9 Desember 1947
Korban agresi militer Belanda yang dilupakan
Oleh Batara R. Hutagalung.
Pendiri dan Ketua Umum
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan “sweeping” lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
Pembantaian penduduk desa di Rawagede pada Desember 1947 adalah pembantaian terbesar setelah pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan antara bulan Desember 1946 sampai Februari 1947. sampai bulan Agustus 1949, di mana ribuan penduduk dibunuh tanpa proses. Dalam agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 - 1950, tentara Belanda telah melakukan berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta pelanggaran HAM berat, termasuk perkosaan terhadap perempuan-perempuan Indonesia yang ditawan oleh tentara Belanda.
Ironisnya, semua kejahatan dan pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh tentara Belanda, setelah berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945, setelah Belanda bebas dari pendudukan Jerman dan ratusan ribu orang Belanda dibebaskan dari kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia di mana mereka mendekam dari tahun 1942 - 1945.
Belanda termasuk negara-negara korban agresi militer Jerman dan Jepang, yang menuntut Jerman dan Jepang atas berbagai kejahatan perang dan pelanggaran HAM. Tetapi kemudian tentara Belanda melakukan hal yang sama, yaitu berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.
Latar Belakang
Jepang melancarkan agresi militer di Asia Timur, yang diawali dengan penyerbuan atas pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Kemudian Jepang menyerbu ke Asia Tenggara, termasuk ke jajahan Belanda, Nederlands Indiƫ. Satu persatu wilayah jajahan Perancis, Inggris dan Belanda di Asia Tenggara jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Tanggal 1 Maret 1942, Tentara Jepang XVI di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Imamura melancarkan serangan atas pulau Jawa, setelah sebelumnya Angkatan Laut Jepang menghancurkan armada sekutu ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dalam pertempuran sengit di laut Jawa, yang dikenal sebagai “The Battle of Java Sea.”
Setelah digempur hanya selama satu minggu, tentara Belanda di India-Belanda hampir tanpa perlawanan menyerah kepada tentara Jepang. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten panglima Tertinggi Tentara Belanda di India-Belanda mewakili Gubernur Jenderal India-Belanda, Jonkheer Alidus Warmmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT dan menyerahkan seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan akhir penjajahan Belanda di Asia Tenggara, di wilayah yang kemudian menjadi negara Republik Indonesia.
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu, namun dokumen MENYERAH TANPA SYARAT baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal perang AS “Missoury” di Tokyo Bay, sehingga terjadi kekosongan kekuasaan suatu pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda, yang telah diserahkan kepada Jepang.
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia dan kemudian pada 18 Agustus 1945 membentuk pemerintahan, sehingga dengan demikian 3 syarat pembentukan suatu negara telah terpenuhi, yaitu 1. Adanya wilayah, 2. Adanya penduduk dan 3. Adanya pemerintahan.
Pada 18 November 1946, Liga Arab termasuk Mesir, mengeluarkan resolusi yang memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan RI sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Suatu pengakuan de jure menurut hukum internasional.
Setelah “menyerahkan” jajahannya secara resmi kepada Jepang, Belanda telah kehilangan semua hak dan legitimasinya atas India-Belanda. Oleh karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ini bukan merupakan pemberontakan terhadap Belanda.
Belanda berhasil memperoleh dukungan Inggris untuk menguasai kembali Indonesia dan hal ini dituangkan dalam Civil Affairs Agreement (CAA) yang ditandatangani di Chequers, Inggris, pada 24 Agustus 1945. Dalam CAA, Inggris akan “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan kemudian menyerahkannya kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Hal ini a.l. tertuang dalam perintah dari Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander S.E.Asia Command tertanggal 2 September 1945, yang diberikan kepada Panglima Divisi 5, yang bunyinya a.l.
“You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion…”
Dengan bantuan 3 Divisi tentara Inggris di bawah komando Letnan Jenderal Phillip Christison dan 2 Divisi tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the Merciless” Morsehead, perlahan-lahan Belanda memperoleh wilayah kekuasaan di Indonesia. Pada 13 Juli 1946, Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia Timur kepada Belanda, dan pada 15 – 25 Juli 1946, mantan Wakil Gubernur Jenderal Belanda Dr. van Mook menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, untuk mendirikan Negara Indonesia Timur.
