PERAN PENTING SEJARAH DALAM MENYUSUN UUD 1945
YANG DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945
Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Pengantar
MPR RI periode 1999 – 2004 telah melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45). Perubahan dilakukan empat
kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.
Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 terdiri
dari:
1.
Pembukaan,
2.
Batang
Tubuh
-
16
Bab,
-
37
Pasal,
-
49
Ayat,
-
4
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Ayat Aturan Tambahan
3.
Penjelasan
Setelah dilakukan perubahan, UUD yang
dinamakan UUD NRI menjadi:
1.
Pembukaan,
2.
Pasal-Pasal,
-
21
Bab,
-
73
Pasal,
-
179
Ayat
-
2
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Pasal Aturan Tambahan
Perubahan yang sangat
signifikan adalah dihapuskannnya “Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar.’ Dalam UUD
Republik Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945 penjelasan tentang UUD
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD '45. Penjelasan ini sangat penting, bukan hanya
memberi keterangan yang lebih rinci mengenai Pasal-Pasal dan Ayat-Ayat yang
telah disahkan, melainkan juga menerangkan latar belakang sejarah dirumuskannya
pasal dan ayat serta menjelaskan tujuan mendirikan Negara Indonesia yang
merupakan Negara Bangsa (Nation State).
Juga menyampaikan garis besar kebijakan yang harus dilakukan oleh Negara,
termasuk kebijakan dalam bidang ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan UUD ’45
Pasal 33. Dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 ditulis a.l.:[1]
UMUM
I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar
Negara itu. Undang-undang Dasar ialah
hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku
juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.
Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit
constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal
Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana
prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari
Undang-undang Dasar itu.
Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat
dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu
Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus
diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa
teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya
Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar
Undang-undang itu.
II.Pokok-pokok
pikiran dalam pembukaan.
Apakah pokok-pokok yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar.
1. "Negara" --begitu
bunyinya-- yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala
paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian
"pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa
Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2. Negara hendak mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah
negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang
Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan
perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara
berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar
harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
III.Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam "pembukaan" dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang
Dasar Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum
(Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis
(Undang-undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.
Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam
pasal-pasalnya.
IV.Undang-undang Dasar bersifat singkat dan supel.
Undang-undang Dasar hanya memuat 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat
peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan
misalnya dengan Undang-undang dasar Filipina.
Maka telah cukup jikalau Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan
pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi, kepada Pemerintah
Pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan
Negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan Negara Muda,
lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada
undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.
Demikianlah sistim Undang-undang Dasar.
Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara
Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh, zaman berubah terutama pada
zaman revolusi lahir batin sekarang ini.
Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala
gerak-gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Berhubung dengan itu
janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk, (Gestaltung)
kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah.
Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat.
Oleh karena itu, makin "supel" (Elastic) sifatnya aturan itu
makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistim Undang-undang Dasar jangan
sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membikin Undang-undang yang lekas
usang ("verouderd").
Yang sangat penting dalam
pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat, semangat para
penyelenggara Negara, semangat para Pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat
kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin
pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-undang Dasar tadi tentu tidak
ada artinya dalam praktek.
Sebaliknya meskipun Undang-undang
Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan
baik, Undang-undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi
yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain
perkataan, dinamic.
Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok-pokok saja harus ditetapkan
dalam Undang-undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan
aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada Undang-undang.
Demikian a.l. yang tertulis dalam Penjelasan
tentang Undang-Undang Negara Indonesia.
Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia
selama puluhan tahun, sejak awal abad 20 bukan hanya sekadar membaca buku-buku
di Nederlands Indie (India-Belanda), di
wilayah jajahan Belanda, melainkan menimba ilmu dan melakukan penelitian di
beberapa negara di Eropa. Mereka berinter-aksi dengan para aktifis gerakan anti
imperialisme dan anti kolonialisme. Hasil-hasilnya ditulis dan disebarluaskan
melalui media-media yang tersedia pada waktu itu. Pengalaman dan pengetahuan
mereka yang menjadi dasar menyusun Undang-Undang dari Negara yang akan
dibentuk. Jadi sangat salah apabila ada pendapat yang mengatakan, bahwa
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia disusun hanya dalam beberapa hari.
Bahkan ada seorang tokoh senior yang menulis, bahwa Undang-Undang Dasar
Republik disusun hanya dalam 8 jam, yaitu pada waktu ditetapkan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Semua pasal dan ayat yang dirumuskan bukan
tanpa alasan, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan sudah melalui
pembahasan panjang, bahkan sebelum dimulainya penyusunan Undang-Undang Dasar
tahun 1945. Dalam sidang-sidang dan di sela-sela sidang Badan yang menyusun
rancangan Undang-Undang Dasar tersebut, juga dilakukan pembahasan serta
perdebatan sengit. Apabila terjadi kebuntuan dalam sidang dan tidak tercapai
musyawarah, maka dilakukan voting, antara lain ketika menentukan bentuk Negara
yang akan didirikan, yaitu apakah bentuk Kerajaan atau Republik atau bentuk
lain. Mayoritas sidang memilih bentuk negara yang akan didirikan adalah
Republik.
Salahsatu dasar penting dalam penyusunan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah sejarah Nusantara, baik di masa pra
kolonialisme, di masa kolonialisme Belanda dan di masa pendudukan tentara
Jepang. Selain tercantum dalam Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK),[2]
hal-hal tersebut di atas juga dapat dibaca di buku-buku yang ditulis oleh para
pendiri Negara dan Bangsa Indonesia.
Risalah Sidang BPUPK dan PPKI
(Untuk memperbesar, silakan klik fotonya)
Mereka yang akan
melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
bukan hanya harus mengetahui dan memahami
hal-hal tersebut di atas, melainkan juga harus mengetahui perkembangan sejarah
Indonesia sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yaitu di masa perang
mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia antara
tahun 1945 – 1950, di masa pemerintahan Republik
Indonesia Serikat (RIS), 27.12.1949 – 16.8.1950 dan di masa pemerintahan
kabinet parlementer NKRI, 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, di mana berlaku
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang masih disusun parlemen RIS.
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari
16 Negara Bagian dan Daerah Otonom, di mana Republik Indonesia dengan
Ibukotanya Yogyakarta, adalah satu dari 16 Negara Bagian tersebut. 15 Negara
Bagian dan Daerah Otonom adalah bentukan Belanda. Di banyak Negara
Bagian/Daerah Otonom duduk orang-orang Belanda dalam pemerintahan. Belanda
sangat berperan dalam mengangkat wakil-wakil dari Negara Bagian/Daerah
Otonom untuk menjadi anggota parlemen dalam Parlemen RIS. Dengan demikian,
mayoritas anggota Parlemen RIS berasal dari Negara-Negara bagian/Daerah Otonom
yang dibentuk oleh Belanda.
