Monday, October 16, 2006

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)




 
VOC 
(Vereenigde OostIndische Compagnie)

Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa



Catatan Batara R. Hutagalung

Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) 



Pengantar

Tahun 2000 setelah saya dan beberapa pelaku pertempuran Surabaya Oktober-November 1945 serta putra-putri pejuang pertempuran Surabaya berhasil menuntut pemerintah Inggris meminta maaf atas pemboman Surabaya November 1945, “sasaran” berikutnya adalah membongkar kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun di Bumi Nusantara, 30.5.1619 – 9.3.1942 dan di Republik Indonesia, 1945 - 1950.     

Dalam mempersiapkan penerbitan buku mengenai “Serangan Umum 1 Maret 1949,” saya telah banyak mengumpulkan data mengenai kejahatan tentara Belanda dan sekutunya selama agresi militer mereka di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.     

Tahun 2000 saya membaca di media-media di belanda, bahwa sepanjang tahun. 2002 belanda akan merayakan secara besar-besaran 400 tahun berdirinya VOC.  Untuk belanda, era VOC disebut sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Puncak acara direncanakan tanggal 20 Maret 2002, yaitu tanggal berdirinya VOC.     

Untuk leluhur bangsa Indonesia, yaitu PRIBUMI di berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan, pembantaian massal yang biadab, perampokan harta Nusantara dan berbagai kejahatan lain, yang dinyatakan tidak mengenal azas kadaluarsa di Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Hag, Belanda.    

Untuk dapat menuntut pemerintah belanda dengan data-data yang akurat dan lengkap berdasarkan sumber-sumber dari Belanda, Inggris,  Amerika Serikat dan Jerman, saya mulai menggali segala-sesuatunya mengenai VOC.    

Hasilnya sangat mengejutkan. 

Bukan hanya kekejaman-kekejaman yang biasa seperti pembunuhan atau kerja-paksa, melainkan berbagai pembantaian massal yang sadis dan sangat biadab serta hal-hal lain yang tidak terbayangkan, dilakukan oleh bangsa-bangsa yang mengaku beradab dan sekarang tampil sebagai pengawas dan pengajar HAM, anti diskriminasi, mengajarkan toleransi, dsb.    


Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak perayaan di Belanda, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) mengadakan unjukrasa di Kedutaan Belanda di Jakarta, menuntut pemerintah Belanda meminta maaf kepada rakyat Indonesia, atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.      



Pendahuluan
Selama ini di banyak buku sejarah di Indonesia ditulis, bahwa tujuan bangsa-bangsa Eropa datang ke berbagai Negara di luar Eropa, termasuk ke Nusantara untuk berdagang. Namun apabila diteliti lebih dalam isi perjanjian-perjanjian yang dibuat di antara Negara-negara Eropa dan struktur oraganisasi “kantor dagang”, maka akan jelas terlihat, bahwa sejak awal, tujuan mereka bukanlah untuk berdagang, melainkan untuk menguasai Negara-negara yang mereka kunjungi di luar Eropa dan menguasai perdagangan di wilayah tersebut.

Yang mengawali mencari dan memperebutkan wilayah jajahan di luar Eropa adalah Spanyol dan Portugal. Mereka kemudian sepakat membagi dunia menjadi dua bagian, hanya untuk kedua kerajaan tersebut, dengan Traktat Tordesillas pada 7 Juni 1494 dan diperkuat dengan Traktat Zaragoza pada 22 April 1529, di mana Kepulauan Maluku “diserahkan” kepada Portugal.

Kemudian perebutan wilayah jajahan ikut diramaikan oleh Inggris, Belanda, Perancis, Belgia, Italia dan Jerman.Selama ratusan tahun masa penjajahan Negara-negara Eropa tersebut, terjadi perampokan, pembantaian massal, perbudakan dan berbagai tindakan yang sangat biadab terhadap penduduk di wilayah jajahan mereka.Jual-beli dan “tukar guling” wilayah jajahan adalah hal yang biasa untuk mereka.Namun dalam memperebutkan wilayah jajahan, mereka juga saling merampok dan membunuh dengan kejam.Bahkan juga memperbudak tawanan perang mereka.

