Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan PANCA PEDOMAN BERNEGARA,
BERGANGSA, BERMASYARAKAT.
Catatan Batara R. Hutagalung
Latar Belakang
Sejarah
Selama
puluhan tahun, seluruh
rakyat Indonesia di sekolah membaca buku-buku sejarah, terutama Sejarah
Nusantara, yang memuat data-data yang salah yang hanya merupakan terjemahan
dari penulisan-penulisan sejarah dari buku-buku sejarah yang ditulis oleh
mantan penjajah, sehingga
banyak yang masih merupakan versi penjajah
atau dari sudut pandang penjajah.
Demikian
juga penulisan Sejarah Indonesia sejak 17 Agustus 1945, tidak memberikan informasi yang
lengkap dan akurat mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia,
setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun
yang
menjadi masalah bukan
hanya karena penulisan sejarah yang salah sehingga mengakibatkan pengetahuan mengenai sejarah yang sebenarnya sangat minim dan salah, melainkan juga pemahaman yang salah
mengenai peristiwa-peristiwa bersejarah.
Adalah Bonifacius
Cornelis de Jonge, yang menjadi Gubernur
Jenderal India-Belanda ke 63 dari tanggal 12 September 1931 sampai 16 September 1936, yang pada tahun 1935 mengatakan:
”
Als ik met nationalisten praat, begin ik altijd met de zin: Wij Nederlanders
zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg minstens 300 jaar blijven.
Daarna kunnen we praten” (Apabila saya berbicara dengan para nasionalis, saya selalu memulai
dengan kalimat: Kami Belanda telah di sini 300 tahun dan kami bahkan akan
tinggal paling
sedikit 300 tahun lagi. Kemudian kita
bisa bicara).
Para pemimpin Indonesia menggunakan
kalimat Bonifacius de Jong tersebut sebagai slogan yang konon untuk membangkitkan emosi,
kemarahan dan semangat rakyat Indonesia. Tidak
diketahui dengan pasti, sejak kapan
kalimat Bonifacius de Jonge tersebut mulai digunakan. Juga tidak diketahui,
siapa yang memulai dengan angka 350 tahun. Bagaimana perhitungannya.
Yang paling fatal kesalahannya adalah mengenai persyaratan mendirikan
suatu Negara, sebagaimana tertulis di buku sejarah karangan Samsul Farid di buku Sejarah Kurikulum 2013,
halaman 214, di mana tertera:”Proklamasi Negara Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, tentunya belumlah cukup untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah
Negara, karena SYARAT sebuah Negara adalah bila mempunyai wilayah, rakyat,
pemerintah yang berdaulat, pengakuan internasional dan hukum
dasar atau Undang-Undang Dasar (UUD)”
Dari
beberapa contoh di atas terlihat, bahwa selama puluhan tahun seluruh rakyat
Indonesia menjadi “produk” atau bahkan “korban” dari buku-buku sejarah yang
salah dan bahkan menyesatkan karena salah orientasi, salah penuklisan dan memakai versi
Belanda/penjajah.
Hal ini yang sejak lama terjadi di Indonesia. Matapelajaran sejarah
dibuat menjadi sangat tidak penting, menghilangkan bagian-bagian yang heroik
yang dilakukan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, dan yang
ditonjolkan adalah versi Belanda,
yang melakukan pembunuhan karakter terhadap para
pejuang yang menentang penjajah.
Berbagai peristiwa heroik yang terjadi di masa perang
mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda dan sekutunya
antara tahun 1945 – 1950, yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia,
hanya sedikit yang tercantum di buku-buku sejarah di sekolah, dan tidak rinci.
Agresi militer Belanda –dibantu tentara sekutunya- di Republik
Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat tidak
hanya menghancurkan infra-struktur
dan perekonomian Negara Republik Indonesia yang baru berdiri, melainkan juga mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa yang sangat banyak. Laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969, De Excessennota menyebutkan, bahwa korban tewas di pihak
Indonesia sekitar 150.000 orang.
Namun jumlah korban di suatu daerah yang tertera dalam laporan resmi tersebut, jauh lebih kecil dari angka yang sebenarnya.
Sebagai contoh, pembantaian di desa Rawagede dekat Karawang, Jawa Barat. Di
laporan pemerintah Belanda tertera, jumlah korban sipil “hanya” 20 orang.
Faktanya adalah, jumlah penduduk
sipil yang tewas dibantai oleh tentara Belanda tanpa proses hukum apapun,
berjumlah 431 orang.
Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh
tentara belanda, tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda, seperti
misalnya pembantaian di Rengat, Riau dan di Kranggan, Jawa Tengah.
Pada 5 Januari 1949, di masa agresi Belanda ke II, tentara Belanda
membantai sekitar 2.500 penduduk Rengat, termasuk Bupati Tulus, ayah dari
pujangga Chairil Anwar. Pada bulan Januari – Februari 1949 di Kranggan dan
sekitarnya, tentara belanda membunuh sekitar 1.500 pemuda secara acak. Semuanya
penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum. Yang luar biasa di sini
adalah, 9 hari sebelum melancarkan agresi militernya, pada 10 Desember 1948
Belanda ikut menadatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal
Declaration of Human Rights).
Baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia tidak pernah
melakukan penelitian, berapa sebenarnya korban agresi militer Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Apabila mengacu pada jumlah korban yang
sangat diperkecil jumlahnya, diperkirakan, korban tewas di pihak Indonesia
mencapai satu juta jiwa. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil –non combatant.
Juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950
dinyatakan sebagai revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan,
dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh tentara belanda adalah
membasmi para perampok, perusuh dan ekstremis tyang dipersenjatai Jepang.
Secara
keseluruhan, berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1942 –
1950 masih kurang diketahui oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Penelitian
yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia boleh dikatakan sangat minim.
Banyak tulisan hanya sekadar menyalin tulisan-tulisan peneliti Belanda atau
penulis bangsa asing lainnya. Kurang dilakukan penelitian, apakah penulisan
sejarah Nusantara yang sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat luas,
adalah benar sesuai fakta, ataukah penulisan tersebut telah “diselewengkan”
oleh penjajah, untuk mengaburkan peristiwanya dan juga mendiskreditkan
tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Untuk
banyak peristiwa sejarah, kurang dilakukan analisis yang lengkap dan cermat,
dan dari kacamata bangsa dan kepentingan Indonesia. Cukup banyak yang masih
menggunakan terminologi penjajah. Yang paling mencolok adalah, banyak orang
Indonesia yang ikut menggunakan istilah “aksi polisional” versi Belanda. Yang
agak “lunak” menamakan agresi militer Belanda sebagai “clash.”
Juga
belum ada penelitian yang dilakukan oleh pihak Indonesia, mengenai berapa
jumlah korban akibat agresi Belanda –yang dibantu oleh sekutunya, Inggris dan
Australia- dan dampak ekonomi serta sosial untuk keluarga korban pembantaian
yang dilakukan oleh tentara Belanda di berbagai daerah di Indonesia antara
tahun 1945 - 1950.
Sebenarnya, di tahun 70-an dan 80-an, ketika
masih banyak pelaku sejarah yang masih hidup, sering dibahas berbagai peristiwa
yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, namun di zaman Orde Baru,
banyak hal yang tidak dapat dipublikasikan. Baru setelah tumbangnya rezim Orde
baru, beberapa peristiwa dapat diungkap.
Penjajahan Belanda di Asia Tenggara/Nusantara
Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa
wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jayakarta
(Jakarta), yang oleh Belanda dinamakan Batavia, dan Maluku. Sementara di
beberapa daerah, seperti Aceh, Tanah Batak, Bali dan beberapa daerah lain,
kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja, yaitu
sampai 9 Maret 1942, ketika belanda secara resmi menyerah tanpa syarat kepada
Jepang.
Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya
penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan
pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai kolonialisme
atau penjajahan.
Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan
legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai atau merampok negara
lain. Yang dilakukan oleh banyak negara-negara Eropa bukan hanya menjajah dan
menguras kekayaan wilayah yang dikuasainya, melainkan juga memperbudak bangsa
yang dijajahnya, bahkan memperjual-belikan manusia. Satu-satunya hukum yang ada
hanyalah “hukum rimba”, yaitu berdasarkan atas kekuatan: siapa yang lebih kuat
memangsa yang lemah.
Pada abad 15 dua negara katolik, Portugal dan Spanyol
saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk menguasai perdagangan
atau untuk dijadikan jajahan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara
kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan
antara keduanya dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani Perjanjian Tordesillas. Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk
Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal. Traktat ini diperkuat dengan Traktat
Zaragoza pada 22 April 1529, di mana Kepulauan Maluku “diserahkan” kepada
Portugal.
Traktat
Tordesillas
Ketika Belanda dan Inggris memasuki kawasan-kawasan tersebut, kedua
Negara yang belakangan ini tidak merasa terikat dengan Perjanjian Tordesillas.
Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara keempat
Negara tersebut dalam memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa.
Kemudian Prancis, Italia, Belgia dan Jerman ikut meramaikan kwartet ini dalam
memperebutkan wilayah jajahan di luar Eropa.
Negara-negara tersebut bukan hanya memperebutkan dan
memperjual-belikan wilayah yang mereka kuasai, mereka kemudian juga
memperjual-belikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak abad
18 praktek jual-beli dan “tukar guling” jajahan sangat marak. Belanda juga
pernah menawarkan wilayah jajahan yang waktu itu dikuasainya di Asia Tenggara untuk
dijual.
Tahun 1667 Belanda dan Inggris melakukan penukaran Pulau
Run milik Inggirs dengan Manhattan, bagian dari kota New York milik Belanda.
Kemudian tahun 1824, Bengkulu ditukar dengan Singapura.
Belanda termasuk Negara terbesar dalam perdagangan budak. Di wilayah
jajahannya, Nederlands Indië (India
Belanda) diberlakukan undang-undang perbudakan antara tahun 1640 – 1862.
Undang-undang perbudakan ini dihapus oleh Inggris ketika Inggris berkuasa
antara tahun 1811 - 1816, namun diberlakukan kembali, ketika jajahan tersebut
“dikembalikan” kepada Belanda.
Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah
perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813.
Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana
terdapat persaingan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Lord Minto, Gubernur
Jenderal Inggris di India (1807 – 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa,
dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles. Inggris menduduki pulau
Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Raffles, diangkat
menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan
Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.
Raffles kemudian diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur
Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai India Belanda “dikembalikan” kepada
Belanda. Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh
tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blücher.
Negara-negara di Eropa sepakat untuk kembali pada situasi sebelum timbulnya
perang di Eropa yang diawali dengan agresi Prancis di bawah Napoleon Bonaparte.
Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai
lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816
wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti
menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum.
Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu dan Belanda masih berkuasa atas
Singapura.
Belanda dan Inggris kemudian sepakat untuk melakukan “tukar guling”
atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824,
Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai
imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu. Selain itu, Inggris dan Belanda beberapa
kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan
Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk membagi dua Pulau Timor.
Jayakarta, Jajahan Belanda Pertama di Nusantara
Pada abad ke XVI bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia
Tenggara dengan maksud melakukan perdagangan. Namun seiring perjalanan waktu,
beberapa Negara tersebut, yaitu Spanyol. Portugal, Inggris, Perancis dan
Belanda ingin menguasai wilayah yang
kaya akan rempah-rempah, yang waktu itu sangat mahal di Eropa. Mereka bahkan
saling merampok dan saling membunuh untuk mencapai tujuan mereka.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor
perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC
pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di
Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 –
1623).
Pieter Both lebih memilih Jayakarta sebagai basis
administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu
dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka
menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai
Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang
Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau
Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623),
ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok
batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia
membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka
sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh.
Pangeran Jayawikarta, tidak menyukai Belanda dan bersekutu dengan
Inggris menghadapi Belanda. Ketika timbul konflik dengan Belanda, koalisi Pangeran Jayakarta dengan Inggris berhasil
mengusir Coen ke luar dari Jayakarta. Dia berlayar ke Maluku, dan mengambil
pasukan Belanda yang ada di Maluku dan kembali menyerang Jayakarta.
Pada waktu yang bersamaan, timbul konflik antara Kesultanan Banten
dengan Pangeran Jayawikarta. Coen memanfaatkan situasi ini dan menyerang
Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tentara Belanda berhasil mengalahkan pasukan
Jayawikarta dan kemudian membumi-hanguskan kota Jayakarta, yang sebelumnya
bernama Sunda Kalapa. Pada abad ke-V, kota ini merupakan Ibukota Kerajaan Hindu
Tarumanegara. Seluruh penduduk Jayakarta melarikan diri ke luar kota.
Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal
penjajahan Belanda di Asia Tenggara/Bumi Nusantara.
Pada 4 Maret 1621 penguasa
VOC resmi mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, yang digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun,
tepatnya sampai 9 Maret 1942.
Setelah masuknya
Belanda yang dibantu oleh tentara Inggris ke Jakarta, karena situasi yang
sangat membahayakan para pemimpin RI, maka tanggal 4 Januari tahun
1946 pemerintah RI memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Belanda,
atas bantuan Inggris, menguasai Jakarta dan nama
Jakarta diganti lagi menjadi Batavia, di mana Letkol Laurens van der Post,
perwira Inggris, menjadi Gubernur Militer Inggris untuk Batavia selama British Interregnum II September 1945 –
Juni 1947 (British Interregnum I, 1811 – 1816).
Setelah
berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan RIS Arnold Mononutu
mengumumkan penggantian nama Batavia menjadi Jakarta, sampai sekarang.
Selain mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, JPC juga “mengganti”
penduduk Jayakarta. Sebagai akibat dari perang, kota Jayakarta ditinggalkan
oleh penduduknya. Yang tersisa hanya penduduk non-pribumi, yaitu para pedagang
dari Negara-negara lain.
Untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti perkebunan, selain
“mengimpor” kuli-kuli dari Cina daratan, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari Negara-negara lain dan
dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Mereka a.l. adalah mantan tentara yang kalah perang melawan Belanda,
seperti tentara Portugal. Setelah para budak orang Portugal bersedia melepaskan
agama katolik dan menganut agama Kristen Protestan -aliran Calvijn- seperti yang dianut oleh mayoritas orang Belanda, mereka dibebaskan
dan dinamakan Mardijkers (dari kata
Sansekerta Mahardika). Keturunan mereka kini bermukim di daerah Tugu, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dengan berbagai tipu muslihat, Belanda dapat mengusir Negara-negara
pesaingnya dari kawasan Asia Tenggara. Setelah mengusir para pesaingnya,
Belanda kemudian menyerang satu-persatu kerajaan dan kesultanan di Bumi Nusantara. Juga melalui perjanjian-perjanjian yang dipaksakan,
Belanda berhasil membuat kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan tunduk kepada
Belanda.
Monopoli Perdagangan Candu
(Opium)
Berikut ini
disampaikan beberapa peristiwa yang sangat menonjol di masa penjajahan oleh
Belanda di Asia Tenggara/Nusantara, yang memiliki dampak hingga hari ini, tahun
2017.
Selain melakukan
penyerangan-penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan untuk
dijadikan jajahan, beberapa peristiwa yang harus menjadi catatan sejarah
penting adalah kejahatan-kejahatan yang sangat biadab yang telah dilakukan oleh
Belanda selama masa penjajahan.
Baik di era VOC,
maupun sesudah VOC dibubarkan pada 31 Desember 1779, perdagangan candu
sepenuhnya berada di tangan pemerintah kolonial.
Selain mengeruk kekayaan dari kerjasama perdagangan budak dengan Belanda, para
pedagang bangsa Cina juga mendapat keuntungan
besar dari perdagangan opium dan memperoleh izin resmi untuk mendirikan rumah-rumah madat.
Pemerintah kolonial
memang secara terstruktur, sistematis dan massif membuat penduduk di wilayah
jajahannya menjadi pecandu madat untuk menghancurkan mental dan semangat
melawan penjajah.
Mengenai kekayaan bangsa
Cina dari perdagangan dan distribusi candu di wilayah jajahan
Belanda, dapat dilihat lebih jauh dalam buku JAMES R. RUSH. [2]
Genosida
di Kepulauan Banda 1621
Jan Pieterszoon Coen (JPC) dikenal di Belanda sebagai “bapak pendiri”
imperium VOC di Nederlands Indië (India Belanda). Setelah menghancurkan
Jayakarta (Batavia, Jakarta) pada 30 Mei 1619, JPC mengerahkan pasukan terbesar
pada waktu itu untuk “menghukum” penduduk Kepulauan Banda, Maluku. Jayakarta
(Batavia, Jakarta) dan Maluku adalah wilayah yang paling lama dan paling
menderita selama masa penjajahan Belanda,sedangkan daerah-daerah lain di
Nusantara hanya sempat di bawah administrasi Belanda selamasekitar 30 – 40
tahun, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara
Jepang.
Para pemuka masyarakat di Kepulauan Banda, Maluku, dikenal sebagai
‘Orang Kaya.’ Sebelum kedatangan orang asing, merekalah yang memimpin
pemerintahan dan perdagangan di Kepulauan Banda. Pada waktu itu, Kepulauan
Banda adalah satu-satunya penghasil buah dan bunga pala di dunia. Selain
sebagai rempah-rempah untuk makanan, pala juga bermanfaat untuk ramuan obat dan
sebagai bahan pengawet makanan.
Awalnya perdagangan rempah-rempah dilakukan sendiri oleh orang-orang
Maluku dan pedagang-pedagang dari Jawa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa,
pedagang-pedagang asing yang kemudian terlibat dalam perdagangan rempah-rempah
adalah para pedagang Arab yang melakukan perdagangan rempah-rempah sampai ke Eropa. Mereka menjual kepada para
pedagang Venesia yang sangat terkenal dalam perdagangan dunia waktu itu. Para
pedagang Arab sangat merahasiakan wilayah penghasil rempah-rempah di Kepulauan
Maluku.
