Dari Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung:
“Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa”
Pengantar
Dalam posting saya terdahulu, saya
menyampaikan kisah Kesetiakawanan sosial yang ditunjukkan rakyat Indonesia di
Jawa Timur pada detik-detik pemboman tentara Inggris di Surabaya tanggal 10
November 1945.
Kisah tersebut yang dituturkan oleh pelaku
sejarah, Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dalam Autobiografinya,
ternyata mendapat respon yang sangat positif dari pembaca di berbagai grup
medsos. Di satu grup di facebook saja, yang merespon positif hampir mencapai
400. Biasanya respon terhadap tulisan2 sehubungan dengan wabah virus Corona
hanya mencapai belasan, atau paling tinggi puluhan saja. Hal ini berarti,
masyarakat sangat terbuka dengan kisah dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia
mempertahankan kemerdekaan.
Dalam situasi di Indonesia saat ini
menghadapi pandemi virus Corona, tetap harus dijaga Kesatuan dan Persatuan
Bangsa, agar perbedaan pendapat dan pandangan, tidak menjurus ke perpecahan
bangsa dan negara Indonesia..Perlu kiranya dibuka lembaran sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, di mana seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, mempertahankan
kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mengenai hal ini, ada bagian dari sejarah
yang dituturkan oleh Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang
menunjukkan, bahwa ratusan pemuda yang berasal dari Aceh, Deli dan Batak, ikut
berperang di Surabaya/jawa Timur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia
yang diproklasikan pada 17 Agustus 1945.
***
Belanda sama sekali tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia (sampai detik ini, April 2020). Dalam kunjungannya ke
Indonesia awal Maret 2020, Raja Belanda hanya menegaskan pernyataan Menlunya
tahun 2005, bahwa mulai tahun 2005, pemerintah Belanda MENERIMA PROKLAMASI 17. 8.1945
SECARA MORAL DAN POLITIS, hanya menerima de facto. Artinya, sampai tahun 2005
untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali. dan setelah 60 tahun
Indonesia merdeka, pemerintah Belanda hanya MENERIMA DE FACTO. Yang diakui de
jure oleh pemerintah Belanda adalah Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS sudah
dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya
kembali NKRI berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
Karena tidak memiliki tentara yang kuat
setelah hancur dalam Perang Dunia II di Eropa dan di Asia tenggara, Belanda
meminta bantuan sekutunya, yaitu Inggris dan Australia. Dalam rangka membantu
Belanda, sesuai dengan perjanjian Civil Affairts Agreement yang ditandatangani
di Chequers, Inggris, tanggal 24 Agustus 1945, Inggris membantu Belanda untuk
“memperoleh kembali” jajahannya, dengan kekuatan militer. Inggris mengerahkan
tiga Divisi, dan dua Divisi tentara Australia membantu Belanda menguasai
seluruh wilayah Indonesia bagian timur.
Tanggal 28 dan 29 Oktober 1945 terjadi
pertempuran di Surabaya melawan tentara Inggris. Dalam rangka menyebarluaskan
gencatan senjata tanggal 30 Oktober 1945, komandan tentara Inggris, Brigjen AWS
Mallaby tewas dalam suatu tembak-menembak.
Tewasnya Mallaby dijadikan alasan oleh
tentara Inggris untuk “menghukum” Surabaya, dengan mengerahkan pasukan
terbesarnya, sejak Perang Dunia II di kawasan Asia berakhir pada 15 Agustus
1945.
Dalam perang besar mempertahankan kemerdekaan
yang diawali oleh pemboman Inggris di Surabaya, sangat banyak pemuda-pemuda
dari seluruh Indonesia yang ikut berperang di Surabaya/Jawa Timur. Salahsatu
pasukan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang berasal dari Aceh, Deli dan Batak,
adalah Pasukan Sriwijaya.
Adanya Pasukan Sriwijaya ini (yang saya
ketahui) hanya ditulis oleh dua orang pelaku pertempuran di Surabaya, yaitu
Kadim Prawirodirdjo (pangkat terakhir Mayor Jenderal TNI) dalam bukunya “Dari
Panggung Perang Kemerdekaan” yang terbit tahun 1987, dan dr. Wiliater
Hutagalung, yang pada bulan Januari 1950 dengan jabatan sebagai Kepala Staf
“Q,” mengunduran diri dari TNI, karena menolak hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)
Dalam buku Autobiografinya, Wiliater
Hutagalung menuturkan mengenai pembentukan dan peran Pasukan Sriwijaya di
Surabaya tahun 1945.
*Mengenai Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater
Hutagalung, silakan klik:*
Penuturan
Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung
Pada suatu pagi ketika penulis sedang berjalan kaki di
Simpang, melihat dua orang pria yang tampaknya sedang kebingungan, berbicara
secara emosional, badan kurus, pakaian compang camping. Setelah agak dekat,
penulis mendengar bahwa mereka berbicara dalam bahasa Tapanuli, Sebagai sesama
orang Tapanuli penulis berbicara dengan mereka dalam bahasa Tapanuli. Ternyata
mereka termasuk orang-orang yang terdampar di Madura yang kemudian menyeberang
ke Surabaya.
Mereka menuturkan kisahnya:
Mereka termasuk anggota Giyugun (tentara sukarela) dari Sumatera,
yang sebagian besar berasal dari Aceh, Deli dan Tapanuli yang dibawa oleh
Jepang ke Morotai, Maluku Utara. Jumlah mereka waktu di Morotai sekitar 2000
orang dan ikut dalam pertempuran melawan tentara Amerika. Mereka telah
mengalami pemboman serta gempuran pesawat terbang dan kapal perang Amerika
Serikat.
