Ngotot yang membuahkan
hasil.
Oleh Batara R. Hutagalung,
Ketua Umum KNPMBI dan Ketua KUKB
Pada 5 Desember 2011, media
di Belanda memberitakan, bahwa Pemerintah Belanda akan menyampaikan permintaan
maaf kepada keluarga korban pembantaian di Rawagede. Duta Besar Belanda untuk
Republik Indonesia akan menyampaikan permintaan maaf ini dalam acara peringatan
di Rawagede pada 9 Desember 2011. Hal ini disampaikan oleh Menlu Belanda, Uri
Rosenthal, sebagaimana dikutip oleh semua media, baik Belanda maupun
internasional, termasuk Indonesia.
(Berita NRC Handelsblad,
bahasa Belanda: http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/excuses-nederland-aan-nabestaanden.html)
(Berita Radio BBC, bahasa
Indonesia: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/belanda-akan-meminta-maaf-soal-rawagede.html)
Ini merupakan kelanjutan
dari pernyataan Rosenthal pada 24 November 2011, di mana dia menyatakan akan
secepatnya menyelesaikan masalah Rawagede, dan akan mengajukan kompromi. (Lihat
berita di
Pada 14 September 2011,
pengadilan sipil mengabulkan sebagian tuntutan dari 8 janda korban pembantaian
di Rawagede, dan seorang korban selamat terakhir, terhadap pemerintah Belanda.
Para penggugat menuntut pemerintah Belanda untuk meminta maaf dan memberi
kompensasi atas penderitaan mereka. Pengadilan sipil menyatakan pemerintah
Belanda bersalah dalam peristiwa permbantaian 431 penduduk sipil di Rawagede,
dan mengharuskan pemerintah Belanda memberi kompensasi kepada para penggugat.
Besar kompensasi belum ditentukan. Pemerintah Belanda memperoleh waktu sampai
14 Desember 2011 untuk mengajukan banding.
Kini pemerintah Belanda
memutuskan untuk tidak mengajukan banding, dan menyatakan kesediaan untuk memberi
kompensasi kepada para penggugat, serta meminta maaf atas peristiwa pembantaian
tersebut. Diberitakan, bahwa pemerintah Belanda akan memberi 20.000 Euro atau
sekitar Rp. 240 juta untuk setiap penggugat, atau anaknya, karena sekarang
tinggal 6 janda yang masih hidup. Dua janda dan Sa’ih, korban pembaNtaian
terakhir yang selamat, meninggal tanggal 7 Mei 2011 di usia 88 tahun. Mereka
yang selama ini hidup dalam kemiskinan, tidak dapat lagi menikmati uang kompensasi
yang relatif besar. hal ini terjadi karena pemerintah Belanda terus mengulur-ngulur waktu, seakan-akan menunggu sampai semua janda korban meninggal. Tragis!
Sebelum ini, pemerintah
Belanda selalu hanya menyampaikan rasa penyesalan atas peristiwa pembantaian
431 penduduk desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari), yang dilakukan oleh
tentara Belanda, pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan
perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Belanda di atas
kapal perang Amerika Serikat, Renville.
Diawali oleh pernyataan
menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot. Dalam sambutannya di Gedung Kemenlu, Jl.
Pejambon, Jakarta pada 16 Agustus 2005, di mana dia menyampaikan a.l.:(Teks
lengkap lihat http://www.minbuza.nl/default.asp?CMS_ITEM=253673956C8D449E9C7821B918C26FA1X3X55316X58)
“… Through my presence the
Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia
declared independence…
. … In retrospect, it is clear that its large-scale
deployment of military forces in 1947 put
the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military
action was taken and that many people on both sides lost their lives or were
wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the
Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died
as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch
government, I wish to express my profound regret for all that suffering…”
Komentar Radio Nederland
tanggal 17.8.2005: “Ben Bot sedih tapi tidak minta maaf.”