Sukarno menandatangani UUDS pada 15 Agustus
1950 masih sebagai Presiden RIS. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang disusun
oleh parlemen RIS, digunakan oleh NKRI sampai tanggal 5 Juli 1959, tanggal
dikeluarkannya Dekrit Presiden. Di dalam UUDS yang berlaku pada waktu itu,
tidak dikenal adanya Dekrit untuk mengubah UUDS. Oleh karena itu perlu kiranya
diketahui, mengapa sampai dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk Kembali
Ke UUD ’45.
Kemudian juga penting diteliti periode
setelah tahun 1965, mengapa timbul tuntutan untuk dilakukannya perubahan UUD
’45, yaitu periode Orde Baru1965 – 1998 dan sampai pada waktu dimulainya
pembahasan tahun 1999 untuk mengubah UUD ’45 yang disahkan pada 17 Agustus
1945.
Sekilas
Sejarah Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa
Sejarah penjajahan (kolonialisme) oleh
bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara yang kemudian menjadi wilayah Republik
Indonesia, dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis di Maluku tahun 1512.
Kemudian berturut-turut datang bangsa Spanyol, Inggris dan terakhir bangsa
Belanda. Perancis sempat menguasai wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggra, yaitu
ketika Belanda diduduki oleh Perancis di masa kejayaan Napoleon Bonaparte (1769
– 1821) di Eropa.
Tujuan bangsa-bangsa Eropa sejak awal bukanlah
untuk berdagang, melainkan untuk menguasai wilayah-wilayah di luar Eropa. Hal
ini dapat dilihat dari Traktat Tordesillas (Tordesillas
Treaty) yang disepakati oleh dua kekuatan dunia waktu itu, Portugal dan
Spanyol. Dalam rangka mencari wilayah
untuk dijadikan pemukiman (koloni) bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol yang
adalah bertetangga di Eropa selatan, mereka saling berperang. Untuk mengakhiri
pertikaian tersebut, kedua negara Katholik tersebut sepakat untuk membuat
perjanjian. Dengan difasilitasi oleh Paus Alexander VI, pada 7 Juni 1494 di
kota Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan untuk membagi dunia
menjadi dua wilayah kekuasaan kedua negara tersebut di luar Eropa.
Patokannya adalah Kepulauan Tanjung Verde di
sebelah barat pantai Afrika. Sekitar 39°53'BB. Belahan dunia di luar
negara-negara Eropa sebelah timur menjadi “milik” Portugis dan “separuh dunia”
di sebelah barat Kepulauan Verde menjadi “milik” Spanyol. Namun ketika mereka
bersaing lagi di Maluku sejak tahun 1521, dibuat perjanjian baru yaitu
Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. di mana Maluku “diserahkan” kepada
Portugis. Spanyol menyingkir ke Filipina dan kemudian menjadi penjajah di
Filipina.
Negara-negara Eropa lain tidak mengakui
Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza, sehingga dalam memperebutkan wilayah-wilayah
di luar Eropa, mereka saling berperang, merampok dan membunuh. bahkan menjual
tawanan-tawanan prang sebagai budak, seperti yang dilakukan oleh Belanda.
Selama lebih dari 250 tahun, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia.
Melalui perang dan perjanjian-perjanjian, awal abad 20, dengan pengecualian
Timor Timur yang dikuasai oleh Portugis, Belanda menjadi penguasa tunggal di
wilayah Asia Tenggara yang kemudian menjadi Nederlands
Indie (India – Belanda).
Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki
di Asia Tenggara, tepatnya di Banten, tahun 1596. Pada 20 Maret 1602, di
Belanda didirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oost-indische Compagnie
– VOC. VOC memperoleh piagam (Ooktroi)
dari penguasa di Belanda, Staatengeneraal
seperti layaknya suatu negara, yaitu:[3]
-
berhak
memiliki tentara,
-
berhak
mencetak mata uang sendiri,
-
berhak
memungut pajak,
-
berhak
melakukan perjanjian dengan suatu negara,
-
berhak
menyatakan perang terhadap suatu negara, dll.
Kepala Kantor Dagang Pusat bergelar Gubernur
Jenderal, dan Kepala Kantor Dagang Cabang bergelar Gubernur. Semula VOC membuka
kantor dagangnya di Banten. Kemudian VOC meminta izin kepada Pangeran Jayakarta
untuk membuka kantor dagang di Jayakarta. Setelah mendapat izin, VOC mendirikan
kantor berfondasi Batu dan berdinding kayu. Kemudian VOC menyewa lahan 1,5
hektar dan membangun kantor dan gudang yang kokoh seperti suatu benteng, dengan
tembok setinggti 7 meter. Dari “kantor dagang” ini VOC di bawah Gubernur
Jenderal VOC ke 4, Jan Pieterszoon Coen (1587 - 1629) menyerang tuan rumah, dan
berhasil mengalahkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Dengan demikian, tanggal 30 Mei 1619 adalah awal penjajahan
Belanda di Asia tenggara/Nusantara. “Bapak”
penjajahan Belanda adalah jan Pieterszoon Coen (JPC). Semboyan JPC adalah: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet,
want God is met ons” artinya “jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu,
karena Tuhan bersama kita.” Semboyan JPC yang kejam ini yang dipakai Belanda
sampai menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati, Jawa Barat pada 9 Maret
1942.[4]
Komoditi utama yang diperdagangkan oleh
Belanda sejak tahun 1600 selain rempah-rempah adalah budak dan candu (opium).
Harga rempah-rempah terutama cengkeh dan pala di Eropa dapat mencapai 400 kali
lipat dari harga pembelian di Maluku/Kepulauan Banda. Ukuran kekayaan pada
waktu itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah kolonial
memegang monopoli perdagangan candu. Dengan praktek-praktek “dagang” yang
sangat agresif dan brutal, dalam waktu singkat VOC menjadi perusahaan raksasa.
Tahun 1637 VOC menjadi perusahaan terkaya sepanjang masa. Nilai asetnya apabila
dikonversikan dengan nilai ekonomi abad 21, mencapai 7,9 TRILIUN US $. Tidak ada satupun perusahaan raksasa multi
nasional sekarang yang dapat mencapai prestasi kekayaan VOC tahun 1637. Oleh
karena itu, Belanda menyatakan zaman VOC sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Ini tentu sangat
ironis. Kekayaan yang diperoleh penjajah bukan hanya melalui perdagangan
rempah-rempah, melainkan juga dengan perdagangan narkoba (candu) dan
memperjual-belikan manusia serta berhasil memegang monopoli perdagangan melalui
perang, pembunuhan, bahkan genosida terhadap etnis Wandan (penduduk Kepulauan
Banda), diglorifikasi oleh pemerintah dan rakyat Belanda di abad 20/21 sebagai
“zaman keemasan.” Di abad 19, kontribusi keuntungan dari Nederlands Indie (India Belanda) terhadap APBN Negara Belanda
mencapai 12,5 %. Sampai tahun 1939, kontribusi dari Nederlands Indie terhadap APBN Belanda masih 9%.
