Friday, July 17, 2020

KONGRES PEMUDA I: Embrio Persatuan Pemuda dan Gagasan Mendirikan Negara, Membentuk Bangsa Serta “Menciptakan” Bahasa Indonesia.



KONGRES PEMUDA I
Embrio Persatuan Pemuda Indonesia
dan
Gagasan Mendirikan Negara, Membentuk Bangsa
Serta “Menciptakan” Bahasa Indonesia.


Catatan Batara R. Hutagalung

Pengantar

Sejarah ditulis oleh pemenang. Demikianlah adagium yang berlaku universal, terutama dalam penulisan sejarah yang resmi diterbitkan oleh suatu pemerintah dan diajarkan di sekolah-sekolah. Sering dilakukan manipulasi penulisan sejarah, penghilangan lembaran hitam dan interpretasi peristiwa sejarah untuk kepentingan penguasa atau bangsanya. Tidak terkecuali di Indonesia. Banyak kesalahan dalam penulisan sejarah di Indonesia, baik dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah maupun dalam buku-buku sejarah untuk umum. Juga dalam buku Materi Sosialisasi Empat “Pilar” yang dikeluarkan oleh MPR periode 2009 – 2014, dengan anggaran sebesar Rp. satu triliun per tahun, banyak kesalahan dalam penulisan sejarah, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan. Hal ini menunjukkan, bahwa para penyelenggara negara di Indonesia sebagian besar “buta sejarah.”

Di samping itu, banyak penyimpangan dalam penulisan sejarah dan interpretasi yang manipulatif, serta membangun mitos-mitos yang tidak sesuai dengan fakta, untuk kepentingan politik pada waktu itu. Sesuatu peristiwa sejarah, akan dimanipulasi, “ditenggelamkan”, dihapus, dinilai negatif, atau di lain pihak ditonjolkan, dinilai positif dan diglorifikasi, tergantung pada selera dan kepentingan penguasa pada saat itu. Hal-hal tersebut di atas berdampak pada pengetahuan masyarakat mengenai sejarah banyak yang salah. Dapat dikatakan di Indonesia dibangun masyarakat, termasuk para penyelenggara negara, juga termasuk Kepala Negara, yang “buta sejarah.” Apabila tidak segera dikoreksi, generasi mendatang tidak lagi mengetahui sejarah yang sebenarnya. Hal ini termasuk yang sehubungan dengan penilaian terhadap Kongres Pemuda I, yang diselenggarakan di Batavia (sekarang Jakarta) dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926..

Selama ini yang sangat banyak disorot oleh bangsa Indonesia adalah Kongres Pemuda Indonesia II, yang dilaksanakan pada 27 dan 28 Oktober 1928. Hal ini terjadi karena adanya hasil pembahasan yang dicetuskan setelah tiga kali persidangan dalam dua hari. Waktu yang sangat singkat, apabila segala sesuatunya mulai dari disampaikan materinya, dibahas dan diputuskan hanya dalam tiga kali persidangan terbuka, yang merupakan rapat umum, sebagaimana dijelaskan oleh Sugondo Joyopuspito, yang adalah Ketua Panitia Kongres Pemuda II.[1] 


