Wednesday, February 13, 2013

Menlu Belanda: Kemerdekaan Republik Indonesia Desember 1949.



Wawancara Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18 Agustus 2005:
http://www.youtube.com/watch?v=_x-wVZc_u_I

-------------------------------


Pernyataan Ben Bot di Den Haag, 15 Agustus 2005 (dalam bahasa Belanda), bahwa kini (2005) pemeMenlu Belanda rintah Belanda menerima de facto kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.

Ben Bot. Toespraak ter gelegenheid van de 15 augustus-herdenking bij het Indië-monument:

---------------------------------------------------------

Pernyataan (dalam bahasa Inggris) Ben Bot di Jakarta pada 16.8.2005, di mana dia menyatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS.

Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration:



Pembantaian di Galung Lombok, dll. Terjadi Karena Belanda Tak Mau Akui Proklamasi 17.8.1945

 

Pembantaian di Galung Lombok, dll., Terjadi Karena Belanda Tak Mau Akui Proklamasi 17.8.1945

 
 
Oleh Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Pendahuluan

Pada 10 November 1945 tentara Inggris memulai gempuran dari darat, laut dan udara yang sangat dahsyat selama sekitar tiga minggu terhadap kota Surabaya, Jawa Timur. Pada waktu itu Inggris mengerahkan lebih dari 30.000 tentara yang diperlengkapi dengan persenjataan yang paling muthakir yang dimiliki oleh Inggris. Itu merupakan pengerahan pasukan terbesar yang dilakukan oleh Inggris seusai Perang Dunia II.

Diperkirakan lebih dari 20.000 rakyat Indonesia di Surabaya, sebagian terbesar adalah penduduk sipil termasuk wanita dan anak-anak, tewas akibat pemboman yang membabibuta, lebih dari 150.000 penduduk dipaksa mengungsi ke luar kota dan Surabaya bagian selatan hancur. Demikianlah gambaran mengenai situasi kota Surabaya, setelah digempur selama tiga minggu oleh Divisi V di bawah komando Mayjen. R.C. Mansergh.

Kini setiap tahun bangsa Indonesia memperingati awal pemboman tentara Inggris tersebut sebagai Hari Pahlawan.

Pada 20 November 1946, tentara Belanda menggempur pasukan Ciung Wanara pimpinan Letkol. I Gusti Ngurah Rai (kemudian menjadi Kolonel anumerta). Dalam pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Puputan Margarana, I Gusti Ngurah Rai gugur bersama 95 orang anak-buahnya.

Pada 1 Februari 1947, pasukan elit Belanda Depot Speciale Troepen di bawah pimpinan Letnan Vermeulen, wakilnya Raymond P.P. Westerling, membantai lebih dari 700 orang di desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Sebagian terbesar adalah pendudk sipil, termasuk 3 wanita dan anak-anak. Mereka ditembak mati di tempat, secara membabibuta, tanpa proses pengadilan. 29 di antaranya adalah anggauta Angkatan Laut RI. Setelah “berjasa memulihkan keamanan” di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, kini beberapa daerah termasuk provinsi Sulawesi Barat), pangkat Westerling naik menjadi Kapten.

Pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal perang AS Renville, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. (Mengenai perjuangan menuntut pemerintah Belanda  atas pembantaian di Rawagede, lihat:
dan pemerintah Belanda meminta maaf di desa Rawagede pada 9 Desember 2011:

Surabaya bukan satu-satunya kota atau wilayah yang diserang oleh tentara Inggris. Upaya untuk menghancurkan kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia -BKR (Badan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan berbagai laskar- juga dilakukan oleh tiga divisi tentara Inggris di Sumatera (Pertempuran Medan Area) dan di seluruh Jawa (a.l. Bandung Lautan Api). 