Yang dilakukan oleh “para penakluk” (Conquistador) Spanyol di benua yang kemudian dinamakan Amerika, adalah merampok habis-habisan emas dan perak di kerajaan-kerajaan di Amerika Selatan, membantai penduduknya dan menghacurkan peradaban Aztek di Mexiko, Inca di Peru dan Maya di sekitar Guatemala dan Belize.Tidak ada perdagangan.

Datangnya orang Eropa ke Asia Tenggara melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama, yang pada tahun 1497-1498 berlayar dari Eropa ke India melalui Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh melalui jalur darat yang sangat berbahaya.

Tujuan bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke Nusantara  bukan untuk perdagangan, demikian juga dengan bangsa Belanda, melainkan sudah dengan tujuan menjajah. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan politik pemukiman –kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan CuraƧao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi (pemukiman).Hal ini terlihat dari berbagai perjanjian internasional dan bilateral untuk membagi - bagi "kue dunia."Indikasi lainnya adalah, "Kantor Dagang Pusat" dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal, dan "Kantor cabang" dipimpin oleh Gubernur.

Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan Maluku, yang kaya akan rempah-rempah –komoditi langka dan sangat mahal di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1512, Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama sekitar 100 tahun.

Pada akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan beberapa pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James Lancaster tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis de Houtman tahun 1596 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun 1598. Lancaster datang lagi tahun 1601.Ketika de Houtman bersaudara tahun 1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah, demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku. Sebelum Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki Jayakarta, Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang merupakan basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten adalah pelabuhan internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi pusat perdagangan antar benua.

Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara terlibat pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas di tangan Laksamana perempuan Keumalahayati (Malahayati) dan Frederik ditawan. Setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke Amsterdam. Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan menerbitkan kamus Melayu pertama pada tahun 1603.

Para pedagang Inggris mulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun 1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company tahun 1604.

Pada 20 Maret 1602, para pedagang di Republik Belanda mendirikan Vereenigde Oost-Indische Compagnie - VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh pemerintah Belanda - Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.

Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:

a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).

Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan, atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya, Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.
 
 

Jayakarta, Jajahan VOC Pertama

Bukti tertua mengenai eksistensi pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad sepuluh.

Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis.Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk Majapahit.Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.


Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta, karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.

Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.

Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.

Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara.
“Bapak” penjajahan Belanda adalah jan Pieterszoon Coen (JPC). Semboyan JPC adalah: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” artinya “jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu, karena Tuhan bersama kita.” Semboyan JPC yang kejam ini dipakai Belanda sampai menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati, dekat Subang Jawa Barat pada 9 Maret 1942.


Sejak kedatangan Belanda di Banten tahun 1596, mereka melihat bahwa bangsa Cina yang telah ratusan tahun melakukan perdagangan di Asia Tenggara/ Nusantara, telah memiliki jaringan internasional, bukan hanya dalam perdagangan di Asia Tenggara, bahkan sampai ke Mesir, melalui “Jalan Sutera” bangsa Cina.

Oleh karena itu, setelah menduduki Jayakarta, Jan Pieterszoncoen Coen kemudian membujuk para pedagang Cina untuk memindahkan pusat perdagangan mereka ke Jayakarta, yang namanya kemudian diganti menjadi Batavia.

Belanda menawarkan kepada bangsa Cina di Banten berbagai privileg dan kemudahan. Tokoh bangsa Cina di Banten waktu itu adalah Souw Beng Kong, yang dikenal belanda sebagai So Beng Cong, berhasil mengajak sekitar 600 pedagang bangsa Cina pindah dari Banten ke Batavia. Akhir tahun 1622 jumlah bangsa Cina di Batavia berjumlah sekitar 1.000 orang. Atas jasanya itu, Souw Beng Kong diberi dua petak lahan, dan berbagai kewenangan untuk mendapat keuntungan dari berbagai pajak, a.l. mendapat 20% dari pajak perjudian.

Belanda kemudian mengangkat pimpinan komunitas Cina di berbagai daerah yang telah dikuasai oleh Belanda. Mereka diberi pangkatnya seperti layaknya di kalangan militer, yaitu dengan pangkat Mayor, Kapten dan Letnan.Dengan demikian, kerjasama bangsa Belanda dengan Bangsa Cina di wilayah jajahan Belanda telah dimulai sejak tahun 1619.