Bangsa Eropa pertama yang mengenal Kepulauan Banda adalah orang
Portugis, di awal abad 16, kemudian diikuti oleh Spanyol. Karena letaknya yang
sangat strategis, Banda menjadi simpul perdagangan “timur – barat.” Cengkeh
dari Ternate-Tidore, komoditi dagang dari dan ke Papua selalu melalui Kepulauan
Banda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, Banda kemudian menjadi incaran
Negara-negara Eropa yang ingin memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Sejak pertamakali menginjakkan kaki di Banda awal tahun 1512, Portugal
sudah berusaha memndirikan benteng untuk menguasai kawasan tersebut, namun
dapat digagalkan oleh orang Banda. Sejak itu pedagang Portugal membeli
rempah-rempah dari para pedagang lain di Malakka.
Akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai terlibat dalam pedagangan
rempah-rempah di Asia tenggara, juga dalam perebutan hegemoni atas kawasan
tersebut. Kedua Negara ini kemudian sagat sengit dan kejam dalam memperebutkan
monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Maluku dan Banda.
Belanda berhasil memaksakan kontrak dagang dengan beberapa Orang Kaya
di Banda, yang menjamin Belanda dapat memborong seluruh produksi pala. Namun
Belanda sangat menekan harganya, sehingga membuat para Orang Kaya tersebut juga
menjual kepada pedagang Inggris yang membayar dengan harga yang lebih tinggi.
Di Eropa, Belanda dan Inggris dapat menjual komoditi tersebut dengan harga 250
sampai 300 kali lipat dari harga beli di Banda.
Puncak kebencian orang Banda terhadap Belanda terjadi pada tahun 1609,
di mana Gubernur Belanda untuk Maluku bersama 40 stafnya dibunuh.
Sementara itu, Inggris mendirikan pos dagang di Pulau Ai dan Run.
Perang memperebutkan kekuasaan atas wilayah Banda antara Inggris dan Belanda
terjadi tahun 1615. Dengan kekuatan 900 tentara, Belanda menyerang pos dagang
Inggris di Pulai Ai. Namun kemudian Inggris berhasil memukul balik dan membunuh
200 tentara Belanda di Pulai Ai. Setahun kemudian Belanda menyerang lagi
Inggris di Pulau Ai, dan kali ini berhasil mematahkan perlawanan Inggris, di
mana kemudian seluruh tentara Inggris dibantai oleh tentara Belanda.
Setelah menguasai Jayakarta, Coen berpaling lagi ke Banda, di mana dia
melanjutkan tekad Belanda untuk menguasai perdagangan pala dan bunga pala. Dari
Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal
pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655
orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang
dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda
pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi
keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat
80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang
kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama
pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.
Coen bersama pasukannya tiba di Kepulauan Banda pada 27 Februari 1621.
Penyerangan ke pulau Lontor dimulai pada 3 Maret 1621, dan ke Banda Besar pada 11 Maret 1621. Dengan kekuatan yang demikian besar, hanya
dalam sehari pasukan Coen berhasil menguasai seluruh pulau itu.
Pada 8 Mei 1621 dilakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap
para pemuka dan rakyat Banda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas,
ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari
tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang
tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera
dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada
8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:[3]
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng
Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang
dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam
kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi
melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi
dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya
kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya,
yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat
mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali
satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak
mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat
kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah
dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah
kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama
Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan
kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang tersisa beserta seluruh keluarga
mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak.
Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari
287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam
perjalanan. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu diperkirakan sekitar 15.000
orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di hutan-hutan atau melarikan diri ke
pulau-pulau lain, yang merupakan mitra dagang mereka. Ini berarti jumlah
penduduk yang dibantai lebih dari 13.000 jiwa.
40 tokoh masyarakat Banda dipenggal kepalanya, kemudian tubuhnya
dibelah empat.
Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau
penyakit. Demikianlah pembantaian
massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara.[4]
Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan
juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris.
Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku
mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda,
di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para
pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka
disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post:
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch
slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like
dogs …”
Sebagaimana dilakukannya di Jayakarta, untuk mengerjakan perkebunan
pala, Belanda mendatangkan budak-budak dan orang-orang dari pulau-pulau lain di
Nusantara. Setelah Jayakarta, Kepulauan Banda adalah daerah ke dua, dimana
dilakukan “penggantian” penduduk.
Daftar
nama 40 tokoh masyarakat Banda yang dibunuh pada 8 Mei 1621.
Namun kemudian Belanda mendapat kesulitan dalam budidaya tanaman pala,
karena orang-orang yang didatangkan tidak paham mengenai budidaya tanaman pala.
Oleh karea itu, Bepada kemudian”membawa pulang” sekitar 530 orag yang telah
mereka jual sebagai budak di Batavia, kembali ke Banda untuk mengerjakan
tanaman pala.
Belanda menyingkirkan berhasil memegang monopoli atas perdagangan
rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak
bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian
diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda.
Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan
peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat.
Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga
mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang
dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu
menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak
mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon
rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang
sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.
Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian
dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie di Maluku secara
besar-besaran, untuk menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk
melaksanakan extirpatie tersebut,
setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau dikenal sebagai “Hongi tochten”, yaitu armada yang
terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.
Perbudakan di Wilayah
Jajahan Belanda di Nusantara
Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa
datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten
(Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan adanya
Undang-Undang Perbudakan. Selama lebih dari 200 tahun, Belanda menjadi pedagang
budak terbesar di dunia. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun
budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari
daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, atau yang dibeli dari penguasa-penguasa
setempat.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi
sejak ribuan tahun lalu. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat,
serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan
kemudian dijual sebagai budak. Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring
dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah
yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi
sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan
tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold
Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua
portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang
Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan
orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika
-tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual
mereka sebagai budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika
diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke
negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan
berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa
adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari
budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan,
siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati
dalam perjalanan mencapai 40-50%.
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda,
perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun
ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum).Perang
koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda.
Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India
Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian
di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima
kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga
Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.
Pada waktu itu, jumlah budak yang dimiliki seseorang adalah ukuran
kekayaanya. Budak laki-laki dipekerjakan sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak
perempuan dijadikan gundik oleh para majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan
laki-laki.
Bahkan ada pemilik budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur,
dan mengantongi hasilnya. Penjualan/ pelelangan budak-budak dilakukan oleh para pedagang bangsa Cina.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun
1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
Tahun
1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun
1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun
1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun
1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di
dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang
dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang
dibeli dari Afrika.
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli
budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk
dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja
Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak
untuk 12 tahun atau lebih.
Berdasarkan Nationaliteitsregelingen
(PeraturanKewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda,
sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena
mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi
tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran
sama dengan tentara Belanda.
Dari gaji yang diterima, untuk memperoleh kebebasan dari status budak, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang Belanda tidak
mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam
mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam
rangka “repatriasi.”
Karena korupsi, kolusi dan nepotisme serta lemahnya
pengawasan administrasi, dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda
sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda
karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC,
perusahaan dagang yang dibangun dengan modal 6,5 juta gulden, yang jatuh tempo
pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun
1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi
kekuasaan VOC, diambil alih oleh Pemerintah Belanda, termasuk utang VOC sebesar
219 juta gulden[5], sehingga dengan demikian politik kolonial resmi
ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda, yang menjalankan politik
imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang
kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan
seorang Gubernur Jenderal.
Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus
perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera
diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda.
Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan
di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini. Di Belanda sendiri,
perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863.
Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban,
Afrika Selatan, hanya beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas
perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi
kompensasi.
Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih
mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama bangsa Belanda dengan bangsa
Cina dalam memperjual-belikan pribumi sebagai budak di negerinya sendiri.
Kerajaan
dan Kesultanan yang Terakhir Dikuasai Belanda
Sampai awal abad 20, Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh Asia
Tenggara/ Nusantara. Beberapa Kerajaan yang belum dapat dikalahkan Belanda
adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Batak, Kerajaan Badung dan Kerajaan Klungkung.
Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873.
Dengan korban yang sangat besar, Belanda akhirnya dapat. memenangkan perang
Aceh tahun 1904, namun perlawanan rakyat Aceh berlangsung terus hingga tahun
1914. Korban di pihak Belanda antara lain Jenderal Koehler.
Walaupun telah memenangkan perang, namun Gubernur Jenderal Gotfried
Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz, telah melakukan
pembantaian massal di Kuta Reh pada 14 Juni 1904, dimana 2.922 orang
dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Raja Batak, Sisingamangaraja XII pada 16 Februari 1878 menyatakan
perang terhadap Belanda. Dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907 di
lereng bukit Aek Sibulbulen, di desa Si Onom Hudon, di Kabupaten Tapanuli
Utara, Sisingamangaraja XII tewas tertembak. Dua putranya, Patuan Nagari dan
Patuan Anggi, serta putrinya Lopian juga tewas dalam pertempuran tersebut.
Di Pulau Dewata, Bali, Belanda juga mendapat perlawanan sengit dari
dua kerajaan terakhir di Bali. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan
Puputan Klungkung, 28 April 1908 mengakhiri perlawanan Kerajaan-kerajaan di
Bali.
Di sini tidak digunakan pendapat dari Prof. GJ Resink,
yang mendebat masa penjajahan Belanda berdasarkan hukum Belanda.
“Lahirnya” Kata
INDONESIA
Penjelasan yang rinci mengenai asal-usul bama
Indonesia, lihat:
Perang Dunia II.
Agresi Militer Jepang ke Asia Tenggara
Perang dunia
kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3
September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan
hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu
Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan
demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.
Dengan kemenangan
atas Rusia tahun 1905, rasa percaya diri bangsa Jepang semakin meningkat dan
Jepang tumbuh sebagai satu kekuatan ekonomi dan militer yang dahsyat di Asia
Timur. Jepang mulai menunjukkan ambisinya untuk melakukan ekspansinya ke
daratan Asia, yang dimulai dengan agresinya ke Manchuria. Hal ini tentu sangat
mengkhawatirkan negara-negara barat (Eropa dan AS) yang mempunyai jajahan di
Asia Timur dan Asia tenggara.
Oleh karena itu,
mereka mengambil langkah-langkah untuk meredam ekspansi Jepang, dengan antara
lain menjalankan blokade ekonomi. Pengepungan terhadap Jepang secara ekonomi
oleh negara-negara barat sangat menghalangi hubungan Jepang dengan
negara-negara tetangganya, dan membawa Jepang ke dalam krisis ekonomi. Dalam
sidang gabungan pimpinan militer dan sipil tanggal 27 Juli 1940 diisyaratkan,
bahwa apabila diperlukan, Jepang akan menggunakan kekuatan militer untuk
memperoleh bahan baku tersebut.[6]
Dalam
mempersiapkan agresi militer mereka, Jepang mengadakan sejumlah perundingan
untuk memperkuat posisi mereka. Langkah pengamanan pertama yang ditempuh Jepang
adalah mengadakan perundingan dengan Uni Sovyet. Tanggal 13 April 1940, Jepang
dan Uni Sovyet menandatangani neutrality
pact (pakta netralitas) yaitu untuk
tidak saling menyerang.
Selain itu,
Menteri Luar Negeri Jepang, Yosuke Matsuoka mengadakan perundingan dengan
Jerman dan Italia. Jerman dan Italia mengakui Jepang sebagai kekuatan utama di
Asia. Tanggal 27 September 1940, Jerman, Italia dan Jepang menandatangani pakta
Tripartite, yang juga dikenal sebagai
Axis. Inti perjanjian tersebut adalah saling
membantu apabila salah satu negara itu diserang oleh suatu kekuatan, yang belum
terlibat dalam perang.
Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang,
mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh
kekuatan armada di bawah komandonya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi
Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10
kapal perang besar, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4
kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak (destroyer), 65 kapal
selam serta 2.274 pesawat tempur.
Hari minggu pagi
tanggal 7 Desember 1941, 353 pesawat tempur dan pesawat terbang pembawa torpedo
diberangkatkan dalam dua gelombang. Sebelumnya, 31 kapal selam kelas Midget
telah diberangkatkan menuju Pearl harbor, dan telah siap menunggu komando untuk
penyerangan. Serangan mendadak tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat
besar dipihak Amerika.
Pada 8 Desember
1941 pesawat tempur dan pembom Jepang menyerang pangkalan udara militer Amerika
Serikat Clark dan Iba di Filipina, dan menghancurkan sekitar 50 % kekuatan
Angkatan Udara Amerika Serikat di Asia.
Kemudian
satu-persatu negara-negara di Asia tenggara jatuh ke tangan Jepang.
9 Maret 1942,
Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara
Untuk menghadapi serbuan Jepang ke Asia Tenggara, pada bulan Januari
1942 Sekutu membentuk ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command),
yang aroma kerjasamanya di Indonesia masih eksis sampai sekarang.
Selain itu, setelah melihat serbuan balatentara Dai Nippon tidak
terbendung lagi, Gubernur Jenderal Belanda ke 64, juga yang terakhir, Tjarda
van Starckenborgh-Stachouwer menugaskan Charles Olke van der Plas, Gubernur
Jawa Timur, untuk membangun jaringan bawah tanah untuk melawan pendudukan tentara Jepang. Van der
Plas fasih berbahasa Arab dan pakar Islam, seperti halnya Snouck Hurgronje. Dia
merekrut kelompok sosialis yang menentang fasisme Jepang. Jaringannya yang
kemudian dikenal sebagai “van der Plas
Connection”, juga masih eksis sampai sekarang (tahun 2016).
Setelah hampir
seluruh wilayah India Belanda jatuh ke tangan tentara Jepang, sasaran terakhir
dan terpenting adalah Pulau Jawa, tempat kedudukan Pemerintah India Belanda dan
pusat operasi militer Sekutu. Penyerbuan diawali dengan pertempuran di Laut
Jawa pada 27 Februari dan di Selat Sunda pada 28 Februari, dalam rangka
pendaratan Balatentara Dai Nippon di Jawa. Direncanakan, pendaratan dilakukan
di Teluk Banten, Eretan Wetan, dekat Cirebon, dan di Kragan, dekat pelabuhan
Rembang.
Dalam pertempuran
di Laut Jawa tanggal 27 Februari 1942 –terkenal sebagai “the battle of Java sea”-
yang berlangsung selama tujuh jam, Angkatan Laut Sekutu dimusnahkan
secara total. Sekutu kehilangan lima kapal perangnya, sedangkan Jepang hanya
menderita kerusakan pada satu kapal perusaknya (Destroyer) dan beberapa kapal transport kecil. Rear
Admiral
Karel Willem Frederik Marie Doorman, Komandan Angkatan Laut India Belanda, yang
baru dua hari sebelumnya, tanggal 25 Februari 1942 ditunjuk menjadi Tactical Commander armada tentara Sekutu
ABDACOM (American-British-Dutch-Australian
Command), tenggelam bersama kapal perang utamanya (Flagship) De Ruyter.
Pada 1 Maret 1942
pukul 02.00, kapal-kapal pengangkut tentara berlabuh di Teluk Banten sesuai
jadwal. Seluruh
pasukan Detasemen Sato, di bawah komando Kolonel Hansichi Sato mendarat di
Teluk Banten. Menjelang subuh, Letjen Imamura telah mendirikan Pos Komando di
Ragas, 3 km di utara Bojonegara, kemudian sore harinya dia memindahkan Poskonya
ke Serang, di mana ia bermarkas sampai tanggal 7 Maret.
Setelah melarikan diri dari
Jakarta ke Bandung, pada 5 Maret diadakan rapat seluruh perwira senior tentara
sekutu di Bandung, di mana Panglima tertinggi Tentara Belanda di India Belanda,
Letnan Jenderal hein Ter Poorten menyampaikan gawatnya situasi dan menyatakan,
bahwa perang gerilya tidak mungkin dilakukan, mengingat sikap rakyat Indonesia
terhadap orang Belanda. Bandung tak dapat dipertahankan lagi sehingga akan
kesulitan untuk berkomunikasi, karena Markas Besar Belanda hanya dapat
beroperasi dari Bandung.
Dengan demikian,
tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan
Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan
haknya atas wilajah India-Belanda yang diperoleh melalui kekuatan bersenjata.
Mengenai hilangnya “hak hukum rimba” Belanda atas jajahannya
yang kemudian menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan Republik Indonesia,
diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam
Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat
mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“… Bahwasanya
menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan
terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan
Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk
mencoba mempertahankannya ...
… Sesudah
Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa
bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang
strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia
memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara
saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang
akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris
...
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas
Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka
memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan
penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan
kemerdekaan ...”
Demikian a.l. isi Memorandum delegasi
RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Setelah Jepang
menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, Jepangpun melakukan mengganti
nama-nama Belanda menjadi nama Jepang, sperti nama jalan, bangunan/hotel, dll.
Untuk mengambil hati rakyat di bekas jajahan Belanda, pada 8 Agustus 1942
Jepang mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta Tokubetsu Shi, yang artinya
adalah Kota Istimewa Jakarta.
Tidak dijelaskan
mengapa diganti menjadi Jakarta, dan bukan nama sebelum Batavia, yaitu Jayakarta. Kemungkinan penulisan/penyebutan nama ini
berdasarkan penyebutan dari masa Purtugis atau Belanda, yang menyebut Jayakarta
sebagai Xakatra atau Jakatra.
Setelah berhasil
mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, maka tentara Jepang telah menguasai
seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Selama masa pendudukan
tentara Jepang di bekas jajahan Belanda, selain juga menguras kekayaan Bumi
Nusantara, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Jepang
memaksa para pemuda untuk dijadikan pekerja-paksa (Romusha), yang dikirim a.l. ke Birma, untuk membangun jembatan dan
bangunan-bangunan yang diperlukan oleh Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan seksual
para prajuritnya, pimpinan militer Jepang mengangkap gadis-gadis untuk dipaksa
menjadi budak pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis tersebut
dinamakan “wanita penghibur” atau Jugun
Yanfu.
Pemerintahan di Kalimantan
Barat awalnya dipegang oleh Rikugun
(Angkatan Darat), kemudian sejak 15 Juli 1942, di bawah Kaigun (Angkatan Laut). Penangkapan pimpinan Indonesia yang
dianggap menentang kebijakan Jepang dimulai tanggal 14 April 1943, sedangkan penangkapan
besar-besaran dilakukan tanggal 24 Mei 1944, dan eksekusi dilaksanakan pada
tanggal 28 Juni 1944.