Praktek-praktek penjajahan Belanda yang
sangat kejam, yang di beberapa wilayah di Asia Tenggara berlangsung selama
lebih dari 300 tahun, tepatnya di Jayakarta (sekarang Jakarta) dan di Kepulauan
Banda, telah membangkitkan rasa kebencian terhadap penjajah dan kaki-tangannya.
Hukuman mati yang paling kejam dan sadis adalah penyulaan (silakan cari di
google dengan memasukkan kata kunci “penyulaan”). Di wilayah jajahan Belanda,
selama lebih dari 200 tahun, yaitu dari tahun 1642 – 1860 resmi diberlakukan
Undang-Undang Perbudakan. Seperti ditulis di atas, ukuran kekayaan di masa itu
adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pribumi diperjual-belikan
sebagai budak di negeri sendiri. Tentara Belanda yang menangkap orang-orang
yang akan dijadikan budak, kebanyakan dari daerah-daerah yang mereka
taklukkan. Ada juga raja-raja dan
penguasa setempat yang menjual rakyatnya sebagai budak.
Bulan Mei 1619 terjadi genosida, pembantaian
etnis Wandan, penduduk asli Kepulauan Banda. Diperkirakan sekitar 13.000
penduduk tewas dibantai dengan sadis, sekitar 1.000 orang berhasil
menyelamatkan diri ke pulau-pulau yang berdekatan, kemudian sisanya sekitar 870
orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dibawa ke Batavia dan dijual
sebagai budak. Ketika wilayah jajahan Belanda berada di bawah kekuasaan
Perancis, Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Untuk
kepentingan pertahanan, tahun 1809, dia membangun jalan Raya Pos sepanjang
1.000 km dari Anyer ke Panarukan. Dia memberlakukan sistem Rodi, yaitu kerja
paksa dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Hal ini mengakibatkan ribuan
pekerja pribumi meninggal.
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan antara tahun 1830 – 1870
membawa keuntungan yang luar biasa besarnya untuk penjajah. dalam kurun waktu
40 tahun pelaksanaan sistem Tanam Paksa, keuntungan bersih (bahasa Belanda: Batig slot) yang diperoleh penjajah
sekitar 850 juta gulden. Tahun 1992 ada yang mengkonversikan dengan index
perekonomian tahun 1996. Nilainya sekitar 15,5 milyar gulden. Namun sistem
tanam paksa yang membawa keuntungan besar untuk penjajah, menimbulkan
kesengsraan untuk pribumi yang dijajah. Tahun 1949 di Grobogan ribuan orang
mati kelaparan. Kelaparan juga terjadi di Cirebon dan daerah-daerah lain.
Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement)
yang membagi penduduk menjadi tiga golongan, yaitu:
1.
Bangsa
Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang
disetarakan dengan bangsa Eropa.
2.
Timur
asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).
3.
Pribumi
(Inlander).
Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini
dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling).
Dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik,
tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.[5]
Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel, tempat
pemandian umum, bioskop, bahkan di perkumpulan olahraga, terpasang plakat
dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN
INLANDER. Artinya, TERLARANG UNTUK
ANJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb.,
hanyalah para jongos.
Setelah selama lebih dari 200 tahun
diperjual-belikan sebagai budak di
negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda naik tingkat menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal
tersebut di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi,
yang sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di
negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan
dengan anjing.
Demikian sekilas mengenai kekejaman dan
diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman kolonialisme
Belanda di Asia tenggara. Hal-hal tersebut di atas yang membangkitkan kesadaran
dan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan asing
Judul buku yang
terbit di Belanda.
Artinya: Terlarang Untuk Anjing dan Pribumi.
(Untuk memperbesar, klik fotonya)
SEJARAH PENYUSUNAN UUD ’45 ASLI
Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa
mereka yang melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya mengetahui
latar belakang penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yaitu sejarah
penjajahan di Nusantara sampai tahun 1945, dan sejarah indonesia, baik di masa
perang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dan sekutu
serta kaki-tangannya antara tahun 1945 – 1949, maupun sejarah Indonesia dari
tahun 1949 sampai dimulainya pembahasan perubahan UUD pada tahun 1999.
Untuk memenuhi janji
akan memberikan kemerdekaan kepada penduduk di wilayah bekas jajahan Belanda,
pada 29 April 1945 pemerintah militer Jepang, dalam hal ini pimpinan Tentara
XVI Angkatan Darat Jepang di Pulau Jawa membentuk yang dinamakan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan - BPUPK (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai). awalnya beranggotakan 60 orang dan 7 orang pengamat dari
militer Jepang. Kemudian keanggotaan dari pihak pribumi ditambah 6 orang
menjadi 66 orang. Pada waktu itu belum dicantumkan nama INDONESIA, jadi bukan
BPUPKI. Melainkan hanya BPUPK.Para anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945.
Pemerintah militer
Jepang masih ikut menyusun keanggotaan BPUPK, di mana di dalam jumlah 60 orang
tersebut dimasukkan juga 4 orang yang mewakili bangsa Cina, satu orang mewakili
bangsa Arab, yaitu Abdurrahman Baswedan. Wakil keturunan Indo-Eropa/Belanda
adalah Pieter Frederik Dahler. Wakil-wakil bangsa Cina dipilih yang pro Jepang,
yaitu Oey Tjong Hauw, pendiri organisasi bangsa Cina Chung Hua Hui. Di jaman Jepang, dia menjadi
anggota Badan Penasihat Jepang, mewakili bangsa Cina di Jawa Tengah. Oey Tjong
Hauw adalah putra dari Oey Tiong Ham, konglomerat terkaya di Asia Tenggara di
awal abad 20. Oey Tiong Ham mulai membangun imperium bisnisnya dengan
perdagangan candu (opium) yang pada waktu itu sangat menguntungkan. Kemudian
ada Oey Tiang Tjoei, yang di zaman Jepang menjadi anggota Badan Penasihat
mewakili bangsa Cina di Jawa Barat. Selain itu ada Tan Eng Hoa dan Liem Koen
Hian.
Dalam BPUPK para
anggota dari pribumi terdiri dari golongan nasionalis dan golongan agama
(Islam). Tidak ada seorangpun dari golongan kiri, yaitu sosialis atau komunis. Satu
orang wakil bangsa Cina, Liem Koen Hian ternyata adalah agen Cina komunis RRC. Namun
selama persidangan dia berhasil menutup identitasnya. Keterangan lebih lanjut
mengenai Liem Koen Hian ada di bawah ini.
Di Sumatera,
pada 25 Juli 1945 pemerintah militer di bawah Tentara XV Jepang juga membentuk BPUPK. Ketuanya adalah Mohammad Sjafei. Namun tidak
terdengar kelanjutannya. BPUPK di Pulau Jawa mulai bersidang pada 29 Mei 1945.
Sampai tanggal 1 Juni, dibahas mengenai dasar dari negara yang akan didirikan.
