca di Nederlands-Indie. demikian juga sebaliknya. Mereka yang berada di Eropa, dapat membaca tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh pergerakan melawan penjajahan yang berada di Nederlands Indie. Dengan demikian, walaupun belum pernah saling betemu, para tokoh pergerakan anti penjajahan dapat saling mengetahui perkembangan baik di Nederlands Indie maupun di Eropa. Mereka saling mengenal melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan, baik di Eropa, maupun di Nederlands Indie. Indische Vereeniging di Belanda menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Poetra.

 

Orang-orang yang lahir dari pernikahan campuran Eropa-pribumi yang mendapat perlakukan diskriminatif dari orang2 Eropa “totok,” seperti Ernest FE Douwes Dekker (1879 – 1950), termasuk yang mendorong untuk didirikannya negara merdeka yang bebas dari pengaruh penjajah.

 

Atas kritik tajam dari Conrad Theodor van Deventer (1857 – 1915), mantan pengacara di Semarang, terhadap praktek2 kolonialisme yang tidak manusiawi, awal abad 20 pemerintah Belanda mulai menjalankan yang dinamakan “Politik Etis.” Pemerintah kolonial mendirikan lebih banyak sekolah2 untuk pribumi. Namun sebagian besar sekolah2 lanjutan atau yang jenjangnya lebih tinggi, berada di Pulau Jawa, sehingga pemuda2 di daerah2 di luar Jawa yang ingin mendapat pendidikan lebih lanjut, harus ke Jawa, terutama ke Batavia (sekarang Jakarta), Semarang dan Surabaya. Kemudian apabila ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi dan belum tersedia di wilayah jajahan Belanda, para pemuda pribumi harus ke Eropa, terutama ke Belanda dan Jerman.

 

Pada mulanya di Batavia sering terjadi pergesekan, bahkan konflik di antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah, karena belum saling mengenal atau disebabkan oleh konflik di masa lalu atau konflik warisan akibat politik divide et impera Belanda. Sebagai contoh: Tahun 1830, setelah menangkap Pangeran Diponegoro (1785 – 1855) dengan tipuan pura-pura ingin berunding dan kemudian mengasingkannya ke Sulawesi Utara (Manado), Belanda menggunakan bekas pasukan Diponegoro untuk menyerang Sumatera Barat (Perang Padri). Demikian juga setelah mengalahkan Maluku, Belanda merekrut pasukan Marsose (Marrechaussee) dari Maluku, yang dikerahkan untuk berperang di Aceh (1873 – 1904) dan di  Batak (1878 – 1907), yang pada waktu itu belum dikuasai oleh Belanda.

 

Para pemuda dari berbagai daerah mendirikan organisasi-organisasi pemuda yang masih berdasarkan etnis, yaitu Jong (pemuda) Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), dll. Juga berdasarkan agama, seperti Jong Islamieten Bond (Islam), Indonesische Christen Jongeren (Kristen Protestan) dan Katholieke Jongelingen Bond (Kristen Katholik). Lama-kelamaan timbul kesadaran di kalangan pemuda pribumi, bahwa musuh bersama mereka adalah Belanda. Mereka melihat, bahwa Belanda berhasil mengusai berbagai kerajaan dan kesultanan, karena sampai awal abad 20, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia tenggara tidak bersatu, bahkan saling memerangi dan ada juga raja/sultan yang berpihak kepada Belanda. Sejak itu mulai ada interaksi di antara para pemuda/pelajar dari berbagai daerah yang belajar di Batavia. Juga terjalin hubungan dengan Indische Vereeniging di Belanda.

 

Adalah tiga serangkai, dr. Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (namanya kemudian menjadi Danudirdja Setiabudhi) yang mendirikan Partai Politik pertama di wilayah jajahan Belanda, yaitu Indische Partij (Partai India), pada 25 Desember 1912. Pada saat itu nama INDONESIA belum populer di kalangan pribumi di Nederlands Indie. Namun Indische Partij tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial, dan kemudian dibubarkan pada bulan Maret 1913. Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap memprovokasi rakyat, ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda.

