Monday, October 26, 2009

Dubes Belanda Harus Hadir Pada Peringatan Peristiwa Pembantaian di Rawagede, 9 Desember 2008


Dubes Belanda Dr. Nikolaos van Dam bersama Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R. Hutagalung, di Monumen Rawagede, 912.2008

PERISTIWA BERSEJARAH!

Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Republik Indonesia, Dr. Nikolaos van Dam, akhirnya pada Peringatan Peristiwa Pembantaian di Rawagede, yang akan diselenggarakan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2008, dan memberikan sambutan.
Ini untuk pertamakalinya pejabat tertinggi perwakilan Belanda di Indonesia hadir pada acara peringatan peristiwa kekejaman tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1946 – 1949, selama agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda dalam upaya menjajah kembali Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa, semua laki-laki di atas usia 15 tahun,

Latar belakang kehadiran Duta Besar Belanda

Pada 18 November 2008, di Tweede Kamer (parlemen Belanda) dibahas mosi (usulan) yang dimajukan oleh Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, yang isinya mendesak pemerintah Belanda untuk mengutus Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Republik Indonesia menghadiri acara Peringatan Peristiwa Pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2008 di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang.

Setelah dilakukan voting, mayoritas anggota parlemen menyetujui usulan tersebut sebagai keputusan Parlemen Belanda.
Setelah usulannya diterima, Van Bommel mengatakan: ”Ik ben heel blij dat de Kamer wil dat de hoogste vertegenwoordiger van de Nederlandse regering in Indonesië de herdenking bezoekt. Dit kan het langverwachte begin zijn van de erkenning van de misdaden die toen door Nederlandse militairen zijn gepleegd.” (“Saya sangat gembira karena parlemen menginginkan agar perwakilan tertinggi pemerintah Belanda di Indonesia menghadiri peringatan tersebut. Hal ini dapat menjadi awal yang telah lama dinantikan dari pengakuan atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan militer Belanda pada saat itu.”).

Ik zal het goede nieuws over het bezoek van de ambassadeur persoonlijk aan de vertegenwoordigers van de bevolking van Rawagadeh overbrengen”, aldus Van Bommel. (“Saya akan menyampaikan kabar baik tentang kunjungan Duta Besar tersebut secara pribadi kepada perwakilan dari penduduk Rawagede.“)

Hari itu juga (di Jakarta pukul 23.30), Harry van Bommel dari Belanda menelepon Batara R Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Jakarta guna menyampaikan berita yang sensasional tersebut.
(Teks lengkap berita dari Belanda, lihat lampiran di bawah ini)

Sebagaimana diketahui, pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membunuh 431 penduduk desa Rawagede (kini bernama Balongsari) –semua laki-laki di atas 15 tahun- dalam operasi militer mencari Kapten TNI Lukas Kustario, yang mereka duga berada di desa tersebut. Para petani tersebut ditembak mati dengan menggunakan metode eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), yang digunakan oleh Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, 11 Desember 1946 – 21 Februari 1947.

KUKB segera mengirim undangan resmi kepada Duta Besar Belanda Untuk Republik Indonesia. Dari sekretaris Duta Besar Belanda, KUKB memperoleh jawaban, bahwa Duta Besar Dr. Nikolaos van Dam dipastikan akan hadir pada peringatan tersebut. Hal ini tentu merupakan suatu peristiwa bersejarah, karena untuk pertamakalinya pimpinan tertinggi perwakilan Belanda –yang merupakan wakil pemerintah Belanda- di Republik Indonesia menghadiri acara peringatan peristiwa kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia selama agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda antara tahun 1946 – 1949, dalam upaya Belanda menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Selama 60 tahun, pemerintah Belanda –dibantu oleh pemerintah Indonesia dan banyak sejarawan Indonesia- berusaha menutup-tutupi masa lalu yang hitam dalam sejarah Belanda. Namun justru banyak kalangan di Belanda, termasuk kini parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda untuk mengakui kesalahan di masa lalu dan meminta maf serta memberikan ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh agresi militer Belanda tersebut.

Pada 17 Agustus 2005, Menlu (waktu itu) Ben Bot hadir dalam peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta. Ini untuk pertama kalinya seorang menteri cabinet Belanda hadir dalam acara 17 Agustus di Jakarta.

Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda Ben Bot mengakui bahwa: “In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history.” Namun setelah itu, tidak ada tindaklanjut atau konsekwensi dari ucapannya tersebut.
Selain itu, Ben Bot juga mengatakan, bahwa kini pemeintah Belanda menerima proklamasi 17 agustus 1945 secara moral dan politik, atau hanya menerima de facto, dan tidak mengakui de jure (secara yuridis). Hal ini tentu sangat mengejutkan, bahwa hingga 17 Agustua 2005, ternyata di mata pemerintah Belanda Republik Indonesia tidak eksis sama sekali. Ben Bot dalam wawancara di Metro TV pada 18 Agustus 2005 mengatakan, bahwa pengakuan yuridis telah diberikan akhir tahun 1949 (27 Desember 1947), yaitu kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS sendiri telah dibubarkan pada 16 Agustus 1950.

Kebijakan yang menempatkan Belanda pada “sisi yang salah dari sejarah”, telah memakan banyak korban di kedua belah pihak, terutama di pihak Indonesia.
Salah satu “ladang pembantaian” yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah di Desa Rawagede (kini bernama Balongsari).

Bagi yang berminat untuk mengetahui mengenai pembantaian di Rawagede, 9 Desember 1947, lihat:





=====================================================

http://www.tweedekamer.nl/images/18-11-2008_tcm118-176070.pdf
TWEEDE KAMER DER STATEN-GENERAAL
STEMMINGSUITSLAGEN
Dit bestand bevat de stemmingsuitslagen van de stemmingen in de Tweede Kamer. Onder elke
pagina is een legenda opgenomen met een verklaring van de gebruikte afkortingen. Bij
amendementen die uit meer onderdelen bestaan is de uitslag alleen bij het eerste onderdeel vermeld.
Indien de stemmen staken komt dit tot uiting door het opnemen van de in dat geval geconstateerde
stemverhouding.

18 november 2008
31 700-V, nr. 31 -de motie-Van Bommel over de aanwezigheid van de Nederlandse
ambassadeur op de herdenking in Rawagade A (A = Aangenomen)

