Wednesday, March 20, 2013

KEJANGGALAN DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA






KULIAH UMUM
DISAMPAIKAN DI
UNIVERSITAS SYIAH KUALA,
BANDA ACEH
14 MARET 2013





KEJANGGALAN
DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK
ANTARA
REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
KERAJAAN BELANDA

Oleh Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)










Diselenggarakan oleh
Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UNSYIAH
dan
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)



Pengantar
Ada beberapa Negara, yang dalam hubungan dengan Negara lain, terutama sehubungan dengan masa lalu kedua Negara tersebut, mempunyai ganjalan bahkan antipati satu dengan lainnya, seperti yang dialami oleh beberapa Negara baik di Eropa, Asia maupun di Afrika.

Yang sangat sering terjadi, walaupun antara pemerintahnya telah terjalin hubungan diplomatik, di kalangan masyarakatnya masih terdapat ganjalan dan ressentiment, bukan hanya di antara Negara-negara yang bertetangga, namun juga antara Negara-negara yang berjauhan letaknya, seperti yang dirasakan oleh warga Belanda, yang selama tiga setengah tahun mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia, selama masa pendudukan di Indonesia antara Maret 1942 sampai 15 Agustus 1945.

Di Eropa, rakyat di Negara-negara yang pernah diduduki oleh tentara Jerman selama Perang Dunia II, 1939 – 1945, sampai sekarang masih menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap orang Jerman. Hal ini sangat kental dirasakan di Polandia. Di Belanda, hingga sekarang masih sering terdengar cemoohan-cemoohan warga Belanda terhadap turis Jerman. Juga sejarah masa lampau, seperti misalnya Belanda yang pernah lama dijajah oleh Spanyol, atau di zaman perebutan hegemoni atas perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara pada abad 16 dan 17, di mana di antara negera-negara Eropa tersebut saling membunuh dan merampok.

Di Asia, antara Jepang dengan rakyat di negara-negara yang pernah diduduki oleh Balatentara Dai Nippon di masa agresi militer Jepang ke Asia Timur dan Asia Tenggara antara tahun 1941 – 1945. Pemerintah Cina dan Korea sering memrotes dan bahkan mengecam langkah pemerintah Jepang, apabila ada kebijakan yang menyinggung kedua Negara tersebut, sehubungan dengan lembaran hitam sejarah pendudukan Jepang di kedua Negara tersebut.

Di Afrika, sangat dirasakan antipati dan bahkan kebencian penduduk kulit hitam terhadap kulit putih, bukan hanya atas penjajahan, melainkan terutama perbudakan yang sangat biadab dan tidak manusiawi yang dialami oleh penduduk kulit hitam. Walaupun harus diakui, bahwa perdagangan budak juga dilakukan oleh raja-raja dan penguasa kulit hitam setempat.

Sering ketidaksenangan bahkan kebencian tersebut dilampiaskan dalam pertandingan-pertandingan olah-raga antar negara, atau apabila terjadi sengketa perbatasan.

Namun dalam hubungan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, ternyata terlihat ada kejanggalan, yang tidak lazim terjadi antara dua Negara yang saling menjalin hubungan diplomatik.



“Hubungan Diplomatik” Indonesia - Belanda
Tanpa harus menjadi pakar ilmu politik atau mengetahui mengenai seluk beluk diplomasi, seorang awampun mengetahui, bahwa untuk menjalin hubungan diplomatik antara dua Negara, keduanya harus saling mengakui dan menghargai. Hubungan kedua Negara juga harus berdasarkan kesetaraan. Semua perjanjian bilateral, haruslah berlaku azas resiprositas, timbal-balik. Namun kenyataannya tidak demikian dalam hubungan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Aneh tapi nyata. Janggal, tetapi telah berjalan selama puluhan tahun.

