Dari
kiri: Dandim Letkol Haryono, Duta Besar Tjeerd de Zwaan, Ketua KUKB Batara R.
Hutagalung
Pada
9 Desember 2011 dalam acara peringatan ke 64 peristiwa pembantaian di Monumen Rawagede,
pemerintah Belanda, melalui Duta Besar Tjeerd de Zwaan akhirnya secara resmi
meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara
Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947.
Sebelum
ini, pemerintah Belanda berulang kali hanya menyatakan menyesal (REGRET), namun Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB) tetap menuntut permintaan maaf (APOLOGY) dari pemerintah Belanda. (Lihat tulisan ‘RAWAGEDE: Belanda
Menyesal Saja Tidak Cukup. Harus Meminta Maaf’ :
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-belanda-menyesal-saja-tidak.html).
Selain tuntutan kompensasi, tuntutan permintaan maaf ini juga menjadi salahsatu
butir dalam gugatan di pengadilan sipil di Den Haag, Belanda.
Juga
disampaikan kesediaan pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi kepada 8
janda dan satu korban selamat terakhir, Sa’ih, yang menggugat pemerintah
Belanda di pengadilan Belanda sejak tahun 2009 (!). Masing-masing penggugat
akan menerima kompensasi sebesar 20.000 Euro, atau setara dengan Rp. 240 juta. Hal
ini dilakukan oleh pemerintah Belanda sebagai pelaksanaan putusan pengadilan di
Den Haag 14 September 2011, yang menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan
bertanggungjawab atas pembantaian di Rawagede tahun 1947. (Teks lengkap putusan
pengadilan Belanda, 14.9.2011, lihat:
Pemerintah
Belanda sebenarnya berhak mengajukan banding sampai 14 Desember 2011, namun
memutuskan tidak melakukan hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Menlu Belanda,
Uri Rosenthal, dan bahkan segera memutuskan untuk memberikan kompensasi sebesar
20.000 Euro untuk setiap penggugat dan meminta maaf kepada keluarga korban.
Namun
sejak dimajukan gugatan pada tahun 2009 sampai putusan pengadilan 14.9.2011,
dua orang janda telah meninggal, dan Sa’ih, korban selamat terakhir juga
meninggal tahun ini, pada 7 Mei 2011, 7 bulan sebelum putusan pengadilan. Mereka
telah hidup dalam kemiskinan, dan di akhir hidup mereka, tidak dapat lagi
menikmati hasil tuntutan mereka. Sangat ironis dan menyedihkan! Ini terjadi karena pemerintah Belanda terkesan
mengulur-ngulur waktu, dan menunggu sampai semua janda korban meninggal. Hal
ini disampaikan oleh Batara R. Hutagalung, yang berbicara sebagai Ketua Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dalam sambutannya di Rawagede pada 9 Desember
2011. (Lihat:
Batara
R. Hutagalung menyambut baik keputusan pemerintah Belanda untuk tidak
mengajukan banding atas putusan pengadilan pada 14 September 2011, (Teks
lengkap putusan pengadilan Belanda, lihat:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/rawagede-uitspraak-van-de-rechtbank.html)
melainkan melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Namun Batara menyatakan,
hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, seandainya Dubes Belanda
Baron Schelto van Heemstra pada 3 April 2002 menerima usulan dari Komite
Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang pertama kali menuntut
pemerintah Belanda pada 20 Maret 2002, ketika di Belanda sepanjang tahun 2002
merayakan 400 tahun berdirinya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). VOC
didirikan pada 20 Maret 1642. Belanda merayakan zaman VOC sebagai zaman
Keemasan (de gouden eeuw), sedangkan
bagi rakyat Nusantara, zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan,
pembantaian jutaan rakyat Nusantara dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.
Pada 3 April 2002, pimpinan KNPMBI diundang oleh
Dubes Baron van Heemstra. Dalam kesempatan itu, Batara mengatakan, ada kata-kata
bijak dalam bahasa Jerman yang berbunyi: “Lieber
ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang terjemahan
bebasnya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama
tanpa akhir.” (mengenai perjuangan
KNPMBI sejak tahun 2002 dan KUKB sejak tahun 2005, lihat:
Tujuan
dari KNPMBI (kemudian diteruskan oleh KUKB), bukanlah untuk membalas dendam,
melainkan menawarkan suatu rekonsiliasi yang bermartabat, artinya antara dua
bangsa yang sederajat dan saling mengakui. (Mengenai KUKB, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/02/committee-of-dutch-honorary-debts.html)
Namun,
untuk dapat dilakukannya rekonsiliasi, pemerintah Belanda harus mengakui dahulu
de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17 Agustus 1945. (Petisi KNPMBI, lihat http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html),
dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.
Kata-kata
bijak ini diulangi kepada Dubes Nikolaos van Dam dalam sambutan Batara
Hutagalung pada 9 Desember 2008 di Monumen Rawagede, pada acara peringatan ke
61 peristiwa pembantaian di Rawagede.
Acara
tersebut juga merupakan suatu peristiwa bersejarah, karena untuk pertama
kalinya seorang Duta Besar Belanda hadir dalam suatu acara peringatan peristiwa
pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia.
Dalam
sambutannya, Batara juga mengungkapkan tidak adanya perhatian pemerintah dan
parlemen Indonesia. (Lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/perjuangkan-kasus-rawagede-tak-ada.html).
Kasus Rawagede dibahas di sidang pleno parlemen Belanda sudah sembilan kali,
namun tidak satu kali pun di parlemen Indonesia, yang merupakan wakil-wakil
rakyat Indonesia. Yang mendukung tuntutan KUKB justru banyak anggota parlemen
Belanda. Pada 18 November 2008, mayoritas anggota parlemen Belanda menjetujui
tuntutan Batara R. Hutagalung yang dimajukan sebagai mosi oleh Harry van Bommel
dkk, agar Duta Besar Belanda harus hadir pada peringatan 9 Desember 2008 di
Rawagede,. (Lihat:
Dalam
sambutannya berbahasa Inggris yang ditujukan kepada Duta Besar Belanda, Batara
Hutagalung menyampaikan pesan kepada Menlu Belanda Uri Rosenthal, bahwa ini
bukanlah akhir dari tuntutan kepada pemerintah Belanda, melainkan awal dari tuntutan-tuntutan
atas peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, termasuk pembantaian oleh Westeling di
Sulawesi Selatan.
Batara
Hutagalung tetap menawarkan rekonsiliasi yang bermartabat, antara dua Negara
yang sederajat dan saling mengakui. Untuk itu pemerintah Belanda harus mengakui
dahulu de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17.8.1945, meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan memberi
kompensasi atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda antara
tahun 1945 – 1950.
Di
akhir acara peringatan, Jeffry Pondaag memberikan sambutan sebagai Ketua
Yayasan KUKB di Belanda, yang sebelumnya merupakan KUKB Cabang Belanda. Jeffry Pondaag
menyampaikan terima kasih terutama kepada Liesbeth Zegveld, pengacara yang
mewakili delapan janda dan Sa’ih, korban selamat terakhir (meninggal pada 7 Mei
2011) di pengadilan sipil di Den Haag, Belanda.
*******
nah kalo begitu kita kan jadi nambah bnyk persodaraan
ReplyDelete