Pembantaian di Galung Lombok, dll., Terjadi Karena Belanda Tak Mau Akui Proklamasi 17.8.1945
Oleh Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Pada
10 November 1945 tentara Inggris memulai gempuran dari darat, laut dan udara
yang sangat dahsyat selama sekitar tiga minggu terhadap kota Surabaya, Jawa
Timur. Pada waktu itu Inggris mengerahkan lebih dari 30.000 tentara yang
diperlengkapi dengan persenjataan yang paling muthakir yang dimiliki oleh
Inggris. Itu merupakan pengerahan pasukan terbesar yang dilakukan oleh Inggris
seusai Perang Dunia II.
Diperkirakan
lebih dari 20.000 rakyat Indonesia di Surabaya, sebagian terbesar adalah
penduduk sipil termasuk wanita dan anak-anak, tewas akibat pemboman yang
membabibuta, lebih dari 150.000 penduduk dipaksa mengungsi ke luar kota dan
Surabaya bagian selatan hancur. Demikianlah gambaran mengenai situasi kota
Surabaya, setelah digempur selama tiga minggu oleh Divisi V di bawah komando
Mayjen. R.C. Mansergh.
Kini
setiap tahun bangsa Indonesia memperingati awal pemboman tentara Inggris
tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Pada
20 November 1946, tentara Belanda menggempur pasukan Ciung Wanara pimpinan
Letkol. I Gusti Ngurah Rai (kemudian menjadi Kolonel anumerta). Dalam pertempuran
yang kemudian dikenal sebagai Puputan Margarana, I Gusti Ngurah Rai gugur
bersama 95 orang anak-buahnya.
Pada
1 Februari 1947, pasukan elit Belanda Depot
Speciale Troepen di bawah pimpinan Letnan Vermeulen, wakilnya Raymond P.P. Westerling, membantai lebih
dari 700 orang di desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali
Mandar, Sulawesi Barat. Sebagian terbesar adalah pendudk sipil, termasuk 3
wanita dan anak-anak. Mereka ditembak mati di tempat, secara membabibuta, tanpa
proses pengadilan. 29 di antaranya adalah anggauta Angkatan Laut RI. Setelah
“berjasa memulihkan keamanan” di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, kini
beberapa daerah termasuk provinsi Sulawesi Barat), pangkat Westerling naik
menjadi Kapten.
Pada
9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas
kapal perang AS Renville, tentara
Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
(Mengenai perjuangan menuntut pemerintah Belanda atas pembantaian di Rawagede, lihat:
dan
pemerintah Belanda meminta maaf di desa Rawagede pada 9 Desember 2011:
Surabaya
bukan satu-satunya kota atau wilayah yang diserang oleh tentara Inggris. Upaya
untuk menghancurkan kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia -BKR
(Badan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan berbagai laskar-
juga dilakukan oleh tiga divisi tentara Inggris di Sumatera (Pertempuran Medan
Area) dan di seluruh Jawa (a.l. Bandung Lautan Api).
Kini
juga terungkap, bahwa dua divisi tentara Australia juga melancarkan operasi
militer di wilayah Indonesia bagian timur dengan tujuan yang sama, yaitu
melumpuhkan kekuatan bersenjata pendukung Republik yang baru diproklamirkan
pada 17.8.1945. Pada waktu itu belum ada Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia adalah laskar-laskar pemuda
yang memperoleh senjata yang direbut dari tentara Jepang. Kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat dan
Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR).
Tentara
Australia sangat berjasa besar kepada Belanda, karena setelah seluruh wilayah
Indonesia Timur dinyatakan telah berada di bawah kekuasaan tentara Australia,
pada 15 Juli 1946 seluruh wilayah Indonesia Timur “diserahkan” kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration),
yang diwakili oleh Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Wakil Gubernur
Jenderal Nederlands Indië (India
Belanda), sebelum jajahan Belanda tersebut “diserahkan” kepada Jepang di
Kalijati pada 9 Maret 1942.
Kini
terungkap, bahwa tujuan operasi militer Inggris dan Australia ini adalah untuk
mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertera dalam surat perintah yang diberikan oleh
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command), Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Hal ini juga diakui secara
terus terang oleh Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Sir Richard
Gozney, dalam pernyataannya di seminar Internasional yang diselenggarakan di
LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000.