===================================

http://www.sp.nl/wereld/nieuwsberichten/6208/081118-ambassadeur_naar_herdenking_bloedbad_in_rawagadeh.html
Ambassadeur naar herdenking bloedbad in Rawagadeh
18-11-2008 • Een meerderheid van de Tweede Kamer heeft ingestemd met het voorstel van SP-Kamerlid Van Bommel om de Nederlandse ambassadeur naar de herdenking van de massamoord in het Indonesische plaatsje Rawagadeh te sturen. Van Bommel: ”Ik ben heel blij dat de Kamer wil dat de hoogste vertegenwoordiger van de Nederlandse regering in Indonesië de herdenking bezoekt. Dit kan het langverwachte begin zijn van de erkenning van de misdaden die toen door Nederlandse militairen zijn gepleegd.”
De herdenking in Rawagedeh, een klein plaatsje op Java, vindt plaats op 9 december. Op die dag in 1947 vermoordden Nederlandse troepen daar ruim vierhonderd mensen uit wraak omdat zij een Indonesische strijder niet konden vinden in het dorp. Op dit moment is nog een kleine groep nabestaanden van slachtoffers en één overlevende van het drama in leven. Ze vragen om erkenning van de misdaden van toen en om verzoening nu. Zij hebben aangedrongen op aanwezigheid van een hoge vertegenwoordiger uit Nederland op hun herdenking en zien dit als belangrijke stap in het proces van verzoening. De Nederlandse regering is in dit proces zeer terughoudend geweest tot nu toe. Pas in 2007, zestig jaar na de feiten, werd een laaggeplaatste ambtenaar naar de bijeenkomst gestuurd.
Van Bommel hoopt dat naast de ambassadeur ook de Nederlandse veteranen, die toentertijd verplicht waren in Indonesië te vechten, de uitgestoken hand van de bevolking aannemen en dat sommigen van hen naar de herdenking in Rawagadeh gaan. “Ik zal het goede nieuws over het bezoek van de ambassadeur persoonlijk aan de vertegenwoordigers van de bevolking van Rawagadeh overbrengen”, aldus Van Bommel.
=================================
Terjemahannya (Oleh Sarah Sayekti):
Mayoritas (lihat catatan di bawah) anggota parlemen Belanda sepakat dengan usulan anggota parlemen dari partai Sosialis (SP), van Bommel untuk mengutus Duta Besar Kerajaan Belanda ke peringatan peristiwa pembantaian massal di Rawagede. Van Bommel: “Saya sangat gembira karena parlemen menginginkan agar perwakilan tertinggi pemerintah Belanda di Indonesia menghadiri peringatan tersebut. Hal ini dapat menjadi awal yang telah lama dinantikan, dari pengakuan atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan militer Belanda pada saat itu.”
Peringatan di Rawagede, sebuah tempat kecil di pulau Jawa, akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember. Di hari itu pada tahun 1947 pasukan Belanda membunuh sekitar empat ratus orang sebagai balas dendam karena mereka tidak dapat menemukan seorang pejuang Indonesia di desa itu. Saat ini hanya ada sekelompok kecil ahli waris dari para korban dan seorang saksi hidup dari peristiwa tersebut yang masih hidup. Mereka menuntut pengakuan atas berbagai tindakan kejahatan dari masa lalu dan perdamaian untuk saat ini. Mereka mendesak perwakilan tertinggi Belanda untuk hadir dalam peringatan dan memandang hal ini sebagai langkah penting dalam proses perdamaian. Pemerintah Belanda sangat tertutup dalam proses ini hingga saat ini. Pada tahun 2007, enam puluh tahun setelah peristiwa, seorang pegawai rendahan diutus untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Van Bommel berharap bahwa selain Duta Besar, anggota veteran Belanda yang pada saat itu sebagai wajib militer ikut berperang di Indonesia, akan menerima uluran tangan masyarakat dan bahwa sebagian dari mereka akan datang ke peringatan di Rawagede. “Saya akan menyampaikan kabar baik tentang kunjungan Duta Besar tersebut secara pribadi kepada perwakilan dari penduduk Rawagede. “

Catatan:
Harry van Bommel memberi keterangan mengenai partai yang mendukung dan yang tidak mendukung mosi yang disampaikannya di parlemen sebagai berikut:

Yang mendukung mosi adalah:
Partai van de Arbeid (PvdA)/Partai Buruh, partai koalisi di pemerintah – 33 kursi
Christen Unie (CU), partai koalisi di pemerintah – 6 kursi
Socialistische Partij (SP), oposisi – 25 kursi
Groen Links (GL)/Hijau-Kiri, oposisi – 7 kursi
Democraten 66 (D66) oposisi – 3 kursi
Partij voor de dieren (PvdD)/Partai Penyayang Hewan – oposisi – 2 kursi
Jumlah: 76 kursi

Yang menolak mosi adalah:
Christen Democratisch Appel (CDA) partai koalisi di pemerintah - 41 kursi
Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD), oposisi – 21 kursi
Partij voor de Vrijheid (PVV), oposisi – 9 kursi
Staatkundig Gereformeerde Partij, oposisi – 2 kursi
Verdonk, oposisi – 1 kursi
Jumlah: 74 kursi

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

KONSPIRASI BELANDA MENYELAMATKAN WESTERLING

 

Catatan Batara R. Hutagalung 

Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

 

Setelah kegagalan "kudeta" yang juga sangat memalukan itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi. 

 

Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. 

 

Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer. 

 

Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang. Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciaale Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps Speciaale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena "berjasa" menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. 

 

Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Cina. Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta. Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. 

 

Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs. Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan. 

 

Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Westerling. 

 

Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen. 

 

Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab. 

 

Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst - MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. 

 

Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden. Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling. 

 

Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila. Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah "kudeta" yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan. 

 

Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan. Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi teman-teman Cinanya, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. 

 

Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia. Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat temannya, Chia Piet Kay, Westerling ditangkap oleh polisi Inggris dan dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. 

 

Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis lah yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan psawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life. Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia,. Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. 

 

Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia. Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol. 

 

Pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam "kudeta" Westerling bulan Januari 1950. Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. 

 

Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya yang Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding. Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati. 