 

Awal abad 20, ideologi sosialis/komunis juga sudah berkembang di kalangan orang-orang Belanda di Nederlands Indie. Pada waktu itu belum terjadi perpecahan antara kelompok sosialis dan kelompok komunis. Tahun 1913 seorang tokoh sosialis Belanda, Hendricus “Henk” Josephus Franciscus Marie Sneevliet (1883 – 1942) datang ke Nederlands Indie, dengan tugas untuk mempersatukan dua organisasi sosialis yang ada di Nederlands Indie. Dia berhasil mempersatukan kedua organisasi sosialis tersebut dan dilebur menjadi Indische Sociaal Democratische Vereeniging - ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat India).

 

ISDV resmi didirikan pada 23 Mei 1914 oleh 85 orang Belanda totok. Tujuannya, seperti di Eropa, adalah mengganti tatanan lama (Old Order), bukan untuk kepentingan pribumi, apalagi untuk kemerdekaan jajahan Belanda. Pada waktu didirikan, tidak ada seorangpun pribumi yang menjadi anggota ISDV. Kemudian setelah berdiri, ada tiga orang remaja/pemuda pribumi, yaitu Darsono Notosudirjo (1897 – 1976), Semaun (1899 – 1971) dan Alimin Prawirodirjo (1889 – 1964), yang juga adalah anggota Sarikat Islam (SI) yang menjadi anggota ISDV. Tahun 1917 terjadi pemberontakan Angkatan Laut Belanda di Surabaya, yang dapat ditumpas oleh tentara Belanda. Tokoh-tokoh pemberontaknya dijatuhi hukuman penjara sampai 40 tahun. Sneevliet yang dianggap sebagai provokator, dideportasi kembali ke Belanda tahun 1918. ISDV inilah yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

 

Mencari Definisi, Nama dan Bahasa Persatuan Untuk Bangsa Yang Akan Dibentuk

 

Tokoh-tokoh pergerakan pribumi menyadari, bahwa mereka berasal dari berbagai etnis (suku) di wilayah jajahan Belanda dan belum merupakan suatu nation (bangsa). Tokoh-tokoh pribumi yang belajar di Belanda dan tergabung dalam Indische Vereeniging sangat aktif berinteraksi dengan gerakan-gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme yang sangat besar di awal abad 20. Mereka mempelajari sistem-sistem pemerintahan, sistem hukum dan perundang-undangan, sistem perekonomian termasuk sistem koperasi untuk melawan pemodal besar/kapitalis, dll.

 

Mereka mencermati, bahwa bentuk negara2 di Eropa adalah Negara Bangsa (Nation State). Konsep Negara Bangsa ini digagas pertama kali dalam Perdamaian Westfalia, tahun 1648. Perdamaian Westfalia yang diselenggarakan di Muenster dan Osnabrueck, Jerman, mengakhiri perang 30 tahun antara kerajaan2 yang menganut ajaran Kristen Katholik di Eropa bagian tengah/selatan, melawan kerajaan2 yang menganut ajaran Kristen Protestan di Eropa tengah/utara.  Perdamaian Westfalia juga mengakhiri perang 80 tahun antara Belanda melawan mantan penjajahnya, Spanyol.

 

Sebagai dasar persatuan untuk mendirikan Negara Bangsa, para tokoh pribumi mencari definisi yang tepat mengenai bangsa dan ikatan suatu bangsa. Cukup banyak definisi mengenai bangsa yang disampaikan oleh para filosof di abad 19 dan awal abad 20, a.l. Johan Gottlieb Fichte, John Stuart Mill, dll. Pada umumnya definisi suatu bangsa berkisar pada kesamaan asal-usul, wilayah, budaya/tradisi dan bahasa. Yang termasuk paling populer dan aktual mengenai definisi bangsa pada waktu itu adalah pendapat dari Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) dan Otto Bauer (1881 – 1938).