Selama ini masyarakat terutama di Indonesia, hanya melihat ada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda, dan ada Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia, tanpa mengetahui apakah persyaratan untuk menjalin hubungan diplomatik telah terpenuhi. Tentu masyarakat berasumsi, bahwa Pemerintah Belanda telah mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia, demikian juga sebaliknya. Bahwa segala sesuatunya telah sesuai dengan azas saling mengakui, saling menghargai dan kedua Negara sejajar di semua tataran.

Namun kenyataannya tidak demikian. Baru beberapa tahun belakangan terungkap, bahwa hingga kini, ternyata pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu yang dari sudut pandang Belanda, hanyalah merupakan pelimpahan kewenangan (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Netherlands-Indië (India Belanda) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pemerintah RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Netherlands – Indië, oleh karena itu pemerintah RIS harus menanggung utang pemerintah Netherlands-Indië kepada pemerintah Belanda, yang disetujui dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).  KMB adalah perundingan dari tiga pihak, yaitu pemerintah Kerajaan Belanda, pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan dari Bijeenkomst voor Federaale Overleg –BFO (Musyawarah Negara-negara Federal yang terdiri dari 15 “Negara Bagian”). KMB difasilitasi oleh PBB. Disepakati, bahwa pemerintah RIS akan membayar utang pemerintah Netherlands Indië kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden, waktu itu setara dengan sekitar 1,1 milyar US $. Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda di Indonesia, dan utang VOC tahun 1799 kepada pemerintah Belanda yang dibebankan kepada pemerintah Netherlands-Indië.

Sejarah mencatat bahwa RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Presiden Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.

Pemerintah RI masih meneruskan pembayaran cicilan utang yang telah disepakati dalam KMB, dan hingga tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden. Kemudian sejalan dengan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah RI, maka sisa cicilan sekitar 500 juta gulden tidak dibayar lagi, dan Uni Belanda – Indonesia dinyatakan bubar.

Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Namun di Belanda cukup banyak kalangan yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, termasuk banyak anggota Tweede Kamer (parlemen Belanda), dan merekalah yang justru mendesak pemerintah Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945.

Di Indonesia kini cukup banyak yang mengetahui kejanggalan ini, sejak LSM Komite nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak tahun 2002, dan dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak tahun 2005, mengangkat masalah ini dan menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena menurut KNPMBI/KUKB, masalah pengakuan de jure menyangkut martabat bangsa.

Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag, memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda diputus bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang masih hidup serta seorang korban yang selamat dari pembantaian tersebut. Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949.

Dalam pertimbangan putusannya, disebut sebagai “fakta”:
2.    De feiten
Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.

“Fakta” yang disebut oleh pengadilan sipil di Belanda menegaskan apa yang telah dikatakan oleh Ben Bot, Menlu Belanda (waktu itu) di Jakarta pada 16 Agustus 2005. Dalam sambutannya di Kemlu, Jakarta, dia mengatakan, bahwa kini Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Sehari sebelum berangkat ke Jakarta, dalam acara peringatan pembebasan para interniran pada 15.8. di Den Haag, Ben Bot dengan tegas menyebut, akan menyampaikan kepada bangsa Indonesia, bahwa kini pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Hal ini dinyatakannya juga dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta pada 18.8.2005, bahwa pengakuan kemerdekaan hanya diberikan satu kali, yaitu akhir 1949, berarti  yang dimaksud adalah yang dinamakan pelimpahan kewenangan (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pernyataan Ben Bot pada 16.8.2005 tersebut seharusnya sangat mengejutkan bangsa Indonesia, karena berarti, hingga tanggal 16.8.2005, NKRI untuk pemerintah Belanda tidak eksis sama sekali, dan baru tanggal 16.8.2005 naik tingkat menjadi ANAK HARAM, karena hanya diterima (acceptance) keberadaannya, namun tidak diakui (acknowledgement) legalitasnya.

Dengan demikian terungkap, bahwa ternyata ada kejanggalan dalam hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.

Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda tetap bersikukuh dengan sikap ini, yaitu tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Di lain pihak, pemerintah Indonesia terutama Kementerian Luar Negeri RI, juga mengetahui mengenai hal ini, namun membiarkan sikap pemerintah Belanda ini dan tidak memrotes, atau memutus hubungan diplomatik yang janggal ini.

Selain tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, juga terdapat ketimpangan dalam kesetaraan antara dua Negara. Perdana Menteri Belanda berhasil memperjuangkan kepentingan warganya yang ingin mengunjungi Indonesia, dengan mendapat fasilitas Visa-on-arrival, namun di lain pihak, sangat sulit bagi warga Indonesia memperoleh visa untuk berkunjung ke Belanda, dengan alas an, Belanda terikat dengan Perjanjian Schengen. Tidak mau diperjuangkan agar warga Indonesia-pun memperoleh fasilitas visa-on-arrival yang khusus berlaku untuk Belanda.

Pemerintah Belanda terus menuntut, agar tewasnya seorang wartawan Belanda, Sander Thoenes, di Timor Timur tahun 1999 yang diduga dibunuh oleh ABRI, diusut tuntas. Juga parlemen Belanda sering mengadakan “kunjungan kerja” ke Indonesia untuk memantau perkembangan HAM di Indonesia. Namun mereka menutup mata atas tuntutan pengusutan tewasnya ratusan ribu rakyat Indonesia yang dibantai tanpa proses oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.


Latar Belakang Sejarah
Untuk dapat melihat mengapa pemerintah Belanda “terpaksa” bersikukuh pada pengakuan kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, perlu ditinjau latar belakang sejarahnya.

Dalam perang di Eropa, pada bulan Mei 1941 Belanda “digilas” oleh tentara Jerman hanya dalam tiga hari. Demikian juga di Asia, invasi Jepang ke Asia Timur dan Tenggara, yang diawali dengan penyerangan terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana pimpinan tertinggi militer Jepang.

Pada 27 februari 1942 armada ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa. Kemudian tentara ABDACOM di Jawa juga dihancurkan balatentara Dai Nippon di bawah komando Letjen Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Jepang ke 16, hanya.dalam waktu satu minggu.

Pada 9 Maret 1942 di Lanud Kalijati, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letjen Hein ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer, menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat kepada tentara Jepang, dan menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut berakhirlah penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, dan Belanda telah kehilangan hak sejarahnya, yang diperoleh dengan kekerasan.

Lebih dari 200.000 mantan tentara ABDACOM dan warga sipil Eropa, terutama Belanda, serta Amerika yang merupakan sekutu Belanda, mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di seluruh Indonesia sampai berakhirnya Perang Pasifik pada 15 Agustus 1945.

Di masa pendudukan Jepang, untuk kepentingan mendukung kekuatan militernya dan untuk membantu menjaga keamanan serta ketertiban, Jepang melatih pribumi untuk menjadi tentara dan polisi. Tentara gemblengan Jepang ini kemudian sangat berguna melawan agresi militer Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia.

Pada 6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima, dan kemudian pada 9 Agustus di atas kota Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak mau menyerah tanpa syarat, bom berikutnya akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah. Namun dokumen Menyerah –Tanpa-Syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS Missouri, di Tokyo Bay. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus dan 2 September 1945 terdapat kekosongan kekuasaan pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang, termasuk Netherlands-Indië (India Belanda).

Di masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power),.pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pernyataan kemerdekaan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden serta pembentukan pemerintahan, sehingga ketiga persyaratan mengenai berdirinya suatu Negara, yaitu:
  1. Adanya wilayah,
  2. Adanya penuduk yang permanen, dan
  3. Adanya pemerintahan,
telah terpenuhi, sebagaimana tertera dalam Konvensi Montevideo, Uruguay, yang ditandatangani pada 26 Desember 1933.