Komoditi utama yang diperdagangkan oleh Belanda sejak tahun 1600 selain rempah-rempah adalah budak dan candu (opium). Harga rempah-rempah terutama cengkeh dan pala di Eropa dapat mencapai 400 kali lipat dari harga pembelian di Maluku/Kepulauan Banda. Ukuran kekayaan pada waktu itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah kolonial memegang monopoli perdagangan candu. Dengan praktek-praktek “dagang” yang sangat agresif dan brutal, dalam waktu singkat VOC menjadi perusahaan raksasa. Tahun 1637 VOC menjadi perusahaan terkaya sepanjang masa. Nilai asetnya apabila dikonversikan dengan nilai ekonomi abad 21, mencapai 7,9 TRILIUN US $. Tidak ada satupun perusahaan raksasa multi nasional sekarang yang dapat mencapai prestasi kekayaan VOC tahun 1637. Oleh karena itu, Belanda menyatakan zaman VOC sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Ini tentu sangat ironis. Kekayaan yang diperoleh penjajah bukan hanya melalui perdagangan rempah-rempah, melainkan juga dengan perdagangan narkoba (candu) dan memperjual-belikan manusia serta berhasil memegang monopoli perdagangan melalui perang, pembunuhan, bahkan genosida terhadap etnis Wandan (penduduk Kepulauan Banda), diglorifikasi oleh pemerintah dan rakyat Belanda di abad 20/21 sebagai “zaman keemasan.” Di abad 19, kontribusi keuntungan dari Nederlands Indie (India Belanda) terhadap APBN Negara Belanda mencapai 12,5 %. Sampai tahun 1939, kontribusi dari Nederlands Indie terhadap APBN Belanda masih 9%. 
 
 

 
Perbandingan kekayaan VOC abad 17 dengan perusahaan-perusahaan raksasa abad 21.
(Untuk memperbesar, silakan klik gambarnya)


Perbandingan kekayaan VOC abad 17 dengan perusahaan-perusahaan raksasa abad 21.
(Untuk memperbesar, silakan klik gambarnya).


Perbudakan dimulai oleh VOC

Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan.

Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi.Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal.Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak.Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.

Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. 


Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo.Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”

Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum).Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.

Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).


Perdagangan budak tidak hanya dilakukan oleh VOC saja, melainkan juga langsung oleh pemerintah Belanda. Perdagangan budak yang lebih besar lagi dilakukan oleh Belanda ke Benua Amerika, di mana para budak dibawa dari Afrika, 

Di jajahan Belanda di Asia Tenggara pada waktu itu, jumlah budak yang dimiliki seseorang adalah ukuran kekayaanya. Budak laki-laki dipekerjakan sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak perempuan dijadikan gundik oleh para majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan laki-laki. Bahkan ada pemilik budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur, dan mengantongi hasilnya. Penjualan/pelelangan budak-budak dilakukan oleh orang-orang Cina. 

Di bawah ini beberapa tulisan mengenai perbudakan oleh belanda di wilayah jajahan belanda. 

1.    TOKO MERAH SLAVES ON SALES:

2.     INDONESIA: SLAVE TRADE A SCAR ON BATAVIA'S HISTORY.
By Ida Indawati Khouw

3.    Two centuries of slavery on Indonesian soil

Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama bangsa Belanda dengan bangsa Cina dalam memperjual - belikan pribumi di negeri sendiri.

Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1862.Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877. Praktek-praktek perbudakan masih berlangsung sampai awal abad 20. Di Sumbawa perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1910 dan di pulau Samosir, Sumatra Utara, perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1914.

Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.
Belanda tidak termasuk negara-negara Eropa yang meminta maaf atas perbudakan di masa kolonialisme Belanda, baik di Asia Selatan dan di Asia Tenggara maupun di Amerika Tengah dan di Amerika Selatan

Genosida (Pembantaian Etnis) oleh Belanda di Kepulauan Banda. Hongi Tochten

Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint).

Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda.Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya.286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal.Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala.Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.

Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.

Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:

“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba.Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat.Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam.Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat.Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat.Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda:

“Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu.Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini
..”.

Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang masih hidup beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia, untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan.Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.

Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara.Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post (lihat: Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.):

“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh kekuasaan, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.

Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.

Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.


Perdagangan Opium (Candu) Monopoli Pemerintah Kolonial

Sejak kedatangan Belanda di Jayakarta, Belanda sudah memulai dengan perdagangan Candu. (lihat buku Ewald Vanvugt:  Wettig opium 350 jaar Nederlandse opiumhandel:    


Selain mengeruk kekayaan dari kerjasama perdagangan budak dengan belanda, Cina juga mendapat keuntungan besar dari perdagangan opium dan mendirikan rumah-rumah madat.

Mengenai kekayaan dari perdagangan dan distribusi candu, lihat buku JAMES R. RUSH: “Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910.” 




Genocide (Pembantaian etnis) Cina di Batavia 1740



Kekejaman bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan oleh bangsa Cina yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan oleh Gubernur Jenderal Adriaen Valckenier, (1737 – 1741). Selain melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang sangat pesat jumlah bangsa Cina yang ada di Batavia telah menjadi ancaman bagi orang Belanda dan Eropa lainnya. 

Belanda, seperti Inggris di Malaya, mendatangkan orang-orang bangsa  Cina secara besar-besaran dari daratan Cina ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli-kuli di perkebunan. Bangsa Belanda dan Eropa lainnya senang dengan adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan pemberontakan. Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai puluhan ribu orang.

Awal tahun 1700-an, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya orang Cina ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena adanya kolusi antara para pengusaha Cina yang terus mendatangkan kuli dari Cina dan pejabat administrasi VOC yang menerima suap.  

Menjelang tahun 1740, separuh penduduk di Batavia dan sekitarnya adalah orang Cina. Mereka juga telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena dengan adanya pesaing etnis Cina, keuntungan mereka menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang dikuasai oleh etnis Cina adalah perkebunan tebu di sekitar Batavia.     

Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka bangsa Cina. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang (komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, sehingga menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. 

Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli bangsa Cina tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan Juli 1740. 

Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli bangsa Cina ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan isu tersebut, banyak kuli Cina mempersenjatai diri mereka dan mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat mencekam. Dihembuskan berita, bahwa orang-orang Cina di dalam kota Batavia akan bergabung dengan orang-orang Cina kuli-kuli perkebunan tebu dari sekitar Batavia.   

Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Cina yang tinggal di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap semua orang Cina di Batavia. Setiap orang Cina yang ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).

Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “MerkwĆ¼rdigkeiten” menuturkan pengalaman pribadinya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Cina di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh orang Cina beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16.bis 19. Jahrhundert, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000). 

Diperkirakan sekitar 10.000 orang Cina yang tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar oleh Bangsa Belanda pada waktu itu, setelah genosida di Kepulauan Banda tahun 1621.  

Belanda terus memburu para pelarian bangsa Cina dari Batavia, sehingga pembantaian berlanjut terus sampai ke Jawa Tengah. 

Pada waktu itu di Surakarta, putra KPA Mangkunegara, Raden Mas Said yang masih remaja, berjuang melawan VOC. Orang-orang Cina yang melarikan diri ke Jawa Tengah mencari perlindungan dan bergabung dengan Raden Mas Said,yang oleh Belanda dijuluki Pangeran Sambernyawa. 

Ketika berita ini sampai di Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat, namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier dipanggil pulang tetapi dia meninggal ketika masih dalam tahanan. 

Jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh Johannes Thedens, sebelum diganti oleh Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750). 

Tahun 1743 Pemerintah Belanda memberikan amnesti kepada bangsa Cina dan mengizinkan mereka kembali ke Batavia. 

Raden Mas Said masih terus berjuang melawan Belanda dan perang berakhir sementara pada Perjanjian Gianti 13 Februari 1755. 

Namun Raden Mas Said tidak puas dengan isi perjanjian tersebut dan tetap berjuang, sampai akhirnya dicapai kesepakatan pada Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757. 


Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal Court - ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen menyatakan, bahwa dengan demikian “Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat Intenational Court of Justice.Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan, bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis (genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).

Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!


Runtuhnya VOC. Awal Penjajahan Pemerintah India-Belanda

Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen.Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.

Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).

Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-IndiĆ«) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah India-Belanda pertama (1800 – 1801).



********