Haluan
Ideologi Pancasila: Contradictio in
terminis
Catatan Batara R. Hutagalung
(Sejarah
berulang kembali, karena pelaku sejarah tidak belajar dari sejarah: Batara R.
Hutagalung)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode
2009 – 2014 telah mengeluarkan Empat Pilar MPR di mana Pancasila adalah
salahsatu pilarnya, Melalui
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017, Presiden Jokowi membentuk Unit
Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian melalui Peraturan
Presiden No. 7 tahun 2018, Presiden Jokowi membentuk Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila.
DPR RI periode 2019 – 2024 tidak mau
ketinggalan. DPR saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP),
yang merupakan inisiatif DPR atas usul dari PDIP.
Tujuannya sebagaimana tertera di Pasal 1,
Ketentuan Umum RUU HIP:
“Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan
perencanaan pelaksanaan dan evaluasi
terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik , hukum,
ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang
berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.”
Mungkin para perumus HIP tidak menyadari,
dengan menyatakan tujuan membuat
Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini, sekaligus merupakan pengakuan,
bahwa selama 75 tahun berdirinya Republik Indonesia yang seharusnya berdasarkan
Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologi Negara. Ternyata para
penyelenggara Negara, termasuk DPR RI sendiri, tidak menggunakan Pancasila
dalam menyusun dan menetapkan perencanaan dsb., sehingga sekarang, tahun 2020,
perlu dibuat Undang-Undang yang mengatur Pancasila sebagai pedoman untuk para
penyelenggara Negara dan arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penduduk di Republik Indonesia tidak semua
warganegara Indonesia, melainkan juga ratusan ribu warganegara asing yang tinggal
di Indonesia sebagai pekerja atau karena alasan-alasan lain. Sebagai penduduk
di Indonesia, dengan dicantumkannya warganegara dan “penduduk”, berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia, mereka juga diharuskan menghafal Pancasila
dan mengikuti arah yang ditetapkan oleh Undang-Undang Haluan Ideologi
Pancasila.
Kesalahan pertama penyusunan RUU HIP adalah
menggunakan rangkaian kata-kata, “Ideologi
Pancasila.” Dalam Empat Pilar MPR dinyatakan, bahwa Pancasila adalah
Ideologi Negara. Dengan demikian, menulis Ideologi Pancasila adalah suatu
pengulangan, sehinga menjadi “Haluan Ideologi Ideologi.” Jadi seharusnya
judulnya adalah “Haluan Pancasila*
(HP).
Arti kata Haluan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah:
1
1. bagian
perahu (kapal) yang sebelah muka,
2. yang terdahulu atau terdepan,
3. arah; tujuan,
4. pedoman (tentang ajaran dan sebagainya)
- negara arah, tujuan, pedoman, atau petunjuk resmi politik suatu negara;
- politik arah atau tujuan politik
4. pedoman (tentang ajaran dan sebagainya)
- negara arah, tujuan, pedoman, atau petunjuk resmi politik suatu negara;
- politik arah atau tujuan politik
Seperti ditulis di atas, di Pasal 1 disebut, tujuan
Undang-undag Haluan Ideologi Pancasila adalah sebagai “arah bagi seluruh
warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
pada nilai-nilai Pancasila.”
Mau digunakan yang manapun dari keempat
penjelasan KBBI, menempatkan Pancasila
sebagai haluan atau meletakkan Pancasila terdepan, atau menentukan arah/tujuan Pancasila
atau mengarang pedoman Pancasila, semuanya salah.
Kelihatannya penyusun konsep HIP tidak
memahami Pancasila, bahwa Pancasila adalah:
1.
Landasan
Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2.
Ideologi
Negara, dan
3.
Merupakan
sumber segala sumber hukum Negara
Mengenai Pancasila sebagai Landasan Filosofis
dan Ideologi Negara sudah jelas sejak awal berdirinya Negara Kesatuan republik
Indonesia.pancasila sebagai Ideologi Negara juga dicantumkan dalam Empat Pilar
MPR. Tanggal 12 Agustus 2011 Presiden Susilo B. Yudhoyono menandatangani
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Di Pasal 2 ditegaskan: “Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum.”