Pemerintah Republik Indonesia yang baru dibentuk menyatakan, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah seluruh wilayah bekas Netherlands Indië (India Belanda). Pernyataan batas wilayah Negara ini berdasarkan azas Utti possidetis Juris (iuris), yaitu penentuan batas-batas Negara bekas jajahan Negara lain. Hukum ini diadopsi dari hukum Romawi.

Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dicetuskan pada 17.8.1945, dicetuskan, bukan merupakan pemberontakan terhadap negara manapun, baik terhadap Jepang maupun Belanda, karena Jepang telah menyatakan menyerah kepda tentara Sekutu, dan pemerintahan Netherlands Indië-pun tidak ada sejak tanggal 9 Maret 1942.. Juga bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan.

Tanggal 10 Juni 1947, Mesir merupakan Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh Liga Arab dan India, setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Dengan demikian, syarat keempat telah terpenuhi, yaitu kesanggupan untuk melakukan hubungan internasional. Konvensi Montevideo juga memberi catatan, bahwa tanpa adanya pengakuan dari Negara lain, Negara tersebut berhak mempertahankan kedaulatannya, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda.

Pemerintah Belanda tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan meminta bantuan Inggris. Pada 24 Agustus 1945 di kota Chequers dekat London, ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dinamakan Civil Affairs Aggreement (CAA), di mana Inggris mewajibkan diri membantu Belanda untuk memperoleh kembali jajahannya, Netherlands Indië, yang baru menyatakan kemerdekaannya. Dalam perjanjian tersebut, Inggris akan “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, akan diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Tiga divisi tentara Inggris di bawah komando Letjen Phillip Christison untuk Sumatera dan Jawa serta 2 divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morsehead di Indonesia Timur, berusaha “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Pasukan Australia di Indonesia Timur berhasil menghancurkan sebagian besar perlawanan bersenjata pendukung Republik Indonesia. Pada 15 Juli 1946, tentara Australia menyerahkan seluruh wilayah Indonesia Timur kepada NICA. Pada 16 Juli 1946, Wakil Gubernur Jenderal van Mook menggelar Konferensi Malino, yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi di Denpasar bulan Desember 1946, Negara Indonesia Timur disahkan. Setelah itu, di daerah-daerah yang dikuasai oleh Inggris dan kemudian diserahkan kepada Belanda, van Mook mendirikan Negara-negara boneka lainnya, yaitu Negara Sumatera Timur.

Dalam upaya menjajah kembali Indonesia melalui pengerahan militer secara besar-besaran, tentara Belanda telah melakukan sangat banyak kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, serta melanggar konvensi Jenewa mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil di dalam suatu perang. Untuk menghindari tudingan ini, Belanda menamakan agresi militernya sebagai “aksi polisional”, yaitu dengan dalih membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang, guna memulihkan kembali “Rust en Orde (Law and Order).

Bangsa Indonesia mencatat, selama agresi militer Belanda di Indonesia, terjadi berbagai pelanggaran HAM berat, bahkan juga kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta perkosaan terhadap perempuan Indonesia yang dilakukan oleh tentara Belanda. Peristiwa-peristiwa pembantaian massal yang dikenal adalah pembantaian yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (sekarang setelah pemekaran, beberapa daerah masuk ke Provinsi Sulawesi Barat) antara 11 Desember 1946 sampai pertengahan Februari 1947. Di Rawagede (sekarang bernama Balongsari) yang terjadi pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk desa tewas dibantai tanpa proses, pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Kereta Maut Bondowoso-Surabaya, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, dll.

Selama 20 tahun sampai tahun 1969, di Belanda seolah-olah ada “gerakan tutup mulut”, dan samasekali tidak pernah diberitakan mengenai kekejaman yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda tersebut. 

