Sunday, January 15, 2012

Indonesiëweigeraars dan Oorlogsliefdekind: Korban agresi militer Belanda yang terlupakan


Oleh Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB
Sejak mulai meneliti berbagai peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan, saya melihat sangat banyak peristiwa-peristiwa penting yang tidak ditulis di buku-buku sejarah di Indonesia. Kurangnya referensi dalam bahasa Indonesia menjadi salahsatu penyebabnya, Juga kurangnya tulisan dari para pelaku sejarah dan korban-korban agresi militer Jepang dan kemudian agresi militer Belanda.

Kebanyakan para peneliti dan sejarawan di Indonesia menunggu dan menggunakan sumber-sumber dan hasil penelitian dari luar negeri, terutama dari Belanda, sehingga sangat banyak sejarawan Indonesia yang menyebarluaskan versi Belanda di Indonesia, dan terlihat ikut berkonspirasi dalam menutup-nutupi lembaran hitam sejarah agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Perlahan-lahan dan sangat lambat perkembangannya di Indonesia, muncul beberapa kasus yang dialami oleh rakyat Indonesia selama masa pendudukan Jepang, kemudian di masa agresi militer Belanda di Indonesia, yang dibantu oleh tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Namun di Belanda sendiri, tuntutan yang dimajukan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan Komite Utang Kehormatan Belkanda (KUKB) mendapat dukungan luas, baik di masyarakat maupun di parlemen Belanda.

Indonesiëweigeraars
Ada dua kelompok manusia yang dapat disebut sebagai korban agresi militer Belanda. Yang pertama adalah yang di Belanda disebut sebagai Indonesiëweigeraars, yaitu para pemuda Belanda yang antara tahun 1946 – 1949 dikenakan wajib militer dan akan direkrut menjadi tentara untuk dikirim ke Indonesia, namun membangkang.

Pada 17 Agustus 1945, pemimpin bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Belanda menolak untuk mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia –sampai detik ini- dan menganggap tentara yang dibentuk oleh Republik Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Oleh karena itu, Belanda ingin memulihkan “law and order” di negeri yang pernah dijajahnya, namun kemudian “diserahkan” kepada Jepang pada 9 Maret 1942. Pada waktu itu, Belanda menyebut agresi militernya sebagai “aksi polisional”, karena menganggap ini masalah dalam negeri, dan mereka akan membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang tersebut. Untuk melaksanakan agresi militernya, pemerintah Belanda memberlakukan wajib militer bagi pemuda yang berusia di atas 18 tahun.

Namun tidak semua pemuda Belanda bersedia menjalani wajib militer tersebut. Sekitar 6.000 pemuda Belanda menolak direkrut menjadi tentara untuk dikirim ke –menurut mereka- perang kolonial, yaitu untuk menegakkan kembali penjajahan Belanda di Indonesia. Ratusan pemuda pembangkang melarikan diri ke negara-negara lain, terutama ke Perancis dan Jerman Timur. Banyak yang ditangkap dan dikirim paksa ke Indonesia. Namun sekitar 1.200 pemuda Belanda tetap bertahan untuk tidak dikirm sebagai tentara ke Indonesia. Mereka dimajukan ke pengadilan, dan dihukum penjara antara 3 bulan (kebanyan yang keturunan Yahudi), sampai 7 tahun (kebanyakan yang beraliran sosialis atau komunis). Yang memberikan alasan keagamaan, mendapat hukuman lebih ringan. Setelah keluar dari penjara, mereka kehilangan banyak hak-hak sipilnya, dan dianggap pengkhianat bangsa atau pengecut oleh lingkungan mereka yang konservatif. Kini masih hidup sekitar 500-an orang pembangkang perang kolonial –Indonesiëweigeraars.

Ketika Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta mengatakan, bahwa pengerahan militer secara besar-besaran (sekitar 150.000 tentara) telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah (lihat  http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/speech-by-minister-bot-on-60th.html),  
para Indonesiëweigeraars menyatakan, kalau demikian maka mereka pada waktu itu berada pada sisi sejarah yang benar. Kini mereka menuntut rehabilitasi dan kompensasi dari pemerintah Belanda.

Pada bulan Desember 2005, saya ke Belanda untuk membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda. Dalam kunjungan itu, saya berkesempatan bertemu dengan Jan Maassen, seorang Indonesiëweigeraar, yang menuturkan kisah pedihnya.