 

Ernest Renan, seorang filosof dan sejarawan  Perancis mendefinisikan pembentukan suatu bangsa sebagai “Le desir d’etre ensemble,” yaitu kemauan untuk berkumpul/menjadi satu. Sedangkan Otto Bauer mantan Menteri Luar Negeri Austria mendefinisikan bangsa sebagai “Eine Nation ist  eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Character-gemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan karakter/ciri yang sama yang tumbuh berdasarkan kesamaan nasib/sejarah). Kedua definisi ini menjadi butir pertama dan kedua dalam dasar-dasar persatuan sebagai resolusi hasil Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Selain mencari definisi yang tepat mengenai bangsa, juga menjadi bahan pembahasan adalah mencari nama untuk negara dan bangsa yang akan didirikan, serta mencari bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa persatuan.

 

 

“Terciptanya” Nama INDONESIA[1]

(Penjelasan yang rinci mengenai “Terciptanya” Nama Indonesia, telah saya upload ke weblog sejak tahun 2006. Silakan klik:

https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html

 

Juga pada permulaan abad 20, seiring dengan bangkitnya gerakan untuk kemerdekaan dari penjajahan, para tokoh pribumi mencari nama untuk mengganti nama Nederlands Indie yang adalah bahasa Belanda, bahasa penjajah, yang artinya adalah India Belanda. Ada beberapa usulan antara lain dari Douwes Dekker yang mengusulkan kata Insulinde. Namun kata ini juga dari bahasa Belanda. Para tokoh pribumi tidak mau menggunakan nama yang berasal dari penjajah. Kemudian ada yang mengusulkan kata INDONESIA, yang dikabarkan berasal dari seorang ilmuwan Jerman, Adof Bastian.[2] Akhirnya kata Indonesia ini yang dipilih untuk mengganti nama Nederlands Indie (India Belanda).

 

Berawal dari ketidaksukaan bangsa Inggris untuk menggunakan kata atau nama yang “berbau” Belanda, yaitu  Netherlands India, Netherlands East Indies, Dutch East India, dsb. Sikap ketidaksukaan terhadap Belanda juga ditunjukkan oleh George Samuel Windsor Earl (10.2.1813 – 9.8.1865) seorang ilmuwan Inggris.

 

Tahun 1850 Earl memuat tulisannya yang berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations” (Tentang Karakteristik Utama Bangsa-Bangsa Papua, Australia dan Melayu Polinesia) dalam Volume (Jilid) IV jurnal The Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. (Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur). Earl merasakan perlunya memberi nama untuk cabang ras Polynesia berkulit coklat yang menghuni Kepulauan India. Atas dasar inilah dia “menciptakan” nama Melayunesian. Sebenarnya dia “menciptakan” dua nama, yaitu “INDU-NESIAN” dan “MELAYU-NESIAN.” Namun kemudian dia memilih untuk menggunakan nama Melayunesian (singular/tunggal), yang artinya adalah orang Kepulauan Melayu, dan nama wilayahnya menjadi Melayunesia. Persebaran penutur bahasa Melayu di Asia tenggra, juga menjadi salahsatu dasar Earl menggu nakan nama Melayunesia/

 

James Richardson Logan (10.4.1819 – 20.10.1869), pendiri dan editor jurnal tersebut lebih menyukai nama Indu-nesian untuk penduduk di Kepulauan India. Dia melanjutkan penggunaan nama tersebut dan mengganti huruf “U” dengan huruf “O” menjadi Indo-nesian. Logan menerbitkan tulisannya dalam jilid (volume) yang sama di Jurnal yang terbit bulan Februari 1850 (halaman 252 – 347), dengan judul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing enquiries into the Continental relations of the Indo-Pacific Islanders”, (Etnologi Kepulauan India: Merangkul pertanyaan-pertanyaan ke dalam hubungan penduduk-penduduk di pulau-pulau Indo-Pasifik).

 

Adalah Adolf Philipp Wilhelm Bastian (26.6.1826 – 2.2.1905), seorang dokter Jerman yang mempopulerkan kata Indonesia tersebut. Bastian bekerja sebagai dokter di kapal selama 8 tahun yang membawanya keliling dunia, termasuk ke Asia Tenggara, Papua dan Australia. Dia melakukan penelitian etnologis di daerah-daerah yang dikunjunginya dan kemudian menulis hasil-hasil penelitiannya sebagai buku-buku. Antara tahun 1884 – 1994 Adof Bastian menerbitkan 5 buku dengan judul Indonesien oder die inseln des Malayischen Archipel (Indonesia, atau Pulau-Pulau di Kepulauan Malaysia). Jilid I berjudul Maluku, jilid II Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya, jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup.          