Di Kecamatan Mandor, dekat
Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi pembantaian atas kaum intelektual
serta tokoh-tokoh masyarakat, yang
dianggap menentang kebijakan tentara pendudukan Jepang. Diperkirakan lebih dari
1500 orang yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang sehubungan dengan cara ini.
Bulan September 1943,
Markas Besar Tentara Selatan menyetujui dibentuknya Gyugun di Sumatera. Pusat latihan perwira didirikan di Kotaraja,
Medan, Padang dan Palembang. Pada bulan Maret 1944 telah terbentuk sekitar 30 kompi (chutai). Tugas utama Gyugun adalah penjagaan pantai, oleh karena itu
latihannya dirancang untuk menghasilkan perwira dan serdadu yang siap untuk
tugas bertempur.[12]
Gyugun di Sumatera dibentuk dan
dilatih pada tingkat karesidenan, tidak di dalam suatu kesatuan di bawah satu
komando seperti di Bogor. Dengan makin terdesaknya Jepang dalam perang melawan
Sekutu, banyak pemuda yang telah dilatih, dipaksa ikut dalam pertempuran,
termasuk sekitar 2.000 Gyugun asal
Sumatera Utara yang dibawa ke Morotai (Halmahera Utara) untuk bertempur melawan
tentara Sekutu.
Pada akhir tahun 1943 di
Bogor didirikan Renseitai (Satuan
Pendidikan Perwira). Dari catatan Jepang, dapat diketahui berapa jumlah anggota
Peta yang mendapat pendidikan militer.[13]
Sampai bulan November 1944 tercatat kekuatan Peta di Jawa sebanyak 33.000 orang
dan di Bali 1.500 orang. Di Sumatera telah dilatih sebanyak 6.000 Gyugun. Pada tahun 1945, seluruh
kekuatan Peta mencapai 66 batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali. Selain itu
masih terdapat sekitar 25.000 prajurit Heiho.
Apabila dalam struktur
komando Peta, semua perwira adalah orang Indonesia, dalam Heiho, seluruh perwiranya adalah orang Jepang. Pangkat tertinggi
orang Indonesia dalam Heiho adalah
sersan.[14] Selain
itu jumlah yang mendapat latihan semi-militer di Indonesia adalah:
Seinendan (barisan pemuda) : sebanyak 5.600.000 orang,
Keibodan (kelompok pertahanan
sipil) : sebanyak 1.286.813 orang,
Shisintai (Korps Perintis) : sebanyak 80.000
orang,
Jibakutai (Korps Berani Mati) : sebanyak 50.000 orang,
Gakutai (Korps Mahasiswa) : sebanyak 50.000 orang,
Hisbullah (Korps Pemuda Muslim) : sebanyak 50.000 orang.
Mereka
mendapat latihan disiplin, baris-berbaris serta latihan militer dengan memakai
bambu runcing. Kelompok-kelompok ini dipersiapkan sebagai pendukung Peta, Heiho dan gyugun, dan Keibodan
diperbantukan kepada kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Jepang Menyerah Kepada Sekutu. Terjadi
Vacuum of Power
Kapitulasi Jepang secara
resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal
perang AS Missouri, di teluk Tokyo.
Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers mewakili tentara Sekutu.
Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada
12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral
Lord Louis Mountbatten,[18]
Supreme Commander South East Asia Command, mewakili
Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang
mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran
Jepang untuk Wilayah Selatan.[19]
Ada tiga hal yang dapat
dipetik sebagai hikmah zaman penjajahan Jepang, yaitu pertama, zaman pendudukan
Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah,[20]
karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat.
Namun justru tindakan tentara Jepang tersebut telah menumbuhkan rasa
senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung
lagi[21].
Kedua, mempercepat proses
pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Juga memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang
menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.
Dan ketiga, walaupun
sebenarnya untuk tujuan perang dan dan memantapkan kekuasaan mereka,
pembentukan Peta, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun
semi-militer bagi Seinendan, keibodan, dll.
dalam jumlah besar, memungkinkan -dalam waktu singkat- dibentuknya berbagai
satuan pasukan, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
sehingga ketika Belanda –dibantu oleh Inggris dan Australia- ingin berkuasa
kembali di wilayah bekas Hindia Belanda, mendapat perlawanan bersenjata yang
sangat sengit. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya Konferensi Meja
Bundar di Den Haag bulan November 1949, tentara Belanda tidak dapat mengalahkan
Tentara Nasional Indonesia.
Pernyataan
menyerah tanpa syarat diserukan oleh Kaisar Hirohito pada 15 Agustus 1945,
namun dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional
surrender) kepada sekutu baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September
1945. Ini berarti antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan)
di wilayah yang diduduki oleh Jepang antara tahun 1942 - 1945, termasuk bekas
jajahan Belanda, Nederlands Indië
(India Belanda).
Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Landasan Hukum Internasional
Proklamasi 17.8.1945
Pada 18 Agustus Sukarno
diangkat sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September
1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dalam Konvensi Montevideo
yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh benua Amerika pada 26
Desember 1933, disebutkan a.l.:
The
state as a person of international law should possess the following
qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c )
government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Namun ayat tiga konvensi
ini juga menyebutkan, bahwa eksistensi Negara tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan
sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan
integritas dan kemerdekaannya. Ayat
tiga tersebut berbunyi.
The
political existence of the state is independent of recognition by the other
states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity
and independence, to provide for its conservation and prosperity, and
consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its
interests, administer its services, and to define the jurisdiction and
competence of its courts.
The
exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the
rights of other states according to international law.
Dengan demikian, tiga
syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi
Montevideo, yaitu
a. Adanya penduduk yang
permanen,
b. Adanya wilayah tertentu
c. adanya pemerintahan, dan
d. Kemampuan untuk menjalin
hubungan internasional.
Sebagaimana diterangkan
pada Ayat 3, bahwa butir ke empat Ayat satu tidak menjadi syarat utama,
sehingga walaupun tanpa adanya pengakuan, Negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan
kemerdekaannya.
Pada tahun 1946, Liga Arab
memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947
Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul
oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda
melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, keempat syarat
konvensi Montevideo telah terpenuhi.
Landasan
Politis dan Moral
Gagasan untuk memberikan
hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, telah tercetus sejak akhir
abad 19. Dalam kongres internasional para buruh dan serikat sosialis (The International Socialist Workers and
Trade Union Congress) yang diselenggarakan di London . dari 26 Juli – 1
Agustus 1896, dideklarasikan:
“This Congress declares that it stands for the
full right of all nations to self-determination [Selbstbestimmungsrecht]…”
Dalam kongres ini pertama
kali diformulasikan gagasan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri
(Right for selfdetermination of all
nations). Vladimir Ilyich Lenin, dari bulan Februari – Mei 1914 juga
menulis mengenai “The Right of Nations to
Self-Determination.” Tulisannya dimuat dalam journal Prosveshcheniye Nos. 4, 5 dan 6, yang diterbitkan pada bulan April - Juni 1914. Dia mencantumkan
namanya sebagai V. Ilyin.
Awalnya, yang dimaksud oleh
kaum sosialis dan Marxis adalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan bentuk
Negara/pemeritahan sesuai yang dikehendaki oleh rakyatnya. Tujuannya adalah
mengganti sistim monarchi dengan sistim republik. Namun kemudian kalimat ini,
yang sangat dikenal dalam bahasa Jermannya sebagai Selbstbestimmungsrecht, kemudian berkembang untuk bangsa-bangsa
terjajah menentukan nasibya sendiri.
Adalah Presiden Amerika
Serikat, Woodrow Wilson, untuk mengambil hati Negara-negara jajahan dan
bangsa-bangsa terjajah, yang menghubungkan hak menentukan nasib sendiri dengan
situasi penjajahan. Dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di
muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan menjelang berakhirnya perang
dunia pertama, butir lima konsepnya, Wilson telah menyebut mengenai klaim atas
suatu jajahan, harus juga disesuaikan dengan keinginan penduduknya. Wilson
menulis:[25]
“ A free, open-minded, and absolutely
impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict
observance of the principle that in determining all such questions of
sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight
with the equitable claims of the government whose title is to be
determined.”
Pada 14 Agustus 1941,
Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston
Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga
menyebutkan: [26]
“ …Third, they respect the right of
all peoples to choose the form of government under which they will live; and
they wish to see sovereign rights and self government restored to those who
have been forcibly deprived of them …”
Butir tiga ini yang dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples
…” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic
Charter
ini kemudian menjadi salahsatu butir yang tercantum dalam United Nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San
Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan
butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“… To develop friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal rights and
self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to
strengthen universal peace…”
Sehubungan dengan Atlantic Charter ini, Ratu Belanda,
Wilhelmina, dalam pidato radio yang disampaikannya ketika berada di tempat
pelarian di London pada 7 Desember 1942, mendukung butir tiga dalam gagasan Atlantic Charter. Pidato ini
disampaikannya tepat satu tahun setelah dimulainya Perang Pasifik, yang diawali
dengan penyerangan Jepang terhadap pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.
Sistim monarchi konstitusional yang dianut oleh Kerajaan Belanda membuat Ratu
Belanda tidak mempunyai kekuatan politik, dan hanya dapat memberikan dukungan
moral. Dia mengatakan a.l.:[27]
“… A political unity which rests on
this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the
United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the
Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it
contains our own conception of freedom and justice for which we have
sacrified blood and possessions in the course of our history ...”
Mengenai definisi suatu
bangsa, lazim digunakan formulasi dari Otto Bauer, seorang negarawan dari
Austria yang mengatakan, bahwa: “Eine
Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.”
Yang artinya, Suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki ciri/watak
yang sama, yang lahir dari masyarakat yang senasib. Definisi ini sesuai a.l.
untuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Pernyataan
Kemerdekaan Tidak memerlukan Pengakuan
Kemerdekaan Indonesia
dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power, artinya tidak ada kekuasaan suatu Negara, oleh
karena itu, deklarasi kemerdekaan Indonesia bukan suatu pemberontakan terhadap
Negara manapun, juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada pemerintah yang
digulingkan. Periode 1945 – 1949 juga bukan perang kemerdekaan, melainkan
perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Negara lain.
Pada dasarnya, satu negara baru tidak memerlukan landasan hukum
internasional apapun dan pengakuan dari siapaun, baik Penjajah ataupun Negara
lain, sepanjang negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri. Hal ini merujuk pada
pernyataan kemerdekaan Belanda yang melepaskan diri dari penjajahan Spanyol
tahun 1581, dan kemudian mendirikan Republik Belanda. Republik Belanda sanggup
mempertahankan kemerdekaannya dari serangan tentara Spanyol.
Demikian juga halnya dengan Amerika Serikat (USA) yang
mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, dan sanggup mempertahankan
diri dari serangan tentara Inggris, sang penjajah.
Kemerdekaan USA menginspirasi negara-negara Amerika Latin
yang masih dijajah oleh Spanyol. Diawali dengan pemberontakan di Bolivia
tanggal 25 Mei 1809. Bolivia menyatakan kemerdekaan pada 6 Agustus 1825.
Kemudian berturut-turut negara-negara Amerika Latin menyatakan kemerdekaan dan
melepaskan diri dari penjajahan Spanyol.
Brasil, yang akibat Traktat Tordesillas tahun 1494
menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang menjadi jajahan Portugal,
tanggal 7 September 1922 menyatakan kemerdekaannya.
Tanggal 26 Desember 1933, 19 negara di Amerika
mencetuskan Konvensi Montevideo, yang isinya adalah Hak dan Kewajiban suatu
Negara..
Tahun 1830 Belgia memisahkan diri dari Belanda. Belanda
tidak berani menyerang Belgia karena Perancis menyatakan dukungannya terhadap
Belgia.
Pengakuan dari seluruh dunia tidak menghentikan agresi militer dari
suatu negara atau koalisi Negara, seperti yang dialami a.l. oleh Panama ketika
tentara Amerika Serikat menyerbu Panama hanya untuk menangkap Presiden Panama
Manuel Noriega untuk diadili di Amerika sebagai gembong narkoba. Demikian juga
ketika Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak untuk menangkap Presiden
Irak Saddam Hussein, dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal, yang
kemudian tidak terbukti.
Dengan demikian jelas
adanya, bahwa dipandang dari berbagai segi, proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional,
maupun dari segi politis, moral, Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Bangsa (HAB) dan Hak Asasi Negara (HAN)
Wilayah
Republik Indonesia: Berdasarkan uti
possidetis juris
Uti
possidetis juris
adalah hukum internasional yang diadopsi dari hukum Romawi, mengenai batas
wilayah suatu Negara yang pernah dijajah atau dikuasai oleh negara lain. Ini
dilakukan oleh Negara-negara di Amerika Selatan setelah bebas dari penjajahan
Spanyol dan Portugal. Demikian juga dengan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan
Yugoslavia. Juga ketika Ceko dan Slovakia memisahkan diri, mereka sepakat
dengan batas-batas administrasi yang ada sebelum pemisahan kedua negara
tersebut.
Dengan demikian,
berdasarkan uti possidetis juris,
wilayah Republik Indonesia adalah wilayah bekas Nederlands Indië (India Belanda) termasuk Irian Barat, yang dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB), tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia
Serikat (RIS). RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950,
Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Irian barat masuk ke dalam
wilayah Republik Indonesia tahun 1969, berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA), yang difasilitasi oleh PBB (Perserikatan Bangsa bangsa).
Batas wilayah Nederlands Indië terakhir ditentukan
berdasarkan Territoriale Zee en Maritime
Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Namun batas
wilayah ini masih menggunakan ukuran 3 mil dari pantai. TZMKO ini kemudian
diganti dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on
the Law of the Sea/UNCLOS ’82), termasuk mengenai batas wilayah suatu Negara Kepulauan.
Dalam sengketa antara Republik Indonesia dengan Malaysia sehubungan
dengan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, salahsatu dasar pertimbangan dari
Pengadilan Internasional (International
Court of Justice) di Den Haag, Belanda, untuk memenangkan Malaysia adalah
berdasarkan Uti Possidetis Juris.
Di peta Inggris, ketika masih berkuasa atas Malaysia (Malaya), kedua
pulau tersebut termasuk wilayah Inggris, sedangkan kedua pulau tersebut tidak
ada di peta Belanda, ketika masih menguasai Nederlands
Indië (India Belanda).
Republik Indonesia adalah NEGARA BANGSA (Nation State)
Pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, selain
terbentuknya suatu Negara baru, juga “melahirkan” satu NEGARA BANGSA (Nation State). Negara ini merupakan
penyatuan Negara-negara berdasarkan etnis yang berada di wilayah bekas
Nederlands Indie.
Negara baru ini menaungi berbagai etnis dan ras, akibat dari perdagangan
budak di masa penjajahan, membentuk suatu bangsa baru, yang sesuai dengan
definisi bangsa yang disebutkan oleh negarawan Austria, Otto Bauer, yaitu:
“Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwchsene
Charaktergemeinschaft” (Suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki
persamaan ciri (karakter/sifat), yang timbul dari persamaan nasib.
Definisi dari Otto Bauer ini kemudian berkembang dengan ditambahkan
atribut-atribut yang diberikan oleh para pemimpin bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, secara politis, hukum internasional, sosiologis dan
etnologis, bangsa Indonesia baru “ada” sejak 17 Agustus 1945.
Menyadari hal ini, Presiden RI pertama, Ir. Sukarno berusaha meyakinkan
seluruh rakyat Indonesia, bahwa sangat diperlukan NATION AND CHARACTER BUILDING
(Pembangunan Bangsa dan Jatidiri Bangsa).
Namun kelihatannya, sejak 50 tahun terakhir, hampir tidak ada yang
menyadari pentingnya yang disebut oleh Presiden Sukarno sebagai Nation and
Character Building. Perlahan-lahan generasi muda Indonesia larut dalam berbagai
budaya dari luar Nusantara.
Belanda Ingin
Berkuasa di Indonesia. Meminta Bantuan
Sekutunya
Berita mengenai proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat
mengejutkan pemerintah Belanda. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak
mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini sebagai
pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda, apabila Nederlands Indië tidak lagi di bawah
kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas
jajahannya akan hilang. Selain itu, pemasukan dari India Belanda menyumbang
hampir 10 % budget (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda. Slogan
yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (sebutan untuk jajahannya) hilang,
timbul malapetaka.
Namun setelah usai Perang
Dunia II, Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di
Belanda telah digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India
Belanda, ditaklukkan oleh balatentara Dai
Nippon tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di India Belanda, dimasukkan ke
kamp-kamp interniran. Setelah mereka dibebaskan dengan menyerahnya Jepang
kepada sekutu, kondisi fisik para
prajurit Belanda sangat menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit
mengakibatkan fisik mereka sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk
perang.
Setelah penyerahan wewenang
atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk
wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal MacArthur kepada Admiral Lord Louis Mountbatten,
Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah
Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris
menandatangani Civil Affairs Agreement
(CAA).
Konferensi
Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua
blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat
fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan
rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi
di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941.
Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi
Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di
sini terlihat, bahwa Atlantic Charter
–isinya terpenting adalah “hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri”
(Right for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt
dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka
seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini
segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti
juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji
muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada
para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada
Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa
dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus
berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.
Jumlah tentara Jepang yang
harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua
Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga
akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000
tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan
juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten
memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas
tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun
dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh
dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik
Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi
di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas
tersebut, Mountbatten membentuk Allied
Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia
Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred
Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris, yang juga
seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30
September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal
Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas
Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah
Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Tugas pokok yang diberikan
oleh pimpinan Allied Forces kepada
Mountbatten adalah:
1.
Melucuti
tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali
ke negaranya (The disarmament and removal
of the Japanese Imperial Forces),
2.
Membebaskan
para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara
(RAPWI - Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3.
Menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and
order).
Namun sejarah mencatat,
bahwa ternyata ada agenda rahasia (hidden
agenda) yang dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundigan antara
pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara
Sekutu dan tugas tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk
tugas-tugas tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara
Inggris-India (British-Indian Divisions).
Untuk memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara
Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead, yang sebelumnya berada di bawah
komando MacArthur di South West Pacific
Area Command.
Dengan demikian, Ingris dan
Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah
tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang
terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum
mampu untuk bertempur.