Jan Maassen termasuk yang kena wajib militer tahun 1949, namun dia menolak untuk mengikuti wajib militer, karena menganggap bahwa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah melancarkan perang kolonial. Dia bersedia memenuhi wajib militer untuk membela Negara, namun menolak untuk dikirim sebagai agresor. Jan Maassen ditangkap dan dimajukan ke pengadilan. Dia menjalani hukuman penjara selama 3 tahun, (Mengenai pertemuan dengan Jan Maassen, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html)

 Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama Jan Maassen, seorang Indonesiëweigeraar

Seharusnya para Indonesiëweigeraars ini yang memperoleh tanda penghargaan dari pemerintah Indonesia, karena menolak untuk ikut ambil bagian dalam agresi militer Belanda, yang menimbulkan banyak korban dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.

Oorlogsliefdekind
Selain para Indonesiëweigeraars, ada satu kelompok manusia yang juga sampai saat ini “terlupakan”, yaitu anak-anak korban agresi militer. Mereka tidak ada di dunia ini, seandainya Belanda tidak melancarkan agresi miliernya dengan mengrim 150.000 pemudanya ke Indonesia. Artinya, 150.000 laki-laki yang mempunya kebutuhan biologis, atau lebih gamblang lagi: kebutuhan seks. Tentu berbagai cara yang dilakukan oleh para prajurit untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, yang mengakibatkan banyaknya pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Indonesia, di daerah-daerah di mana mereka ditempatkan.

Banyak tentara Belanda yang di masa agresi militer Belanda, hidup bersama perempuan Indonesia selama mereka bertugas. Kurang diketahui dengan jelas apa status mereka semua, apakah nikah resmi, nikah siri atau hanya sekadar hidup bersama. Namun yang jelas, setelah habis masa dinasnya, sang laki-laki –tentara Belanda yang bersangkutan- pulang ke negerinya dan meninggalkan isteri/”simpanan” dan (kalau ada) anak-anaknya di Indonesia.
Jumlahnya juga tidak diketahui, karena tampaknya belum ada penelitian yang akurat, baik di Indonesia maupun di Belanda mengenai hal ini. Setidaknya saya belum pernah membacanya dalam bahasa Indonesia.

Di Belanda, sejak beberapa waktu yang lalu, dibentuk suatu wadah yang dinamakan, atau menamakan diri “oorlogsliefdekind”, (dalam bahasa Inggris mereka sebut sebagai Warlovechild), yang bertujuan mempertemukan mantan tentara Belanda dengan anak-anak mereka di Indonesia.

Banyak mantan tentara Belanda yang mengakui, bahwa mereka meninggalkan isteri dan anak-anak mereka setelah habis masa dinas di Indonesia. Bahkan mereka menceriterakan kepada isteri dan anak-anak mereka di Belanda. Beberapa anak-anak Belanda ini kemudian mencari saudara-saudara tiri mereka di Indonesia, dan bertemu!

Selama ini para perempuan Indonesia yang menikah atau hidup bersama dengan tentara Belanda di masa agresi militer Belanda, tidak ingin mengungkap kisah cinta mereka, dengan berbagai alas an dan pertimbangan. Hal ini seolah-olah menjadi tabu. Mungkin juga ada yang malu karena pada waktu tiu dianggap sebagai pengkhianat bangsa atau kolaborator, bahkan mungkin dituduh sebagai pelacur. Hal ini juga pernah terjadi di Eropa di masa pendudukan Jerman antara tahun 1939 – 1945, atau di Asia, di masa pendudukan Jepang antara tahun 1941 – 1945. 

Setelah para agresor tersebut kalah dan angkat kaki, maka semua yang di masa pendudukan bekerjasama dengan para agresor, mendapat cemoohan, siksaan dan bahkan dibunuh, termasuk keluarga dekat mereka.

Kini setelah lebih dari 60 tahun, kita dapat sedikit melakukan koreksi, a.l. memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban agresi militer Belanda, seperti yang saya lakukan untuk peristiwa pembantaian di Rawagede, yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, dan membuka tabir tabu ini. Dengan mengungkap secara luas mengenai permasalahan ini, dapat sedikit dilakukan koreksi. Pasti anak-anak hasil hubungan perempuan Indonesia dengan tentara Belanda, ingin mengetahui siapa ayah mereka, demikian juga generasi ketiga, yaitu cucu-cucu mantan tentara Belanda tersebut. Dan kisah cinta yang dijalin di masa perang itu, kini akan menjadi sangat menarik, dan tidak lagi dipandang lagi dengan kacamata waktu itu!