Sejarah PRIBUMI[6]
di Nusantara di masa penjajahan, yaitu sejarah leluhur Bangsa Indonesia,
menjadi salah-satu landasan penting untuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai) dalam menyusun Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian disahkan
pada 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Demikian juga perjuangan para pemuda pribumi
di wilayah jajahan Belanda untuk membentuk BANGSA
INDONESIA dan mendirikan satu NEGARA
BANGSA (Nation State) sejak awal abad 20, sangat memengaruhi penyusunan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Bekas wilayah Nederlands Indie (India Belanda), yaitu wilayah bekas jajahan
Belanda, masih diduduki oleh tentara Jepang, dengan pemerintah yang dipimpin
oleh militer Jepang. Penyusunan draf Undang-Undang Dasar yang akan menjadi UUD negara Indonesia
disusun mulai tanggal 29 Mei 1945, masih dalam situasi Perang Dunia II/Perang
Pasifik. Di Eropa, Jerman sudah menyerah tanpa syarat pada 8 Mei 1945. Di
Asia-Pasifik Jepang masih mengadakan perlawanan terhadap tentara Sekutu sampai
tanggal 15 Agustus 1945..
Tujuan para pendiri negara dan bangsa mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation State) Indonesia sebagaimana ditulis dalam Penjelasan
tentang Undang-Undang Dasar, dituangkan dalam Pokok-pokok Pikiran di dalam
penjelasan tersebut, yaitu:
1. "Negara" --begitu bunyinya-- yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara
persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi
Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan.
Negara, menurut pengertian "pembukaan" itu menghendaki persatuan,
meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.
2. Negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam
"pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh
karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus
berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam
pembukaan ialah negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi
yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur ...”
Demikian kutipan dari Penjelasan UUD ’45
ASLI. Penjelasan tersebut di atas adalah penjabaran Pancasila untuk menerangkan
tujuan mendirikan Negara. Pancasila dimasukkan dalam Pembukaan UUD ’45.
Merujuk pada Butir 3 Penjelasan UUD ’45 di
atas , yaitu “Oleh karena itu sistim
negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan
Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan
perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia,”
maka pemilihan presiden dan Kepala
Daerah secara langsung telah bertentangan dengan UUD ’45 ASLI.
Pada UUD ’45 ASLI, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara, menjadi hanya
Lembaga Tinggi di UUD 2002, di mana kewenangannya yang mendasar dipangkas,
yaitu Pasal 1 Ayat 2: “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.” Di UUD 2002 Pasal 1 Ayat 2 diubah menjadi:”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Tidak ada satupun Pasal dan Ayat du UUD 2002 yang
menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 3, yaitu “Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN’). GBHN dihapus dan tidak ada di UUD 2002. Yang ketiga adalah Pasal 6
ayat 2, yaitu “Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Pasal 3 Ayat 2 diubah
menjadi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Peraturan perundang-undangan dari zaman
penjajahan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan batasan mengenai siapa
yang dimaksud dengan ORANG-ORANG BANGSA
INDONESIA ASLI dan siapa orang-orang
bangsa lain yang DAPAT menjadi
warga negara Indonesia. Hal ini merupakan sikap para pendiri Negara dan Bangsa
Indonesia terhadap peraturan negara (Staatsregeling)
pemerintah kolonial yang sangat diskriminatif bahkan rasialis terhadap
pribumi, yang adalah pemilik negeri ini.
Hal ini tertera dalam buku Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang
diterbitkan oleh Sekretariat Negara. Ditulis:[7]
“...Sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu, pembahasan masalah warganegara
dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK PENDUDUK. Penduduk golongan
Bumiputra dengan sendirinya menjadi warganegara. Penduduk golongan Timur Asing
keturunan Arab – yang diwakili oleh A.R. Baswedan meminta dengan tegas agar
mereka dinyatakan sebagai warganegara, dengan alasan demikianlah ajaran Islam
serta tradisi Arab. Penduduk golongan Timur Asing keturunan Tionghoa terbagi,
antara mereka yang berkehendak
dinyatakan sebagai warganegara – diwakili oleh Liem Koen Hian- dan mereka yang tidak ingin menjadi
warganegara, diwakili oleh Oey Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoey dan Tan Eng Hoa.
Sedangkan penduduk keturunan Eropa – yang diwakili PF Dahler- meminta agar
dinyatakan menjadi warganegara Indonesia.” [8]
Catatan: Belakangan terungkap, bahwa ternyata
Liem Koen Hian seorang komunis. Tahun 1951 Liem Koen Hian ditangkap sebagai
agen Cina komunis RRC. Hingga meninggal, dia tidak mau menjadi warganegara
Republik Indonesia dan menjadi warga negara RRC.[9]
Apabila tidak mengetahui sejarah penjajahan,
perbudakan, yaitu pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri,
diskriminasi terhadap pribumi, yaitu pribumi menjadi warga kelas tiga, maka
tidak akan mengetahui maksud kalimat:
“...Sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu,
pembahasan masalah warganegara dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK
PENDUDUK ...”
Pertimbangan yang berlatar belakang sejarah
penjajahan, perbudakan dan diskriminasi terhadap pribumi di masa penajahan
menjadi dasar untuk merumuskan dan menetapkan Pasal 6 ayat 1, yaitu: “Presiden ialah ORANG INDONESIA ASLI.”
Dan Pasal 26 ayat 1 mengenai warga negara, yaitu: “Yang menjadi warga negara ialah ORANG-ORANG BANGSA INDONESIA ASLI dan
ORANG-ORANG BANGSA LAIN yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga
negara.”
Dalam Penjelasan UUD ’45 ASLI mengenai Pasal
26 ayat 1 ditulis: “ORANG-ORANG BANGSA
LAIN, MISALNYA PERANAKAN BELANDA, PERANAKAN TIONGHOA DAN PERANAKAN ARAB yang
bekedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap
setia kepada negara Republik Indonesia DAPAT menjadi warga negara.”
Demikian penjelasan dalam UUD ’45 ASLI.
Dengan demikian jelas adanya, bahwa para pendatang DAPAT menjadi warga negara, namun mereka bukan ORANG INDONESIA ASLI.
Mengenai definisi
pendudk asli/pribumi (Indigeneous
people), dapat dipakai konvensi PBB mengenai pribumi, yaitu ‘masyarakat yang
telah bermukim di suatu wilayah sebelum kolonialisme.’ Mengenai batasannya
dapat berpatokan pada Resolusi organisasi-organisasi pemuda pribumi yang dcetuskan dalam Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober
1928, yaitu akan mengaku SATU NUSA, SATU
BANGSA dan menjunjung tinggi BAHASA PERSATUAN, INDONESIA.