Latar Belakang Sejarah
Sejarah
mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama
lebih dari 300 tahun, terutama Jakarta, yang –setelah dikuasai tahun 1619- oleh
Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera
Utara dan Bali kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40
tahun saja, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara
Jepang dan “menyerahkan” seluruh jajahannya kepada tentara Jepang. Namun
permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau
negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan
tersebut, yang lazim disebut sebagai penjajahan, atau kolonialisme.
Tidak
ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa
atau negara untuk menguasai bahkan merampok negara lain serta memperbudak
penduduknya. Yang ada hanyalah berdasarkan atas kekuatan bersenjata seperti
halnya hukum rimba, yaitu siapa yang kuat memangsa yang lemah.
Pada
abad 15, dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan
wilayah-wilayah di luar Eropa untuk perdagangan atau untuk dijadikan pemukiman
(koloni). Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara
katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara kedua
negara tersebut dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani
kesepakatan yang dinamakan Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty). Isinya adalah membagi dunia menjadi dua
bagian, yaitu satu bagian untuk Spanyol dan satu bagian untuk Portugal. Namun
ketika Belanda, Inggris dan Perancis memasuki kawasan-kawasan tersebut, ketiga
Negara ini tidak merasa terikat dengan Traktat Tordesillas. Sering terjadi
pertempuran baik di laut maupun di darat di antara kelima Negara tersebut yang memperebutkan
hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa, terutama di Asia selatan/tenggara, di
mana mereka memperebutkan wilayah yang kaya akan rempah-rempah, yang pada waktu
itu sangat mahal di Eropa.
Inggris
dan Belanda kemudian beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk
membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Kemudian Belanda dan Portugal
sepakat untuk membagi dua Pulau Timor. Juga antara Belanda dengan Inggris
pernah terjadi “tukar guling” jajahan di Asia Tenggara, yaitu Bengkulu yang
sebelumnya adalah jajahan Inggiris, ditukar dengan Singapura, waktu itu di
bawah kekuasaan Belanda.
Kalau
melihat perilaku para penjajah yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan
terlihat, ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah
kekuasaan, apakah itu kota, atau wilayah di dalam suatu kota, bahkan seperti para
preman yang membagi kekuasaan atas lahan parkir kendaraan bermotor!.
Dalam
perebutan wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama dua abad, akhirnya Belanda berhasil
mengungguli Inggris, Spanyol dan Portugal, dengan menguasai wilayah, yang
kemudian oleh Belanda dinyatakan sebagai “provinsi seberang laut” dengan nama Nederlands Indië (India Belanda).
Inggris dapat berkuasa di Malaya (Malaysia) dan Irian Timur, Spanyol di
Filipina dan untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor Leste) dan Macau.
Perancis “memperoleh” Indochina, yang kemudian setelah merdeka, menjadi tiga
negara: Vietnam, Laos dan Kamboja.
Pada
20 Maret 1642, para pengusaha Belanda mendirikan kongsi dagang Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
dan mendapat kekuasaan (Oktrooi)
seperti layaknya sautu negara, yaitu menerbitkan mata uang sendiri, memiliki
tentara dan menyatakan perang terhadap suatu negara. VOC dibubarkan pada 31
Desember 1779 karena merugi akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semua
wilayah yang dikuasai oleh VOC diambil alih oleh pemerintahan, yang dibentuk
oleh Belanda. (Tulisan mengenai VOC, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html)
VOC
meninggalkan utang kepada pemerintah Belanda sebesar 279 juga gulden, yang
apabila dikonversi ke index tahun 2012, dapat mencapai lebih dari 10 milyar US
$. Utang ini diakumulasikan dengan utang pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada pemerintah Belanda sampai
tahun 1942. Kemudian ditambahkan pengeluaran Belanda selama agresi militer
Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1950. Jumlah utang ini ditagihkan kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk sebagai hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB) November 1949, sebesar 4 ½ milyar gulden, waktu itu
setara dengan 1,1 milyar US $.
Belanda Kehilangan Hak Sejarah Atas
Jajahannya
Perang
dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3
September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan
hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu
Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan
demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.
Di
Asia timur/tenggara, agresi militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan
terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember
1941. Jepang melancarkan agresinya dengan menyerang negara-negara di Asia
tenggara, yang waktu itu –kecuali Thailand- berada di bawah penjajahan
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Satu persatu negara-negara jajahan
Eropa/Amerika itu jatuh ke tangan Jepang.
Amerika,
Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando gabungan yang dinamakan
ACDACOM – American, British, Dutch,
Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell.