 

Sangat banyak orang Belanda yang juga tidak mengetahui latar belakang “terciptanya” kata Indonesia, sehingga di kalangan orang Belanda, Adolf Bastian disangka sebagai “pencipta” kata Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penulisan-penulisan oleh orang-orang Belanda di awal abad 20.

Konon Prof. Cornelis van Vollenhoven (1874 – 1933), seorang Belanda, yang memperkenalkan nama Indonesia kepada para anggota Indische Vereeniging tahun 1917. Tahun 1927 di Belanda dalam mingguan Koloniaal Weekblad, ada artikel dari Dr. Kreemer, yang menulis bahwa nama Indonesia telah digunakan tahun 1850 oleh James Richardson Logan, yang adalah seorang Pengacara asal Skotlandia. Tidak dijelaskan mengenai George Samuel Windsor Earl, yang pertama kali menciptakan nama “INDUNESIAN.”

 

Seperti telah ditulis di atas, bahwa pada waktu itu orang-orang Belanda masih menyangka, bahwa Adolf Bastianlah “pencipta” nama Indonesia.

Kelihatannyhya para pendiri negara dan bangsa Indonesia pada waktu itu juga tidak mengetahui latar belakang dan proses “terciptanya” kata Indonesia, bahwa yang menciptakan nama Indonesia bukanlah orang Jerman, seperti yang disangka semula, melainkan diciptakan oleh orang Inggris dan orang Skotlandia, yang adalah bagian dari Inggris Raya (Great Britain). Sebagai catatan, Inggris pernah mejajah wilayah jajahan Belanda di Asia tenggara dari tahun 1811 – 1816. Jadi Nama ‘INDONESIA” juga “diciptakan” oleh mantan penjajah.

 

Nama Indonesia terlebih dahulu dikenal oleh para pribumi dari Nederlands Indie yang berada di Eropa/Belanda tahun 1917. Pada tahun 1922, Indische Vereeniging resmi mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Tahun 1924 nama organisasi resmi menjadi Perhimpunan Indonesia – PI dalam bahasa Melayu, tidak lagi menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Indonesia” belum ada. Juga majalah yang diterbitkan oleh PI, yaitu Hindia Poetra, diganti menjadi Indonesia Merdeka. Genderang Perang secara politis telah ditabuh di Belanda, “di kandang macan.”

 

 

Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I

(Kongres Pemuda Indonesia I)

 

Pemikiran-pemikiran dan pergerakan para pemuda/mahasiswa pribumi dari Nederlands Indie yang berada di Eropa, berpengaruh terhadap masyarakat di wilayah jajahan Belanda, di Nederlands Indie, termasuk para pemudanya. Seperti telah ditulis di atas, di Nederlands Indie telah banyak didirikan organisasi-organisasi pemuda pribumi yang masih bersifat kesukuan dan keagamaan. Perhimpunan Indonesia di Belanda terus mendorong organisasi-organisasi pribumi di Nederlands Indie yang masih bersifat kesukuan (etnis) dan keagamaan agar bersatu membentuk organisasi yang tidak berdasarkan kesukuan atau keagamaan. Himbauan ini disambut baik oleh pimpinan dari beberapa organisasi.

 

Di Batavia (sekarang Jakarta) banyak di antara para pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di jajahan Belanda sudah saling mengenal, karena mereka menempuh pendidikan di sekolah yang sama, atau tinggal di tempat kos/asrama yang sama, sehingga hampir setiap hari bertemu dan berdiskusi. Pertemuan-pertemuan dan tempat mereka berdiskusi adalah di Indonesische Clubgebouw (Gedung Perkumpulan India) Jl. Kramat 106, gedung yang disewa oleh Jong Java (Pemuda Jawa) sebagai tempat kos. Tempat mereka bertemu dan berdiskusi   tentang politik juga dilakukan di Gang Rijkman dan Fromberg Park, dll.