Sugondo Joyopuspito menulis:
“Sebagian besar dari hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga pada undangan, yaitu wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol,, ormas, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: pegawai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandse Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada Gubernur Jenderal; laporannya sering membela orang Indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr. Hazen, Gobee dan van der Plas).
Panitia Kongres Pemuda II adalah sebuah panitia yang dibentuk oleh sidang terakhir (sidang-sidang ini sudah dimulai dalam tahun 1927 dan sidang terakhir diadakan pada awal bulan Oktober 1928) dari para utusan Pengurus Besar Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambos, Pemuda Kaum Betawi dengan Ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Panitia itu diberi tugas untuk mengadakan rapat umum. Dalam rapat umum oitu supaya diadakan pidato-pidato tentang soal yang memperkuat persatuan. Panitia itu ditugaskan untuk merumuskan resolusi yang menganjurkan persatuan dan pemakaian Bahasa Indonesia di kalangan pemuda.
Panitia ini disebut Panitia Kongres Pemuda II oleh karena di tahun 1926 sudah pernah ada Panitia Kongres Pemuda I, yang diketuai oleh Moh. Tabrani dan yang terdiri dari pemuda-pemuda anggota berbagai organisasi pemuda, tetapi bukan utusan dari Pengurus Besar organisasi-organisasi itu.
Anggapan bahwa rapat-rapat umum pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu adalah rapat kongres pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia disebabkan oleh beberapa hal.
Sebab pertama ialah penyiaran resolusi oleh sekretarisnya, yang berjudul Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia. Dan resolusi itu dibuka dengan kata-kata “Kerapatan pemuda-pemoeda Indonesia yang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemuda Indonesia ..... memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri Jakarta; ...”
Resolusi itu memberi kesan kepada orang yang tidak menghadiri rapat-rapat umum tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu seolah-olah pada hari tesebut di atas para pemuda mengadakan rapat kongres.
Mph. Yamin waktu itu masih muda, baru satu tahun menjadi mahasiswa Rechts Hoge School. Dan anggota panitia lainnya lebih muda lagi, kecuali Djokomarsaid yang sudah pernah menjadi mantri polisi. Dan sudah menjadi watak orang muda suka memakai perkataan-perkataan  yang muluk. Sebab itu judul dan kata-kata resolusi yang disusun oleh Yamin lebih mengutamakan effect daripada kebenaran. Lagipula pemuda Yamin mempunyai aspirasi menjadi sastrawan.
Seorang sastrawan itu dalam pandangannya memang lebih dipimpin oleh imajinasi daripada oleh kenyataan.
Begitulan Yamin dalam pidatonya di rapat umum yang pertama tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia” berkata, bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan itu, karena para yang hadir datang dari seluruh Indonesia, seolah-olah orang-orang yang hadir dalam rapat umum itu baru datang kemarin dengan “kapal terbang” dari Ambon, Manado, Kotaraja, Padang, Denpasar, Yogya  dan lain-lain tempat dari seluruh Indonesia.
Seterusnya dalam pidato Yamin melukiskan imajinasinya dengan kata-kata, bahwa persatuan dan Kebangsaaan Indonesia ialah hasil fikiran dan kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamakan Roh Indonesia.
Briljant kata beberapa orang muda. Bombast kata orang dewasa yang lebih suka mendengarkan kata-kata yang sederhana.”

Demikianlah penjelasan dari Sugondo Joyopuspito, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Dari keterangan initerlihat, bahwa yang dirancang adalah rapat umum yang terbuka untuk masyarakat luas. Jadi di dalam Kongres Pemuda II tidak dilakukan pembahasan-pembahasan yang mendalam.
Oleh karena itu perlu diketahui latar belakang yang panjang mengenai pembahasan-pembahasan, diskusi dsb., yang telah dimulai sejak bertahun-tahun. Hasil pembahasan Kongres Pemuda II, yang pada waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II diformulasikan sebagai resolusi. Tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Baru di tahun 1950-an hasil kerapatan pemuda ini dinamakan sebagai Sumpah Pemuda, untuk disejajarkan dengan Sumpah Palapa Gajah Mada,[2] untuk kepentingan politik saat itu.

Tiga butir keputusan kerapatan pemuda tersebut dinilai sebagai pencetusan gagasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation state) Indonesia, membentuk Bangsa Indonesia dan menetapkan bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Indonesia. Gagasan tersebut sebenarnya merupakan pematangan dari pembahasan dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yang diselenggarakan pada 30 April – 2 Mei 1926 di Batavia. Kerapatan ini kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I.

Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I

Pertemuan besar resmi pertama dari beberapa organisasi pemuda pribumi yang berasal dari berbagai wilayah dan etnis di jajahan Belanda, berhasil diselenggarakan berkat kegigihan beberapa tokoh pemuda pribumi yang tergabung dalam beberapa organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan (etnis) dan keagamaan. Setelah kerapatan pertama, masih diperlukan beberapa kali pertemuan organisasi-organisasi pemuda untuk menyelenggarakan kerapatan kedua.

Di dalam beberapa tulisan, kongres atau kerapatan pemuda-pemudi Indonesia pertama dinilai kurang berhasil dan tidak membuahkan hasil yang nyata. Juga di buku “45 Tahun Sumpah Pemuda”, mengenai Kongres Pemuda I hanya ditulis dengan beberapa kalimat, dan dinilai belum berhasil mempersatukan pemuda Indonesia.[3] Penilaian-penilaian tersebut  sangat subyektif, karena menggunakan paradigma dan dari sudut pandang serta tolok ukur yang keliru. Juga di tahun 1950-an tidak ada pihak yang diuntungkan secara politis dengan mengangkat  dan menonjolkan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.