Admiral Karel Doorman dari Belanda ditunjuk sebagai Tactical Commander untuk memimpin armada sekutu.
Dalam
pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942, yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java Sea” armada sekutu
dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari. Admiral Karel Doorman tewas
bersama kapal perang utama armada sekutu (Flagship), De Ruyter, yang tenggelam
dalam pertempuran tersebut.
Setelah
menghancurkan pertahanan laut sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan
tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan dilakukan serentak di tiga titik, yaitu di
Banten (Jawa Barat), Eretan Wetan dan Kranggan (Jawa Tengah).
Hanya
dalam waktu satu minggu, tentara sekutu di Jawa disapu bersih oleh balatentara
Dai Nippon. Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima
Tentara 16 Jepang memberikan ultimatum kepada tentara sekutu untuk segera
menyerah, dan kalau tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan dimusnahkan
oleh tentara Jepang.
Pada
9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara
Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda
menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal
9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di
bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas
wilajah Nederlands Indië/India-Belanda.
(Lihat tulisan ‘9 Maret 2012. 70 Tahun Berakhirnya Penjajahan Belanda di
Bumi Nusantara’:
Jepang
mengganti semua nama-nama jalan, gedung, hotel menjadi nama-nama Jepang. Untuk
mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta,
yang kelihatannya diambil dari kata Jayakarta, nama sebelum diganti Belanda
menjadi Batavia.[1]
Mengenai
hilangnya “hak sejarah” Belanda atas bekas jajahannya, dipaparkan oleh
Lambertus Nicodemus Palar (telah diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional),
Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan
Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut isinya
antara lain sebagai berikut:
“ …Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir
sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah
Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit
juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya…
…Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah
tanpa bersyarat kepada Jepang, maka
rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan
strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara
Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di
antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu,
terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris…
…Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia
mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk
menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap
kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang
didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia
yang mengagung-agungkan kemerdekaan...
... Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan
hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta
telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah
beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap
negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi
kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri...”
Demikian
a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.[2]
Jepang Menyerah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah
berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, tentara Jepang telah
menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan
jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Selama
perang masih berkecamuk di Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu terpecah,
sehingga tidak bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia.
Namun setelah Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dapat mengalihkan
kekuatannya ke Asia untuk memerangi Jepang.
Pada
6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9
Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang
tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota
Jepang. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah
tanpa syarat kepada sekutu.
Penandatanganan
dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2
September 1945 di atas kapal perang AS
Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai
2 September 1945, terdapat vacuum of
power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh Jepang,
termasuk Indonesia.
Pada
17 Agustus 1945, di masa vacuum of power
tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Pada 18 Agustus Ir.Sukarno diangkat sebagai Presiden dan M. hatta
sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama. Dengan
demikian ketiga persyaratan pembentukan suatu negara berdasarkan Konvensi Montevideo
telah terpenuhi. (Mengenai Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945, lihat:
Belanda Ingin Menjajah Kembali.
Meminta Bantuan Inggris
Meminta Bantuan Inggris
Pemerintah
Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, dan masih
tetap menganggap, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah wilayah jajahannya
yang bernama Nederlands Indië (India
Belanda).
Karena
tidak memiliki angkatan perang yang kuat setelah tentaranya di Belanda
dihancurkan oleh tentara Jerman tahun 1940, dan tentaranya di India Belanda
dihancurkan oleh tentara Jepang pada bulan Februari - Maret 1942, maka Belanda
meminta bantuan Inggris. Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, dekat London,
dicapai kesepakatan yang dinamakan Civil
Affairs Agreement (CAA), di mana Inggris bersedia membantu dengan kekuatan
militer, agar Belanda memperoleh kembali Indonesia sebagai jajahannya. Wilayah
yang telah “dibersihkan”, kemudian akan diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kesepakatan
ini ternyata kemudian menjadi bencana yang sangat besar bagi bangsa dan negara
Indonesia, yaitu tewasnya sekitar satu juta (!) rakyat Indonesia, jutaan
manusia harus mengungsi dan hancurnya banyak sarana serta prasarana
infrastruktur, yang sangat memukul perekonomian negara yang baru berdiri. Upaya
Belanda menjajah kembali ternyata juga didukung oleh banyak orang Indonesia
sendiri, yang selama masa penjajahan Belanda menjadi pembantu Belanda dan ikut
menikmati penjajahan tersebut.