Kini juga terungkap, bahwa dua divisi tentara Australia juga melancarkan operasi militer di wilayah Indonesia bagian timur dengan tujuan yang sama, yaitu melumpuhkan kekuatan bersenjata pendukung Republik yang baru diproklamirkan pada 17.8.1945. Pada waktu itu belum ada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia adalah laskar-laskar pemuda yang memperoleh senjata yang direbut dari tentara Jepang.  Kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat (BKR/TKR).

Tentara Australia sangat berjasa besar kepada Belanda, karena setelah seluruh wilayah Indonesia Timur dinyatakan telah berada di bawah kekuasaan tentara Australia, pada 15 Juli 1946 seluruh wilayah Indonesia Timur “diserahkan” kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang diwakili oleh Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Wakil Gubernur Jenderal Nederlands Indië (India Belanda), sebelum jajahan Belanda tersebut “diserahkan” kepada Jepang di Kalijati pada 9 Maret 1942.

Kini terungkap, bahwa tujuan operasi militer Inggris dan Australia ini adalah untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertera  dalam surat perintah yang diberikan oleh Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command), Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Hal ini juga diakui secara terus terang oleh Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Sir Richard Gozney, dalam pernyataannya di seminar Internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000.


Latar Belakang Sejarah

Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jakarta, yang –setelah dikuasai tahun 1619- oleh Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara dan Bali kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang dan “menyerahkan” seluruh jajahannya kepada tentara Jepang. Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai penjajahan, atau kolonialisme.

Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai bahkan merampok negara lain serta memperbudak penduduknya. Yang ada hanyalah berdasarkan atas kekuatan bersenjata seperti halnya hukum rimba, yaitu siapa yang kuat memangsa yang lemah.

Pada abad 15, dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk perdagangan atau untuk dijadikan pemukiman (koloni). Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara kedua negara tersebut dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty). Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu satu bagian untuk Spanyol dan satu bagian untuk Portugal. Namun ketika Belanda, Inggris dan Perancis memasuki kawasan-kawasan tersebut, ketiga Negara ini tidak merasa terikat dengan Traktat Tordesillas. Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara kelima Negara tersebut yang memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa, terutama di Asia selatan/tenggara, di mana mereka memperebutkan wilayah yang kaya akan rempah-rempah, yang pada waktu itu sangat mahal di Eropa.

Inggris dan Belanda kemudian beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Kemudian Belanda dan Portugal sepakat untuk membagi dua Pulau Timor. Juga antara Belanda dengan Inggris pernah terjadi “tukar guling” jajahan di Asia Tenggara, yaitu Bengkulu yang sebelumnya adalah jajahan Inggiris, ditukar dengan Singapura, waktu itu di bawah kekuasaan Belanda.

Kalau melihat perilaku para penjajah yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan terlihat, ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, apakah itu kota, atau wilayah di dalam suatu kota, bahkan seperti para preman yang membagi kekuasaan atas lahan parkir kendaraan bermotor!.

Dalam perebutan wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama  dua abad, akhirnya Belanda berhasil mengungguli Inggris, Spanyol dan Portugal, dengan menguasai wilayah, yang kemudian oleh Belanda dinyatakan sebagai “provinsi seberang laut” dengan nama Nederlands Indië (India Belanda). Inggris dapat berkuasa di Malaya (Malaysia) dan Irian Timur, Spanyol di Filipina dan untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor Leste) dan Macau. Perancis “memperoleh” Indochina, yang kemudian setelah merdeka, menjadi tiga negara: Vietnam, Laos dan Kamboja.

Pada 20 Maret 1642, para pengusaha Belanda mendirikan kongsi dagang Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dan mendapat kekuasaan (Oktrooi) seperti layaknya sautu negara, yaitu menerbitkan mata uang sendiri, memiliki tentara dan menyatakan perang terhadap suatu negara. VOC dibubarkan pada 31 Desember 1779 karena merugi akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semua wilayah yang dikuasai oleh VOC diambil alih oleh pemerintahan, yang dibentuk oleh Belanda. (Tulisan mengenai VOC, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html)

VOC meninggalkan utang kepada pemerintah Belanda sebesar 279 juga gulden, yang apabila dikonversi ke index tahun 2012, dapat mencapai lebih dari 10 milyar US $. Utang ini diakumulasikan dengan utang pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada pemerintah Belanda sampai tahun 1942. Kemudian ditambahkan pengeluaran Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1950. Jumlah utang ini ditagihkan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) November 1949, sebesar 4 ½ milyar gulden, waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $.