Jepang membentuk Giyugun (di Jawa dinamakan Heiho) di
Malaya, Indochina, Filipina dan Sumatera mula-mula untuk membantu Jepang dalam
pertahanan pesisir dan menjaga keamanan serta ketertiban lingkungan. Giyugun di Sumatra dibentuk mulai bulan
September 1943. Pemuda-pemuda yang direkrut adalah anak anak dari keluarga
terpelajar seperti guru-guru, pejabat dan pemuka agama. Jadi Giyugun ini terdiri dari kelompok yang
berpendidikan. Menjelang akhir perang, karena kekurangan prajurit Jepang, Giyugun asal Sumatra ini dibawa ke Morotai untuk membantu Jepang
dalam pertempuran melawan sekutu.
Setelah Jepang menyerah, mereka dilepaskan
begitu saja oleh karena tidak ada pengaturan mengenai Giyugun. Mereka tidak tahu di mana mereka berada, di sekitarnya
hanyalah hutan belantara dan laut. Dengan berbagai cara mereka mencari dunia
yang ada penghuninya, dan akhirnya beberapa ratus orang terdampar di Sulawesi,
a.l. di Majene. Sebagian menetap di sana, sebagian lagi ingin pulang ke kampung
halaman di Sumatera dan mereka ini meneruskan petualangan dengan mencuri bahkan
merampok untuk hidup. Mereka kemudian mengambil perahu-perahu dan kemudian
berlayar.
Pada suatu hari sekitar 400 orang terdampar di Madura. Di
sana mereka mendengar bahwa Madura itu dekat dengan Surabaya, nama kota yang
pernah mereka dengar. Maka menyeberanglah mereka ke Surabaya tanpa mengetahui
jalan, bahasa dan tidak mempunyai uang.
Kepada kedua orang ini penulis memberitahukan
mengenai keadaan yang sudah berubah bahwa kita sudah merdeka dan siap untuk
mempertahankan kemerdekaan. Penulis menganjurkan agar mereka mengumpulkan
teman-temannya dan merundingkan kemungkinan untuk bergabung dengan tentara
Indonesia yang sedang dibentuk. Setelah berhasil mengumpulkan mereka semua,
diadakan pembicaraan dengan hasil bahwa semua setuju untuk membentuk pasukan
sendiri dan bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dalam proses
pembentukan.
Hal ini dikonsultasikan dengan pimpinan Divisi VI yang
kemudian memutuskan menyetujui pemberian status tersendiri bagi para bekas Giyugun yang telah mempunyai pengalaman
bertempur melawan tentara Amerika dan sekutunya di Morotai. Mereka kemudian
memilih pimpinannya sendiri dan mengatur pangkat seperti satu batalyon. Setelah
diperlengkapi dengan seragam dan tanda pangkat (seperti tentara Jepang, dengan
sedikit perubahan), kemudian mereka diberi persenjataan. Mereka menamakan dirinya Pasukan
Sriwijaya. Pimpinan mereka bernama Jansen Rambe, yang penulis temui di Simpang
beberapa waktu sebelumnya, sehingga pasukan ini dikenal sebagai pasukan Jansen
Rambe.
Yang sudah biasa melayani meriam ditempatkan di Kedung
Cowek dan yang sanggup memakai senjata penangkis serangan udara disebarkan
menurut lokasi meriam penangkis serangan udara.
Di Kedung Cowek pada waktu itu ada rentetan benteng-benteng
di pantai menghadap ke Selat Madura. Belanda yang membangun perbentengan yang
kokoh ini tidak sempat menggunakannya dan setelah Jepang menyerah, benteng-benteng
tersebut masih utuh. Meriam-meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal
dan kokoh, dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan
dan pantai Surabaya. Tentara belanda sendiri tidak sempat menembakkan satu
peluru pun pada waktu Jepang menduduki wilayah jajahan Belanda termasuk pulau
jawa. Tentara jepang kemudian menambahkan persenjataan dan memperkuat
perlindungan.
Tentara Jepang pun tidak sempat memanfaatkan
benteng-benteng ini untuk menembak kapal perang musuh sehingga benteng-benteng
yang kokoh dan lengkap dengan semua persenjataannya jatuh ketangan Republik
Indonesia yang baru diproklamirkan. Di sinilah anggota-anggota Pasukan
Sriwijaya yang telah terlatih idan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan.
Pada waktu kapal perang Inggris menembaki Surabaya, mereka sangat terkejut
melihat perlawanan dari arah benteng-benteng di Kedung Cowek.
Dilihat dari kualitas tembakan mereka menyangka yang
melayani meriam-meriam tersebut adalah anggota tentara jepang yang tidak tunduk
pada perintah dan dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (war criminals). Inggris tidak
memperhitungkan bahwa pihak Indonesia memiliki anggota pasukan yang mampu melayani
meriam-meriam berat seperti yang ada di benteng-benteng di Kedung Cowek. Bahwa
ada bekas Gyugun dari Sumatera yang terlatih dan
berpengalaman tempur, tentu sama sekali di luar dugaan mereka. Hal ini kemudian
hari mereka ketahui dari beberapa orang Indonesia yang pada waktu itu ikut
dengan pasukan Inggris.
Dalam pertempuran 3 hari di akhir bulan Oktober 1945 dan
pertempuran mempertahankan Surabaya mulai 10 November 1945 diperkirakan
sepertiga dari Pasukan Sriwijaya ini tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di
benteng-benteng di Kedung Cowek.
Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putra-putra Sumatera
yang gugur sebagai pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan kota Surabaya.
Kota yang samasekali mereka tidak kenal. Sebagian dari mereka tidak sempat lagi
dikuburkan pada waktu perang berkecamuk.
********
No comments:
Post a Comment