 

Pertemuan besar yang pertama dari para pemuda pribumi diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia. Hadir pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa peminat perorangan.

 

Dengan suara bulat  dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan keagamaan tersebut. Tujuannya:

“Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”

 

Susunan Panitia:

Ketua         : Mohammad Tabrani Soerjowitjitro (1904 – 1984)

Wakil Ketua: Sumarto

Sekretaris  : Djamaluddin (Kemudian dikenal sebagai Adi Negoro) (1904 -1967)

Bendahara: Suwarso.

Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.

 

Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani Surjowitjitro (1904 – 1984) mengundang organisasi-organisasi pemuda untuk menghadiri pertemuan yang waktu itu dinamakan dalam bahasa Melayu Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I (dalam bahasa Belanda: Het eerste indonesische Jeugd Congres), yang diselenggarakan di Batavia dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926. Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama ini kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I.

 

Tabrani, seorang pemuda asal Pamekasan, Madura, adalah orang yang pertama menggunakan istilah BAHASA INDONESIA untuk bahasa Melayu. Dia menulis di Harian Hindia Baroe yang terbit tanggal 10 Januari 1926. Tabrani menulis, “Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah. Bahasa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah.”

 

Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I, hadir anggota-anggota dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden Minahasaers, Sekar Rukun. Mereka tidak mewakili organisasi, melainkan sebagai pribadi.

 

Pada waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga banyak pembicara berbahasa Belanda dan pembahasannyapun dalam bahasa Belanda. Dalam Kerapatan, yang sekarang disebut sebagai Kongres, berbagai hal dibahas, termasuk membahas mengenai diperlukannya satu bahasa persatuan. Mohammad Yamin (1903 – 1962) mengajukan usul agar menjadikan bahasa Melayu untuk menjadi bahasa persatuan, karena bahasa Melayu telah menjadi Lingua franca, bahasa pengantar dalam perdagangan di Asia Tenggara sejak ratusan tahun. Peserta Kongres menerima usulan ini, namun Tabrani menegaskan, agar tidak digunakan istilah bahasa Melayu, melainkan digunakan istilah Bahasa Indonesa.

 

Dari keterangan M. Tabrani dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” terlihat jelas, bahwa embrio gagasan SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya kesepakatan, maka gagasan tersebut disetujui dan dicetuskan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda II.

 

Kongres Pemuda I belum mencapai hasil yang memuaskan, yaitu untuk melakukan fusi (peleburan) organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis dan agama ke satu wadah. Masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Namun Kongres Pemuda I menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, yang kemudian diterima sebagai salahsatu butir resolusi dalam Kongres Pemuda II dengan nama Bahasa Indonesia.

 

Yang juga dapat dinilai sebagai keberhasilan Kongres Pemuda I setelah Kongres selesai adalah, didirikannya  dua organisasi pemuda yang tidak lagi menggunakan atribut kedaerahan, melainkan telah menggunakan nama Indonesia, yaitu Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan Pemuda Indonesia. Kedua organisasi ini ikut menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda II.

 

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, melainkan juga hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan sesudahnya, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan Kongres Pemuda Indonesia II. Semua itu merupakan hasil pembahasan pemikiran-pemikiran dan gagasan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia di Belanda.

 

Dalam Kerapatan tersebut masalah bahasa juga dibahas. Disadari bahwa diperlukan satu bahasa persatuan sebagai pengganti bahasa Belanda. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dengan nama BAHASA INDONESIA. Bahasa Melayu telah menjadi Lingua franca, bahasa pengantar dalam perdagangan di kawasan Asia Tenggara sejak ratusan tahun.

 

 

Kerapatan Pemuda Indonesia II

(Kongres Pemuda ke II)

 

Setelah usai Kongres Pemuda I, pembicaraan-pembicaraan yang sangat intensif dilakukan oleh para pemimpin organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda I. Dicapai kesepakatan untuk menyelenggarakan Kerapatan Pemuda Indonesia II (Kongres Pemuda II). Organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda II adalah Jong Ambon, Jong Bataksche Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, Jong Java, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Indonesia, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Sekar Rukun dan Jong Sumateranen Bond. Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Batavia pada 27 dan 28 Oktober 1928.