Belanda Kehilangan Hak Sejarah Atas Jajahannya

Perang dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3 September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.

Di Asia timur/tenggara, agresi militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Jepang melancarkan agresinya dengan menyerang negara-negara di Asia tenggara, yang waktu itu –kecuali Thailand- berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Satu persatu negara-negara jajahan Eropa/Amerika itu jatuh ke tangan Jepang.

Amerika, Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando gabungan yang dinamakan ACDACOM – American, British, Dutch, Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell. Admiral Karel Doorman dari Belanda ditunjuk sebagai Tactical Commander untuk memimpin armada sekutu.

Dalam pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942, yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java Sea” armada sekutu dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari. Admiral Karel Doorman tewas bersama kapal perang utama armada sekutu (Flagship), De Ruyter, yang tenggelam dalam pertempuran tersebut.

Setelah menghancurkan pertahanan laut sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan dilakukan serentak di tiga titik, yaitu di Banten (Jawa Barat), Eretan Wetan dan Kranggan (Jawa Tengah).

Hanya dalam waktu satu minggu, tentara sekutu di Jawa disapu bersih oleh balatentara Dai Nippon. Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang memberikan ultimatum kepada tentara sekutu untuk segera menyerah, dan kalau tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan dimusnahkan oleh tentara Jepang.

Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah Nederlands Indië/India-Belanda. (Lihat tulisan ‘9 Maret 2012. 70 Tahun Berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi  Nusantara’:

Jepang mengganti semua nama-nama jalan, gedung, hotel menjadi nama-nama Jepang. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta, yang kelihatannya diambil dari kata Jayakarta, nama sebelum diganti Belanda menjadi Batavia.[1]

Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas bekas jajahannya, dipaparkan oleh Lambertus Nicodemus Palar (telah diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional), Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut isinya antara lain sebagai berikut:

“ …Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya…
…Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris…
…Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...
... Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri...”

Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.[2]


Jepang Menyerah 
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, tentara Jepang telah menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Selama perang masih berkecamuk di Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu terpecah, sehingga tidak bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia. Namun setelah Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dapat mengalihkan kekuatannya ke Asia untuk memerangi Jepang.

Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS  Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh Jepang, termasuk Indonesia.

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Ir.Sukarno diangkat sebagai Presiden dan M. hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama. Dengan demikian ketiga persyaratan pembentukan suatu negara berdasarkan Konvensi Montevideo telah terpenuhi. (Mengenai Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945, lihat:


Belanda Ingin Menjajah Kembali.
Meminta Bantuan Inggris

Pemerintah Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, dan masih tetap menganggap, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah wilayah jajahannya yang bernama Nederlands Indië (India Belanda).

Karena tidak memiliki angkatan perang yang kuat setelah tentaranya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman tahun 1940, dan tentaranya di India Belanda dihancurkan oleh tentara Jepang pada bulan Februari - Maret 1942, maka Belanda meminta bantuan Inggris. Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, dekat London, dicapai kesepakatan yang dinamakan Civil Affairs Agreement (CAA), di mana Inggris bersedia membantu dengan kekuatan militer, agar Belanda memperoleh kembali Indonesia sebagai jajahannya. Wilayah yang telah “dibersihkan”, kemudian akan diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Kesepakatan ini ternyata kemudian menjadi bencana yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu tewasnya sekitar satu juta (!) rakyat Indonesia, jutaan manusia harus mengungsi dan hancurnya banyak sarana serta prasarana infrastruktur, yang sangat memukul perekonomian negara yang baru berdiri. Upaya Belanda menjajah kembali ternyata juga didukung oleh banyak orang Indonesia sendiri, yang selama masa penjajahan Belanda menjadi pembantu Belanda dan ikut menikmati penjajahan tersebut.