Masalah kewarganegaraan keturunan Arab dan
keturunan Indo-Eropa selesai disusun dalam draf UUD yang kemudian disahkan pada
18 Agustus 1945. Namun masalah kewarga negaraan bangsa Cina yang ada di
Indonesia tidak selesai sampai disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Kewarga-negaraan bangsa Cina yang ada di
Republik Indonesia tidak jelas, bahkan semakin mengambang dengan datangnya
bangsa Belanda ke Republik Indonesia setelah Bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Belanda menganggap bahwa wilayah bekas
jajahannya masih milik Belanda, sehingga semua penduduknya dianggap sebagai
warga negara Nederlands Indie,
termasuk bangsa Cina. Pada waktu itu, sebagian terbesar bangsa Cina lebih
memilih berpihak kepada Belanda, dan bahkan dibentuk pasukan milisi bangsa
Cina, Po (Pao) An Tui, yang ikut berperang di pihak Belanda selama masa agresi
militer Belanda di Republik Indonesia 1945 - 1949.
Masalah bangsa Cina di Republik Indonesia
berlarut terus sampai tahun 1950-an. Untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan
bangsa Cina yang tinggal di Indonesia, baru dibahas di sela-sela Konferensi
Asia-Afrika (KAA) di Bandung bulan April 1955. Dicapai kesepakatan antara
pemerintah Indonesia dengan pemerintah RRC yang diwakili oleh Perdana Menteri
Chou Enlai. Disepakati bahwa bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia diberi
waktu sampai bulan Januari 1960 untuk memilih, apakah akan memilih menjadi warganegara Indonesia atau memilih menjadi
warganegara RRC.
Sampai bulan November tahun 1959, sebagian
besar bangsa Cina di Indonesia tetap tidak ingin menjadi warga negara
Indonesia, Atas desakan berbagai kalangan pribumi yang menginkan adanya
keputusan yang tegas, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.
10 bulan November tahun 1959 tentang larangan bagi orang asing untuk berdagang
di luar Ibukota Kabupaten (dahulu Karesidenan). Akibatnya, sekitar 200.000
bangsa Cina memilih kembali ke RRC, dan sisanya mengajukan permohonan untuk
menjadi warganegara Indonesia. Dengan demikian, mereka yang telah menjadi wargenagara
Republik Indonesia, dapat berdagang sampai ke pelosok-pelosok desa di Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959: KEMBALI KE UUD’45.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno
mengeluarkan DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959,
yang inti isinya adalah KEMBALI KE UUD 1945. Tentu sangat penting untuk
diketahui juga latar belakang dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada waktu itu berlaku UUD Sementara, yang
disusun oleh Anggota DPR RIS (Republik Indonesia Serikat).
RIS dibentuk sebagai hasil Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Belanda 23 Agustus – 2 November 1949. Di KMB, dicapai
kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia, Perwakilan dari BFO (Bijeenkommst voor Federaal Overleg) dan
Pemerintah Belanda. BFO (Musyawarah Konsultasi Pemerintah Federal) yang
dibentuk oleh Belanda, mencakup 15 Negara2 Bagian dan Daerah2 Otonom.
Pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda,
dilakukan “Pemindahan Kedaulatan” (Transfer
of Sovereignty) dari Pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
“Pemindahan Kedaulatan” tersebut BUKAN
KEPADA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (RI).
Oleh
karena itu, hingga detik ini, Juli 2019, pemerintah Belanda tetap tidak mau
mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda
hingga saat ini, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yang dianggap
sebagai “hadiah” dari Belanda
RIS terdiri dari 16 Negara Bagian. RI adalah
salahsatu Negara Bagian RIS. Presiden RIS adalah Ir. Sukarno. Ibukota RIS
adalah Jakarta. Pemerintahan RIS berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri RIS pertama adalah Drs. M. Hatta.
Pemangku jabatan Presiden RI adalah Asaat
Datuk Mudo, SH. Ibukota RI adalah Yogyakarta.
Karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari
pemerintah Nederlands Indië, maka pemerintah RIS harus menanggung utang
pemerintah Nederlands Indië sebesar
4,5 milyar gulden (setara 1,1 milyar US $). Di dalam jumlah tersebut, termasuk
biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Indonesia dari tahun
1945 – 1949.
Beberapa bulan setelah berdirinya RIS,
beberapa negara Bagian RIS dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan
kemudian semua bergabung dengan RI. Pada
bulan Mei 1950 tiga negara Bagian yang tersisa, yaitu Republik Indonesia,
Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT) sepakat untuk membubarkan RIS dan
mendukung dinyatakan tegaknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI
bedasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. NST dan NIT kemudian bergabung dengan RI.
Tanggal 19 Mei 1950 tercapai kesepakatan
antara Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI untuk menandatangani Piagam
pengesahan UUD Sementara yang akan berlaku untuk Republik Indonesia setelah RIS
dibubarkan. Tanggal 15 Agustus 1950 Presiden RIS Sukarno menandatangani UUD
Sementara RI. Tanggal 16 Agustus 1950 Presiden RIS Ir. Sukarno resmi menyatakan
pembubaran RIS.
Tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya
kembali Republik Indonesia berbentuk kesatuan, berdasarkan proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan RI berdasarkan UUD Sementara (UUDS) juga
berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
Tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum
pertama dalam sejarah Indonesia. Selain memilih anggota parlemen, juga dipilih
anggota KONSTITUANTE yang ditugaskan
menyusun UUD RI untuk mengganti UUDS 1950 yang masih disusun oleh Parlemen RIS.
Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit kembali dan menjadi peserta pemilu tahun
1955.
Konstiuante diresmikan tanggal 9 November
1956. Dipimpin oleh Wilopo, beranggotakan 514 orang. Sampai bulan Mei 1959
Konstituante tidak berhasil menyusun UUD RI.
Keadaan negara sangat kacau. Belanda dan
antek2nya ikut membuat kekacauan. Gerakan-gerakan bawah tanah yang dibentuk
oleh Belanda, yaitu Nederlands Indie
Guerilla Organisatie – NIGO (Organisasi Gerilya di India-Belanda), Pemberontakan
Andi Azis, mantan tentara KNIL, Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang
dipimpin oleh Raymond Westeling tanggal 23 januari 1950, Vrijwillige Ondergrondse Corps – VOC (Korps Bawah Tanah Sukarela),
jaringan intelijen yang dibentuk oleh Chales Olke van der Plas: Van der Plas Connection. Pemberontakan RMS
yang dimulai pada 25 April 1950 didalangi oleh “tangan2 hitam dari Belanda” (Zwarte hand uit Nederland).
Pemberontakan RMS berlangsung sampai Desember 1963.
Ketimpangan dalam pembangunan dan
ketidak-puasan daerah2 di luar Pulau Jawa yang menuntut otonomi daerah
mengakibatkan konflik bersenjata di kalangan para mantan pejuang mempertahankan
kemerdekaan RI, yaitu munculnya PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) di
Sulawesi yang dideklarasikan pada 2 Maret 1957 dan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera yang dideklarasikan pada (15
Februari 1958).