 

Susunan Panitia Kongres Pemuda II:

Ketua                   : Sugondo Joyopuspito (PPPI)

Wakil Ketua        : Joko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris            : Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)

Bendahara                   : Amir Syarifuddin Harahap (Jong Bataksche Bond)

Pembantu I                   : Johan M. Cai (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II        : Kacasungkana (Pemuda Indonesia)

Pembantu III       : Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV      : Josef Leimena (Jong Ambon)

Pembantu V       : Rohyani (Pemoeda Kaoem Betawi)

 

Agenda terpenting dalam Kongres Pemuda II adalah pembahasan mengenai Bangsa, Negara dan Bahasa. Gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II. Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito, pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928.

 

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA[3]

 

Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Ambon, Jong Soematranen Bond (Pemuda Sumatera), Jong Bataksche Bond, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;

Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;

Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini; Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

 

Pertama     : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe

  bertoempah darah jang satu, tanah indonesia.

Kedoea      : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe

  berbangsa jang satoe, bangsa indonesia

Ketiga        : Kami poetera dan poeteri indonesia

  mendjoendjoeng bahasa persatuan,

  bahasa  indonesia

 

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.

Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannya:

 

KEMAOEAN

SEDJARAH

BAHASA

HOEKOEM ADAT

PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN

 

dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.

 

Demikian usulan resolusi tersebut yang diterima oleh sidang dan menjadi keputusan Kongres. Keputusan Kongres ini yang kemudian di tahun 1950-an dinamakan sebagai “Sumpah Pemuda.”

 

Mencermati butir satu sampai butir empat resolusi Kongres tersebut, terlihat, bahwa ini adalah definisi-definisi mengenai bangsa yang dikenal pada permulaan abad 20, yaitu kemauan untuk bersatu, kesamaan sejarah/senasib, ikatan bahasa dan kebudayaan..

 

KEMAUAN untuk membentuk Bangsa Indonesia ini menggunakan definisi mengenai bangsa dari Ernest Renan, yaitu “Le desir d’etre ensamble.” (Kemauan untuk menjadi satu/persatuan).

 

SEJARAH. Latar belakang untuk membentuk Bangsa Indonesia ini merujuk pada definisi mengenai bangsa dari Otto Bauer:, yaitu “Eine Nation ist  eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan karakter/ciri yang sama yang timbul dari kesamaan nasib/sejarah)

 

BAHASA. Para peserta Kongres sepakat untuk tidak menetapkan bahasa Jawa yang digunakan oleh mayoritas penduduk di wilayah jajahan Belanda, melainkan menyatakan bahasa Melayu sebagai  bahasa yang digunakan sebagai bahasa persatuan.

Sehubungan dengan pilihan menetapkan Bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan bangsa, Prof. Mahsun menulis:

 

“Kiranya tidak keliru apabila para pendiri bangsa mengedepankan bahasa sebagai fondasi dalam membangun nasionalisme negara bangsa Indonesia. 

Pilihan bahasa yang dijunjung tinggi jatuh pada bahasa yang waktu itu adalah bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu bukan bahasa Jawa. Padahal, dari segi jumlah penutur dan kekayaan kosakatanya jauh lebih besar penutur dan jumlah kosakata bahasa Jawa dibandingkan bahasa Melayu saat itu. Berdasarkan hasil survei tahun 1930 penutur bahasa Jawa mencapai 42 juta, sedangkan penutur bahasa Melayu tidak lebih dari satu juta orang (Ibrahim, 2013). Alasan yang dikemukakan yaitu bahasa Melayu memiliki sebaran geografis yang sangat luas, mencakupi seluruh kawasan yang menjadi cikal bakal wilayah NKRI serta kemampuan daya ungkapnya meskipun rendah namun lebih mencerminkan semangat kemerdekaan yang menjadi tuntutan para pejuang kemerdekaan. Dikatakan demikian karena dalam kosakata bahasa Melayu tidak dikenal sistem gradasi sosial seperti bahasa Jawa yang sangat kaya dengan sistem undak usuk/tingkat tutur, yang sangat kental dengan semangat feodalisme. Suatu semangat yang justru ingin dihilangkan melalui cita-cita pendirian negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya elemen bahasa dalam membangun nasionalisme keindonesiaan merupakan pilihan yang sangat strategis. 