Ben Bot kemudian digantikan oleh Maxime Verhagen sebagai menlu. Pada 14 Januari, bertempat di Kedutaan Belanda di Jakarta, Verhagen bertemu dengan beberapa janda korban pembantaian dari Rawagede, dia juga menyampaikan rasa penyesalan. (Teks lengkap pertemuan ini, lihat website kemenlu Belanda:
http://www.minbuza.nl/en/News/Newsflashes/2009/January/Verhagen_expresses_deep_regret_to_surviving_relatives_of_Rawagedeh_dead),
di mana disebutkan: “… Verhagen expresses
deep regret to surviving relatives of Rawagedeh dead…”
Pada tanggal 14 Januari
2009, Batara R. Hutagalung juga mengadakan pertemuan selama satu jam dengan
Direktur jenderal Bidang Politik Kemenlu Belanda, Pieter de Gooijer dan
membahas surat terbuka yang dikirim oleh Batara R. Hutagalung kepada Menlu
Maxime Verhagen pada 30 Desember 2008. (Teks surat lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/12/suat-terbuka-kepada-menteri-luar-negeri.html).
Setelah pertemuan tersebut, Batara R.
Hutagalung diundang untuk bertemu dengan Menlu Maxime Verhagen. (Mengena
jalannya pertemuan ini, lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/02/pertemuan-kukb-dengan-menteri-ln.html)
Pada 9 Desember 2008, dalam
sambutannya di Monumen Rawagede, dalam rangka peringatan peristiwa pembantaian
tersebut, Duta Besar Belanda, Nikolaos van Dam menyatakan a.l.:
“…Pemerintah Belanda sangat menyesalkan atas tindakan tentara Belanda di
Rawagede pada tahun 1947…”
Namun dia juga mengatakan:
“…Berulang kali pemerintah Belanda
menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas
peristiwa-peristiwa pada tahun 1947 itu, seperti yang pada tahun 2005
disampaikan secara langsung oleh Menteri Luar Negeri saat itu, Bernard Bot…”
Pernyataan ini merupakan
kebohongan publik, karena dengan jelas Ben Bot menyebutkan REGRET, dan bukan
APOLOGY (lihat teks di atas). (Teks lengkap pidato Dubes van Dam, dapat dibaca
di
Kehadiran Duta Besar Belanda
pada peringatan tanggal 9 Desember 2008, adalah atas desakan dari Ktua KUKB,
Batara R. Hutagalung, dalam pertemuan dengan tiga anggoat parlemen Belanda, yaitu Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel
Voordewind dari Partai Christen Unie. dan Harm Waalkens dari PvdA (Partai
Buruh) ,pada 19 Oktober 2008 di Jakarta.
Pada 18 November 2008, ketiganya membawa tuntutan ini sebagai mosi ke sidang
pleno parlemen Belanda, dan dilakukan voting. Hasilnya, voting dimenangkan oleh
ketiganya, dan menlu Belanda menugaskan Dubes van Dam untuk hadir pada
peringatan di Rawagede pada 9 Desember 2008. (Lihat lagi: http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html
Usai acara peringatan, Dubes
van Dam kepada para wartawan menyatakan, bahwa untuknya, meminta maaf (apology)
dan menyesal (sorry) adalah hal yang sama. Namun Harian Belanda yang ternama,
NRC Handelblad menulis, bahwa selama ini berbagai pernyatraan dari pihak
pemerintah Belanda adalah REGRET (menyesal), dan bukan APOLOGY (meminta maaf).
Ketika Ketua KUKB Batara R. Hutagalung ditanya oleh koresponden NRC
Handelsblad, Elske Schouten, apakah sama rasa menyesal dengan permintaan maaf?
Batara R. Hutagalung menyatakan, hal ini tidak sama. (Berita di NRC
Handelsblad, lihat:
Oleh karena itu, KNPMBI/KUKB
tetap pada tuntutannya, bahwa pemerintah Belanda HARUS MEMINTA MAAF. Menyesal
saja tidak cukup!. Dalam tuntutan kepada pemerintah Belanda yang disampaikan ke
pengadilan sipil di Den Haag, salah satu butirnya adalah: Pemerintah Belanda
harus meminta maaf!