Kebisuan ini “dipecahkan” oleh Prof. Joop Hueting, Guru Besar Psikologi, yang mengritisi berbagai kecaman di Belanda atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Amerika di My Lai, Vietnam pada bulan April 1968, yang baru terungkap akhir 1968. Prof. Hueting, yang adalah mantan wajib militer yang ditugaskan untuk perang di Indonesia mengatakan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1946 – 1949 lebih kejam daripada yang dilakukan oleh tentara Amerika tersebut. Pernyataan ini tentu sangat mengejutkan masyarakat di Belanda. Prof. Hueting diwawancarai oleh berbagai media, di mana dia juga mengungkapkan apa yang telah dilakukan olehnya dan pasukannya.

Pada bulan Januari 1969 parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda melakukan penelitian terhadap hal-hal yang telah disampaikan oleh Prof. Hueting. Pemerintah Belanda membentuk tim antar departemen, yang pada bulan Juni menyampaikan laporannya, yang diberi judul “De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950.” Di dalamnya terdapat laporan sekitar 140 “ekses” yang telah dilakukan oleh tentara Belanda. Namun pakar-pakar hukum di Belanda menyebut, bahwa yang dinamakan “ekses” oleh pemerintah Belanda, tak lain adalah Oorlogsmisdaden, kejahatan perang.

Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda Ben Bot mengakui, bahwa pengerahan militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah, di mana jatuh korban di kedua belah pihak. Namun kalau dilakukan perbandingan jumlah yang tewas, akan terlihat, bahwa ucapan ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Di pihak Belanda sekitar 6.000 orang tewas, semuanya tentara. Namun tidak semuanya mati dalam pertempuran, melainkan juga banyak yang mati karena sakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh Letjen Simon Spoor, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, yang menembak kepalanya sendiri karena kecewa atas disetujuinya perundingan perdamaian antara Belanda dan Republik Indonesia.

Korban di pihak Indonesia, menurut catatan Belanda, sekitar 150.000 orang. Sangat disayangkan, pihak Republik Indonesia sendiri tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya jumlah korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, demikian juga kehancuran perumahan, bangunan dan perekonomian rakyat. Sebagian besar korban tewas adalah penduduk sipil, non combatant. Apabila membandingkan jumlah korban di beberapa daerah dengan angka resmi yang dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota terlihat perbedaan yang cukup besar mengenai jumlah yang tewas. Sebagai contoh, peristiwa pembantaian di desa Rawagede. Dalam laporannya pemerintah Belanda menyebut jumlah penduduk yang dibunuh 20 orang, sedangkan menurut data setempat, jumlah penduduk yang dibantai tanpa proses pada 9 Desember 1947 sebanyak 431 orang. Demikian juga di daerah-daerah lain, jumlah korban ternyata jauh lebih banyak dibandingkan data dalam laporan pemerintah Belanda. Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda tersebut. Oleh karena itu jumlah korban tewas di seluruh Indonesia diperkirakan lebih dari 500.000 jiwa, dan mungkin dapat mencapai 1 juta jiwa.

Pemerintah Belanda terpaksa menyetujui dilakukannya perundingan dengan pihak Republik Indonesia atas tekanan PBB, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, yang kuatir Republik Indonesia jatuh ke kubu komunis di bawah Uni Sovyet, Karena era perang dingin melawan kubu Negara-negara komunis di bawah pimpinan Uni Sovyet baru dimulai. Amerika Serikat mengancam, apabila Belanda tidak mau berunding dengan Republik Indonesia, pemerintah Amerika akan menghentikan bantuan Marshall Plan, yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, yang hancur setelah Perang Dunia II.

Namun dalam perundingan di KMB, setelah menang dalam perundingan Linggajati, Renville, persetujuan Roem-Royen, Belanda menunjukkan lagi kepiawaiannya di meja perundingan internasional sehingga dapat dikatakan, bahwa Belanda lah yang “menang” dalam perundingan KMB.