Politik Australia terhadap
Republik Indonesia baru berubah tahun 1948, setelah terlihat nyata, bahwa
Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia
memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan
kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan
berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang
baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Namun tidak dapat dipungkiri,
bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak
dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tak perlu terjadi pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia,
terutama di Sulawesi Selatan.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of
the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the
colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain
services.”
dan kalimat
berikutnya:
“……the local natives have declared a
Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before
the Japanese Invasion.”
menyatakan secara
jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada
Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada
sebelum invasi Jepang.”
Dua Divisi tentara
Australia ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi
dan Indonesia Timur lainnya. Kemudian, atas desakan pihak Belanda, Inggris
menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan di bagian timur, kecuali
Bali dan Lombok, kepada tentara Australia. Namun kemudian, Inggris juga
“menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok kepada tentara Australia,
sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris hanya Sumatera, Jawa dan
Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda
menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia Timur. Belanda sendiri pada
tahun 1945 belum dapat membentuk satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada
baru bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.
Pimpinan militer Inggris
tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena
belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa, tanggal 8 September 1945, Inggris
menerjunkan beberapa perwira marinir di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh
di Jakarta. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S.
J. Baron van Tuyll van Seroskerken, serta dua orang tentara Inggris dan tiga
orang tentara Belanda; mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan
untuk berhubungan dengan dunia luar.
Mayor Alan Greenhalgh dan
Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang
baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the relief of all
Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara,
organisasi ini kemudian dikenal dengan nama RAPWI –Recovery of Allied Prisoners of War and Internees.
28 Oktober 1945. Pertempuran Heroik di Surabaya
Di Surabaya dan sekitarnya pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dipelopori antara lain oleh K.R.M.H. Yonosewoyo, Sungkono, dr. Wiliater Hutagalung, Surachman, Abdul Wahab, R. Kadim Prawirodirjo, drg. Mustopo, dan lain-lain. Selain BKR, juga didirikan berbagai laskar dan pasukan pemuda, seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), dengan tokoh-tokohya seperti Isman dan Soebiantoro (Mas Biek).
Mulai bulan
September terjadi perebutan senjata dari tentara Jepang, yang dilakukan oleh
para pemuda Indonesia. Perebutan senjata ini banyak dilakukan melalui
pertempuran yang menelan korban jiwa cukup besar di kedua belah pihak.
Dalam waktu kurang dari dua
bulan di Surabaya dan sekitarnya telah terbentuk lebih dari 60 satuan BKR dan
Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata diperkirakan mencapai 30.000 orang.
Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, yang memperoleh pendidikan dan pelatihan militer atau
semi militer dari Jepang, yang semula dirancang untuk membantu Jepang dalam
pertahanan dan keamanan di India Belanda. Jenis persenjataan yang dimiliki dari
mulai senjata ringan, senjata setengah berat sampai senjata berat, tank dan
meriam kaliber besar, bahkan pesawat terbang.
Melihat bahwa Jepang kelihatan sangat mengalah kepada
Belanda dan bahkan memberikan berbagai fasilitas serta pengawalan bagi pimpinan
Belanda yang baru dilepaskan dari interniran, membuat kemarahan rakyat terhadap
tentara Jepang makin berkobar. Kalangan pejuang Republik di Surabaya semakin
kuat berprasangka, bahwa Jepang telah bekerjasama dengan Sekutu untuk
memberikan peluang kepada Belanda kembali menjajah Indonesia.
Hal ini terlihat dalam
“insiden bendera” pada 19 September 1945. Orang-orang Belanda yang baru
dibebaskan dari kamp interniran Jepang dan kemudian tinggal di Hotel Oranye
(kini Hotel Majapahit), pada 19 September 1945 menaikkan bendera Belanda,
merah- putih- biru. Para pemuda yang marah melihat hal itu, segera naik ke atas
hotel, kemudian merobek warna biru dan mengibarkan merah-putihnya kembali di atas hotel
tersebut.
Pada
25 Oktober 1945, Brigade 49 dari 23rd British-Indian Division yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara,
mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir
Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Mereka
segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di 8 tempat. Awalnya,
mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat,
namun karena mendapat tentangan yang sangat keras dari pimpinan Indonesia di
Surabaya, akhirnya mereka mengalah. Tanggal 26 Oktober 1945 dicapai kesepakatan
antara pimpinan Indonesia dengan komandan Brigade 49, Brigadir Mallaby, yang
isinya a.l.:
1. Yang
dilucuti senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. _(The disarmament shall be carried
out only in the Japanese Forces)._
2.
Tentara
Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan
dan perdamaian. (The Allied Forces will
assist in the maintenace of law, order and peace).
3.
Setelah
semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese Forces after being disarmed,
shall be transported by sea).
Pada 27 Oktober pukul
11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota langsung dari Jakarta, atas perintah Mayjen
Hawthorn, menyebarkan pamflet yang isinya adalah perintah, agar dalam waktu 2 x
24 jam, seluruh senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia diserahkan kepada
tentara Sekutu, dan setelah batas waktu tersebut, barangsiapa terlihat membawa
senjata, akan ditembak di tempat.
Isi pamflet ini jelas
bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui oleh
komandan tertinggi tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby.
Walaupun dikabarkan,
bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan adanya pamflet terserbut, namun dia
mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya
untuk mulai melucuti persenjataan yang dimiliki rakyat Indonesia di Surabaya.
Rakyat Indonesia di
Surabaya menilai bahwa pihak Inggris telah melanggar perjanjian. Pimpinan
militer Indonesia di Surabaya mempertimbangkan, apabila mereka menyerahkan
senjata kepada sekutu, maka Indonesia tidak mempunyai kekuatan samasekali untuk
mempertahankan diri, sedangkan apabila tidak menyerahkan senjata, akan ditembak
di tempat. Namun mereka juga melihat, bahwa tentara Inggris tidak mengetahui,
berapa kekuatan bersenjata di pihak Indonesia.
Dengan pedoman yang
diajarkan oleh pakar strategi militer Prusia, Jenderal Carl von Clausewitz,
bahwa “Angriff ist die beste Verteidigung”
(bahasa jerman, artinya: Menyerang adalah pertahanan yang terbaik) pimpinan
militer Indonesia memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan
Inggris.
Serangan total dilakukan
tanggal 28 Oktober 1945, pukul 4.30 pagi. Delapan pos pertahanan Inggris diserbu
oleh sekitar 30.000 BKR/TKR, TRIP, Laskar-laskar dan ditambah ribuan BONEK
serta
para Santri dari Pesantren-pesantren di Jawa Timur, termasuk dari Pesantren
Tebu Ireng. Para Bonek dan Santri benar-benar bermodal nekad, hanya dengan bersenjata bambu runcing,
clurit, pedang, golok dsb.
Hampir seluruh sukubangsa
yang ada di Indonesia terwakili oleh para PEMUDA PRIBUMI yang tergabung dalam berbagai pasukan/laskar, antara
lain Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS – Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi),
Pasukan Pemuda Kalimantan, Pasukan Sadeli Bandung, Pasukan Magenda Bondowoso,
TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Sriwijaya (sebagian besar berasal dari Aceh
dan Batak), Pasukan Sawunggaling, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, Pasukan
TKR Laut, Pasukan BKR/TKR Morokrembangan, Pasukan BKR Kereta Api, Pemuda
Ponorogo, Pasukan Jarot Subiantoro Pemuda Banten, Corps Pegadaian, Corps PTT,
Pasukan Pelajar (TRIP). Banyak pemuda-pemuda dari Papua, Maluku dan Pulau Rote
tergabung dalam berbagai laskar, dan bahkan ada Pasukan Narapidana Kalisosok
(penjara di Surabaya).
Dengan demikian, bersatunya
para pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap tentara Sekutu pada 28 Oktober
1945 merupakan perwujudan dari semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa
heroik ini terjadi *TEPAT 17 TAHUN* kemudian.
Setelah digempur total
selama sehari-semalam, tentara Inggris mengibarkan bendera putih, minta
berunding. Pada tahun 1975, seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith, dalam
suratnya kepada J.G.A. Parrot menuliskan, bahwa Brigjen Mallaby menyadari,
apabila pertempuran dilanjutkan, mereka akan disapu bersih (wiped out).
Mengenai dahsyatnya gempuran
pemuda Indonesia di Surabaya tersebut, Kolonel A.J.F. Doulton, dalam bukunya, The Fighting Cock: Being the History of the
Twenty-third Indian Division, 1942-1947. Aldershot: Gale and Polden, 1951, menulis:
“The
heroic resistance of the British troop could only end in the extermination of
the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the
mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence
of Sukarno.”
(Perlawanan heroik
dari tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali
ada seorang yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tak ada tokoh
seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Inggris tidak dapat
segera mendatangkan bantuan pasukan, baik dari Brigade Bethell di Jawa Tengah
–yang juga sedang menghadapi perlawanan rakyat Indonesia-, apalagi dari Malaya,
yang akan memerlukan waktu beberapa hari, sedangkan keadaan Brigade 49 di
Surabaya sudah sangat kritis.
Tak ada jalan lain, selain meminta
bantuan pimpinan Republik Indonesia di Jakarta, untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah
terkepung di pos-pos pertahanan mereka di dalam kota Surabaya.
Pimpinan tentara Inggris menilai,
situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga malam itu juga tanggal 28 Oktober 1945, Presiden Sukarno yang sedang
tidur, didesak agar segera dibangunkan, dan diminta untuk membanu menyelesaikan ”The
Surabaya incindent”
Pada 29 Oktober sore hari,
Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir
Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang
disediakan oleh Inggris. Hari
itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu
dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic
Agreement regarding the
Surabaya-incident; a provisional agreement between *President Soekarno of the
Republic Indonesia*
and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”
Dokumen ini
menunjukkan, bahwa Inggris terpaksa mengakui Sukarno sebagai PRESIDENT OF THE REPUBLIC INDONESIA.
Enam butir isi perjanjian tersebut antara
lain:
-
Perjanjian
diadakan antara Panglima Tentara
Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk
mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
-
Untuk
menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak
harus diberhentikan.
-
Syarat-syarat
termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang
tempo hari (yang dimaksud adalah pamflet tanggal 27 Oktober 1945) akan
diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh
Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mengenai hal-hal
lain, dirundingkan dengan atasan Mallaby, Mayjen Hawthorn, yang datang ke
Surabaya keesokan harinya, tanggal 30 Oktober.
Dalam perundingan
pada hari itu, dicapai kesepakatan antara Bung Karno dengan Komandan Divisi 23,
Mayjen Hawthorn, yang isinya a.l.: mencabut perintah dalam pamflet tertanggal
27 Oktober, dan pengakuan terhadap keberadaan TKR dan polisi Indonesia.
Letkol. TNI (Purn.) dr.Wiliater Hutagalung dalam
Autobiografinya “Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa” menulis mengenai
peristiwa pengibaran BENDERA PUTIH dan kedatangan Presiden Sukarno ke
Surabaya.:
” Pasukan Sriwijaya segera mengepung markas Inggris yang
berada di dekat Jembatan Wonokromo dan mengadakan blokade total. Truk-truk yang
mengangkut logistik, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman dapat
dicegah. Akibatnya setelah dua hari digempur dan tidak menerima pengiriman
makanan dan minuman, mereka menaikkan bendera putih. Hal ini dilaporkan oleh
Abdoel Kenek kepada penulis. Abdoel Kenek, pemuda asal Aceh adalah salah
seorang anggota pasukan Sriwijaya bekas Gyugun yang dilatih Jepang.
Waktu itu penulis berada di sebelah
utara Sungai Brantas, di dekat Morokrembangan. Penulis segera menugaskan
Abdoel
Kenek bersama seorang temannya untuk memasuki pos pertahanan Inggris guna
menanyakan apa maksudnya bendera putih tersebut. Tak lama kemudian Abdoel Kenek kembali bersama dua orang
tentara Inggris. Seorang kapten dan seorang sersan. Sang kapten memperkenalkan
diri sebagai Captain Flower asal Australia.
Setelah ngobrol basa-basi, penulis
segera mengatakan: “We accept your unconditional surrender. Leave all your
weapons and we will carry you out with our trucks.” (kami menerima menyerah
tanpa syarat dari anda. Tinggalkan semua senjata dan kami akan angkut kalian
dengan truk-truk kami).
Sebenarnya mereka tidak mempunyai pilihan lain, akan tetapi
persyaratan yang kami majukan tampaknya terlalu berat bagi pimpinan sekutu,
terutama tentara inggris. Bila pada waktu itu pertempuran dilanjutkan, dengan
perimbangan kekuatan yang ada, mereka akan hancur. Tanggal 29 Oktober Inggris berhasil
mendatangkan Bung Karno dan beberapa anggota pimpinan Republik Indonesia ke
Surabaya dan mereka mendesak Bung Karno untuk membatalkan persyaratan tersebut,
serta membebaskan semua prajurit inggris tanpa syarat.
Bung karno menyetujui untuk melepaskan mereka lengkap
dengan persenjataan mereka. Pimpinan Republik Indonesia pada waktu itu tidak
menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan inggris apalagi melawan
tentara sekutu.
Bagi kami di Surabaya hal ini menimbulkan masalah yang
besar. Kami dihadapkan pada dua pilihan yang tidak enak : mengikuti permintaan
Bung Karno berarti ibarat kucing melepaskan tikus yang sudah ada di mulut.
Tidak mematuhi, berarti tidak mengakui Presiden dan akan dianggap sebagai
pasukan liar.
Akhirnya kami tunduk pada perintah Presiden. Pertempuran
berakhir dengan gencatan senjata pada tanggal 30 0ktober 1945. Bung karno dan
rombongan segera kembali lagi ke Jakarta.
Setelah disepakati
truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, Presiden Sukarno beserta rombongan
pulang ke Jakarta. Pimpinan sipil dan militer Indonesia, serta pimpinan militer
Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil untuk
menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Mallaby juga berada di dalam rombongan
militer Inggris.
Dari 8 pos pertahanan
Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung
_Lindeteves_ dan Gedung _Internatio_ yang masih ada tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pos pertahanan Inggris terakhir yang juga masih terjadi tembak-meembak.
Ketika rombongan tiba
di lokasi tersebut pada petang hari, nampak bahwa gedung tersebut tengah
dikepung oleh ribuan pemuda Indonesia dan menghujani Gedung Internatio dengan
tembakan.
Setelah meliwati
Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung.
Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa,
supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw mewakili
tentara Inggris, sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Mohammad Mangundiprojo
dan T.D. Kundan yang fasih berbahasa Inggris.
Mereka ditugaskan
masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di
dalam gedung, mengenai hasil kesepakatan antara Inggris dengan Indonesia.
Mallaby ada di dalam
mobil yang diparkir di depan Gedung _Internatio._ Beberapa saat setelah
rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung. Tak lama
kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung
dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar satu jam.
Setelah
tembak-menembak berhasil dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby
sendiri ditemukan telah tewas.
Pada tanggal 31 Oktober
1945, Panglima AFNEI Letnan
Jenderal Philip Christison mengeluarkan pernyataan dengan nada ancaman yang
sangat keras:
Warning to
Indonesia!
*”... On 28 th October* a large number of armed
Indonesians in Surabaya attacked without warning or provocation British forces,
which had landed there peacefully for the purpose of disarming and
concentrating the Japanese forces, of bringing relief to prisoners of war and
internees, and of maintaining law and order in the area occupied by them.
Subsequently
these Indonesians broke the truce which had been agreed in the presence of Dr.
Sukarno and Mohammad Hatta, and foully murdered Brigadier Mallaby, who had to
parley with them.
These
direct and unprovoked attacks upon British cannot in any circumstances be
permitted, and unless the Indonesians who have committed the acts surrender to
my forces, I intend to bring the whole weight of my sea, land and air force and
all weapons of modern war against them untill they are crushed.
If
in this process, Indonesian should be killed or wounded, the sole
responsibility will rest with those Indonesians who have committed the crimes I
have named ...”
Inti pernyataannya adalah:
1. Orang-orang
Indonesia melanggar gencatan senjata (truce),
2. Membunuh Brigjen Mallaby secara licik.
Kedua alasan ini
dijadikan alasan untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan membom kota Surabaya
secara membabibuta yang dimulai tanggal 10 November 1945..
Tewasnya
Mallaby memang masih kontroversial, namun mengenai siapa yang memulai menembak,
di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian-kesaksian justru datang dari pihak
Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris dan cocok dengan
keterangan-keterangan para pelaku sejarah dan saksi mata di pihak
Indonesia..
Pada pertempuran yang
berlangsung di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, Inggris mencatat
kehilangan 18 perwira, termasuk Brigjen AWS Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder-Symonds
serta 374 serdadu yang tewas, luka-luka dan hilang. Sedangkan di pihak
Indonesia diperkirakan sekitar 6.000 orang yang tewas, luka-luka dan
hilang.
Tentara Inggris
kehilangan potensi perangnya sekitar 8% anggota tentaranya. Angka yang sangat
tinggi untuk Pemenang Perang Dunia II, mengingat sebagian terbesar dari para
Arek Suroboyo tidak memiliki pengalaman tempur. Banyak yang baru pertama kali
menggunakan senjata.
Di sini letak
kebanggaannya, bahwa para PEMUDA PRIBUMI dari seluruh pelosok Indonesia, TEPAT
17 TAHUN SETELAH SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928 berhasil memaksa PEMENANG PERANG
DUNIA II MENGIBARKAN BENDERA PUTIH.
Dalam laporan rahasia kepada
atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer Inggris di
Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan:[30]
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town.
Had General Hawthorn, the General
Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and
political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him
and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of
Sourabaya may well have been different.”
10 November 1945. Pemboman Inggris atas Surabaya
Dalam waktu singkat dan secara
diam-diam tentara Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah
sangat besar. Ini meupakan mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang
Dunia II usai.
Pada 1 November, Laksamana Muda Sir.
W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500
Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian
Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya
tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000
tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat
terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, Afrika Utara di mana
pasukan Marsekal Rommel, perwira tinggi Jerman yang legendaris dikalahkan.
Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di
bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby.