Untuk
tentara Inggris dan Belanda, agresi militer ini juga menelan korban jiwa yang
tidak kecil. Korban tewas di pihak tentara Inggris diperkirakan mencapai 1.500
orang, dan menurut pemerintah Belanda, tentara Belanda yang mati selama agresi
miliiternya di Indonesia mencapai 6.000 jiwa. Di pihak Belanda, tidak semua
tewas dalam petempuran. Sebagian meninggal karena penyakit atau bunuh diri,
seperti kabarnya yang dilakukan oleh Panglima tertinggi tentara Belanda, Letjen
Simon H. Spoor, yang bunuh diri karena kecewa disetujuinya perundingan KMB.
Belum ditemukan data mengenai korban yang diderita oleh tentara Australia
selama operasi militernya di wilayah timur Indonesia.
Panglima
Tertinggi Komando Asia Tenggara (Supreme
Commander South East Asia Command) Vice Admiral Lord Louis Mountbatten
diperintahkan untuk melaksanakan tugas ini. Dia memperkirakan, diperlukan enam
divisi untuk menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang ditinggalkan
oleh Jepang, namun dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris,
yaitu British Indian Divisions, yang sebagian besar anggota pasukannya berasal
dari India (sekarang menjadi India, Pakistan dan Bangladesh) dan Nepal
(Gurkha). Oleh karena itu, dua divisi tentara Australia diperbantukan untuk
melaksanakan kesepakatan Chequers tersebut.
Mengenai
penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“… Having
taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific
Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the
political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an
Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been
supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for
their participation in nationalist propaganda –but no information had been made
available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation
Dr. H.J. van
Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st
September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java
would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese ...”
Catatan
Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi
yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten dalam pertemuan di Kandy, Sri
Lanka (Ceylon) pada 2 September 1945, salah dan sangat menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal,
bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana
kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
“Pembersihan” Kekuatan Bersenjata RI
oleh Inggris dan Australia
oleh Inggris dan Australia
Tentara
Australia, yang sebelumnya berada dalam Komando Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command) yang
dipimpin oleh Letjen Douglas McArthur, memang telah menguasai sebagian besar
wilayah Indonesia bagian timur, termasuk
Maluku dan Irian Barat. Bahkan
McArthur menggunakan Morotai, Maluku Utara, sebagai basis penyerbuan tentara
Sekutu ke Jepang. Oleh karena itu, tentara Australia dapat dengan cepat
“menyelesaikan tugasnya” tanpa mengalami kesulitan besar.
Ketika
Jepang menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Allied Forces (Tentara Sekutu) di Tokyo Bay pada 2 September 1945,
dan kemudian pada 12 September 1945 di Singapura, Lord Louis Mountbatten
menerima penyerahan wilayah Asia tenggara dari tentara Jepang, seluruh Jawa dan
Sumatera masih dikuasai oleh tentara Jepang. Namun di beberapa pulau di wilayah
Indonesia bagian timur, tentara Australia sudah merebut wilayah tersebut dari
Jepang. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara
Inggris untuk melaksanakan perjanjian Chequers. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang
tanggal 11 September,
- di Banjarmasin
tanggal 17 September,
- di Makasar
tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado
tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak
tanggal 16 Oktober.
Pasukan
Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA di sebagian besar kota-kota itu
sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh
karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan
rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak
Belanda.
Sementara
itu, sebelum penandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Jepang,
Belanda telah mengirim pasukan perintisnya ke Sumatera Utara. Tanggal 27
Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda
memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest merekrut
kembali semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan
sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka
direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.
Pada
14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan
pesawat udara mendarat di Medan. Dia dalam rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B.
de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris KaptenTurkhaud dan Prajurit
Sariwating. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest. Westerling membawa seragam
dan persenjataan untuk 175 orang.
Tentara
Inggris sendiri sangat lambat mengirim pasukannya ke Indonesia. Pendaratan satu
batalyon Seaforth Highlanders dari
Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 44
(!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur
Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan
Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris
di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom
Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the
15th British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter
tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya
dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September
1945.
Sebenarnya
secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces (Tentara
Sekutu) kepada Vice Admiral Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese
Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta
interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners
of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun
terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Inggris, yaitu melaksanakan
hidden agenda, yaitu kesepakatan Inggris dengan Belanda untuk mengembalikan
Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertuang dalam surat perintah
Mountbatten tertanggal 2 September 1945, kepada komandan Divisi 5, dengan
kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di
Surabaya. Perintah tersebut berbunyi:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From
: Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to
proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the
surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied
prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the
provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and
return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services.