 

Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL sendiri? Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau KNIL dinyatakan bubar. Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. 

 

Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling. Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw - DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung. 

 

Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. 

 

Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia. Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab: "Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan." Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut. 

 

 Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis. Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga "kudeta' APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat. 

 

Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika. Westerling meninggal dengan tenang pada 26 November 1987.

"Kudeta" Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Lihat tulisan di weblog ini juga:






Wednesday, October 21, 2009

Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

 

KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA

(KUKB)


Pada 5 Mei 2005, para aktifis Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pengambilan nama “Utang Kehormatan” terinspirasi oleh tulisan Dr. Theodor van Deventer –mantan pengacara di Semarang- tahun 1899 di majalah “de Gids” di Belanda dengan judul “Een Ereschuld” (Satu Utang Kehormatan), yang isinya merupakan kritik terhadap praktek-praktek kolonialisme Belanda di Bumi Nusantara.

Tulisan tersebut mendorong Pemerintah Belanda merubah kebijakan di tanah jajahannya, India-Belanda. Kebijakan baru tersebut dinamakan “Politik Etis” (Ethische politiek), di mana kemudian dimulai memberikan pendidikan yang lebih luas untuk pribumi, yang sebelum itu hanya dinikmati oleh segelintir elit pribumi yang mendukung Belanda.

Tujuan kegiatan KUKB bukanlah untuk membalas dendam, melainkan untuk mewujudkan suatu REKONSILIASI YANG BERMARTABAT (Reconciliation with dignity) antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda yang saling mengakui dan menghargai.

Hal ini pertama kali kami sampaikan kepada Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Baron Schelto van Heemstra, ketika kami sebagai pimpinan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia, pada 3 April 2002 diundang beliau ke Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Tujuan rekonsiliasi ini juga kami sampaikan kepada Bert Koenders dan Angelien Eijsink, anggota Parlemen dari Partij van de Arbeid, ketika pimpinan KUKB bertemu dengan mereka di Gedung Parlemen Belanda pada 19 Desember 2005, demikian juga dalam surat elektronik (email) KUKB kepada Krista van Velzen, anggota Parlemen Belanda dari Partai Sosialis kami sampaikan tujuan kegiatan KUKB.

Adalah suatu kenyataan, bahwa –disukai atau tidak- hubungan Indonesia dengan Belanda telah terjalin lebih dari 400 tahun. Selain banyak sisi negatif bagi bangsa yang terjajah, tak perlu dipungkiri, bahwa juga ada sisi potitif dari masa penjajahan Belanda, yang di beberapa daerah berlangsung lebih dari 300 tahun. Juga perlu diingat, bahwa banyak orang Belanda yang sejak lebih dari 100 tahun lalu membela pribumi terjajah seperti Dr. Theodor van Deventer, Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Prof. Wim Wertheim, berjuang di pihak bangsa Indonesia secara politis seperti Dr. Francois Eugene Douwes Dekker (Setia Budi), dan bahkan dalam perjuangan fisik seperti yang dilakukan oleh H. Poncke Princen.

Juga belakangan ini, di Belanda banyak orang Belanda yang tetap bersimpati kepada bangsa Indonesia dan terbuka untuk dialog secara jujur mengenai masa lalu hubungan Indonesia – Belanda, terutama generasi muda Belanda, yang menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai beban.

Namun Pemerintah Belanda sendiri sebagai institusi, hingga saat ini tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu penyerahan kedaulatan (soevereniteitsoverdracht) kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini digarisbawahi oleh Menlu Ben Bot dalam wawancara di Televisi Indonesia pada 19 Agustus 2005, di mana dia mengatakan, bahwa: “ ... and recognition is something you can only do once … so the transfer of sovereignty took place in 1949…”

Pada 20 Mei 2005, KUKB menyampaikan petisi kepada Pemerintah Belanda, yang isinya menuntut Pemerintah Belanda untuk:

  1. Mengakui de jure Kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
  2. Meminta maaf kepada Bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan pelanggaran HAM Berat, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
  3. Bertanggungjawab atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

KUKB membedakan antara sikap yang ditunjukkan oleh Pemerintah Belanda, dan sikap sebagian masyarakat Belanda terhadap Indonesia yang tidak hanya mendukung pengakuan terhadap kemerdekaan RI 17.8.’45, melainkan juga mendukung pemberian kompensasi kepada Indonesia.