Armada di bawah komando Captain
R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu;
kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal
pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah
skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian
diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan
artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga
dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8
pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo.
Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh
menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang
ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”.
Yang kedua merupakan rincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan
sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul 14.00. adalah :
“November, 9th. 1945.
TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.
On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander
Allied Land Forces, East Java.
Instructions
My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms
are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.
(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East
Java
Mansergh telah menyusun “orders”nya
pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak akan mungkin
dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia
termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala Radio
Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus
datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata
tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan,
setelah itu orang-orang Indonesia itu harus mendekat dengan kedua tangan mereka
di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani
dokumen menyerah tanpa syarat.”
Dalam butir dua ini sangat jelas
tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang
sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan
sipil dan militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai
pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA
SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah:
senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing,
tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan
sipil dan militer di Surabaya memutuskan, untuk tidak menyerah kepada tentara
Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan
memulai pemboman dan penembakan dari meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan
hari pertama berlangsung sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang
dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti
daerah pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan
juga pasar-pasar. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan
tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga
mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak menduga akan kekejaman perang
modern. Residen dan Walikota segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan
anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga
berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional mengatakan,
bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang
bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena
mayat-mayat tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit
menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya
ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia,
David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu
per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan
kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan;
gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon
bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah
gedung-gedung kantor yang kosong...
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri
secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati
menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi
dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa
berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di
pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat
kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan
mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis:
Pihak Inggris menemukan di
puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia
ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi,
kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita,
maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di
makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan,
Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat
lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar
16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan
rekan-rekan dokter serta paramedis lain, Kolonel dr. Wiliater Hutagalung
memperkirakan, korban tewas akibat agresi militer Inggris dapat melebihi angka
20.000, dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak
menduga akan adanya serangan tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja
diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka,
termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah
sakitnya ikut terkena bom.
Menurut Woodburn Kirby, korban di
pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 22 November 1945 di Jawa tercatat
608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183
prajurit.
Hampir semua adalah korban
pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di pihak Inggris sebenarnya lebih
tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris dalam
pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas,
luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak
Inggris dalam pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai
1.500 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa
sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan melakukan desersi dan bergabung
dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of
Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved that
Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a
people-wide, tough and urgent affair.”
Willy Meelhuijsen mengutip tulisan
seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:[31]
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support. No longer could any serious observer defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya
merupakan satu dari lima pertempuran dan perlawanan terhadap tentara Inggris
–di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran “Medan-Area,” Pertempuran Bojong
Kokosan (Jawa Barat) dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari,
bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan
Inggris sebagai tulang punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke
meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan
Linggajati.
Ibukota RI Pindah Ke
Yogyakarta
Dengan ikut di
boncengan tentara Inggris, tentara Belanda dapat masuk ke wilayah Republik Indonesia. Tentara
Belanda dinyatakan sebagai bagian dari RAPWI. Namun ternyata di seluruh wilayah
Indonesia, tentara Belanda terus merekrut bekas anggota KNIL, dan mulai
melakukan teror dan pembunuhan terhadap pendukung Republik Indonesia.
Apabila tentara Belanda
melihat ada orang yang mengenakan lencana merah putih, maka orang itu dipaksa
untuk menelan lencana tersebut. Tentara Belanda juga sering menembak secara membabi-buta,
bahkan di Jakarta mereka menembak ke arah mobil-mobil pejabat Republik
Indonesia.
Di beberapa kota, karena
adanya ancaman dari pihak Belanda, penyelenggaraan pemerintahan di pihak
Republik Indonesia terpaksa dipindahkan ke luar kota.
Demikian juga di Jakarta, Ibukota
Republik Indonesia, makin mencekam, dan akhirnya Presiden Sukarno memutuskan
untuk memindahkan pemerintahan ke kota lain.
Pada 2 Januari 1846, Sultan
Hamengku Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai tempat untuk menyelenggarakan
roda pemerintahan Republik Indonesia. Presiden Sukarno menyambut baik tawaran
tersebut, karena Yogyakarta dinilai paling aman untuk pimpinan Republik
Indonesia.
Pada 4 Januari 1946, di
pagi buta, Presiden, Wakil Presiden dan para menteri serta keluarganya, dengan
cara yang sangat rahasia, naik kereta api khusus yang disediakan oleh Djawatan
Kereta Api (DKA). Kediaman Presiden Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur terletak
tepat dekat jalur kereta api dari Gambir menuju Yogyakarta.
Kereta api berhenti tepat di
belakang kediaman Presiden Sukarno, dan kemudian Presiden beserta rombongan
berhasil masuk ke kereta api, tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Perjalanan ke
Yogyapun berlangsung dengan lancer dan aman.
Sejak itu,
Yogyakarta menjadi Ibukota RI sementara. Setelah Republik Indonesia Serikat
(RIS) diresmikan pada 27 Desember 1949, maka Batavia (tanggal 30 Desember 1949
diganti menjadi Jakarta) menjadi Ibukota RIS.
Belanda Memperkuat Tentaranya di Indonesia
Sementara
itu Inggris secara resmi mengizinkan masuknya tentara Belanda ke Indonesia.
Selama ini, tentara Belanda berlindung di balik kedok RAPWI dan sebagai pejabat
sipil di NICA (Netherlands Indies Civil Administration), karena
Pemerintah Republik dengan tegas menentang masuknya tentara Belanda kembali ke
Indonesia, dan Inggris yang tidak ingin adanya konflik terbuka dengan pihak
republik, masih menahan masuknya tentara Belanda secara resmi ke Indonesia.
Pimpinan
militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara
yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera
setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda,
Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan
infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.
Pada
3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke
Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari perwira Belanda yang berasal
dari Korps Insulinde. Setelah itu,
realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat. Pada 12
Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan
KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan
penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan
segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di India Belanda.[32]
Pada
13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang
pernah bertugas di Korps Insulinde,
dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para.
Pada 15 Maret 1946 secara resmi School
voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis)
didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya.[33]
Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda
kedua pada 19 Desember 1948 untuk diterjunkan di bandara Maguwo dan di atas
Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.
Agar
supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat
jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas
pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April
tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya
dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.
Yang
dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m
dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari
Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut
dilatih di sini. Mereka bukan saja berasal dari suku Ambon dan Menado,
melainkan juga orang Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan dari etnis
Cina. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga
banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang
Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.[34]
Pada
1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e
para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar,
yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut
dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein
Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari
kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan
Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.[35]
Untuk
Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh
tentara Inggris di Birma. Perwira Inggris yang legendaris, Jenderal Mayor
Charles Orde Wingate (1903 – 1944) membentuk pasukan khususnya yang sangat
terkenal yaitu “The Chindits”, yang
mampu menerobos garis pertahanan Jepang untuk kemudian beroperasi dari belakang
garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga banyak
dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.
Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan
Desember 1945, Kapten KNIL W.J. Schneepens[36]
mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciaale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL. Gagasan ini
kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan
pusat pelatihan yang dinamakan Depot
Speciale Troepen – DST (Unit Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di
bawah Directoraat Centrale Opleidingen
- DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E.
Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani
pelatihan pasukan yang akan dibentuk di India Belanda. Kamp dan pelatihan DST
ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.[37]
Sejak
20 Juli 1946, Letnan II (Cadangan) Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan
khusus ini. [38]
Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai
diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap
sebagai Letnan II (Cadangan).[39]
Namun dengan latar belakang gemblengan yang luar biasa kerasnya di Achnakry,
Skotlandia, dia berhasil meningkatkan mutu pasukan yang dipimpinnya menjelang
penugasan ke Sulawesi Selatan. Setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat
pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan dan
namanya membumbung tinggi, dan diberi kepercayaanya untuk tetap memegang
komando pasukan elit ini, dan kemudian pangkatnya naik menjadi kapten.
Persetujuan
Linggajati[40]
Di
kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim
seorang diplomat senior lain, Lord
Miles Lampson Killearn,[41]
menggantikan Sir Archibald
Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik; Sir Archibald Clark Kerr kemudian
begelar Lord Inverchapel dan mendapat
tugas di Washington.[42]
Letnan
Jenderal Sir Philip Christison, yang
paling dibenci oleh Belanda, diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada
Inggris yang bersama Sir Thomas
Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811.
Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak
menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan
intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der
Post:[43]
“I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than
this mess of pottage you have in Indonesia.”
Stopford
kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5,
yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari
Indonesia pada akhir bulan November 1946.
Gilbert
MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian
diangkat menjadi The British Minister in
Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia dia membuat laporan kepada
Pemerinrah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa keganasan perilaku
Belanda dan para serdadunya terhadap rakyat Indonesia telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai
laporan Mackereth, van der Post menulis:[44]
“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the
end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and
their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British
soldiers.”
Sayang
MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal atau di tengah, melainkan
di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga keganasan tentara Belanda serta
antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak dapat diketahui di Inggris.
Selain itu MacKereth juga tidak menutupi kekejaman tentara Inggris terhadap
rakyat Indonesia, terutama di Surabaya.
Inggris,
sekarang diwakili oleh Lord Killearn,
memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946.[45]
Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi
Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem
Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan
berlakunya gencatan senjata.
Hal
ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik
seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan
para prajurit yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, mulainya Perang
Dunia II yang pecah di Eropa- kembali ke negaranya.
Pada
11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon,
sehingga perjanjian tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati.
Agresi I. Belanda Melanggar Perjanjian Linggajati
Naskah
tersebut yang diparap di Jakarta pada 15 November 1946, tidak segera mendapat
dukungan yang mulus, baik di pihak Republik mau pun di pihak Belanda. Pada 20 Desember
1946, Tweede Kamer di Belanda
menerima Naskah setelah dilakukan voting
dengan suara 65 lawan 30.
Tanggal
25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai DPR Sementara, bersidang di
Malang, guna membahas Persetujuan Linggajati. Selain yang hadir sebagian besar
adalah pengikut Syahrir, terhadap para penentang Persetujuan tersebut
dilancarkan berbagai intimidasi.
Bahkan
dalam rapat pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta
akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan Linggajati tidak disahkan. Akhirnya
Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada
25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir, Jakarta.
Di
kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi
kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka”,
hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Sutan Syahrir
jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap, yang waktu itu
masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.
Setelah
selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus
memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan
Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur,
sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” diselenggarakan pertemuan lanjutan di
Pangkal Pinang tanggal 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar
“Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946.
Pulau
Bali ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Menjelang persiapan
“Konferensi Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan
Belanda.
Tanggal
19 November 1946, Pasukan Ciungwanara
menyerang Tabanan. Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946
pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat desa
Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari udara.
Setelah
melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut
diikuti oleh anak buahnya, dan mereka bertempur sampai titik darah terakhir.
Jam 17.00 pertempuran berakhir. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai
bunga bangsa, bersama 96 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November
1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana. Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda,
yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat mendukung
mereka.
Kekuatan
pendukung Republik di Indonesia Timur terlihat dalam pemilihan Presiden Negara
Indonesia Timur pada “Konferensi Besar” pada bulan Desember 1946 di Denpasar,
di mana Cokorde Gde Raka Sukawati hanya menang tipis, yaitu 36 lawan 32, atas saingannya,
Mr. Tajuddin Noor, yang -sebelum dibubarkan Belanda tanggal 8 September 1946-
adalah Ketua Partai Nasional Indonesia di Sulawesi. Mr. Tajuddin Noor adalah
pendukung Republik, dan menjadi oposisi yang vokal dalam Negara Indonesia Timur
(NIT) bentukan van Mook.
Setelah berhasil mendirikan
Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Cokorde Gde Raka Sukawati sebagai Presiden
dan Najamuddin Daeng Malewa sebagai Perdana Menteri, pada 25 Desember 1946,
Belanda membentuk Negara Sumatera Timur, dengan dr. Tengku Mansur, yang masih
kerabat Sultan Deli, sebagai Wali Negara.
Pada 4 Mei 1947 van Mook
kembali menunjukkan “keberhasilannya” dalam politik divide et impera dengan membentuk “Negara Pasundan” dan mengangkat
Surya Kartalegawa sebagai “Kepala Negara”, namun Kartalegawa sendiri kurang
mendapat dukungan dari rakyat Jawa Barat. Setelah itu, pada 9 Mei 1947 Belanda
mendirikan “Dewan Federal Borneo Tengah” dan pada 12 Mei 1947 mendirikan
“Daerah Istimewa Borneo Barat”, dengan Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai
“Kepala Negara.”
Sejarah
mencatat, bahwa Belanda –seperti juga Inggris sebelumnya- berkali-kali
melanggar kesepakatan ataupun perjanjian yang telah ditandatangani, baik oleh
pimpinan sipil maupun militer.
Nampaknya,
bagi mereka perjanjian dengan pimpinan dari negara bekas jajahan seperti tidak
ada artinya –ini jelas pelecehan yang sangat merendahkan harga diri sebagai
bangsa yang berdaulat. Selain terus membentuk negara-negara boneka di wilayah
yang mereka kuasai, tentara Belanda terus melancarkan serangan-serangan
terhadap daerah-daerah yang resmi dikuasai oleh Republik.
Tanggal 15 Juli van Mook
mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km.
dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Persetujuan
Linggajati ini dilanggar Belanda dengan melancarkan agresi militer pada tanggal
21 Juli 1947 yang menggunakan kode "Operatie Product",
kemudian dikenal sebagai Agresi I.
Sesuai dengan namanya, tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah
perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama
minyak.
Namun
sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini
sebagai Aksi Polisional, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam
negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato
radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan
Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai
113.000 orang, dengan persenjataan yang modern.
Serangan
di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara
Belanda sejak tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J.A.Moor menulis
agresi militer I Belanda dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera,
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus
serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan
tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa
Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan
pabrik-pabrik gula.
Pada
agresi militer pertama ini, Belanda juga menggunakan kedua pasukan khusus,
yaitu Korps Speciaale Troepen (KST)
dan Pasukan Para I. Pasukan KST (perkembangan dari DST) yang sejak kembali dari
Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di
Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi
tentara Belanda yang menggunakan kode "Operatie Product",
berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat penting dari Republik, seperti:
minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan.
Belanda
ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk
Inggris, yang kini tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas
permintaan India dan Australia, tanggal 31 Juli 1946 masalah agresi militer
yang dilancarkan Belanda, dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB yang
kemudian setelah bersidang, mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus
1947, yang isinya menyerukan agar pertikaian bersenjata dihentikan.
Syahrir
memimpin delegasi Republik Indonesia dan tiba di Amerika pada 5 Agustus 1947.
Seminggu kemudian delegasi Indonesia diterima Security Council (Dewan Keamanan) PBB. Republik Indonesia secara
resmi mengadukan agresi Belanda tersebut, yang dinilai telah melanggar suatu
perjanjian internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Dewan
Keamanan PBB mengakui de facto eksistensi Republik Indonesia dan dalam semua
resolusi sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama
INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies.
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian
resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, serta resolusi No. 36, tanggal 1
November 1947, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan “The Indonesian Question.”
Atas
tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda
menyatakan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947,
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan
Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan
Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk
Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena
beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia
yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland
dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham. KTN ini ditugaskan untuk
berangkat ke Yogyakarta.
Karena Komite ini tidak
bisa segera berangkat ke Indonesia, maka PBB memberikan mandat kepada beberapa
Konsul Jenderal yang ada di Jakarta, yaitu dari Amerika Serikat, Australia,
Belgia, Cina, Inggris dan Perancis, untuk membentuk Komisi Konsuler, yang
diketuai oleh Dr. Walter Foote, Konsul Jenderal Amerika Serikat.
Komisi ini dibantu oleh
beberapa perwira Amerika Serikat dan Prancis, sebagai pengamat militer dan akan
mengawasi pelaksanaan gencatan senjata serta menjadi fasilitator perundingan
antara pihak Republik dengan pihak Belanda. Namun Belanda menolak untuk menarik
kembali tentaranya batas demarkasi sebelum agresi militer mereka, dan tanggal
29 Agustus 1946, van Mook mengajukan batas yang dinamakan “garis van Mook”,
yang adalah pelanggaran batas demarkasi yang ditetapkan dalam Persetujuan
Linggajati.
Persetujuan Renville
Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan
antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral, karena Pemerintah Republik
Indonesia menolak berunding di Jakarta.
Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Dan yang sangat luar biasadi
sini adalah, delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul
Kadir Wijoyoatmojo. Di sini terlihat jelas keberhasilan politik divide et impera Belanda yang dapat
menampilkan seorang pribumi untuk menghadapi bangsanya sendiri.
Pada perundingan di kapal Renville tersebut, Belanda kembali
menunjukkan keunggulan berdiplomasi dalam perundingan dan di lain pihak,
Indonesia menunjukkan kelemahannya. Belanda bersikukuh dengan sikap mereka,
yaitu tidak bersedia mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer, dan
tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan “Garis van Mook”
setelah agresi mereka.
Garis van Mook itu untuk
Belanda merupakan “Dream Line” (garis
impian) dan dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah yang sangat
besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan
sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, terutama minyak dan hasil
pertambangan lain.
Tanggal 17 Januari 1948,
selain disepakati adanya gencatan senjata, juga ditandatangani kesepakatan,
yang kemudian dikenal sebagai “Persetujuan Renville.”
Pembentukan PDRI
Sesuai
dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden
membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Hatta adalah sebagai berikut:[46]
Kami Presiden
RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6
pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam
keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan
pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk
membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.
Yogyakarta,
19 Desember 1948
Presiden Wakil
Presiden
Sukarno Mohammad
Hatta
Selain itu, untuk menjaga
kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera,
juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf
Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri
Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya:
Pro: dr.
Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar
Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak
berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk “Exile
Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan
tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.
Yogyakarta,
19 Desember 1948
Wakil Presiden Menteri
Luar Negeri
Mohammad Hatta Agus
Salim
Empat Menteri yang ada di
Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap
adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J.
Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.
Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang
memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan,
agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948,
keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada
seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di
Jawa. Isi surat tersebut adalah:[47]
I.
Dipermaklumkan
bahwa dalam rapat Dewan Menteri tanggal 16 Desember ybl. Telah diputuskan,
bahwa selama P.Y.M. Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, pimpinan
Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri, yaitu:
1.