Jadi semua hukum dan perundang-undangan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersumber
dari Pancasila. Sekarang Pancasila akan diletakkan di depan atau mau dibuat arahnya.
Dengan demikian, kalimat “Haluan Ideologi Pancasila” adalah suatu Contradictio in terminis., atau
rangkaian kata-kata yang saling bertentangan.
Ini
adalah kesalahan logika berpikir.
Kesalahan kedua, dan yang paling salah adalah
membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011,
semua Undang-Undang letaknya di bawah Pancasila. Tidak ada dasar hukum di atas
Pancasila yang dapat memberi legitimasi membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Oleh
karena itu, pemikiran yang sangat aneh akan membuat Undang-undang untuk Sumber Segala Sumber Hukum Negara
Indonesia. Ini suatu kesalahan
logika berpikir lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pembahasan RUU HIP
dibatalkan.
Kalau memang dipaksakan akan dilanjutkan dan berhasil
menjadi Undang-Undang, maka DPR memunculkan kontroversi baru sehubungan dengan
Pancasila. setelah kontroversi penggunaan frasa “Pilar” oleh MPR untuk
Pancasila, kini dimunculkan kontroversi oleh DPR mengenai kedudukan Pancasila
dan membuat Undang-Undang untuk Pancasila.
Formulasi kalimat Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila juga keliru. Pertama, seperti dijelaskan di atas, Pancasila sendiri
adalah Ideologi. Jadi memakai rangkaian kata-kata Ideologi Pancasila adalah
pengulangan kata Ideologi. Kedua, dengan formulasi kalimat ini, maka berarti
yang dibina adalah Ideologi Pancasila, bukan membina masyarakat untuk
menghayati dan mengamalkan Pancsila.
Sebenarnya formulasi yang digunakan di era
Orde Baru lebih tepat. Yang dibuat bukan Haluan atau Pedoman Ideologi Pancasila
atau “Pembinaan Ideologi Pancasila, melainkan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai P – 4. Badan yang dibentuk untuk
melaksanankannya dinamakan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP-7). Jadi bukan “Prembinaan Pancasila”, melainkan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaannya.
Setelah Orde Baru tumbang, Tap MPR No. II
tahun 1978 Tentang Ekaprasetya Pancakarsa (P-4) ini dicabut melalui Tap MPR No. XVIII tahun
1998. Dengan dicabutnya Tap MPR yang menjadi dasar P-4, maka otomatis BP-7 juga
hilang.
Pancasila:
“Proyek Tanpa Akhir”
Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia
dalam menyusun Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, sepakat menetapkan
Pancasila sebagai Landasan Filosofis Negara yang akan dibentuk. Kemudian lima
butir Pancasila tersebut dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945,
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari batang tubuh Undang-Undang
Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Dalam perkembangannya, kini Pancasila
kelihatannya menjadi “proyek tanpa akhir.” Setelah 75 tahun, masih
diperdebatkan kapan “lahirnya” Pancasila. Sejak era yang dinamakan Orde Lama,
timbul dan tenggelam berbagai tafsir mengenai Pancasila. Di era Orde Lama ada
yang dinamakan TUBAPIN, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, yang sebagian besar
adalah pidato-pidato Presiden Suukarno setiap tanggal 17 Agustus. Juga da
Manifesto Politik (Manipol). Ada gagasan Nasakom (Nasionalis, Agama dan
Komunis). Hal-hal tersebut semua disosialisasikan
ke seluruh Indonesia, dengan dana besar. Dengan runtuhnya kekuasaan Orde
Lama, maka hilang semua doktrin dan gagasan-gagasan dari penguasa Orde Lama.
Di era Orde Baru, melalui Ketetapan MPR No.