Dilema Pemerintah Belanda
Latar belakang sejarah kelam Belanda selama agresi militernya ini yang menempatkan pemerintah Belanda dalam posisi yang sangat dilematis, (memakai kata-kata dari Menlu Ben Bot, yang diucapkannya pada 16 Agustus 2005: “pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah”), dan tidak dapat melakukan hubungan diplomatik yang “normal” dengan pemerintah Republik Indonesia. Hal ini juga yang diungkapkan a.l. oleh Angelien Eijsink, anggota parlemen Belanda dari Fraksi Partai Buruh (Partij van de Arbeid - PvdA), yang membidangi masalah veteran Belanda di Tweede Kamer, sebagaimana diungkapkannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005.

Hal yang senada juga dikatakan oleh Ad van Liempt, jurnalis senior Belanda dari Media Tv Belanda Andere Tijden, dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Hilversum pada 18 Desember 2005.

Kesulitan besar yang dihadapi pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah, bahwa dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya adalah, tentara Belanda menjadi penjahat perang. Hal inilah yang paling dikuatirkan oleh para veteran Belanda. Selain itu, pemerintah Indonesia dapat menuntut pampasan perang, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara yang pernah diduduki oleh tentara Jepang selama Perang Pasifik. Pengakuan ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menuntut pemerintah Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Di International Criminal Court, ada empat kejahatan yang tidak mengenal azas kadaluarsa, yaitu:
  1. Genocide (Pembersihan/pembantaian etnis)
  2. Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
  3. War crime (kejahatan perang) dan
  4. Crime of aggression (kejahatan agresi).

Yang selama 60 tahun dikuatirkan oleh pemerintah Belanda kini telah terbukti. Pada 15 Desember 2005, pimpinan KUKB membawa masalah penolakan Belanda  untuk mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945 dan peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 1947.

Seluruh Indonesia dapat melihat, mendengar dan membaca putusan pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011, yang menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, dan memberi kompensasi kepada para janda dan satu korban selamat terakhir. Putusan pengadilan ini dapat menjadi juris prudensi untuk kasus-kasus serupa, yaitu peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, di masa agresi militer Belanda.



Referensi

  1. Bank, Jan, (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
  2. Dr. H. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
  3. Profesor Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
  4. Hutagalung, Batara R. 10 November 1945. mengapa Inggris Membom Surabaya? Millenium Publisher. Jakarta 2001.
  5. Hutagalung, Batara R. Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010.
  6. Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Anak Bangsa Dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, (Naskah).
  7. Prof. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
  8. Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
  9. Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000.
  10. Jenderal TNI DR. A.H. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Mega Bookstore, Jakarta, 1966.
  11. Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau bertempur, jilid 2. Penerbit Angkasa,  Bandung, 1977.
  12. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, jilid 11, Penerbit Angkasa, Bandung,  1979.
  13. Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996.
  14. Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
  15. Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 – 3, Jakarta 1963.
  16. Charles Wolf, Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
  17. Yong Mun Cheong, H.J.van Mook and Indonesian Independence. A study of his role in Dutch – Indonesian Relations, 1945 – 1948, Marinus Nijhoff, Den Haag, 1982.



*******


Lampiran 1
Pidato Menlu Belanda Ben Bot pada 15.8.2005 di Den Haag;
Sekarang Belanda MENERIMA DE FACTO Proklamasi 17.8.1945

Toespraak ter gelegenheid van de 15 augustus-herdenking bij het Indië-monument

Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der Nederlanden, ter gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15 augustus 2005

Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000 kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers, herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos stierven.
Na de capitulatie was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en kinderen, het leven.
In de jaren daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en psychisch leed.
Zelf kijk ik met gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen, vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen, maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans ‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat, denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote. Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn loontje”.
Er wordt weer veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende, de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen, terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt komen.
(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst relevant zijn.
Winston Churchill zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen, of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland  - op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van de betrekkingen met Indonesië.

(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal  met steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.


            ********


Lampiran 2
Pidato Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005:
Sekarang Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 SECARA MOERAL DAN POLITIS!


Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration

Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands

Jakarta, 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1.      SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)

2.      I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3.      Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August.
Ladies and gentlemen,
4.      This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary.
Ladies and gentlemen,
5.      If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad.
6.      The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities.
7.      In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering.
8.      Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9.      This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity.
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN.

Ladies and gentlemen,
11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60 years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA
(Translation: Friendship knows no borders.)
Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)


*******

Source:







Monday, March 04, 2013

Penjelasan dari Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Mingguan TEMPO


Mingguan TEMPO di edisi 18 - 24 Februari 2013, halaman 58 - 70, menurunkan berita mengenai Westerling. Di halaman 70 diberitakan mengenai upaya menuntut kejahatan perang Belanda, terutama yang telah dilakukan oleh Westerling.

Sehubungan dengan artikel “Upaya Men-‘Slobodan Milosevic’-kan Westerling dalam.rubrik Intermezzo Westerling di Tempo edisi 18 – 24 Februari 2013, dan surat pembaca Hadi Rahmat Purnama, Pengajar Hukum Internasional & Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, di TEMPO edisi 25 Februari – 3 Maret 2013, saya menyampaikan jawaban dari Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang saya pimpin.

Hadi Rahmat Purnama menulis a.l. bahwa:
“…jurisdiksi dari Mahkamah (maksudnya adalah Mahkamah Kejahatan Internasional – International Criminal Court – pen.) adalah sejak Statuta Roma yaitu 1 Juli 2002.
Dengan demikian maka kejadian Pembataian oleh Westerling di Sulawesi Barat yang terjadi pada tahun 1946 tidak dapat diajukan ke hadapan Mahkamah Kriminal Internasional. Walaupun benar bahwa yang dilakukan oleh Westerling dapat dikategorikan sebagai Kejahatan Perang dan Kejahatan Kemanusiaan.
Mohon kiranya ini dapat mengkoreksi pendapat yang ada dalam artikel mengenai kemungkinan membawa kasus Pembataian Westerling ke Mahkamah Kriminal Internasional ..”
Demikian keterangan dari Hadi Rahmat Purnama, Pengajar Hukum Internasional & Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Di TEMPO edisi 4 – 10Maret 2013 (minggu ini), jawaban saya dimuat dalam kolom Surat, halaman 6. Namun jawaban saya diedit kembali oleh redaksi, dan beberapa bagian yang penting justru tidak dimuat.

Oleh karena itu saya sampaikan di bawah ini teks lengkap yang saya kirim kepada redaksi TEMPO.

----------------------------

Teks lengkap Surat Pembaca.dari Ketua KUKB kepada mingguan TEMPO

Jawaban atas surat pembaca Hadi Rahmat Purnama:
“Upaya Men-‘Slobodan Milosevic’-kan Westerling.

Penjelasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).
1.    Tuntutan utama KUKB bukanlah kompensasi untuk beberapa puluh orang korban kejahatan perang Belanda di Indonesia antara 1945 – 1950. Tuntutan utama KUKB adalah: Pemerintah Belanda harus mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pada 15 Agustus 2005, Menlu Belanda Ben Bot di Den Haag menyatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945. Dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta pada 18.8.2005 dia menegaskan, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan pada akhir Desember 1949, artinya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB. RIS dibubarkan pada 16.8.1950, dan pada 17.8.1950 Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Tuntutan pengakuan de jure kemerdekaan RI 17.8.1945 adalah demi mempertahankan martabat sebagai bangsa dan Negara merdeka dan berdaulat! Belanda telah melakukan kejahatan agresi tehadap satu negara merdeka, dan Indonesia dapat menuntut PAMPASAN PERANG! (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com.
2.    Statuta Roma Pasal 29 menyatakan, empat kejahatan tidak mengenal Kadaluarsa, yaitu genosida, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Statuta Roma memperluas Konvensi PBB tahun 1968 mengenai tidak diterapkannya azas kadaluarsa untuk kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang (Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and CrimesAgainst Humanity). Tentara Belanda juga telah melanggar Konvensi Den Haag II tahun 1899 dan Konvensi Den Haag IV tahun 1907 mengenai ‘Laws and customs of war on land’.
Memang Statuta Roma tidak berlaku retro aktif, namun seperti yang dilakukan terhadap penjahat perang Serbia dan Rwanda, PBB membentuk pengadilan ad hoc (tribunal).Tahun 1993, 20 tahun lalu Manuel Kneepkens, seorang Dosen Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Belanda, telah mengusulkan dibentuknya tribunal internasional untuk mengadili para penajahat perang Belanda, terutama kejahatan Westerling dan anakbuahnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
3.    Sejak Desember 2005, ketika saya pertamakali membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda, sangat banyak tokoh-tokoh dan anggota parlemen Belanda yang mendukung kegiatan dan tuntutan KUKB.
Diperkirakan, korban agresi Belanda tahun 1945 – 1950 lebih dari 800.000 jiwa. Apa yang dilakukan oleh para “pakar hukum internasional dan pakar HAM” orang Indonesia serta parlemen Indonesia sejak tahun 1950?

Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
KUKB didirikan di Gedung Joang ’45 Jakarta, pada 5 Mei 2005.

     *******


Demikian penjelasan saya.
Selain itu, tuntutan atas pembantaian di desa Rawagede yang dimenangkan di pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011 telah membuktikan, bahwa untuk kejahatan perang tidak dikenal azas kadaluarsa.
Bulan Maret 2010, di pengadilan di Aachen, Jerman, seorang mantan perwira jerman, Heinrich Boere, di usia 89 tahun, divonis penjara seumur hidup, karena tahun 1944 membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda. (lihat di weblog saya)
Demikian juga pengadilan ad hoc (tribunal) yang dibentuk PBB untuk mengadili penjahat perang Serbia dan Ruanda, menunjukkan, masih terbuka jalan untuk melakukan penuntutan.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, mengapa para “pakar hukum internasional” di Indonesia justru bersikap seperti pemerintah Belanda, yang bersikeras bahwa kejahatan-kejahatan tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia sudah tidak dapat lagi dituntut?

Di mana para pejuang HAM Indonesia, yang lebih dari 60 (!) tahun mermbisu atas dibantainya 800.000 – 1.000.000 juta jiwa rakyat Indonesia yang teweas dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17.8.1945.

Sekarang, semua para penikmat kemerdekaan yang dicapai melalui perngorbanan para pahlawan tersebut membungkam seribu bahasa, dan bahkan sependapat dengan para pembantai bangsanya sendiri!


-----------------------------------------------------------------------------------

Mengenai usulan dari Manuel Kneepkens yang dimuat di harian Trouw, Belanda pada 12 November 1993, dapat dibaca di:

Pernyataan Menlu Belanda Ben Bot (tahun 2005), bahwa Belanda mulai tahun 2005 MENERIMA de facto proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945, dapat dibaca (dan dilihat di youtube, di mana dia menyatakan, Belanda telah memberikan pengakuan secara yuridis akhir tahun 1949), dalam bahasa Inggris dan Belanda:
atau

Berbagai dukungan dari Belanda atas tuntutan terhadap pemerintah Belanda untuk mengakui kemerdekaan RI 17.8.1945, lihat beberapa link di bawah ini:

1.    Oppositie wil erkenning 17 augustus.
UTRECHT - 05/08/05 - (Novum) -

2.    Krista van Velzen, lid van de Tweede Kamer voor de SP
(Deze open brief is op 4 augustus 2005 gepubliceerd in de Haagsche Courant)
Open brief aan minister Bot: Erken datum Indonesische onafhankelijkheid

3.    Indonesië werd onafhankelijk in 1945. Erken dit.
NRC Handelsblad, Gepubliceerd: 22 december 2009