Menteri Dalam Negeri, 2. Menteri Kehakiman, 3. Menteri Perhubungan.
II.
Dari
3 Menteri tersebut tadi pada waktu ini 2 orang yaitu Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Kehakiman berada di suatu tempat di luar daerah Yogyakarta. Selain
daripada beliau-beliau itu di tempat tersebut juga berada Menteri Persediaan
Makanan dan Menteri Pembangunan dan Pemuda.
III.
Berhubung dengan sejak tanggal 19 Desember 1948 hubungan
dengan Yogyakarta terputus, maka 2 orang Menteri tersebut di atas juga duduk
dalam pimpinan Pemerintahan Pusat, menganggap perlu mengusahakan agar
pemerintahan dapat terus berjalan seperti biasa.
IV.
Untuk keperluan ini, selama Menteri yang bersangkutan
berhalangan mengerjakan tugasnya, diadakan pembagian pekerjaan sebagai berikut:
a.
Pekerjaan Kementerian Pertahanan, Kementerian Agama dan
Kementerian Perhubungan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, yang
juga memimpin Kabinet.
b.
Pekerjaan Kementerian Keuangan, Kementerian Kemakmuran
dan Kementerian Pekerjaan Umum dipimpin oleh Menteri Persediaan Makanan Kasimo.
c.
Pekerjaan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian
Penerangan dipimpin oleh Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno.
d.
Pekerjaan
Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kehakiman Mr.
Susanto.
Demikian pembagian kerja
yang diputuskan oleh keempat Menteri yang berada di Jawa.
Mendengar berita bahwa
tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar
pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr.
Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat
di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka
meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh di selatan kota
Payakumbuh.
Di Sumatera Barat, tentara
Belanda dapat menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari
kemudian masuk ke Bukittinggi.
Sejumlah tokoh pimpinan
Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22
Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. St. M. Rasyid, Kolonel Hidayat,
Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracaya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto,,
Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi
kawat Presiden Sukarno belum diterima,
tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam
rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan
sebagai berikut:[48]
1.
Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/Menteri
Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i.
2.
Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam
Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
3.
Mr.
St. M. Rasyid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
4.
Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
5.
Ir.
M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
6.
Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.
Kapten Dartoyo,
Kepala Perhubungan MBT Yogyakarta, menuturkan, berita mengenai pemberian mandat
tersebut dikirim melalui radiogram melalui pemancar radio AURI di Wonosari,
karena pemancar radio MBT telah dibom Belanda pada pagi hari itu.[49] Panglima
Besar Jenderal Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI.
Sekitar satu
bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan
PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan
untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Akhirnya, menanggapi usulan
PDRI, Mr. Susanto mengirim kawat kepada Prawiranegara yang isinya:
1.
Menarik
kawat Y.M. kepada Menteri Kasimo tanggal 14 Maret No. 243, kami sampaikan
pendapat kami seperti berikut.
2.
Pada
umumnya kami setujui rencana susunan Kabinet dan pembagian pekerjaan yang
termuat dalam kawat tersebut.
3.
Hanya beberapa perobahan kami usulkan ialah:
a.
Sebaiknya Kabinet ini menamakan dirinya tidak “Pemerintah
Darurat Republik Indonesia”, akan tetapi “Pemerintah Pusat Republik Indonesia”,
karena “peraturan” dapat bersifat darurat akan tetapi “pemerintah” yang
menamakan dirinya darurat dapt menimbulkan keragu-raguan tentang syahnya
pemerintah itu.
b.
Berhubung dengan gugurnya sdr. Supeno, kami di samping
Kementerian Kehakiman merangkap menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda.
c.
Para anggota kabinet di Jawa tidak merupakan Komisariat
Pemerintah Pusat, karena kami tidak berkumpul di satu tempat.
d.
Tiap-tiap Menteri dalam keadaan yang mendesak berhak
mengatur soal yang masuk kekuasaan Menteri lain, dengan bertindak atas namanya,
misalnya kami sendiri telah menetapkan peraturan tentang Promesse – Negara dengan menandatangani: Pemerintah Pusat Republik
Indonesia, Menteri Keuangan, untuk beliau Menteri Kehakiman.
e.
Tentang politik luar negeri, bagian kabinet yang di
Sumatera dalam keadaan yang mendesak dapat mengambil keputusan sendiri, akan
tetapi sekali-kali tidak boleh melepaskan tuntutannya Pemerintah Republik
selengkapnya sebelum terjadi serangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948,
artinya Presiden, Wakil Presiden, semua Menteri serta pucuk pimpinan tentara,
harus dikembalikan dalam kekuasaannya sepenuhnya dengan jaminan immuniteit dari PBB.
f.
Demikianlah
pendapat kami.
Menteri Kehakiman
Mr. Susanto Tirtoprojo.
Setelah “konsultasi jarak
jauh” dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara
mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia sebagai berikut:[50]
1.
Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,
2.
Mr.
Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri
Pembangunan dan Pemuda,
3.
Mr.
Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri
(berkedudukan di New Delhi, India).
4.
dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri
Kesehatan.
5.
Mr.
Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
6.
Mr.
Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
7.
Kyai
Haji Masykur, Menteri Agama.
8.
Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan.
9.
Ir.
Indracahya, Menteri Perhubungan.
10.
Ir.
Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
11.
Mr.
St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial.
Pejabat di bidang militer:
a.
Letnan
Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
b.
Kolonel
Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
c.
Kolonel
R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
d.
Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
e.
Komodor
Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
f.
Komisaris
Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian
tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa
yang dikoordinasikan
oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
1.
Mr.
Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
2.
Mr.
Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
3.
R.
Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.
Selain dr. Sudarsono, Wakil
RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang
berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi
Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan
Republik Indonesia di dunia internasiona,l sejak Belanda melakukan Agresi II.
Dalam situasi ini, secara de facto,
Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. [51]
Mengenai peran PDRI,
Nasution mencatat: [52]
“
Umum mengerti dan mengetahui bahwa promotor perjuangan formil adalah PDRI,
semenjak Belanda menduduki Yogyakarta, jadi richtpunkt dari perjuangan menjadi
kepada PDRI.”
Penangkapan
terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan
Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia
waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI
serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke
luar kota, demikian juga di Yogyakarta.
Masing-masing
satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang
tertuang dalam Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah
pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan
jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda.
Namun
dengan berhasilnya pihak Indonesia membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia, secara hukum internasional, Republik Indonesia masih eksis. Demikian
juga dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena agresi militer Belanda II
telah diantisipasi sebelumnya, sehingga seluruh kekuatan TNI di Jawa dan
Sumatera tetap utuh.
Reaksi Internasional Terhadap Agresi Militer Belanda
Setelah berita mengenai
agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1949 disiarkan di
seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman tajam dilontarkan oleh banyak
negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan tanggal 20 Desember, berarti sehari
setelah agresi militer Belanda, Dewan Keamanan PBB segera bersidang di Lake
Success, dan kemudian dilanjutkan tanggal 22 Desember di Paris,[53]
yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negara) yang datang dari
Indonesia dan memberikan laporannya.
Pada sidang tersebut, Uni
Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai agresor, namun usul
tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima usul Amerika Serikat,
Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera dihentikan, dan semua
orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan.
Kemudian Dewan Keamanan
menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A. Tanassenko, dan
mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24 Desember 1948, yang isinya
menyerukan kepada Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya. Karena
tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal
28 Desember, dengan tambahan agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang
ditawan, dibebaskan tanpa syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut
juga diabaikan oleh Belanda.
Tanggal 31 Desember,
Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon H. Spoor,
mengumumkan penghentian tembak-menembak yang tampaknya hanya sekadar basa-basi
-berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh
Indonesia terus melancarlkan serangan terhadap tentara Indonesia di wilayah
Republik, serta menangkap pimpinan Repulik. Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem
Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional” mereka telah selesai, dan Republik
Indonesia sudah tidak ada lagi.
Hampir semua negara Asia
dan Arab menyampaikan nota protes, baik yang ditujukan kepada pemerintah
Belanda, mau pun ditujukan kepada Dewan Keamanan PBB.[54]
Aksi boykot terhadap
Belanda dilancarkan oleh banyak negara. Hanya berselang dua hari setelah agresi
militer Belanda, tanggal 21 Desember 1948, pemerintah Sri Langka menutup semua
pelabuhan dan bandar udaranya bagi kapal
dan pesawat terbang Belanda yang mengangkut senjata dan personal militer ke
Indonesia. Dua hari kemudian, pemerintah India dan Pakistan mengambil langkah
yang lebih keras, yaitu melarang semua pesawat KLM terbang di atas wilayah atau
mendarat di bandar udara kedua negara tersebut.
Tanggal 31 Desember 1948,
Serikat Pelaut Australia, sejalan dengan Serikat Buruh Pelabuhan Australia,
memboikot kapal-kapal Belanda yang akan berlayar menuju Indonesia. Sebagai
reaksi atas agresi Belanda tersebut, pemerintah Irak awal Januari 1949,
melarang pesawat udara Belanda, KLM, mendarat di wilayah Irak. Selain itu,
negara-negara Asia dan Arab yang tidak lagi memberi fasilitas pengangkutan
darat, laut dan udara kepada Belanda adalah Birma, Sri Langka, India, Pakistan
dan Arab Saudi.
Sikap pemerintah Amerika
Serikat dipaparkan dalam jawaban Menteri Muda Luar Negerinya, Lovett, kepada
Philip Murra, ketua Congress of Industrial
Organizations tanggal 23 Desember 1948, yang isinya antara lain:[55]
“Patut
diingat, bahwa wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan telah mengambil
inisiatif mengajukan sebuah resolusi, dalam mana kedua fihak diminta supaya
membicarakan penghentian permusuhan, menarik tentara masing-masing ke
kedudukannya sebelum aksi militer tanggal 18 Desember, dan membebaskan semua
tahanan politik.
Amerika
Serikat terang tidak menyetujui atau membenarkan suatu penyelesaian soal
Indonesia dengan kekerasan. Tentang tindakan Dewan Keamanan selanjutnya, hal
itu akan tergantung dari sifatnya, paling sedikit Dewan keamanan dapat
mendorong tercapainya suatu persetujuan…”
Seorang senator wanita
Amerika Serikat, Margaret Chase Smith menyerukan antara lain:[56]
“ Dalam kesempatan pertama saya
berbicara sebagai senator Amerika Serikat ini, saya terdorong oleh apa yang ada
dalam hati setiap wanita Amerika, yaitu berseru kepada Ratu Belanda supaya
menggunakan kekuasaan yang ada padanya sebagai ratu untuk menghentikan pertempuran
antara Belanda dan Indonesia. Wanita seluruh dunia kini berada dalam percobaan.
Ratu Juliana dengan keputusannya akan dapat membuktikan kepada dunia, kehendak
dan kekuatan wanita untuk tahun-tahun yang akan datang. Kesempatan baik yang
ada pada Ratu Juliana ini merupakan kesempatan yang belum pernah ada dalam
sejarah ...
…Belanda telah mencemoohkan PBB
dengan tindakan yang dinamakan “aksi polisional.” Akibatnya, sudah banyak
rakyat yang terbunuh karena penggunaan senjata. Jika PBB tidak berhasil menghentikan
peperangan ini, maka hari kemudiannya sendiri akan terancam. Akan tetapi PBB
tidak dapat berbuat lebih dari apa yang dikendaki oleh “Big Four”. Hal
ini dengan sendirinya mengajukan masalah ini langsung kepada Amerika Serikat
sebagai salah satu anggota “Big Four”. Soalnya ialah, apakah yang dapat kita
perbuat?
Oleh karena sudah terang sekali bahwa
Belanda telah memulai peperangan itu. Maka yang menjadi soal sekarang ialah,
bagaimana kita dapat mengusahakan supaya Belanda menghentikan peperangan itu.
Jalan yang paling tegas ialah memutuskan bantuan melalui Rencana Marshall
kepada Belanda, jika permintaan kita gagal.”
Pemerintah Belanda
nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari
Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera
mengeluarkan dua resolusi berturut-turut. Kesibukan luar biasa timbul di
Belanda, baik di kalangan pemerintah maupun di Parlemen.
Merle Cochran,
wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal Januari dipanggil
oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai situasi di Indonesia.
Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake Success tanggal 7
Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, Philip Jessup
menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas daripada yang
dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.
Tamparan pertama dari pihak
BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja,
sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.[57]
Setelah
mengadakan perundingan dengan WTM (Wakil Tinggi Mahkota) Dr. Beel, maka tanggal
13 Januari Perdana Menteri Belanda Dr. Drees mengadakan pertemuan dengan
pimpinan BFO. Hadir antara lain Sultan Hamid II, dr. T. Mansur, Abdul Malik,
R.A.A. Wiranata Kusumah, A. Kusumonegoro, R.A.A. Cakraningrat, serta sejumlah
wakil dari daerah-daerah lain. Setelah pertemuan dengan Drees, BFO mengadakan
perundingan tersendiri, dan kemudian mengeluarkan komunike sebagai berikut:
“Pertemuan permusyawaratan federal yang bersidang pada tanggal 13 Januari
di Jakarta, berkehendak agar selekas mungkin, dengan jalan damai, dibentuk NIS
yang merdeka dan berdaulat, dan menyatakan:
1.
bahwa
sangatlah perlu membentuk pemerintah federal nasional untuk seluruh Indonesia, sebagai
asas (beginsel) untuk peralihan ke
arah NIS yang merdeka dan berdaulat;
2.
bahwa
beslit BIO diterima sebagai pangkal permulaan pembentukan pemerintah tersebut;
3.
bahwa
sangatlah perlu sebelum membentuk pemerintah nasional yang dimaksudkan di atas,
terlebih dahulu diadakan permusyawaratan dengan para terkemuka yang berasal
dari daerah-daerah yang belum tersusun menurut beslit BIO pasal 5."
Serangan
Umum 1 Maret 1949[58]
Sesuai tugas yang
diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil
di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari
1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing, yang selain Gubernur
Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dihadiri oleh Komandan
Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan juga pucuk pimpinan
pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen
Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro
Kolopaking dan Bupati Sangidi.[59]
Hutagalung menyampaikan
gagasan, yang kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan
sebagai “grand design” adalah:
Serangan dilakukan
secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreis I, II
dan III,
Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah
Gubernur Militer,
Mengadakan serangan spektakuler[60]
terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek
lebih besar,
Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional,
untuk itu perlu mendapat dukungan dari
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan
pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian
Pertahanan.
Jadi tujuan utama
adalah: "Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga
menunjukkan eksistensi Republik Indonesia" kepada dunia internasional.
Untuk "menunjukkan" eksistensi TNI, maka anggota UNCI,
wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira
yang berseragam TNI.”
Setelah dilakukan
pembahasan yang mendalam, “grand design”
yang dimajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan
spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel
Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah
Yogyakarta. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih
Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:
Yogyakarta adalah
Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya untuk beberapa
jam, akan sangat berpengaruh besar.
Keberadaan banyak
wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi
UNCII (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III
sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami
dan menguasai situasi/daerah operasi.
Sejak dikeluarkan
Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah
dilancarkan beberapa kali serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh
Divisi III dapat dikatakan telah "terlatih" dalam menyerang
pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak
dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur
Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat
dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik.
Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh
rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis:[61]
“Gubernur
Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan
tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di
gunung-gunung.”
Indriastuti
juga menulis mengenai Wongsonegoro:[62]
“… Setelah
konsolidasi selesai, maka Panglima Kolonel Bambang Sugeng beserta Stafnya
selanjutnya mulai mengadakan kerjasama dengan unsur pemerintahan sipil yang
dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro, yang walau pun usianya sudah lanjut tetapi
dengan setia selalu mengikuti kepindahan markas gerilya Divisi III ini, untuk
persiapan menyusun Pemerintahan Militer di wilayah Divisi III.”
Selanjutnya dibahas,
pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk
"skenario" seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda
berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis
dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi.
Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah
dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna "menunjukkan diri"
kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel
tersebut.
Kolonel Wiyono,
Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian
Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari
pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang
fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
Hal penting yang
kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara
Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta,
Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana menyebarluaskan ke
dunia internasional?" Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang
yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi
pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah
serangan dilancarkan, berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas
Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang, Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak
AURI daripada perwira Angkatan Darat.
Diperkirakan, apabila
Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan
mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana
terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak
tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya,
sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan
Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi IIIGM III, namun
Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh
karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan
baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang
ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling
tidak, dapat diperlambat.[63]
Pimpinan pemerintahan
sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi
dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan
pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para
pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari
bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan
Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok
perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan
ditetapkan secara tertulis oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan
perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah
dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep
Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1- yang
dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan:[64]
Kesehatan terutama
tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter
dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan
risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI
(Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di
front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda
dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.[65]
Setelah rapat
selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke tempat
masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas
masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di
Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan
Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah
digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah
yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada
komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta
yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan
disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir
segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade 10 Letkol. Suharto,
untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.
Selesai
rapat, diputuskan untuk segera berangkat malam itu juga guna menyampaikan "grand
design" kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima
Divis selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga Kol. Sarbini, dr. Kusen
(dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang
mantri kesehatan, seorang supir dari dr. Kusen,[66]
Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung), beberapa anggota staf GM serta
pengawal.
Pertama-tama Panglima
Divisi beserta rombongan mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang
di Pedukuhan Banaran. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan
tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari 1949, Simatupang menulis:[67]
"... Kolonel Bambang
Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer
daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan
bermalam di Banaran.
Soegeng adalah orang
yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti
dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan
senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara
besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta
ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah
saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk
menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).
Demikianlah kurang
lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap
dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.
Saya jelaskan bahwa
hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga
masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.
Sama sekali tidak ada
larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap
bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita.
Dengan Kolonel
Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk
serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."
Simatupang dimohon
untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melalui pemancar radio di
Playen yang berada di bawah kewenangan AURI (Angkatan Udara RI) dan di Wiladek,
yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana grand
design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang
ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Kolonel Bachrun. Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18
Februari 1949 adalah (copy asli, lihat lampiran):
STAF DIVISI III/G.M.III
INSTRUKSI RAHASIA
Tanggal: 18/II/1949
Berkenaan
dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln.
Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang
akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan
bantuan pasukan dari Brigade IX.
Dengan ini diperintahkan kepada:
Comandant Daerah I
Untuk :
1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949 s/d.
1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu
obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah
balabantuan untuk Yogyakarta.
2.
Selesai.
Dikeluarkan
di : tempat
Tanggal : 18-II-1949.
Jam : 20.00
(tandatangan)
Gub.Mil
III/Panglima Div.III
(Kolonel
Bambang Sugeng)
Catatan harian
Kolonel Simatupang, Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, dan Instruksi Rahasia
tertanggal 18 Februari 1949 memperkuat bukti, bahwa perintah penyerangan datang
dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, sebagaimana
tertera dalam buku Laporan dari Banaran, yang pertama kali diterbitkan tahun
1960.
Brigade IX di bawah
komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap
bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Februari
Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada
malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda.
Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.
Rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono yang bermarkas tidak jauh dari
markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan
tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis, yang akan
diberi seragam perwira TNI. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis
III melalui pegunungan Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan
Wehrkreis III Letkol. Suharto.
Bambang Sugeng beserta rombongan sempat mampir di Pengasih, tempat kediaman
mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih.[68]
Pertemuan dengan
Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan
dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan,
maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan
tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol.
Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta
ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol.
Suharto beserta ajudan. [Rincian pertemuan ini lihat pada tulisan Letnan
Kolonel TNI (Purn.) dr.Hutagalung].
Kepada Suharto
diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan
1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah
koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono
dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah
semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (tidak jelas apakah keputusan
diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan
tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak
yang terkait.
Dalam wawancara
dengan Indriastuti, Sutan Jajuli menuturkan, bahwa Panglima Divisi bertemu
dengan Letkol Suharto di desa Panjatan. Ia mengatakan:[69]
“…Sehubungan dengan
dikeluarkannya instruksi tersebut, maka pada bulan yang sama Panglima
mengadakan pertemuan rahasia dengan Letkol Suharto selaku Komandan Wehrkreis
III di desa Panjatan, kecamatan Wates, Yogyakarta. Dalam pertemuan ini,
Panglima didampingi oleh beberapa orang staf yang antara lain Mayor Wiluyo
Puspoyudo, Suyud serta Letnan II Sutan Jajuli. Adapun tujuan pertemuan ini bagi
Letkol Suharto adalah melaporkan akan adanya Serangan Umum 1 Maret tersebut,
sekaligus mohon doa restu kepada Panglima….”
Kemungkinan yang
dimaksud oleh Jajuli adalah pertemuan kedua antara Kolonel Bambang Sugeng
dengan Letnan Kolonel Suharto, sekitar tanggal 23 atau 24 Februari 1949, di
mana Suharto menyampaikan progress report persiapan pelaksanaan tugas
yang telah diberikan sebelumnya.
Pada 25 Februari 1949
Simatupang memulai perjalanan ke wilayah-wilayah gerilya di Jaw Tengah dan Jawa
Timur, sebagaimana tertera dalam catatan hariannya. Dari catatan harian ini
terlihat, bahwa Simatupang telah mendapat informasi mengenai kepastian tanggal
pelaksanaan Serangan Umum yang dibahasnya bersama Panglima Divisi pada 18
Februari di Banaran. Simatupang menulis:[70]
“...Besoknya tanggal 28 Februari kami tiba di sebuah desa
dekat Playen yang bernama Banaran. Di Pulau Jawa banyak desa-desa yang bernama
Banaran, Kalibawang dan seterusnya. Pemancar radio yang mula-mula berada di
lapangan terbang AURI dekat Wonosari telah dipindahkan di suatu tempat tidak
jauh dari Banaran ini. Dari perwira AURI di sini, yang menjadi tuan rumah kami
hari itu, saya dengar bahwa selain daripada pemancar Wonosari ada juga beberapa
pemancar kita yang kuat yakni di Kotaraja, di sekitar Bukittinggi ....
Kebanyakan dari pemancar-pemancar
ini adalah pemancar-pemancar dari AURI dan dalam hal memelihara hubungan, radio
AURI telah memberikan sumbangan yang besar selama perang rakyat ini…”.
Perwira AURI yang
ditemui Simatupang di Playen adalah Budiarjo,[71]
yang memperkuat keterangan Simatupang. Dalam bukunya, Budiardjo menulis:[72]
“... Pangkalan di
Playen itulah yang kemudian terbukti berjasa, ketika berhasil menyiarkan berita
keberhasilan Serangan Umum Satu Maret 1949 ke luar negeri.
Peristiwa Serangan
Umum Satu Maret sangat penting, sebagai usaha membuktikan bahwa Yogya sebagai
Ibukota perjuangan Republik Indonesia belum sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda.
Dengan peralatan radio PC2 kita yang sangat sederhana menjalin jaringan dengan
stasiun-stasiun radio sejenis di Sumatera maka kita dapat merelay berita
Serangan Umum itu melalui Birma dan India, sampai ke perwakilan kita di Sidang
Dewan Keamanan PBB ...
... Sehari menjelang
1 Maret, dalam perjalanan ke Jawa Timur Kolonel Simatupang singgah ke Playen
membawa berita tentang Serangan Umum Satu Maret yang akan dilaksanakan esok
harinya. Saya menerima teks[73]
dan briefing secukupnya di rumah paling depan, sebelum lorong yang menuju ke
rumah keluarga Pawirosoetomo dengan di wanti-wanti untuk menyiarkannya besok
malamnya, setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh
tanggal 1 Maret 1949.
Tulisan Pak
Simatupang tersusun jelas, dalam bahasa (Inggris - pen.) yang bagus dan rapi.
Sayang sekali saya tidak berani menyimpan teks itu, setelah disiarkan. Seperti
biasa, kami hancurkan semua dokumen, ketika mengadakan evakuasi.
Siaran itu berhasil
menembus blokade informasi Belanda. Dari Playen siaran ditangkap dan diteruskan
oleh teman-teman di Bukittinggi. Dari sana diteruskan ke Aceh, kemudian secara
estafet ke Burma dan akhirnya India. Dari New Delhi, All India Radio menyiarkan
ke seluruh penjuru dunia pada malam hari itu juga. Alangkah bahagianya kami,
dua hari berikutnya kami memantau berita All India Radio yang menyiarkan teks
radiogram kami. Isinya sama, kata demi kata….”
Dalam kesempatan itu,
melalui pemancar dari Playen Wakil KSAP pada tanggal 28 Februari 1949 juga
mengawatkan kepada PDRI yang kemudian diteruskan ke perwakilan New Delhi,
antara lain:
“…..Resolusi dewan
Keamanan mencari jalan meniadakan hasil-hasil agresi Belanda sehingga
perundingan yang jujur dapat diadakan kembali. Sebaliknya rencana Belanda
mencari legalisasi hasil-hasil agresi oleh pemimpin-pemimpin itu untuk
mempermudah lanjutan agresi.
Soal Indonesia hendak
diselesaikan secara hervorming van het koninkrijk. Rencana Belanda kabur, tidak
ada jaminan bahwa hasil-hasil yang dapat diperoleh dengan rencana tersebut akan
disokong oleh bagian terbesar rakyat Indonesia, sehingga rencana itu itdak
mengandung jaminan bahwa akan tercapai penyelesaian yang kekal….”
Selain pemancar radio
AURI di Playen, yang menyiarkan berita mengenai serangan tersebut, adalah
pemancar radio milik Bagian Penerangan Pemerintah di Wiladek. Selanjutnya dalam
catatan hariannya Simatupang menulis:[74]
“...Tanggal 1
Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah
dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek
kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang
bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa.
Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni
tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau
serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu
telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali
dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui
pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan
berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang
ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas
Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…”
Tanggal 1 Maret 1949,
pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh
wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota
Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang,
sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan
juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota
Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat
mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Mengenai operasi
militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis:[75]
"Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III
sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan
oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang
melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II
yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi
III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang."
Serangan terhadap
kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di
Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang
diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu
Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di
Magelang dan penghadangan di jalur Magelang – Yogyakarta yang dilakukan oleh
Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari
Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari
Magelang dapat menerobos hadangan pasukan Republik, dan sampai di Yogyakarta
sekitar pukul 11.00. Mengenai serangan tersebut, Belanda mengumumkan:[76]
Hari Selasa pagi
tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di
perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai tempat di
dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh
gerombolan-gerombolan dari jurusan barat, sedang percobaan serangan ketiga
dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak Kraton-dalam.
Segera militer
Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan
melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota
itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone tersebut ditembaki dengan
hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara
kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga datang dari
penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman kraton-dalam.
Karena itu komandan
kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera
dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman
kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut
dilakukan.
Kekacauan berakhir
lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota
gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan
serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah
dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan
terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.
Di fihak Belanda 6
orang tewas, di antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat
luka-luka.
Segera setelah pasukan
Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram
kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya
dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa
siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan
pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur),
Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur
untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri
Sultan.
Dalam serangan
terhadap Yogya, pihak
Indonesia mencatat korban
sebagai berikut:[77]
300
prajurit tewas,
53 anggota polisi
tewas,
Rakyat yang tewas
tidak dapat dihitung dengan pasti.
Menurut majalah
Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda
selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
Islam Salim mencatat,
Perwakilan RI di PBB menerima berita mengenai serangan tersebut bukanlah dari
New Delhi, melainkan dari Indonesia Office di Singapura. Dalam bukunya,
Islam Salim menulis:[78]
"Prakarsa UNCI
untuk Perjanjian Roem - Royen di atas, diambil sesuai dengan keputusan PBB
dalam Sidang Umumnya di Paris, yang menghendaki agar kedua pihak yang bertikai
kembali ke meja perundingan, karena Sidang Umum PBB telah mengkonstatir
kegagalan Agresi Kolonial Belanda dengan tetap tegaknya Negara RI. Hal ini,
antara lain, didasarkan atas press release Press Officer Perwakilan RI di PBB
Soedjatmoko, tentang terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, di
daerah Brigade X/Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Soeharto, yang beritanya diterima melalui Mayor Wibowo dari Indonesia Office
di Singapura."
Konferensi Meja Bundar
(KMB)
Dengan
diberlakukannya gencatan senjata sesuai hasil Persetujuan Rum-Royen, maka tak
ada lagi halangan bagi penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Republik Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin langsung oleh Wakil
Presiden/Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta, dengan anggota antara lain Prof. Dr.
Mr. Supomo, Mr. M. Rum, Ir. Juanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr.
Sumitro Joyohadikusumo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo dan Kolonel
Simatupang. Selain sepuluh anggota delegasi, rombongan Republik dibantu oleh
sekitar 40 penasihat ahli, baik bidang politik, hukum, sosial, kebudayaan dan
bidang kemiliteran serta sejumlah tenaga staf sekretariat.
Para
penasihat tersebut antara lain Mr. M. Yamin dan Mr. Sutikno Slamet, Ketua
Mahkamah Agung. Untuk bidang militer dipimpin oleh dr. J. Leimena, dengan
anggota antara lain Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang,
Kolonel Subiyakto, Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Udara Suryadarma, Kepala
Staf Angkatan Udara, Sukanto, Kepala Kepolisian Negara, Letnan Kolonel Daan
Yahya, Mayor Haryono dan pakar hukum kemiliteran, Mr. Hamid Algadrie.[79]
Konferensi Meja Bundar dibuka tanggal 23 Agustus 1949 di Ridderzaal (Bangsal Ksatria) Den Haag.
Delegasi BFO dipimpin oleh Perdana Menteri BFO, Anak Agung Gde Agung dengan
anggota delegasi antara lain Sultan Hamid II, Mr. Makmun Sumadipraja, Kolonel
KNIL Sugondo dan Kapten KNIL Tahiya. Delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri
Urusan Provinsi Seberang Laut, J.H. van Maarseven.
Pada konferensi tersebut, dibentuk komisi-komisi yang
akan membahas berbagai aspek dalam rangka serah-terima dari Belanda kepada
Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persiapan pembentukan Uni Indonesia -
Belanda. Komisi-komisi tersebut adalah komisi ketatanegaraan dan hukum negara,
komisi keuangan dan perekonomian, komisi
kemiliteran, komisi kebudayaan dan komisi sosial. Di komisi kemiliteran,
delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.
Perundingan yang
sangat alot timbul di komisi ketatanegaraan, komisi keuangan dan komisi
kemiliteran. Sehubungan dengan wilayah kedaulatan RIS, delegasi Republik
mengajukan tuntutan, bahwa wilayah tersebut adalah bekas Hindia Belanda,
termasuk Irian Barat (Nieuw Guinea), yang tentu tidak disetujui oleh
Belanda. Dalam masalah Irian Barat, BFO, terutama Anak Agung Gde Agung
sepakat dengan pihak Republik, yaitu bahwa Irian Barat harus termasuk wilayah
RIS. Perdebatan mengenai masalah ini -sampai akhir KMB- tidak mencapai kata
sepakat, sehingga diputuskan untuk menyatakan status quo bagi Irian
Barat, yang berarti tetap di bawah administrasi Belanda. Dengan demikian
delegasi Belanda memenangkan perundingan mengenai Irian Barat.
Di komisi
keuangan dan perekonomian, Belanda menuntut -dan berhasil- bahwa RIS akan
menanggung hutang Pemerintah India Belanda sejak tahun 1932 dan ironisnya,
termasuk utang Belanda yang dibuat antara tahun 1945 - 1949, berarti biaya yang
dikeluarkan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Semula Belanda
menuntut pembayaran sebesar 6 milyar gulden, yang dinilai oleh Merle
Cochran terlalu tinggi, dan akhirnya delegasi RI menyetujui pembayaran kepada
Pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden. Sampai tahun 1954,
Pemerintah RIS, kemudian diteruskan oleh Pemerintah RI, telah membayar sebesar
4 milyar, sebelum dihentikan oleh Sukarno. Selain itu, juga diputuskan untuk
mengembalikan semua hak milik orang Belanda di Indonesia.[80]
Di
bidang kemiliteran, Belanda juga membukukan sejumlah keuntungan, yang mempunyai
dampak sangat panjang. Angkatan Perang RIS (APRIS) harus menampung seluruh
serdadu KNIL yang pribumi dengan pangkat yang sama. Namun dalam pelaksanaannya,
sebelum diserahkan kepada APRIS, para serdadu KNIL dinaikkan pangkatnya, bahkan
dikabarkan bahwa ada yang langsung naik dua tingkat. Di tahun tujuhpuluhan, ada
bekas serdadu KNIL -yang hingga akhir tahun 1949 masih bertempur untuk Belanda
melawan Republik- berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal. Dengan menawarkan
bantuan militer yang dinamakan Nederlandsche Militaire Missië (NMM)
untuk APRIS, perwira-perwira Belanda dengan berkedok sebagai penasihat militer,
dapat leluasa bergerak di seluruh Indonesia dan mengadakan
infiltrasi-infiltrasi serta mempengaruhi perwira-perwira APRIS, mantan anak
buah mereka.
Bersamaan
dengan berlangsungnya KMB, konferensi Inter-Indonesia juga dilaksanakan di
negeri Belanda guna merumuskan konstitusi Republik Indonesia Serikat, sebagai
kelanjutan perundingan di Yogyakarta tanggal 22 Juli 1949 dan di Jakarta tanggal
1 Agustus 1949. Tanggal 29 Oktober 1949, di Scheveningen ditandatangani Piagam
Persatuan Republik Indonesia Serikat, yang ditandatangani oleh:[81]
1.
Mr. Susanto Tirtoprojo, untuk
Republik Indonesia,
2.
Raja Kaliamsyah Sinaga, untuk
Negara Sumatera Timur,
3.
Raja Mohammad, untuk
Daerah Otonom Riau,
4.
Abdul Malik, untuk
Daerah Otonom Sumatera Selatan,
5.
Mohammad Yusuf Rasidi, untuk
Daerah Otonom Bangka,
6.
K.A.Mohammad Yusuf, untuk
Daerah Otonom Belitung,
7.
Mr. R.T. Jumhana Wiriaatmaja, untuk
Negara Pasundan,
8.
dr. R. Sujito, untuk
Negara Jawa Tengah,
9.
R.Sudarmo, untuk
Negara Jawa Timur,
10.
R.A.A. Cakraningrat, untuk
Negara Madura,
11.
Sultan Hamid II, untuk
Daerah Otonom Kalimantan Barat,
12.
Aji Pangeran Sosronegoro, untuk
Daerah Otonom Kalimantan Timur,
13.
Mohammad Hanafiah, untuk
Daerah Otonom Banjar,
14. Mochram bin Haji Moh. Ali, untuk Daerah Otonom Dayak Besar,
15. M. Yamani, untuk
Daerah Otonom Kalimantan Timur,
16.
Ide Anak Agung Gde Agung, untuk
Negara Indonesia Timur.
Perundingan
KMB berakhir tanggal 1 November 1949 dan ditandatangani kesepakatan antara
Republik Indonesia, BFO dan Kerajaan Belanda yang difasilitasi oleh UNCI (United Nations Commission on Indonesia).[82]
“Intermezzo” Republik Indonesia Serikat (RIS)
Tanggal
14 November 1949, rombongan delegasi Indonesia di bawah pimpinan Drs. M. Hatta,
tiba kembali di Yogyakarta. Hasil-hasil Konferensi Meja Bundar perlu
diratifikasi oleh semua negara dan daerah otonom yang akan menjadi anggota RIS,
dalam hal ini oleh Pemerintah Republik Indonesia dan semua negara-negara
federal bentukan van Mook.
Pada
14 Desember 1949 di Jakarta, wakil dari semua negara anggota BFO dan Pemerintah
Republik Indonesia, menandatangani Konstitusi RIS.[83]
Sementara itu, sejak awal Desember 1949, di Yogyakarta KNIP mulai membahas
semua hasil-hasil KMB. Mengenai hal ini, Sumantri mencatat:[84]
“…Akan tetapi
di Yogyakarta, pada sidang Pleno KNIP penerimaannya tidaklah begitu
menggembirakan, karena kebanyakan dari anggota KNIP insyaf, bahwa untuk
memperoleh perdamaian dengan Belanda itu telah diberikan terlalu banyak konsesi
kepada Belanda, sehingga pembentukan RIS itu sesungguhnya berarti penyelewengan
terbesar dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Meskipun
demikian, kebanyakan anggota KNIP insyaf, bahwa pada waktu itu tidak ada jalan
lain, melainkan menerima segala naskah yang dibuat oleh KMB di Den Haag itu.