 

Kesadaran itu tidak hanya terrefleksi sebagai salah satu butir dari tiga butir kandungan Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda 87 tahun silam (28 Oktober 1928), tetapi juga dieksplisitkan di dalam UUD 1945, yaitu penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Bahkan dipilihnya nama bahasa nasional NKRI dengan nama bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu—karena  memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang “dilahirkan” dari bahasa Melayu—menggambarkan bahwa para pendiri bangsa memang telah bertekad untuk membangun nasionalisme keindonesiaan bukan di atas fondasi suku bangsa (suku bangsa Melayu) tetapi di atas fondasi kebahasaan yang disebut bahasa Indonesia.”

 

Demikian ditulis Prof. Mahsun dalam bukunya, ‘Indonesia Dalam Perspektif Politik Kebahasaan’ yang diterbitkan tahun 2015.

 

HUKUM ADAT. Walaupun ada hukum Belanda, namun semua etnis/suku bangsa di wilayah jajahan Belanda memiliki Hukum Adat/kearifan lokal.

 

PENDIDIKAN dan KEPANDUAN, mempunyai peran penting bukan hanya untuk mencerdaskan rakyat, namun juga dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan mengajarkan disiplin kepada generasi muda. Hampir semua organisasi, bahkan organisasi berdasarkan keagamaan memiliki bidang kepanduan.

 

Di acara Kongres Pemuda II juga hadir banyak anggota Kepanduan. Namun ketika pembicaraan di sidang dinyatakan oleh Dinas Intelijen Politik pemerintah kolonial, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) “berbau” politik, maka para remaja anggota Kepanduan dilarang masuk ke ruang sidang. Hal ini memberi inspirasi oleh Wage Rudolf Supratman untuk menulis dalam teks lagu Indonesia Raya, yaitu kalimat:

“... di sana lah, aku berdiri, jadi Pandu Ibuku...” yang dimaksud IBU di sini adalah Ibu Pertiwi.

 

Juga melanjutkan keberhasilan pasca Kongres Pemuda I, yaitu didirikannya organisasi yang tidak bersifat kedaerahan atau keagamaan, setelah Kongres Pemuda II dilakukannya fusi (peleburan) beberapa organisasi, yaitu Jong Java, Jong sumateranen Bond dan Pemuda Indonesia. Dua tahun kemudian, pada 31 Desember 1930 resmi dibentuk organisasi yang dinamakan Indonesia Muda.

 

Gagasan yang dicetuskan oleh organisasi-organisasi pemuda pribumi dalam Kongres Pemuda I dan dicetuskan sebagai resolusi hasil Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, direalisasikan pada 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi kemerdekaan  yang dibacakan oleh Ir. Sukarno berbunyi a.l.:

“KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.”

 

Pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, menandai:

LAHIRNYA BANGSA INDONESIA, dan

DIDIRIKANNYA NEGARA BANGSA (Nation State) INDONESIA.

 

Mengenai Hari Kemerdekaan Negara dan Hari Lahirnya Bangsa Indonesia, dituangkan dalam teks lagu HARI MERDEKA gubahan Mayor (Laut) Husein Mutahar (5.8.1916 – 9.6.2004), yang adalah penyelamat Bendera Pusaka Merah Putih, serta pendiri Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Husein Mutahar menggubah dan merilis lagu tersebut tahun 1946, beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Teks lagu Hari Merdeka adalah:

 

Tujuhbelas Agustus tahun empatlima,

Itulah hari kemerdekaan kita,

Hari Merdeka, Nusa dan Bangsa,

HARI LAHIRNYA BANGSA INDONESIA,

Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka,

Selama hayat masih dikandung badan,

Kita tetap setia, tetap sedia mempertahankan Indonesia,

Kita tetap setia, tetap sedia, membela Negara kita.