Untuk tentara Inggris dan Belanda, agresi militer ini juga menelan korban jiwa yang tidak kecil. Korban tewas di pihak tentara Inggris diperkirakan mencapai 1.500 orang, dan menurut pemerintah Belanda, tentara Belanda yang mati selama agresi miliiternya di Indonesia mencapai 6.000 jiwa. Di pihak Belanda, tidak semua tewas dalam petempuran. Sebagian meninggal karena penyakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh Panglima tertinggi tentara Belanda, Letjen Simon H. Spoor, yang bunuh diri karena kecewa disetujuinya perundingan KMB. Belum ditemukan data mengenai korban yang diderita oleh tentara Australia selama operasi militernya di wilayah timur Indonesia.

Panglima Tertinggi Komando Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command) Vice Admiral Lord Louis Mountbatten diperintahkan untuk melaksanakan tugas ini. Dia memperkirakan, diperlukan enam divisi untuk menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang ditinggalkan oleh Jepang, namun dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris, yaitu British Indian Divisions, yang sebagian besar anggota pasukannya berasal dari India (sekarang menjadi India, Pakistan dan Bangladesh) dan Nepal (Gurkha). Oleh karena itu, dua divisi tentara Australia diperbantukan untuk melaksanakan  kesepakatan  Chequers tersebut.

Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“… Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese ...”

Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten dalam pertemuan di Kandy, Sri Lanka (Ceylon) pada 2 September 1945, salah dan sangat  menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.


“Pembersihan” Kekuatan Bersenjata  RI
oleh Inggris  dan Australia

Tentara Australia, yang sebelumnya berada dalam Komando Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command) yang dipimpin oleh Letjen Douglas McArthur, memang telah menguasai sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur, termasuk  Maluku  dan Irian Barat. Bahkan McArthur menggunakan Morotai, Maluku Utara, sebagai basis penyerbuan tentara Sekutu ke Jepang. Oleh karena itu, tentara Australia dapat dengan cepat “menyelesaikan tugasnya” tanpa mengalami kesulitan besar.

Ketika Jepang menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Allied Forces (Tentara Sekutu) di Tokyo Bay pada 2 September 1945, dan kemudian pada 12 September 1945 di Singapura, Lord Louis Mountbatten menerima penyerahan wilayah Asia tenggara dari tentara Jepang, seluruh Jawa dan Sumatera masih dikuasai oleh tentara Jepang. Namun di beberapa pulau di wilayah Indonesia bagian timur, tentara Australia sudah merebut wilayah tersebut dari Jepang. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris untuk melaksanakan perjanjian Chequers. Pendaratan tentara Australia,
  - di Kupang tanggal 11 September, 
  - di Banjarmasin tanggal 17 September, 
  - di Makasar tanggal 21 September, 
  - di Ambon tanggal 22 September, 
  - di Manado tanggal 2 Oktober, 
  - di Pontianak tanggal 16 Oktober. 

Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.

Sementara itu, sebelum penandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Jepang, Belanda telah mengirim pasukan perintisnya ke Sumatera Utara. Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest merekrut kembali semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.

Pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan. Dia dalam rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris KaptenTurkhaud dan Prajurit Sariwating. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang.

Tentara Inggris sendiri sangat lambat mengirim pasukannya ke Indonesia. Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 44 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15th British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.

Sebenarnya secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces (Tentara Sekutu) kepada Vice Admiral Mountbatten adalah:
1.       melucuti tentara Jepang serta  mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2.       membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3.       menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Inggris, yaitu melaksanakan hidden agenda, yaitu kesepakatan Inggris dengan Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertuang dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945, kepada komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Perintah tersebut berbunyi:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From   : Supreme Commander S.E.Asia
To                    : G.O.C.Imperial Forces.