Selama tentara Inggris dan Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata Indonesia, Belanda mendatangkan pasukannya dari Belanda, sehingga ketika Inggris dan Australia menarik tentaranya dari Indonesia, kekuatan bersenjata Belanda mengganti mereka secara penuh. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang dan ditingkatkan terus sampai mencapai 200.000 tentara, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Persetujuan Linggajati dan Agresi militer Belanda IInggris memfasilitasi perundangan antara Republik Indonesia dengan Belanda di Linggajati. Pada 15 November 1946 diparaf persetujuan Linggajati dan pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Jakarta.
Belanda nampak jelas menggunakan taktik mengulur waktu, untuk memperkuat angkatan perangnya di Indonesia dengan terus mendatangkan tentara KL dari Belanda.
Persetujuan Linggajati ini hanya berumur kurang dari 4 bulan karena dilanggar Belanda dengan melancarkan agresi militer yang dimulai tanggal 21 Juli 1947 dan menggunakan kode "Operatie Product." Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri, karena masih mengganggap Republik Indonesia sebagai jajahannya.
Republik Indonesia mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut telah melanggar suatu perjanjian internasional, yaitu Persetujuan Linggajati. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai “The Indonesian Question.”
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menyetujui Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia, dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara, karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia, pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral.
Pembantaian di Rawagede
Walaupun telah ditandatangani gencatan senjata dan selama perundingan di atas kapal Renville berlangsung, di Jawa Barat tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen) yang pernah dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor menyerang desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan seorangpun tentara Indonesia. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki di atas 15 tahun diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat keberadaan para pejuang Indonesia.
Perwira Belanda tersebut kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin dan ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga kena tembak di tangan, namun dia menjatuhkan diri dan pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang, yaitu pembunuhan terhadap non-combatant. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja, sehingga bau mayat masih tercium selama berhari-hari.
Peristiwa pembantaian ini juga diketahui oleh Committee of Good Offices for Indonesia dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak berdosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Kini masih hidup 9 orang janda korban dan 7 orang korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 1947. Yang termuda dari mereka, Imi, kini berusia 75 tahun. Ketika itu, dia berusia 15 tahun dan baru menikah 3 hari. Suaminya ditembak mati di hadapannya. Sejak itu dia tidak pernah menikah lagi. Mereka semua hanyalah penduduk desa yang buta huruf.
De Excessennota
Pada bulan Januari tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti arsip dokumen-dokumen yang dilaporkan kepada Pemerintah Belanda, guna menyelidiki kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Setelah melakukan penelitian selama lima bulan, hasilnya disusun oleh tim tersebut dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in IndonesiĆ« begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Laporan yang dibuat secara terburu-buru hanya mencantumkan sekitar 140 “ekses” yang dilakukan oleh tentara Belanda, padahal jumlah sebenarnya lebih banyak lagi, karena banyak pembunuhan yangdilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia tidak tercantum dalam Excessennota tersebut.
Di Belanda sendiri banyak kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan bukan hanya sekadar excess.
Pembantaian di Rawagede, Sulawesi Selatan dan berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot mengatakan a.l.:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands...”
Namun pengakuan ini hanya sebatas lip service belaka, karena Pemerintah Belanda tetap tidak mau bertanggungjawab atas berbagai pembantaian masal terhadap rakyat yang tak bersenjata (non combatant), dan 60 tahun setelah berbagai tragedi pembantaian massal, tetap tidak mau memberikan kompensasi kepada para korban yang selamat, janda dan keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
----------------------------------------------------------
Petition-online kepada Pemerintah Belanda untuk,
1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945,
2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan.
Petition to urge the Netherlands Government, to
1. Recognize de jure Indonesian Independence Day was on August 17th 1945, and
2. Apologize for the colonialization, slavery, violation of human rights and horrific crimes against humanity:
http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html