II tahun 1978 Tentang Ekaprasetya Pancakarsa, disusun tafsir Pancasila dengan
nama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai P–4.
Untuk pelaksanaannya, dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (BP-7). Sosialisasi P-4 dinamakan “Penataran.”
P-4 tidak hanya disosialisasikan ke seluruh
Indonesia, melainkan juga ke semua warganegara Indonesia di seluruh dunia.
Selain biaya transport dan hotel ditanggung oleh panitia penyelenggara, para
peserta penataran juga mendapat uang saku harian yang jumlahnya tidak kecil.
Dengan demikian, biaya sosialisasi P-4 yang dinamakan Penataran, selama sekitar
20 tahun menjadi sangat fantastis besarnya. Apabila dihitung dengan index
perekonomian sekarang, nilainya dapat mencapai belasan triliun rupiah.
Setelah Orde Baru tumbang, Tap MPR No. II
tahun 1978 ini oleh Orde Reformasi dicabut melalui Tap MPR No. XVIII tahun
1998. Dengan dinyatakan tidak lagi berlakunya P-4, maka hilang juga BP-7.
Di era Orde reformasi, MPR periode 2009 –
2014 mengarang Empat Pilar MPR Berbangsa dan Bernegara, di mana salahsatu
pilarnya adalah Pancasila. Untuk sosialisasi Empat Pilar MPR,dikeluarkan
beberapa buku. Biaya sosialisasi Empat Pilar kini mencapai satu triliun rupiah
per tahun. Sangat disayangkan, dengan biaya sebesar itu, sangat banyak
kesalahan yang ditulis dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar, baik mengenai
Pancasila, terutama dalam penulisan mengenai sejarah.
Demikian juga untuk sosialisasi yang
dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasial. Mungkin biayanya sejak tahun
2018 mencapai ratusan milyar rupiah.
Apabila DPR RI berhasil membuat Undang-Undang
Haluan Ideologi Pancasila, maka tentu harus disosialisasikan ke seluruh rakyat
dan penduduk di Indonesia, dan juga ke semua warganegara Indonesia di seluruh
dunia. Berapa triliun dana yang akan dekeluarkan?
Dipandang dari sudut pembiayaan sosialisasi
Pancasila sejak era Orde Lama, terkesan bahwa Pancasila dijadikan “proyek besar
tanpa akhir.”
Dengan biaya belasan triliun rupiah, apa manfaatnya
indoktrinasi Orde Lama, Penataran P-4 Orde baru selama puluhan tahun untuk
rakyat?
Tujuan para pendiri negara dan bangsa
Indonesia mendirikan negara, dituangkan dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-undang Dasar ’45. Yang terpenting dalam alinea keempat tersebut adalah
anak kalimat terakhir yang merupakan Sila kelima Pancasila, yaitu “...
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Untuk memahami kalimat terrsebut, tidak
diperlukan penjelasan yang rumit sampai ratusan halaman. Tidak perlu
penjelasan, bahwa adalah suatu ketidak-adilan, apabila ada seorang pengusaha
menguasai lima juta hektart lahan di wilayah Indonesia, sementara rata-rata
petani pribumi hanya memiliki 0,5 hektar lahan. Tidak diperlukan penjelasan
yang bebelit-belit untuk menilai, bahwa ada ketimpangan sosial besar dan
ketidak-adilan, apabila 4 orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan setara
dengan 100 juta rakyat Indonesia. Ini hanya dua contoh, yang menunjukkan bahwa
negara gagal dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mencermati hal-hal tersebut di atas, sudah
cukup kiranya selama 75 tahun diperdebatan kapan tanggal lahirnya Pancasila,
yang tidak bermanfaat samasekali untuk rakyat miskin. Sudah sangat banyak
tafsir mengenai Pancasila yang membingungkan masyarakat karena adanya tafsir
yang sangat berbeda satu dengan lainnya, seperti yang tertera di Empat Pilar
MPR. Tidak perlu membuat tafsir baru mengenai Pancasila, yang sosialisasinya
akan memakan biaya triliunan lagi. Semua pejabat negara disumpah untuk setia
kepada Pancasila dan UUD ’45. Ternyata sejak 75 tahun ribuan halaman mengenai
tafsir Pancasila tidak dapat menghentikan para pejabat/penyelenggara negara
melakukan korupsi atau hal-hal yang tidak bermanfaat untuk rakyat banyak.