                                                Re. Directive ASD4743S.

                        You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
                        In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
                        The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
                        Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
                        As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
            I wish you God speed and a sucessful campaign.

                                                                       (signed)
                                                                    Mountbatten
                                                             ____________________
                                                                   Vice Admiral.
                                                              Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
… “In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services  ...” 

dan kalimat berikutnya:
“… the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion ...”

menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
 “…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”

Brigjen AWS Mallaby bersama Brigade 49 yang dijuluki sebagai “The Fighting Cock” baru tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945\, 69 (!) hari setelah proklamasi kemerdekaan RI. Ketika pasukan Inggris mendarat di Surabaya, seluruh persenjataan tentara Jepang telah jatuh ke tangan rakyat Surabaya dan sekitarnya. Senjata yang direbut dari tentara Jepang sangat banyak, sehingga dapat mengirim empat gerbong senjata ke Jakarta dan satu gerbong ke Yogyakarta.

Setelah itu, tentara Inggris memulai “pembersihan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia. Namun perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai daerah sangat dahsyat, terutama di Jawa dan Sumatera Utara, di mana terdapat konsentrasi pasukan bersenjata RI yang sangat kuat. Dalam pertempuran di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober, Brigade 49 terancam punah, kalau tidak diselamatkan oleh Presiden Sukarno. (Rincian mengenai pertempuran 28/29 Oktober 1945 dan latar belakang pemboman atas Surabaya, lihat: http://10november1945.blogspot.com)

Tentara Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda (NICA) pada 15 Juli 1946. Pada 16 Juli van Mook langsung menggelar Konferensi Malino, di Sulawesi Selatan, di mana dibahas pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang kemudian direalisasikan dalam Konferensi Denpasar bulan Desember 1946. Untuk memuluskan pelaksanaan Konferensi Denpasar, tentara Belanda sebelumnya mengha ncurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia di Bali. Pada bulan November 1946 terjadi pertempuran yang kemudian dikenal sebagai Puputan Margarana, di mana komandan pasukan Indonesia, Kol. I Gusti Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya dan sebagian anggota keluarga mereka.

Sementara itu di Sulawesi Selatan (kini setelah pemekaran, beberapa daerah termasuk Provinsi Sulawesi Barat), Letnan Raymond P.P. Westerling bersama pasukan elitnya Depot Speciale Troepen ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketenteraman (law and order), yaitu untuk “membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang.”

Inggris sendiri baru “menyerahkan” seluruh kewenangannya kepada Belanda bulan November 1946. Inggris juga meninggalkan seluruh persenjataan beratnya kepada tentara Belanda. Dalam kurun waktu satu tahun, Belanda berhasil menggantikan seluruh pasukan Australia dan Inggris. Selain merekrut sekitar 60.000 pribumi menjadi tentara KNIL (prajurit asal Ambon sekitar 5.000 orang), pemerintah Belanda juga mengirim lebih dari 150.000 tentara wajib militer dari Belanda. Sebelum meninggalkan Indonesia, Inggris masih memfasilitasi perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda di Linggajati, yang kemudian dikenal sebagai Persetujuan Linggajati.

Setelah Inggris dan Australia “menyerahkan” wilayah-wilayah yang mereka kuasai kepada Belanda, maka agresi militer Belanda berlanjut hingga Agustus 1949. Dalam upaya Belanda menjajah Indonesia dengan kekuatan militer, terjadi sejumlah besar pelanggaran HAM berat, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, seperti pembantaian lebih dari 700 orang di desa Galung Lombok, Sulawesi barat, pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, dll.

Setelah berperang selama lebih dari empat tahun, pada bulan Agustus sampai November 1949 dilakukan perundingan di Belanda yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB) yang difasilitasi oleh PBB. Sebagai hasil kesepakatan KMB, dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian, di mana Republik Indonesia adalah salahsatunya.

Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS, dan jabatan Presiden Republik Indonesia dipegang oleh Assaad Datuk Mudo, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat – KNIP, yang sekarang setara dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Beberapa hasil KMB antara lain:
v     Pembentukan Uni Indonesia – Belanda, di mana kepala Uni tersebut adalah Ratu Belanda. Salahsatu butir perjanjian ini adalah, apabila pemerintah RIS akan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain harus dengan izin dari pemerintah Belanda.

v     RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Nederlands Indië (India – Belanda), diharuskan membayar utang pemerintah India - Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden. Di dalamnya termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah India – Belanda untuk membiayai agresi militer I, 21 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948. Utang tersebut dicicil dan telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1956.

v     Mantan tentara KNIL yang ingin masuk TNI harus diterima dengan pangkat satu tingkat lebih tinggi. Di tahun 70-an, beberapa dari mereka mencapai pangkat jenderal dan berada di pucuk pimpinan TNI.

v     Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga ketika penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Irian barat tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian untuk pemerintah Belanda, secara yuridis Irian (Papua) Barat bukan bagian dari NKRI. Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan dan membiayai pakar sejarah Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk melakukan penelitian kembali mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Irian Barat. Setelah melakukan penelitian selama 5 tahun dan dengan biaya yang sangat besar, pada bulan November 2005, Drooglever menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku setebal 740 halaman yang berjudul “Act of Free Choice.” Secara singkat, Drooglever menilai, bahwa PEPERA adalah suatu kecurangan besar.
Yang patut dipertanyakan di sini adalah, mengapa setelah 30 tahun, di tengah-tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat, pemerintah Belanda mengangkat kembali peristiwa ini.

Pada tahun 1956 pemerintah RI secara sepihak membatalkan Perjanjian KMB. Selain itu, pemerintah RI juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran sisa cicilan utang yang harus dibayar sebesar sekitar 500 juta gulden. Pada saat itu, dari jumlah 4 ½ milyar gulden, telah dibayar sebesar 4 milyar.

Demikianlah latar belakang mengapa sampai terjadi persitiwa pemboman oleh tentara Inggris di Surabaya bulan November 1945. Demikian juga pembantaian terhadap ratusan ribu penduduk sipil Indonesia sampai tahun 1950, seperti yang terjadi di desa Galung Lombok (Sulawesi Barat), Rawagede (Jawa Barat), Kranggan (Jawa Tengah), peristiwa Gerbong Maut Bondowoso (Jawa Timur), Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh (Sumatera Barat), dll.

Kalau berpegang pada kaidah hukum ‘sebab-akibat’ (bahasa Jerman: Ursache – Wirkung), maka akar permasalahan dari pembantaian satu juta rakyat Indonesia, kehancuran infrastruktur dan perekonomian Republik yang baru berdiri adalah karena pemerintah Belanda –sampai detik ini, Februari 2013- tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945!
(Lihat wawancara Menlu Belanda Ben Bot pada 18.8.2005 di satu stasiun TV di Indonesia:



*******

(Catatan: Pada 10 November 1999, Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 melakukan unjukrasa ke Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di Jakarta, menuntut pemerintah Inggris meminta maaf dan bertanggungjawab atas pemboman Surabaya November 1945. Selengkapnya baca:

Kumpulan tulisan Batara R. Hutagalung dapat dilihat di:
Berbagai artikel yang sehubungan dengan Belanda dapat dilihat di:
http://indonesiadutch.blogspot.com  (bahasa Indonesia, Inggris, Belanda dan Jerman).
Mengenai pemboman Inggris di Surabaya:









[1] Sebelum bernama Jayakarta, nama kota tersebut adalah Sunda Kalapa. Fatahillah (Faletehan) dari Kesultanan Demak, setelah menaklukkan kerajaan Hindu/Sunda, mengganti nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
[2] Teks lengkap dalam bahasa Indonesia dapat dibaca dalam buku tulisan Batara R. Hutagalung: ‘Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia’, Penerbit LKiS, 2010. 742 halaman.