Tuntutan KUKB ini ditujukan kepada Pemerintah Belanda, dan bukan kepada bangsa Belanda, juga bukan kepada mantan tentara Belanda, yang melakukan berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM lain di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. KUKB berpendapat, bukan hanya rakyat Indonesia yang menjadi korban agresi militer Belanda, yang dilakukan setelah Perang Dunia II selesai, dan setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan, melainkan tentara Belanda yang dikirim untuk berperang di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, juga merupakan korban dari politik yang salah yang dijalankan Pemerintah Belanda waktu itu.

Juga tidak dilupakan para Indonesië weigeraars, yaitu para pemuda Belanda, yang antara tahun 1946 – 1949 menolak untuk berperang di Indonesia, sehingga lebih dari 1200 orang dijatuhi hukuman penjara atas pembangkangan mereka, dan mungkin ribuan lainnya melarikan diri ke luar Belanda atau bertahun-tahun menyembunyikan diri karena menolak perang kolonial Belanda waktu itu.

REKONSILIASI YANG BERMARTABAT yang kami maksud adalah, bukan hanya sekadar bersalaman dan saling memafkan, melainkan juga pemulihan kehormatan bagi semua, yang berarti:
  1. Pengakuan resmi –de jure dan bukan hanya de facto- terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17.8.1945,
  2. Pemulihan kehormatan para Indonesië weigeraars (pembangkang perang di Indonesia) di Belanda,
Menlu Belanda Ben Bot dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 mengakui bahwa: “In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history.”

Kebijakan yang menempatkan Belanda pada “sisi yang salah dari sejarah”, telah memakan banyak korban di kedua belah pihak.

KUKB juga sepakat dengan pernyataan beliau, bahwa : “ … Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation…”

Namun, pernyataan-pernyataan tersebut hanya akan menjadi lip services, apabila tidak diikuti langkah-langkah nyata dan tegas. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah Belanda sebagai institusi yang bertanggungjawab -yang telah mengakui menjalankan politik yang salah- memperbaiki kesalahan dengan mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf dan memberi kompensasi kepada para korban dari kebijakan politik yang salah tersebut.

 
*****

Susunan Pengurus KUKB

Dewan Penasihat
Ketua                         :
Lakma TNI AL (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc

Anggota                    
Mayjen TNI (Purm.) Soebiantoro, Angkatan ’45
Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, Angkatan ‘45/Wakil Ketua Umum LVRI 
Suyatno Yosodipoero, Angkatan .45  
Ir. Salahuddin Wahid,  
A.M Fatwa, Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Leonard Tobing, Mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko.
Marsekal Muda TNI (Purn.) Ir. Hasian Siregar, MSc, MM 
Dr. Saafroedin Bahar, manta Komisioner KOMNAS HAM/Widyaiswara LEMHANNAS RI
Drs. Daeng M. Soleh
Dra. Irna H.N. Hadi Soewito
             
Para pendiri dan aktifis KUKB yang telah meninggal dunia
Alm. Hj. Lukitaningsih Irsan Rajamin, Angkatan ‘45
Alm. Mayjen TNI (Purm.) KRMH Jono Hatmodjo, Angkatan ‘45
Alm. H.M.S. Tadjoedin SH, Angkatan ‘45
Alm. Mayjen TNI (Purn.) E.W.P. Tambunan, Angkatan ‘45
Alm. Laksamana Madya TNI (Purn.) Wahyono SK, PhD 
Alm. Abdul Irsan, SH., Mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda
Alm. Ir. Nuli S. Diapari


Pengurus Harian
Ketua                        : Batara R. Hutagalung (Pendiri KUKB)
Wakil Ketua              : Bambang Sulistomo
Sekretaris                  : Ir. Teuku Agam Saifudin
Bendahara                 : Dipl. Ing.-  Deddy Toekan
Wakil Bendahara       : Thomas Nuliater
Public Relations         : Shuniyya Ruhama H
Dokumentasi             : Panca Syurkani
                                    Ananda Karunia 