Juga naskah Konstitusi RIS, tidak dapat dirubah sedikitpun; untuk ini para
anggota KNIP tidak diberi kesempatan sama sekali. Mereka hanya harus mensyahkan
saja dan memilih seorang wakil bagi setiap 12 orang anggota KNIP, untuk duduk
dalam Dewan Perwakilan RIS…”
Setelah
satu minggu bersidang, diambil pemungutan suara untuk pengesahan seluruh hasil
Konferensi Meja Bundar dengan hasil, 236 suara menerima dan 62 suara menolak
hasil KMB. Tanggal 15 Desember 1949, KNIP meratifikasi hasil-hasil KMB.
Selain
menunjuk wakil-wakil untuk duduk di Senat RIS, KNIP juga menunjuk wakil-wakil
Republik Indonesia untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Demikian
juga dengan negara-negara anggota BFO, yang mengirim wakil mereka untuk duduk
di Senat dan DPR RIS..
Pada
16 Desember 1949 di Yogyakarta, Panitia Pemilihan Nasional RIS memilih Ir.
Sukarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama, dan
peresmiannya dilakukan tanggal 17 Desember 1949. KNIP kemudian mengangkat Mr.
Assaat Datuk Mudo, Ketua KNIP, sebagai pemangku jabatan Presiden Republik
Indonesia.
Dengan
demikian, Mr. Assaat de facto Presiden
Republik Indonesia kedua yang memegang jabatan ini hingga tanggal 15 Agustus
1950. Setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Ir. Sukarno menyatakan
berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mr. Asaat menyerahkan
kembali jabatan Presiden RI kepada Ir. Sukarno.
DPR
RIS kemudian memilih empat orang menjadi formatur kabinet, yaitu Drs. Mohammad
Hatta, Anak Agung Gde Agung, Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamid II.[85] Pada 19
Agustus 1949 terbentuklah Kabinet RIS dengan susunan:[86]
Perdana
Menteri : Mohammad Hatta
Menteri
Luar Negeri :
Mohammad Hatta
Menteri
Pertahanan :
Hamengku Buwono IX
Menteri Dalam Negeri :
Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Keuangan :
Mr. Syafruddin Prawiranegara
Menteri Perekonomian :
Ir. Juanda
Menteri Perhubungan dan
Pekerjaan
Umum : Ir. H. Laoh
Menteri
Kehakiman : Prof. Dr. Mr.
supomo
Menteri P dan K :
dr. Abu Hanifah
Menteri Kesehatan :
dr. Josef Leimena
Menteri Perburuhan :
Mr. Wilopo
Menteri Sosial :
Mr. Kosasih Purwanegara
Menteri Agama :
K.H. Wahid Hasyim
Menteri Penerangan :
Arnold Mononutu
Menteri Negara :
Sultan Hamid Alkadrie II
Mr. Mohammad Rum
Dr. Suparno
Upacara
"penyerahan kedaulatan" dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS) berlangsung secara bersamaan di dua tempat.
Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam
di Amsterdam, Belanda, Perdana Menteri RIS M. Hatta atas nama Pemerintah RIS,
menerima "kedaulatan" dari Ratu Juliana, dan di Jakarta, Wakil
Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX menerima "kedaulatan RIS"
dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.J. Lovink.
Pada upacara
tersebut yang berlangsung di Istana di Gambir (sekarang Jl. Medan Merdeka
Utara) yang dihadiri oleh sejumlah wakil dari negara-negara sahabat seperti
India, Pakistan, Filipina, Birma, Thailand, Arab Saudi dll., satu regu tentara
Belanda dari KL menurunkan bendera Merah-Putih-Biru, dan regu TNI menaikkan
bendera Merah-Putih.[87]
Pada 28 Desember 1949, Presiden RIS, Ir. Sukarno bersama
rombongan diantar oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat Datuk
Mudo, ke bandar udara Maguwo dan dengan dua pesawat istimewa berangkat menuju
Jakarta. Presiden RIS beserta rombongan tiba di Jakarta pukul 11.40, disambut
oleh Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX dan ratusan ribu rakyat
Indonesia di Jakarta.[88]
Sejarah mencatat, RIS tidak bertahan lama. Satu per satu
“Negara-Negara Bagian” bentukan Belanda dibubarkan oleh rakyatnya, atau
membubarkan diri, kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya hanya
tersisa 3 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan
Negara Indonesia Timur.
Pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan
pembubaran RIS. Pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali
Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan yang sangat penting, yaitu:
- Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai dari tanggal 30 Mei 1619, yaitu dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan Belanda, dan berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Lanud Kalijati, Subang, Jawa Barat, dan menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
- Belanda memerlukan waktu lebih dari 300 tahun untuk dapat membangun imperium jajahannya yang dinamakan Nederlands Indie.
- Masa pendudukan Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda dari tanggal 9 Maret 1942, sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, dan menghentikan semua aktifitas sipil dan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk bekas jajahan Belanda, India-Belanda.
Namun dokumen menyerah
tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani pada 2 September 1945.
Antara 15 Agustus 1945 – 2 September 1945 terdapat kekosongan
kekuasaan (vacuum of power).
- Di masa kekosongan kekuasaan, pemimpin Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17.Agustus 1945.
Kemudian tanggal 2
September 1945 membentuk
pemerintahan Republik Indonesia.
Dengan demikian proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki
landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.Desember 1933. Walaupun sebenarnya
kemerdekaan sesuatu Negara tidak mmembutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh
Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri dari serangan Negara lain.
- Karena tidak ada pemerintahan yang berkuasa, maka proklamasi 17.8.1945, bukan revolusi dan bukan pemberontakan.
Periode antara tahun 1945 –
1949/1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN.
- Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.
- Selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, tentara Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, a.l. dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta rakyat Indonesia, penduduk sipil (non-combatant). Semua kejahatan tersebut oleh Dewan Keamanan PBB dinyatakan tidak kadalursa.
- Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG,dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!
- INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH BELANDA ATAU JEPANG, karena sebagai entitas politik dan berdasarkan hukum internasional baru eksis sejak 17 Augustus 1945.
Sumpah Pemuda
pribumi dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda pada 28 Oktober 1928,
merupakan pencetusan kehendak untuk mendirikan NEGARA BANGSA (Nation State),
yang terwujud pada 17 Agustus 1945.
Belanda berusaha
menguasai Republik Indoneesia. Tentara Belanda dibantu tiga Divisi tentara
Inggris dan dua Divisi tentara Australia, yang adalah PEMENANG PERANG DUNIA II,
ditambah pasukan KNIL dan Pasukan Cina Po An Tui, TIDAK BERHASIL MENGALAHKAN
TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) bersama rakyat Indonesia.
Fakta ini yang
harus menjadi kebanggaan Bangsa dan Tentara Nasional Indonesia.
Keberadaan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi menunjukkan, bahwa
secara politis Republik Indonesia masih eksis.
Yang dijajah Belanda adalah
kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Nusantara/Asia Tenggara.
Yang diduduki
oleh Jepang adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Bukan Indonesia.
- Di Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung bulan April tahun 1955 atas prakarsa Republik Indonesia, hadir hanya 29 negara-negara Asia dan Afrika. Pada peringatan ke 50 KAA tahun 2005, hadir 89 kepala negara/kepala pemerintahan dari negara-negara Asia-Afrika.
Artinya, tahun 1955
sekitar 60 negara-negara di Asia dan Afrika masih merupakan jajahan
negara-negara Eropa.
Ini juga berarti,
bahwa Indonesia
adalah
Pelopor
Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II. Diikuti oleh
Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.
Kedua negara ini menunjukkan kepada dunia, bahwa negara
bekas jajahan sanggup mempertahankan kemerdekaan dengan kekuatan senjata
terhadap agresi militer mantan penjajah, yang adalah PEMENANG PERANG DUNIA II.
*******
Catatan kaki.
[1] Ewald Vanvugt: Wettig opium 350 jaar Nederlandse
opiumhandel: http://www.indeknipscheer.com/ewald-vanvugt-wettig-opium-350-jaar-nederlandse-opiumhandel-2/
[3] Willard, Hanna
A., "Indonesian Banda", Colonialism and its Altermath in the
Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991
(Reprint).
[4] Leirissa, Prof. Dr. R.Z.,
Perdagangan dan Kekerasan Pada Masa VOC. Lihat Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), Verenigde Oostindische Companie (VOC). Dua Sisi Dari Perusahaan
Multinasional Dunia Yang Pertama. Hasil Seminar – Forum
Dialog Indonesia – Belanda. Diterbitkan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan
Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Jakarta, Juli 2003. Hlm. 65 – 66.
[5] Lohanda, Mona, Peran
Sejarah dari Masa VOC di Nusantara. Lihat
Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), op.cit.,
hlm. 120. Akumulasi utang pemerintah India Belanda kepada
pemerintah Belanda sbagai Negara induknya, tahun 1949 mencapai 6,5 milyar
gulden. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda Agustus – November 1949,
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai kelanjutan
pemerintah Indie Belanda, diharuskan membayar utang tersebut. Disepakati jumlah
yang harus dibayar sebesar 4,5 milyar gulden (lebih dari 1 milyar US $).
Setelah pemerintah RIS dibubarkan pada 16.8.1950, pemerintah RI melanjutkan
pembayaran sampai tahun 1956. Telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum
dihentikan pembayarannya oleh pemerintah RI.
[6] Joyce C. Lebra, Tentara
Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 94.
[7] Dr. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 11, Angkasa, Bandung, 1977, hlm.
5 dan 21.
[8] Dr. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 11, Angkasa, Bandung, 1977, hlm.
5 dan 21.
[9] Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?, Yayasan Persahabatan
10 November
‘45/Millenium Publisher, Jakarta 2001, hlm. 69.
[11] Ibid., hlm. 220.
[12] Lebra, ibid., hlm. 140 –
142.
[13] Ibid., hlm. 111 dan 122.
[14] Anderson, ibid., hlm. 46.
[15] Sidik Kertapati, Sekitar
Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[16] Menurut Anderson, pertemuan tersebut tanggal 11 Agustus (lihat Anderson, Prof. Dr. Benedict R., Revolusi
Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 -1946, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1988. hlm. 85), namun Hatta menulis (lihat Hatta, Drs. Mohammad,
Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982. hlm. 437), bahwa pertemuan tersebut
berlangsung tanggal 12 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
[17] Anderson,
loc.cit..
[18] Louis Mountbatten, !st Earl,
Viscount Mountbatten Of Burma,
Baron Romsey Of Romsey. Nama aslinya
adalah Louis Francis Albert Victor
Nicholas, Prince Of Battenberg, anak keempat dari Prinz (Pangeran)
Ludwig von Battenberg –kemudian menjadi Marquess of Milford
Haven- dan isterinya, Prinzessin Victoria
von Hesse-Darmstadt (cucu Queen Victoria, ratu Inggris).
[19] Nasution, ibid., hlm. 63.
[20] Dr. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia,
Cetakan VI, PT
Jayakara
Agung Offset, Jakarta,
1995, hlm. 4.
[21] R. Subiantoro, Mayjen
(Purn.). Makalah dalam seminar internasional “The Battle of Surabaya, November
1945. Back
Ground and Consequences”, Lemhannas, 27 Oktober 2000.
[22] Hanafi, A.M.,
Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1997,
hlm. 20 – 29.
[23] Anderson,
ibid., hlm. 104 – 105.
[24] Menurut kalender Jawa, tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari
Jumat Legi, dan bagi orang Jawa, ini
merupakan hari baik.
[25] Teks lengkap lihat lampiran
[26] Teks lengkap lihat lampiran
[27] Teks lengkap lihat lampiran
[28] NEFIS didirikan pada bulan April 1943 di Australia. Pada 1944
dikembangkan menjadi satu Direktorat
dengan enam Seksi dan lima
Dinas di mana bertugas sekitar 200 orang militer KNIL Simon H. Spoor pada
Februari 1945 naik pangkat menjadi Kolonel. NEFIS mulai beroperasi di Jakarta sejak bulan
Oktober 1945.
[29] Teks lengkap lihat lampiran
[30] Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London,
1996
[31] Meelhuijsen, Willy, Revolutie in Soerabaja. 17 Agustus - 1
December 1945, Walburg Pers, Zutphen, Netherlands, 2000
[32] Moor, J.A. de, Westerling's
Oorlog, Indonesie 1945 - 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999, hlm. 201.
[33] Ibid., hlm. 202.
[34] Ibid., hlm. 205.
[35] Ibid., hlm. 205 – 206.
[36] Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee (marsose) yang
bertugas di
Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat
tusukan rencong.
[37] Moor, ibid., hlm. 61.
[38] Ibid., hlm. 248.
[39] Ibid., hlm. 85.
[40] Selama puluhan tahun ada perbedaan pendapat mengenai penulisan nama
Linggajati (tanpa huruf: R) atau
Linggarjati.Dalam Simposium “Museum
Linggarjati” yang diselenggarakan pada 17 Oktober 2002 di Jakarta,
penulis meneliti beberapa tulisan yang
diberikan, antara lain dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan.
Dari data-data yang diberikan, terungkap,
bahwa rumah tempat Sutan Syahrir menginap berada di desa
Linggasana, dan di sekitar tempat tersebut
terdapat obyek wisata Bukit Linggamekar. Hadir dalam simposium
juga beberapa orang Belanda, a.l. kakak-beradik van Oost, yang lahir di
rumah yang kemudian dijadikan
tempat perundingan. Mereka memberikan keterangan, bahwa dahulu penulisan Linggajati tanpa huruf
R.
Selain itu, ada seorang peserta dari Belanda yang kebetulan membawa
peta dari tahun 1930, di mana tertera,
bahwa penulisan nama Linggajati memang
tanpa huruf R.
[41] Kemudian tingkat kebangsawanannya juga naik menjadi Baron.
[42] Van der Post, ibid., hlm.
268.
[43] Ibid., hlm. 171.
[44] Ibid., hlm. 173.
[45] Hatta, ibid., hlm. 493.
[46] SESKOAD, op.cit., hlm. 76
- 77.
[47] Yayasan 19 Desember 1948, Dokumen RIPRESS Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 – 1949, Balai
Pustaka,
Jakarta
1994, 52.
RIPRESS
(Republik Indonesia Press) adalah badan penyiaran berita seperti Kantor Berita
ANTARA, yang
beroperasi selama Perang Kemerdekaan 1948 –
1949.
[48] Hassan, H. Ismael, Hari-Hari Terakhir PDRI (Pemerintah Darurat
Republik Indonesia).
Lahirnya, Tugas dan
Perjuangan,
Jakarta, 2002, hlm. 7 – 11.
[49] Nasution, Perjuangan Nasional
di Bidang Angkatan bersenjata., hlm. 149.
[50] Salim, op.cit., hlm. 45 –
47.
[51] Dalam otobiografinya, Memoir,
Hatta menulis : “Mr. Syafruddin Presiden
Darurat.” Lihat Hatta, Memoir,
hlm. 540. Beberapa pihak berpendapat,
bahwa posisi Syafruddin waktu itu “hanya” setingkat dengan Perdana
Menteri (Kepala Pemerintahan), dan bukan Kepala Negara.
[52] Nasution, ibid., hlm. 157.
[53] Tempat bersidang Dewan Keamanan PBB
adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis.
[54] Nasution,
Sekitar Perang Kemerdekaan
Indonesia, jilid 11, hlm. 15 – 32.
[55] Ibid , hlm. 18.
[56] Ibid., hlm. 19 - 20.
[57] Sumantri, Prof.
Iwa Kusuma SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 - 3, Jakarta 1963, jilid
dua, hlm. 202.
[58] Dikutip
dari buku: Hutagalung,
Batara R., Serangan Umum 1 Maret 1949.
Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
LkiS, Yogyakarta 2010.
[59] Selengkapnya lihat lampiran,
cuplikan buku Letkol. TNI (Purn.) dr. W. Hutagalung
[60] Formulasi yang
dipakai oleh Hutagalung, juga ditulis oleh Simatupang dalam catatan harian
tertanggal
18 Februari 1949. Lihat Laporan
dari Banaran, hlm. 60.
[61] Nasution, ibid., jilid 10, hlm. 47.
[62] Indriastuti, ibid., hlm. 65
[63] Mengenai operasi GM II, lihat: SESKOAD, ibid., hlm. 197.
[64] Ibid., hlm. 356.
[65] Kartohadikusumo, ibid.,
hlm. 194 - 198.
kandung Bambang Sugeng. Kini tinggal di Temanggung.
[67] Simatupang, ibid.,
hlm. 60.
[68] Keterangan dari Bambang Purnomo.
[69] Indrias
tuti, ibid., hlm. 85.
[70] Simatupang, ibid., hlm. 68.
[71] Budiarjo kemudian menjadi Menteri Penerangan di zaman Orde Baru
Marsekal Madya TNI
(Purn.) Budiarjo, Menteri Penerangan RI 1968 - 1973
[73] Menurut keterangan dr. W. Hutagalung, teks yang disusun oleh
Simatupang dalam bahasa Inggris.
[74] Simatupang, ibid.,
hlm. 69.
[75] SESKOAD, ibid., hlm. 196 - 197.
[76] Nasution, ibid., hlm. 263 - 264.
[77] SESKOAD, ibid., hlm. 241.
[78] Salim, ibid., hlm.52 - 53.
[79] Simatupang, ibid., hlm. 216.
[80] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209.
[81] Ibid., hlm. 197 - 198.
[82] Hasil KMB, lihat lampiran.
[83] Nasution, ibid., jilid 11, hlm. 391.
[84] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209 - 210.
[85] Nasution, ibid., hlm. 393.
[86] Hatta, ibid., hlm. 561.
[87] Nasution, ibid., hlm. 396.
[88] Ibid., hlm. 397.
No comments:
Post a Comment