Pada 29 April 2011, KNPMBI
mengirim lagi petisi kepada Perdana Menteri Belanda yang baru, Mark Rutte, yang
isinya (Teks lengkap, lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/05/tuntutan-kepada-pemerintah-belanda.html:
I. MENGAKUI DE JURE DAN DE FACTO KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945,
II. MEMINTA MAAF KEPADA
BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, KEJAHATAN PERANG, KEJAHATAN ATAS
KEMANUSIAAN DAN PELANGGARAN HAM BERAT, TERUTAMA YANG DILAKUKAN OLEH TENTARA
BELANDA SELAMA AGRESI MILITER DI INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 – 1950.
Pada 9 Desember 2011,
Pemerintah Belanda menyatakan akan meminta maaf atas peristiwa pembantaian di
Rawagede, dan bukan untuk seluruh kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan
dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya yang dilakukan oleh tentara Belanda
selama masa agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Inilah
butir ke dua tuntutan KNPMBI/KUKB.
Oleh karena itu, dapat
dipastikan, bahwa tuntutan untuk meminta maaf atas hal-hal tersebut di atas,
terutama tuntutan untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah
17.8.1945, akan tetap diperjuangkan, karena ini menyangkut masalah MARTABAT
BANGSA.
Apabila dilihat situasi
sebelum KNPMBI memulai gugatannya terhadap pemerintah Belanda tahun 2002, dan
mulai “merambah” ke parlemen Belanda sejak tahun 2005, memang sudah banyak yang
dicapai untuk “menormalisasi” hubungan antara RI dengan Belanda. Pada 16
Agustus 2005, RI “naik tingkat” dari yang tidak ada, menjadi “ANAK HARAM”, yang
akhirnya diterima eksistensinya secara MORAL DAN POLITIS (lihat pidato Ben Bot
tanggal 16.8.2005).
Sekarang pemerintah Belanda menyatakan
kesediaan untuk memenuhi sebagian tuntutan butir 2 dan 3, walaupun masih
setengah hati, yaitu kompensasi dan permintaan maaf masih terbatas untuk korban
pembantaian di Rawagede. Tuntutan KNPMBI dan KUKB adalah permintaan maaf kepada
SELURUH BANGSA INDONESIA, dan kompensasi UNTUK SELURUH KORBAN AGRESI MILITER
ANTARA TAHUN 1945 – 1950.
Mengenai pengakuan de jure,
memang adalah hak pemerintah Belanda untuk mengakui atau tidak mengakui de jure
suatu Negara, sebagaimana dilakukan oleh Republik Indonesia terhadap Taiwan.
Namun itu berlaku resiprokal, artinya Taiwan juga tidak mengakui RI. Demikian
juga terhadap Israel. Tidak ada pertukaran diplomat atau membuka kedutaan.Pemerintah
RI seharusnya juga berhak melakukan hal yang sama terhadap pemerintah Belanda,
yaitu SALING TIDAK MENGAKUI!
Sudah seharusnya pemerintah
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan RI meninjau kembali hubungan
“diplomatik” antara RI dan Belanda, apakah ini benar-benar hubungan diplomatik
antara dua Negara yang saling mengakui kedaulatan Negara mitranya. Kalau yang
satu tidak mengakui yang lain secara yuridis, apakah masih dapat dinamakan
sebagai hubungan diplomatik?
Seorang anggota DPR RI dalam
pertemuan dengan pimpinan KNPMBI/KUKB baru-baru ini menyatakan, bahwa tuntutan
untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda, dinilai terlalu keras.
Namun secara pribadi mendukung kedua butir tuntutan tersebut di atas.
Langkah “lunak” yang harus
dilakukan oleh pemerintah RI untuk menunjukkan bahwa pemerintah RI juga
memandang hal ini sebagai penghinaan terhadap HARKAT DAN MARTABAT sebagai Bangsa
dan Negara merdeka yang berdaulat, adalah MEMBEKUKAN HUBUNGAN DENGAN BELANDA,
MENARIK PULANG DUTA BESAR RI, DAN MEMULANGKAN DUTA BESAR BELANDA, SAMPAI PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA ADALAH 17 AGUSTUS 1945!
Jakarta, 7 Desember 2011
No comments:
Post a Comment