Di Belanda kelihatannya cukup banyak anak-anak veteran Belanda yang ingin berkenalan dengan saudara tiri mereka di Indonesia.

Apabila berminat untuk hal ini, website organisasi ini dan informasi lebih lanjut dapat dilihat di: http://indonesiadutch.blogspot.com/2012/01/warlovechild-forgotten-victims-of-dutch.html

Bagi yang mendukung untuk mempertemukan ayah-anak atau saudara-saudara tiri Indonesia-Belanda, mohon tulisan ini disebarluaskan.

Ini juga suatu tema dan tantangan yang sangat menarik bagi peneliti muda Indonesia!

Jakarta, 15 Januari 2012

Saturday, January 14, 2012

PEMBANTAIAN DI RAWAGEDE: 1947, WILAYAH BELANDA ATAU REPUBLIK INDONESIA?


Sehubungan dengan peristiwa pembantaian di Rawagede, walaupun pemerintah Belanda telah secara resmi meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada para janda yang menuntut di pengadilan di Belanda, ternyata belum selesai dibahas di Belanda. Dalam berita di Radio Nederland siaran Indonesia (Ranesi) Kamis, 12.01.2012, dimajukan beberapa pertanyaan: 
“Ada satu hal penting yang tidak terlalu diperhatikan dalam kasus Rawagede. Apa status wilayah ini? Banjir darah itu terjadi di Rawagede tapi diperkarakan di pengadilan Den Haag, Belanda. Jadi hukum mana yang berlaku?”

Mengenai masalah yuridiksi, apakah Rawagede pada saat terjadi pembantaian oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, adalah wilayah Republik Indonesia atau masih wilayah Netherlands Indië, saya sampaikan sebagai berikut:

Memang pers dan masyarakat di Indonesia sebagian terbesar, tidak memperhatikan hal ini. Sebagian besar tentu karena tidak membaca putusan (vonis) pengadilan di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan para janda dan korban selamat terakhir, Sa’ih. Salinan putusan itu telah saya muat di weblog saya. Dalam bahasa Belanda di http://indonesiadutch.blogspot.com), dan sebagian terjemahan dalam bahasa Indonesianya di http://batarahutagalung.blogspot.com

Saya sangat memperhatikan putusan pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September 2011, dan menyoroti dasar pertimbangan hakim, yaitu sebagai fakta-fakta (feiten), bahwa sampai tahun 1949, Indonesia dengan nama Netherlands Indië adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Ini memang klaim dari pemerintah Belanda hingga detik ini.

Saya sendiri tidak akan mempermasalahkan, bahwa hal ini dipakai sebagai dasar putusan pengadilan di Den Haag, karena walau bagaimanapun, pengadilan di seluruh dunia termasuk di Belanda, harus mengikuti kebijakan politik pemerintahnya.

Oleh karena itu, yang dituntut oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), adalah pemerintah Belanda, agar mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945. Mengenai pemberian pengakuan de jure kepada negara lain, memang wewenang pemerintah, karena ini masalah politik, dan bukan masalah hukum. (Lihat petisi online KNPMBI tertanggal 22.4.2005: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html). Setelah aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005 di Jakarta mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), maka tuntutan ini dilanjutkan oleh KUKB.

Mengenai putusan pengadilan di Den Haag ini telah saya tulis sebagai pengantar dalam informasi mengenai perjuangan KNPMBI dan KUKB. (Lihat:

Dasar putusan pengadilan di Den Haag ini juga saya kemukakan dalam surat terbuka saya kepada Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa pada 17 Desember 2011. (Lihat:

Mengenai masalah apakah Rawagede tahun 1947 adalah wilayah Republik Indonesia atau wilayah Belanda, bagi bangsa Indonesia bukan suatu pertanyaan lagi, melainkan suatu pernyataan yang tegas: Tentara Belanda telah melakukan agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan berdaulat. Mengenai keabsahan proklamasi 17.8.1945, lihat tulisan: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html. Laporan pemerintah Belanda tahun 1969, yang diterbitkan dengan judul: “De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”, yang disingkat menjadi De Excessennota, menyebut, “ekses” yang dilakukan oleh MI;LITER BELANDA DI INDONESIA TAHUN 1945 – 1950. Di sini tidak disebutkan “Netherlands Indië”, melainkan INDONESIA Pakar-pakar hukum di Belanda sendiri mengatakan, bahwa yang dengan lunak disebut sebagai ekses, tidak lain adalah kejahatan perang (oorlogsmisdaden).