Perekonomian masih didominasi oleh
perusahaan2 bangsa Belanda dan bangsa Cina, yang mayoritasnya masih tidak mau
mengambil kewarga-negaraan Indonesia. Akibat penjajahan yang panjang, pribumi
tidak dapat bersaing dengan bangsa Belanda dan bangsa Cina, yang memiliki
modal, pengalaman dan jaringan yang telah terbentuk selama ratusan tahun, baik
di wilayah Nederlands Indië (India Belanda), maupun di dunia internasional.
Pada 3 Mei 1956 Pemerintah Indonesia secara
sepihak membatalkan hasil KMB dengan Belanda. Konflik dengan Belanda sehubungan
dengan sengketa Irian Barat memuncak dan berujung dengan pemutusan hubungan
diplomatik Indonesia-Belanda pada 17 Agustus 1960. Berlanjut dengan konfrontasi
dengan Belanda dalam sengketa Irian Barat, yang tidak mau diserahkan oleh
Belanda kepada RI, sesuai dengan hasil KMB.
Di internal pemerintahan RI juga tak sedikit
permasalahan yang dihadapi. Sejak kembali ke NKRI pada 17 Agustus 1950 sampai
bulan Juli 1959, tercatat ada 7 kabinet. Hanya ada dua kabinet yang dapat
bertahan selama dua tahun. Bahkan ada beberapa kabinet yang hanya berlangsung
kurang dari satu tahun. Dengan demikian, tidak ada menteri dan kementeriannya
yang dapat bekerja secara efektif dan optimal.
Mayoritas di Konstituante sepakat dengan
usulan Presiden Sukarno agar kembali ke UUD 1945, namun dalam tiga kali sidang
Konstituante yang membahas usulan ini, tidak pernah tercapai Quorum (korum).
KSAD Letjen AH Nasution menyatakan dukungan
kepada Presiden Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden KEMBALI KE UUD ’45.
Bahkan Perdana Menteri Juanda juga mendukung kembali ke UUD ’45.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya:
1.
Menyatakan
Pembubaran Konstituante.,
2.
Menetapkan
UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
3.
Pembentukan
MPR Sementara, yang terdiri dari anggota2 DPR ditambah dengan utusan2 dari
daerah2 dan golongan2 serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Pada waktu itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dinilai sebagai DEKRIT PENYELAMATAN
BANGSA dari ancaman perpecahan guna mempertahankan keutuhan dan kedaulatan
NKRI.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR RI) periode 1999 – 2004, dari tahun 1999 – 2002 telah empat kali melakukan
perubahan Undang-Undang Dasar RI. Ini sebagai realisasi dari sebagian tuntutan
reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998.
Pada waktu itu ribuan mahasiswa melakukan
unjuk-rasa damai yang dikenal sebagai People
Power (Kekuatan rakyat). Mereka menduduki Gedung DPR/MPR RI selama beberapa
hari, menuntut pengunduran diri Presiden Suharto yang baru dilantik untuk
ketujuh kali. Presiden Suharto tunduk pada tuntutan rakyat yang diwakili oleh
para mahasiswa dan pada 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai presiden.
Di samping menuntut pengunduran diri Presiden
Suharto, mahasiswa juga menuntut perubahan UUD ’45 Pasal 7 tentang masa jabatan
presiden. Di Pasal 7 UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 disebut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”
Kalimat ini dianggap kurang jelas dan tidak
tegas sehingga diinterpretasikan, bahwa seseorang dapat menjabat sebagai
presiden lebih dari dua kali dan tanpa batas. Hal ini berdasarkan pengalaman di
era Orde Baru, di mana seorang presiden menjabat lebih dari 32 tahun.
***
Dalam kampanye pemilihan umum pertama tahun
1999 setelah lengsernya penguasa Orde Baru, tercatat hanya dua partai politik yang mencantumkan agenda perubahan UUD dalam
programnya, dan hanya satu yang berhasil masuk ke DPR/MPR RI periode 1999 -
2004. Namun setelah para anggota DPR RI terpilih dan kemudian terbentuk MPR RI,
diagendakan untuk dilakukannya perubahan UUD ’45 secara besar-besaran.
Dipandang dari sudut demokrasi dan hak rakyat untuk mengetahui program Partai
Politik, maka MPR RI 1999 – 2004 tidak memiliki legitimasi untuk mengadakan
perubahan UUD ’45. Seharusnya partai-partai politik mencantumkan dalam rencana
programnya mengenai pasal dan ayat akan
diubah atau ditambahkan, sehingga rakyat, terutama kalangan akademisi dan kaum
intelektual dapat mengetahui serta ikut membahas rencana perubahan tersebut.
Pada waktu dimulai
pembahasan-pembahasan terlihat ada pihak yang yang bekerjasama dengan pihak
asing, telah menyiapkan rencana perubahan UUD RI yang sangat mendasar dengan
tujuan membuat Undang-Undang Dasar Baru untuk Republik Indonesia, bukan hanya
sekadar sebagai Adendum atau Amandemen.
Sehubungan dengan hal ini, patut
dipertanyakan peran organisasi-organisasi asing, baik dalam pendanaan maupun
dalam penyusunan isi perubahan UUD. Hal ini memberi kesan, bahwa perubahan UUD
’45 adalah “pesanan asing,” terutama mengubah pasal 6 ayat 1 mengenai Presiden
ialah orang Indonesia ASLI, dan menambahkan ayat 4 dan 5 di Pasal 33, yang
merupakan pintu masuk untuk mengeksploitasi kekayaan SDA Indonesia dan
liberalisasi perdagangan. Organisasi asing tersebut a.l. National Democratic Institute (NDI), satu Organisasi non-pemerintah
(NGO) dari Amerika Serikat. NDI adalah organisasi di bawah Partai Demokrat AS,
yang waktu itu sedang berkuasa tahun 1996 - 2000.
Dalam buku ‘Bahan Tayang Materi Sosialisasi
Empat Pilar’ yang diterbitkan MPR RI pada bulan Maret 2005 (cetakan pertama),
tercantum Kesepakatan Dasar Perubahan UUD 1945, yaitu:[10]
1.
Tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.
Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.
Mempertegas
sistem presidensial,
4.
Penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal,
5.
Perubahan
dilakukan dengan cara Adendum.
Selain kesepakatan2 yang telah dicantumkan,
sebelum pembahasan tahun 1999 ada kesepakatan antara pimpinan MPR RI dengan
tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Batang Tubuh
UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal tidak akan diubah.
Perubahan dilakukan
sebanyak empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Setelah keempat
perubahan tersebut ditetapkan pada 10 Agustus 2002 dan kemudian diumumkan ke
masyarakat, berbagai pihak menyoroti prosedur dan hasil-hasil perubahan UUD
tersebut.
Selain masalah prosedur untuk perubahan UUD
yang dinilai cacat hukum, juga terlihat sangat banyak penambahan materi dalam
pasal-pasal dan jumlah ayat yang mencapai 89% serta ada ayat-ayat yang tidak
sesuai, bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45 dan jiwa serta semangat
UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Juga terlihat telah terjadi
penyimpangan dari kesepakatan, yaitu perubahan-perubahan tersebut dimasukkan sebagai
Amandemen, bukan sebagai Adendum seperti kesepakatan semula.