Penasihat Hukum : Martin Basiang, SH., mantan Jaksa Agung Muda RI
(non struktural)

  

Tuesday, October 20, 2009

Dari Rawagede Ke Parlemen Belanda


DARI RAWAGEDE KE PARLEMEN BELANDA

 

Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung bersama Bert Koenders, Juru Bicara Fraksi Partai Buruh Belanda (PvdA), di Tweede Kamer, Den Haag


Rakyat Merdeka, 19 Desember 2005

Laporan Rakyat Merdeka A Supardi Adiwidjaya Dari Belanda


KAMIS (15/12) lalu, di gedung parlemen (tweede kamer) Belanda, Den Haag, berlangsung pertemuan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung, Ketua Dewan Kehormatan KUKB Laksamana Pertama TNI (Purn) Mulyo Wibisono MSc. dengan Bert Koenders —juru bicara fraksi Partai Buruh Belanda (PvdA) dan Angelien Eijsink — anggota frak¬si PvdA di parlemen Belanda

Dalam pertemuan dengan dua anggota parlemen Belanda dari Fraksi PvDA tersebut, Batara menyampaikan berbagai permasalahan yang ada antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda yang dianggap KUKB belum diselesaikan. Pertama, hingga kini Belanda tetap tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kedua, Belanda tetap tak mau minta maaf kepada bangsa Indonesia dan tidak pernah memperhatikan nasib para korban agresi militer Belanda, yang mereka sebut aksi polisionil ke I dan ke II di Indonesia.

Dalam konteks ini, KUKB mengajukan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk: 

Pertama, mengakui Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; dan 

Kedua, minta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelangaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan.

Sejarah mencatat, pada 9 Desember 1947 tentara Belanda telah membantai 431 penduduk Rawagede. Pembantaian di Rawagede (Bekasi) dan di Sulawesi Selatan adalah kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan karena itu jelas melanggar konvensi Jenewa, yaitu dilarang membunuh penduduk sipil (non combatant).

Dan di Rawagede, bahkan yang dibunuh waktu itu adalah remaja-remaja bukan saja yang berumur 15 tahun, tapi ada yang masih berumur 12 tahun. Saat ini masih hidup 22 janda korban, 11 di antaranya sudah tinggal di panti jompo dan 11 orang hadir pada acara peringatan Pem¬bantaian di Rawagede, yang diselenggarakan 13 Desember lalu.

Dan Selasa (13/12) pekan lalu, dalam pembicaraan dengan para korban pembantaian yang masih hidup di Rawagede, Batara dan Mulyo menanyakan, apakah mereka tidak pernah menuntut kepada pemerintah Belanda mengenai masalah konpensasi.

Mereka jelas tidak mengetahui mengenai hal-hal tersebut dan sama sekali tidak pernah menerima bantuan atau konpensasi apapun dari pemerintah Belanda. Dan mereka menyatakan persetujuannya, agar kedua orang pimpinan Komite mewakili mereka untuk menyampaikan tuntutan mereka kepada pemeritah Belanda.

Berkenaan permasalahan yang diungkap Batara, Koenders menyatakan, mereka dari generasi yang lebih muda tak punya beban. Masalahnya menurut Koeders, sampai sekarang memang ada veteran-veteran Belanda masih bersikukuh tak mau mengakui dan tidak mau meminta maaf.

Dia menanyakan dua butir Petisi yang dikemukakan apakah sudah mendapat respon pemerintah Belanda Menjawab pertanyaan ini, Batara menyatakan, kegiatan KUKB sudah berlangsung tiga setengah tahun, tetapi sama sekali tidak ada respon dari pemerintah Belanda. Beda dengan pemerintah Inggris, lanjut Batara, setelah pihaknya mengadakan demo pada 10 November 1999 silam, pada 1 April 2000 kemudian sudah dikirim orang dari Departemen Luar Negeri Inggris bertemu pihaknya di Surabaya.

Koenders lalu berjanji menyampaikan dan mempertanyakan hal ini kepada pemerintah Belanda lewat parlemen, mengapa tidak ada respons sama sekali dari pemerintah Belanda. Koenders menilai, ini harusnya tidak boleh terjadi. RM