Sehubungan dengan masalah yuridiksi untuk suatu perkara pembunuhan terhadap penduduk sipil di masa perang, Jerman telah menunjukkan, bahwa Tempat Kejadian Perkara (TKP) tidak menjadi hambatan di pengadilan di Jerman, seperti pada sidang pengadilan seorang bekas perwira Jerman, Heinrich Boere, 88 tahun, yang pada bulan Oktober 2009 dimajukan ke pengadilan di Aachen, Jerman. Pada bulan Februari 2010 oleh pengadilan di Jerman dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti bersalah, tahun 1944 (!) –berarti 66 tahun sebelumnya- membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda. (Lihat: 

Dari putusan pengadilan di Den Haag 14 September 2011, dan pengadilan di Jerman tahun 2010, yang harus dibaca adalah:
1. Untuk kasus pembunuhan seperti ini, setelah lebih dari 60 (!) tahun, tetap masih bisa dibuka, dan tidak mengenal azas kadaluarsa (statute of limitation). Ini sesuai dengan statuta Roma yang berlaku di International Criminal Court yang berkedudukan di Den Haag, bahwa untuk genosida (pembantaian etnis), kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, tidak mengenal azas kadaluarsa.
2. Pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, memutuskan pemerintah Belanda BERTANGGUNGJAWAB atas pembantaian yang terjadi di Rawagede.

Putusan ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk dimajukannya puluhan ribu (!) kasus-kasus serupa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950

Kemungkinan akan terjadi perkembangan seperti ini telah saya kemukakan kepada Duta Besar Belanda (waktu itu) Baron Schelto van Heemstra, pada 3 April 2002, ketika pimpinan KNPMBI bertemu dengan dia dan menyampaikan tuntutan KNPMBI. Saya katakan, ada kata-kata bijak dalam bahasa Jerman yang berbunyi: “Lieber Ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang terjemahannya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir.” Kalimat ini saya ulangi kepada Duta Besar Nikolaos van Dam, dalam acara peringatan ke 61 peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2008, dan terakhir kepada Duta Besar Tjeerd de Zwaan, pada 9 Desember 2011, dalam sambutan saya di acara peringatan ke 64 di Rawagede. (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html)

Sekarang tergantung pada pemerintah Belanda, apakah akan menutup lembaran hitam yang penuh darah sejarah agresi militer Belanda di Indonesia secara dramatis, artinya memenuhi semua tuntutan KNPMBI/KUKB, atau akan membiarkan drama ini berkelanjutan dan tidak diketahui kapan berakhirnya, karena kami akan menuntut terus!

KUKB telah menawarkan untuk dilakukannya suatu rekonsiliasi yang bermartabat antara bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda. Bermartabat di sini artinya antara dua bangsa dari dua Negara merdeka, yang saling menghargai dan mengakui. Apabila Negara yang satu tidak mau mengakui negara yang lain secara yuridis, atau setara, tidak mungkin dapat dilakukan rekonsiliasi yang bermartabat. Sehubungan dengan ini terungkap, bahwa hubungan “diplomatik” antara Republik Indonesia dengan Belanda sangat aneh. Dengan demikian, Belanda berhubungan de jure dengan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang telah dibubarkan pada 16.8.1950, dan dengan NKRI hanya hubungan de facto! Sangat aneh!

Batara R. Hutagalung, Ketua KNPMBI/KUKB

Tanggapan ini juga dimuat di Rakyat Merdeka-Online:


Catatan:
Perundingan Linggajati antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang difasilitasi oleh Inggris, telah menghasilkan persetujuan mengenai status Republik Indonesia dan rencana pembentukan Republik Indonesia Serikat serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947 antara lain: Belanda MENGAKUI DE FACTO REPUBLIK INDONESIA ATAS SUMATERA, JAWA DAN MADURA.


Jadi ketika peristiwa pembantaian di Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, sebelum disetujuinya perjanjian Renville, Rawagede de facto adalah wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian, Belanda telah melanggar persetujuan Linggajati.






Tuesday, January 03, 2012

Wawancara Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB, di Metro Tv


Wawancara Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB, dan Peter Rohi, wartawan, di Metro Tv dalam program “Journalist On Duty. KATA MAAF UNTUK RAWAGEDE’, 
hari Senin, 2 Januari 2012, jam 20.30 WIB.
Klik:


Ada 3 video