Secara keseluruhan, perubahan-perubahan UUD
tersebut telah menyimpang dari dasar dan tujuan para pendiri negara dan
bangsa Indonesia.
Sebagaimana telah ditulis di atas, mengenai Struktur UUD ditulis dalam Bahan
Tayang Materi Sosialisai Empat “Pilar” MPR sebagai berikut.[11]
Sebelum perubahan, UUD terdiri dari:
1.
Pembukaan,
2.
Batang
Tubuh
-
16
Bab,
-
37
Pasal,
-
49
Ayat,
-
4
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Ayat Aturan Tambahan
3.
Penjelasan
Setelah perubahan:
1.
Pembukaan,
2.
Pasal-Pasal,
-
21
Bab,
-
73
Pasal,
-
179
Ayat
-
2
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Pasal Aturan Tambahan
Perubahan yang sangat mendasar adalah yang
sehubungan dengan Kedaulatan Rakyat. Dalam UUD ’45 ASLI Pasal 1 ayat 2 disebut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Mengenai hal ini ditulis dalam Penjelasan
Tentang UUD ’45:
“Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama
"Majelis Permusyawaratan Rakyat" sebagai penjelmaan seluruh Rakyat
Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini
menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara.
Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil
Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang
Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah
ditetapkan oleh Majelis.”
Dalam UUD 2002, diganti menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.”
Namun dalam Undang-Undang Dasar tidak ada
satu Pasal atau ayat yang mengatur mengenai bagaimana melaksanakan kedaulatan
rakyat tersebut. Juga ada ayat yang luar biasa anehnya, yaitu Pasal 28 G ayat 2
yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (perubahan
kedua).”
Kalimat terakhir ini menunjukkan, bahwa
Negara, dalam hal ini adalah Pemerintah, TNI dan POLRI serta seluruh aparat
penegak hukum, gagal melindungi bangsanya, sehingga orang Indonesia tersebut
diberi hak untuk meminta suaka politik dari negara lain, yang dapat melindungi
orang Indonesia. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45, terdapat kalimat:
“Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia ...”
Demikian juga penjelasan mengenai UUD ’45
ASLI, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD yang disahkan pada
18 Agustus 1945, juga dihilangkan. ‘Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar’
sangat penting untuk diketahui oleh para penyelenggara Negara, terutama yang
ingin melakukan perubahan UUD. Di dalam penjelasan a.l. disebut:
I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang
Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu.
Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun
tidak ditulis.
Memang untuk
menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya
menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja,
akan tetapi harus menyelidiki juga
sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen
Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.
Undang-undang
Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja.
Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara,
kita harus mempelajari juga bagaimana
terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus
diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian
kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran
pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.
Menghilangkan Penjelasan mengenai UUD ’45
yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sama dengan menghilangkan penjelasan
mengenai latar belakang sejarah disusunnya UUD ’45 ASLI.
Undang-Undang yang disahkan pada 10 Agustus
2002 kemudian dinyatakan sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Penamaan UUD yang
disahkan pada bulan Agustus 2002 sebagai UUD ’45 tentu mendapat tentangan dari
banyak pihak yang menilai, bahwa UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 tidak
patut dikatakan sebagai UUD ’45, karena banyaknya perubahan-perubahan yang
mendasar dan bahkan ada yang isinya bertentangan dengan UUD ’45 Asli dan
Pancasila.
Juga adanya BAB yang isinya dihapus, yaitu BAB IV mengenai
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), namun BABnya tetap dicantumkan sehingga apabila
tidak diteliti dengan cermat, maka secara sepintas tampaknya UUD yang disahkan
pada 10 Agustus 2002 juga sama dengan UUD ’45 ASLI, yaitu terdiri dari 16 BAB.
Padahal sebenarnya hanya terdiri dari 15 BAB. Oleh karena itu, kalau tetap
dinyatakan sebagai UUD ’45, maka beberapa kalangan menyebut bahwa ini adalah UUD ’45 PALSU. Seharusnya UUD yang
disahkan pada 10 Agustus 2002 dinamakan UUD
2002, sesuai tahun ditetapkannya.
BEBERAPA
ALASAN UNTUK MENOLAK UUD RI TAHUN 2002
1.
Apabila
diteliti secara mendalam, ternyata UUD 2002 sebenarnya hanya terdiri dari 15
BAB, bukan 16 BAB. Di UUD 2002 BAB IV ternyata kosong. Hanya tertulis: BAB IV.
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG. Dihapus. Pencantuman BAB yang kosong ini seolah-olah
ingin memberikan kesan, bahwa UUD 2002
tetap terdiri dari 16 BAB seperti UUD ’45 ASLI. Penambahan BAB tidak ditulis
dengan angka Romawi, melainkan ditambahkan dengan huruf Latin besar A, B,
seperti pada Bab VII, menjadi BAB VII A DAN BAB VII B, sehingga jumlah BAB berdasarkan
angka Romawi tetap XVI (16).
Demikian juga dengan
pasal-pasalnya, tidak ditambahkan angka-angka Arab, melainkan ditambahkan huruf
Latin besar juga seperti pasal 7 A, 7 B dan 7 C. Bahkan pasal 28 sampai 28 G.
Dengan demikian, jumlah pasal sesuai dengan angka Arab, tetap berjumlah 37
pasal.
Secara sepintas
terlihat seolah-olah UUD 2002 sama dengan UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus
1945, yaitu terdiri dari 16 Bab dan 37 pasal. Hal ini dapat dikategorikan
sebagai kebohongan publik, bahkan dikatakan sebagai suatu pengelabuan..
2.
Dalam
UUD 2002 BAB I Pasal 1 Ayat 2 mengenai Kedaulatan Rakyat sangat kabur. Di UUD
’45 Asli Pasal 1 Ayat 2 tertera: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 1 ayat 2 ini
sesuai dengan Sila keempat Pancasila, yaitu; Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan.
Di Pasal 1 ayat 2 UUD
2002 hanya disebut: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Namun selanjutnya
di dalam UUD 2002 tidak ada Pasal atau ayat yang mengatur pelaksanaan Pasal 1
ayat 2 ini.
Dengan demikian UUD
2002 telah mengebiri Kedaulatan rakyat dan membuat menjadi tidak jelas,
bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan.
Salahsatu hak dan
wewenang MPR yang sangat penting yang ada di UUD ’45 Asli dan dihapus dalam UUD
2002 adalah Pasal 3. Di UUD ’45 Asli tertera: Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan UUD dan Garis2 Besar daripada Haluan Negara (GBHN). Di UUD 2002
Pasal 3 menjadi: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan UUD.
Untuk negara sebesar
Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis yang tinggal di ribuan pulau, sangat
diperlukan GBHN agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan, baik secara
geografis maupun secara geo-politik dan geo-sosial-budaya.
3.