 

Lagu ini menjadi salahsatu lagu wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Sejak diperkenalkan tahun 1946 sampai sekarang tahun 2020, hampir 75 tahun, mungkin sudah ratusan juta rakyat Indonesia menyanyikan lagu ini. Namun berapa banyak yang mencermati teks lagu ini, bahwa di dalamnya tekandung kalimat: “Tujuhbelas Agustus Tahun Empatlima adalah HARI LAHIRNYA BANGSA INDONESIA?”

 

Demikian latar belakang sejarah dan proses pembentukan Bangsa dan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia.

 

Sampai tahun 1960-an, para pendiri Bangsa dan Negara Indonesia sering menyampaikan mengenai pentingnya MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building). Dari kalimat ini sebenarnya sudah jelas, bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang baru dibentuk, sehingga memerlukan Pembangunan Bangsa dan Jatidiri Bangsa.

 

Setelah tahun 1965 kalimat ini jarang terdengar lagi. Generasi muda sekarang, apabila mendengar kalimat “Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa,” tidak akan mengerti apa maksudnya, karena selama puluhan tahun, tidak pernah ada pembahasan yang mendalam secara nasional, dan tidak ada konsep sama sekali untuk Pembangunan Bangsa dan Jatidiri Bangsa.

 

 

********



[1] Bagian ini dikutip dari tulisan saya ASAL-USUL NAMA INDONESIA di weblog:

https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html

[2] Adolf Bastian mempublikasikan 5 buku hasil perjalanannya ke Asia tenggara yang diterbitkan antara tahun 1884 – 1894, dengan judul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia, atau Pulau-Pulau di Kepulauahn Malaysia). Pada waktu itu sangat banyak ilmuwan Eropa, termasuk orang-orang Belanda, yang mengira bahwa Adolf Bastianlah “pencipta “ nama Indonesia.

[3] Dikutip dari poster yang banyak beredar di berbagai media sesuai aslinya dengan ejaan lama. Menurut sejarawan JJ Rizal, ini bukan teks asli, melainkan sudah diubah oleh M. Yamin. Juga poster ini kelihatannya tidak dibuat oleh panitia tahun 1928, karena terdapat beberapa kesalahan, a.l. tidak dicantumkannya organisasi Jong Ambon.  Jong Ambon diwakili oleh Josef Leimena, yang duduk di panitia. Selain itu, ditulis penyelenggaraannya di Jakarta. Padahal sampai tahun 1942, nama Jakarta belum digunakan.



[1] Dikutip dari poster yang banyak beredar di berbagai media sesuai aslinya dengan ejaan lama. Menurut sejarawan JJ Rizal, ini bukan teks asli, melainkan sudah diubah oleh M. Yamin. Juga poster ini kelihatannya tidak dibuat oleh panitia tahun 1928, karena terdapat beberapa kesalahan, a.l. tidak dicantumkannya organisasi Jong Ambon.  Jong Ambon diwakili oleh Josef Leimena, yang duduk di panitia. Selain itu, ditulis penyelenggaraannya di Jakarta. Padahal sampai tahun 1942, nama Jakarta belum digunakan.



[1] Mengenai tanggal menyerahnya Belanda kepada tentara Jepang di Kalijati dekat Subang, Jawa barat, ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1842
[2] Ada juga sumber yang menulis, menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Dalam buku Autobiografi dari Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda, menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 9 Maret 1942.
[3] Bagian ini dikutip dari tulisan saya ASAL-USUL NAMA INDONESIA di weblog:
[4] Adolf Bastian mempublikasikan 5 buku hasil perjalanannya ke Asia tenggara yang diterbitkan antara tahun 1884 – 1894, dengan judul “Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (Indonesia, atau Pulau-Pulau di Kepulauahn Malaysia). Pada waktu itu sangat banyak ilmuwan Eropa, termasuk orang-orang Belanda, yang mengira bahwa Adolf Bastianlah “pencipta “ nama Indonesia.
[5] Dikutip sesuai aslinya dengan ejaan lama.

No comments:

Post a Comment