Sebenarnya untuk mengerti, menghayati dan
mengamalkan Pancasila, terutama mewujudkan Sila kelima, tidak diperlukan tafsir
yang rumit dan mencapai ratusan halaman, dengan biaya yang besar untuk
sosialisasinta. Cukup dengan berpedoman pada Tiga N, yaitu:
1. NALAR,
2. NURANI,
3.
NASIONALISME.
Apakah para pelaku sejarah saat ini yakin,
bahwa semua tafsir Pancasila di era reformasi setelah tahun 1998 akan dapat
berlaku abadi dan bertahan sepanjang masa? Apakah tidak akan bernasib seperti
tafsir-tafsir Pancasila di era Orde Lama dan Orde Baru? Sekarang saja sudah
sangat banyak tentangan dan penolakan.
Ada adagium: “Sejarah selalu berulang
kembali.” Hal ini disebabkan karena para pelaku sejarah tidak belajar dari
sejarah. Semua penyelenggara negara adalah pelaku sejarah. Yang memperparah
saat ini adalah, banyak penulisan-penulisan yang salah mengenai sejarah. Bahkan
di buku Materi Sosialisasi Empat Pilar yang dikeluarkan oleh MPR, di mana MPR
adalah kumpulan pelaku sejarah, telah menerbitkan buku yang berisi penulisan
sejarah yang salah, bahkan kesalahan fatal yang menyesatkan..
Yang lebih penting daripada membuat tafsir
baru mengenai Pancasila versi penguasa sekarang adalah menyusun konsep untuk Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation
and Character Building). Mengenai pentingnya Nation and Character Building
ditegaskan oleh Presiden Sukarnom dalam Pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1957.
Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari dan memahami, bahwa bukan hanya Negara
Indonesia yang baru yang lahir pada 17 Agustus 1945, melainkan juga Bangsa
Indonesia, sebagai entitas politik, adalah bangsa baru, yang resmi dibentuk
pada 17 Agustus 1945. Sebagai suatu bangsa, Bangsa Indonesia belum memiliki
Jatidiri (Karakter) yang dapat dikatakan sebagai Jatidiri (Karakter) Bangsa
Indonesia.
Oleh karena itu lembaga tinggi negara, yaitu
Presiden, MPR, DPR, DPD, para akademisi, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh
masyarakat, harus duduk besama dan menyusun
konsep untuk MEMBANGUN BANGSA DAN
JATIDIRI BANGSA.
Bagaimana para pelaku sejarah saat ini ingin
ditulis dalam buku-buku sejarah yang akan datang, tergantung dari sikap,
perilaku, ucapan-ucapan, kebijakan dan langkah yang dilakukan oleh mereka
sendiri, apakah penulisan itu akan positif atau negatif, bahkan penghujatan.
Mengenai hal ini telah disampaikan oleh
Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, sebagai penutup dalam pesan
yang disampaikannya di depan Kongres (Parlemen dan Senat) Amerika tanggal 1
Desember 1862. Lincoln mengatakan:
Sesama warga, *kita
tidak bisa melarikan diri dari sejarah.
Kita dari Kongres ini
dan pemerintahan ini, akan diingat terlepas dari diri kita sendiri. Tidak
ada signifikansi pribadi, atau tidak signifikan, yang dapat menyelamatkan salah
satu dari kita. Pengadilan yang berapi-api yang kita lalui, akan menyoroti
kita, dalam kehormatan atau kenistaan, sampai generasi terakhir.
Jakarta, 12 Juni 2020
********
No comments:
Post a Comment