The main landing will
be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be
most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports
indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a
deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt
aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain
the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a
sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander
S.E.Asia.
Kalimat:
… “In keeping with the provisions of
the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony
to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services ...”
dan
kalimat berikutnya:
“… the local natives have declared a
Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the
Japanese Invasion ...”
menyatakan
secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada
Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan
status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Brigjen
AWS Mallaby bersama Brigade 49 yang dijuluki sebagai “The Fighting Cock” baru tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945\, 69
(!) hari setelah proklamasi kemerdekaan RI. Ketika pasukan Inggris mendarat di
Surabaya, seluruh persenjataan tentara Jepang telah jatuh ke tangan rakyat
Surabaya dan sekitarnya. Senjata yang direbut dari tentara Jepang sangat
banyak, sehingga dapat mengirim empat gerbong senjata ke Jakarta dan satu
gerbong ke Yogyakarta.
Setelah
itu, tentara Inggris memulai “pembersihan” kekuatan bersenjata pendukung
Republik Indonesia. Namun perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai daerah
sangat dahsyat, terutama di Jawa dan Sumatera Utara, di mana terdapat
konsentrasi pasukan bersenjata RI yang sangat kuat. Dalam pertempuran di
Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober, Brigade 49 terancam punah, kalau tidak
diselamatkan oleh Presiden Sukarno. (Rincian mengenai pertempuran 28/29 Oktober
1945 dan latar belakang pemboman atas Surabaya, lihat: http://10november1945.blogspot.com)
Tentara
Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda (NICA)
pada 15 Juli 1946. Pada 16 Juli van Mook langsung menggelar Konferensi Malino,
di Sulawesi Selatan, di mana dibahas pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT)
yang kemudian direalisasikan dalam Konferensi Denpasar bulan Desember 1946. Untuk
memuluskan pelaksanaan Konferensi Denpasar, tentara Belanda sebelumnya mengha
ncurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia di Bali. Pada bulan November
1946 terjadi pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Puputan Margarana, di mana komandan pasukan Indonesia, Kol. I Gusti
Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya dan sebagian anggota keluarga mereka.
Sementara
itu di Sulawesi Selatan (kini setelah pemekaran, beberapa daerah termasuk
Provinsi Sulawesi Barat), Letnan Raymond P.P. Westerling bersama pasukan
elitnya Depot Speciale Troepen
ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketenteraman (law and order), yaitu untuk “membasmi para perampok, perusuh,
pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang.”
Inggris
sendiri baru “menyerahkan” seluruh kewenangannya kepada Belanda bulan November
1946. Inggris juga meninggalkan seluruh persenjataan beratnya kepada tentara
Belanda. Dalam kurun waktu satu tahun, Belanda berhasil menggantikan seluruh
pasukan Australia dan Inggris. Selain merekrut sekitar 60.000 pribumi menjadi
tentara KNIL (prajurit asal Ambon sekitar 5.000 orang), pemerintah Belanda juga
mengirim lebih dari 150.000 tentara wajib militer dari Belanda. Sebelum
meninggalkan Indonesia, Inggris masih memfasilitasi perundingan antara
pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda di Linggajati, yang kemudian
dikenal sebagai Persetujuan Linggajati.
Setelah
Inggris dan Australia “menyerahkan” wilayah-wilayah yang mereka kuasai kepada
Belanda, maka agresi militer Belanda berlanjut hingga Agustus 1949. Dalam upaya
Belanda menjajah Indonesia dengan kekuatan militer, terjadi sejumlah besar
pelanggaran HAM berat, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang
dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, seperti pembantaian lebih
dari 700 orang di desa Galung Lombok, Sulawesi barat, pembantaian 431 penduduk
sipil di desa Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, dll.
Setelah
berperang selama lebih dari empat tahun, pada bulan Agustus sampai November
1949 dilakukan perundingan di Belanda yang dikenal sebagai Konferensi Meja
Bundar (KMB) yang difasilitasi oleh PBB. Sebagai hasil kesepakatan KMB,
dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
di mana Republik Indonesia adalah salahsatunya.