Pasal
6 Ayat 1 tentang syarat calon presiden mengalami perubahan mendasar. Di UUD ’45
Asli tercantum: “Presiden ialah orang
Indonesia asli.” Di UUD 2002 Pasal 6 Ayat 1 kata : ORANG INDONESIA ASLI
dihapus, dan diganti menjadi: “Calon
presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan
jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.”
Satu-satunya pengusul
perubahan ini adalah JE Sahetapy dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dia beralasan, bahwa Pasal 6 Ayat 1 diskriminatif untuk wargan negara dari
keturunan non-pribumi. Pandangan ini sangat ahistoris. Sebagaimana dapat
dilihat dari Risalah Sidang BPUPK, justru kata ASLI cicantumkan dalam pasal 6
ayat 1 bertitik-tolak dari sejarah. Juga untuk mengantisipasi kemungkinan orang
Jepang menjadi Presiden dari negara yang akan dibentuk.
Di masa penjajahan.
Pemerintah kolonial membuat Undang-Undang Perbudakan yang resmi berlaku dari
tahun 1642 – 1840, di mana pribumi selama
lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Para
budak tidak memiliki hak-hak sebagai manusia. Pada waktu itu tidak ada yang
menyatakan bahwa memperjual-belikan pribumi menjadi budak di negeri sendiri
adalah pelanggaran HAM dan diskriminatif. Pribumi tidak dianggap sebagai
manusia, melainkan hanya sebagai komoditi
dagang. Seperti telah ditulis di atas, setelah UU Perbudakan dihapus, tahun
1920 pemerintah kolonial membagi penduduk menjadi 3 golongan, di mana pribumi
menjadi golongan ketiga, yang disetarakan dengan anjing.
Perubahan Pasal 6
Ayat 1 ini dinilai telah menghapus hak prerogatif tunggal pribumi menjadi TUAN DI NEGERI SENDIRI, yang
berdasarkan sejarah penjajahan, perbudakan dan diskriminasi ras, bahkan
pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia selama ratusan tahun. Dirumuskannya Pasal
6 Ayat 1 berdasarkan sejarah panjang penjajahan, perbudakan dan diskriminasi
pribumi. Pasal 26 Ayat 2 mengenai warga negara juga dirumuskan sebagai respon
terhadap peraturan yang berlaku di masa penjajahan, sebagaimana diterangkan di
atas.[12]
4.
Pemilihan
Presiden secara langsung oleh rakyat, sebagaimana dicantumkan dalam UUD 2002
BAB III Pasal 6 A, bertentangan dengan Sila keempat Pancasila, yaitu:
“Kedaulatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.”
Pemilihan Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota secara langsung juga
melanggar Sila keempat Pancasila. Kalau alasan pemilihan langsung adalah untuk
menghindari adanya kecurangan-kecurangan, politik uang (money politics), suap
dan KKN, terbukti bahwa pemilihan langsung juga penuh dengan
kecurangan-kecurangan dsb. Kepala-kepala Daerah hasil pemilihan langsung juga
banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Anggaran
negara untuk pemilihan langsung dan biaya yang harus dikeluarkan oleh sorang
calon luar biasa besarnya, sehingga memaksa seseorang dengan ambisi besar
melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma hukum, nalar dan akal sehat.
Praktek-praktek yang
dilakukan oleh seseorang yang masih menjabat dan akan mempertahankan
jabatannya, sering menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.
Selain itu, terlihat
bahwa pemilihan langsung, apalagi kalau pasangan calonnya hanya dua, terjadi
konflik horisontal di antara para pendukung kedua kubu.
Sementara para partai
politik yang awalnya berseberangan, setelah selesai pemilihan, kelompok yang
kalah dalam waktu singkat ikut di gerbong pemenang. Alasan kedua belah pihak
sangat pragmatis. Yang menang tidak ingin “diganggu” selama lima tahun oleh
adanya oposisi yang kuat, kelompok yang kalah ingin ikut menikmati “kue
besar.” Sedangkan di akar rumput,
konflik dan dendam berlangsung terus.
KEMBALI KE UUD ’45 ASLI UNTUK DISEMPURNAKAN.
Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia
telah menulis, bahwa memang Undang-undang Dasar yang disusun tahun 1945 belum
sempurna, dan harus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun
penambahan pasal dan ayat harus tetap mengacu kepada ruh dan semangat serta
tujuan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, mereka yang akan ikut terlibat
dalam pembahasan dan perumusan penambahan pasal dan ayat, harus benar-benar
mengetahui dan memahami sejarah perjuangan leluhur Bangsa Indonesia dan
perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Penambahan pasal dan ayat harus sesuai dengan
kesepakatan, yaitu dengan cara ADENDUM.
********
LAMPIRAN
PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
INDONESIA YANG DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945
Selengkapnya lihat:
***
[2] Pada waktu didirikan
bulan April tahun 1945, belum dicantumkan kata INDONESIA, melainkan dinamakan
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan ( BPUPK). Dalam bahasa Jepang adalah Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai. Ada juga yang menyebut sebagai Dokuritsu Zyunb Cosakai.
Pada waktu itu dibentuk dua BPUPK. Sumatera
dan Jawa berada di bahwa pemerintahan militer Angkatan Darat (Rikugun) sedangkan
kawasan timur di bawah Angkatan Laut (Kaigun. Di Jawa yang dibawah kekuasaan
Tentara XVI, dibentuk BPUPK dengan Ketuanya Dr. Radjiman Wedyodiningrat. ). Di Sumatera
yang di bawah kekuasaan Tentara XV, dibentuk BPUPK pada 25 Juli 1945 dengan
Ketuanya Muhammad Sjafei. Kedua BPUPK dibentuk hanya untuk wilayah Sumatera dan
Jawa. Setelah BPUPK dibubarkan, dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
INDONESIA (PPKI), yang meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Belanda.
[3] Mengenai
VOC lihat: https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html
[4] Mengenai tanggal menyerahnya Belanda kepada tentara Jepang di
Kalijati dekat Subang, Jawa barat, ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942. Dalam buku Autobiografi
dari Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda, menyerahnya
Belanda kepada Jepang tanggal 9 Maret 1942.
[6] Dalam tulisan ini tidak
dibunakan kata ‘Indonesia’ untuk penduduk di wilayah jajahan Belanda dan di
wilayah pendudukan tentara Jepang, karena sebagai entitas politik, sebelum
tanggal 17 Agustus 1945 belum ada Bangsa Indonesia.
[7] Risalah Sidang BPUPKI.
Sekretariat Negara RI, Jakarta, Cetakan pertama, Edisi ke IV tahun 1998.
Halaman xxxvii.
[8] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sekretariat
Negara RI, Jakrta 1998. Cetakan pertama Edisi ke IV, halaman xxxvii.
[10] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI.
Sekretariat Jenderal MPR RI. Cetakan Ketujuhbelas, April 2017. Halaman 24.
[12] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sekretariat
Negara RI, Jakrta 1998. Cetakan pertama Edisi ke IV, halaman xxxvii.
No comments:
Post a Comment