Sukarno
diangkat menjadi Presiden RIS, dan jabatan Presiden Republik Indonesia dipegang
oleh Assaad Datuk Mudo, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Komite Nasional
Indonesia Pusat – KNIP, yang sekarang setara dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Beberapa hasil KMB antara lain:
v
Pembentukan Uni
Indonesia – Belanda, di mana kepala Uni tersebut adalah Ratu Belanda. Salahsatu
butir perjanjian ini adalah, apabila pemerintah RIS akan mengadakan hubungan
diplomatik dengan negara lain harus dengan izin dari pemerintah Belanda.
v
RIS yang
dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Nederlands
Indië (India – Belanda), diharuskan membayar utang pemerintah India -
Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden. Di dalamnya
termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah India – Belanda untuk membiayai
agresi militer I, 21 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948. Utang
tersebut dicicil dan telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan
oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1956.
v
Mantan tentara
KNIL yang ingin masuk TNI harus diterima dengan pangkat satu tingkat lebih
tinggi. Di tahun 70-an, beberapa dari mereka mencapai pangkat jenderal dan
berada di pucuk pimpinan TNI.
v
Masalah Irian
Barat ditunda pembicaraannya, sehingga ketika penyerahan kedaulatan pada 27
Desember 1949, Irian barat tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian untuk
pemerintah Belanda, secara yuridis Irian (Papua) Barat bukan bagian dari NKRI.
Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan dan membiayai pakar sejarah Prof. Dr.
Pieter Drooglever untuk melakukan penelitian kembali mengenai Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) Irian Barat. Setelah melakukan penelitian selama 5
tahun dan dengan biaya yang sangat besar, pada bulan November 2005, Drooglever
menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku setebal 740 halaman yang berjudul “Act of Free Choice.” Secara singkat,
Drooglever menilai, bahwa PEPERA adalah suatu kecurangan besar.
Yang patut dipertanyakan di sini adalah, mengapa
setelah 30 tahun, di tengah-tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintah Indonesia di Papua Barat, pemerintah Belanda mengangkat kembali
peristiwa ini.
Pada
tahun 1956 pemerintah RI secara sepihak membatalkan Perjanjian KMB. Selain itu,
pemerintah RI juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran sisa cicilan utang
yang harus dibayar sebesar sekitar 500 juta gulden. Pada saat itu, dari jumlah
4 ½ milyar gulden, telah dibayar sebesar 4 milyar.
Demikianlah
latar belakang mengapa sampai terjadi persitiwa pemboman oleh tentara Inggris
di Surabaya bulan November 1945. Demikian juga pembantaian terhadap ratusan
ribu penduduk sipil Indonesia sampai tahun 1950, seperti yang terjadi di desa
Galung Lombok (Sulawesi Barat), Rawagede (Jawa Barat), Kranggan (Jawa Tengah),
peristiwa Gerbong Maut Bondowoso (Jawa Timur), Jembatan Ratapan Ibu di
Payakumbuh (Sumatera Barat), dll.
Kalau
berpegang pada kaidah hukum ‘sebab-akibat’ (bahasa Jerman: Ursache – Wirkung), maka akar permasalahan dari pembantaian satu
juta rakyat Indonesia, kehancuran infrastruktur dan perekonomian Republik yang
baru berdiri adalah karena pemerintah Belanda –sampai detik ini, Februari 2013-
tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945!
(Lihat
wawancara Menlu Belanda Ben Bot pada 18.8.2005 di satu stasiun TV di Indonesia:
*******
(Catatan:
Pada 10 November 1999, Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman
November 1945 melakukan unjukrasa ke Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di
Jakarta, menuntut pemerintah Inggris meminta maaf dan bertanggungjawab atas
pemboman Surabaya November 1945. Selengkapnya baca:
Kumpulan
tulisan Batara R. Hutagalung dapat dilihat di:
Berbagai
artikel yang sehubungan dengan Belanda dapat dilihat di:
http://indonesiadutch.blogspot.com
(bahasa Indonesia, Inggris, Belanda dan
Jerman).
Mengenai
pemboman Inggris di Surabaya:
[1] Sebelum bernama Jayakarta, nama kota tersebut adalah
Sunda Kalapa. Fatahillah (Faletehan) dari Kesultanan Demak, setelah menaklukkan
kerajaan Hindu/Sunda, mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
[2] Teks lengkap dalam bahasa Indonesia dapat dibaca dalam
buku tulisan Batara R. Hutagalung: ‘Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam
Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia’, Penerbit LKiS, 2010.
742 halaman.
No comments:
Post a Comment