Suasana Sidang

Apabila diteliti lebih mendalam, kerapatan pemuda-pemudi Indonesia pertama ini adalah terobosan yang sangat penting dalam merajut persatuan dan kesatuan di antara para pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di jajahan Belanda. Penggunaan kata INDONESIA di judul pertemuan juga adalah bentuk keberanian yang luar biasa di masa penjajahan. Kerapatan Pemuda (Kongres Pemuda) pertama inilah yang sebenarnya merupakan tonggak perjalanan (milestone) yang sangat penting – mungkin terpenting- menuju pembentukan Negara Bangsa (Nation state) Indonesia, membentuk Bangsa Indonesia,  terutama “menciptakan” bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia, untuk bangsa (nation) yang akan dibentuk. Para pemuda-pemudi pribumi pada waktu itu benar-benar menunjukkan, bahwa mereka adalah Agen Perubahan (agent of change), yang mereka realisasikan sendiri hampir 20 tahun kemudian, tepatnya pada 17 Agustus 1945.

Beberapa dari mereka yang ikut memprakarsai terjalinnya persatuan dan kesatuan pemuda-pemudi pribumi yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, ikut berperan dalam pembentukan negara dan bangsa Indonesia di tahun 1945, dan menjadi pimpinan dalam pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Tanpa perjuangan mereka, tidak ada Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, Tanpa mereka, tidak ada Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II. Tanpa mereka, tidak akan ada resolusi hasil kerapatan Pemuda II, yang menghasilkan gagasan untuk membentuk Bangsa Indonesia, mendirikan Negara Bangsa (Nation state) Indonesia. Juga tidak ada Bahasa Indonesia yang menjadi perekat semua etnis (suku bangsa) yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian logikanya.



Selintas Sejarah Kolonialisme Belanda[4]
Generasi muda Indonesia perlu mengetahui latar belakang munculnya gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan didirikannya Negara Bangsa (Nation state) Indonesia serta “diciptakannya” Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Ketiga hal tersebut timbul akibat penjajahan yang sangat  kejam dan sangat tidak manusiawi yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Pribumi leluhur bangsa Indonesia tidak dianggap  sebagai manusia. Selama lebih dari 250 tahun, pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Perdagangan budak ini dilakukan oleh para pedagang Belanda sejak menginjakkan kaki di Asia Tenggara tahun tahun 1596. Perdagangan manusia di wilayah kekuasaan Belanda dilaksanakan secara resmi  melalui Undang-Undang Perbudakan yang dibuat sejak era kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)[5] tahun 1642. Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799, perdagangan budak dilanjutkan oleh Pemerintah Nederlands-Indië (India Belanda) sejak tanggal 1 Januari 1800. Undang-Undang Perbudakan resmi dihapus tahun 1860. Namun prakteknya masih berlangsung sampai akhir abad 19.

Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang sangat diskriminatif dan rasis, yaitu membagi penduduk menjadi tiga golongan strata sosial dan hukum:
1.   Bangsa Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.
2.   Timur asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).
3.   Pribumi (Inlander).

Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling). Dalam peraturan negara tersebut, pribumi, yang disebut oleh Belanda sebagai inlander, dimasukkan ke golongan yang terrendah, yaitu golongan ketiga yang disetarakan dengan anjing. Sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah Nederlands-Indië kepada Jepang, di depan gedung-gedung dan hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum, bahkan di depan perkumpulan olahraga elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya adalah TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb., hanyalah para JONGOS.

Setelah selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda “naik tingkat” menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal tersebut di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi, yang sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan dengan anjing.

Judul buku yang terbit di Belanda

Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh bangsa Belanda antara lain adalah pembantaian massal/genosida, sistim kerja paksa, hukuman yang sangat sadis terhadap pribumi yang dinyatakan bersalah karena melanggar peraturan atau melanggar hukum. Selain kekejaman-kekejaman, para penjajah juga merampok kekayaan Nusantara yang dilakukan selama ratusan tahun. Penjajahan telah mendapat perlawanan yang sengit dari kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Nusantara. Namun pada waktu itu, belum ada kesatuan dan persatuan di antara kerajaan dan kesultanan. Dengan mudah penjajah melakukan politik adu-domba, pecah-belah (divide et impera) sehingga di beberapa wilayah, antara lain di Jayakarta (kemudian namanya diganti menjadi Batavia. Sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda, bangsa Belanda berhasil berkuasa selama sekitar 300 tahun. Sementara di beberapa kerajaan dan kesultanan, a.l. di Sumatera dan Bali, penjajahan hanya berlangsung selama sekitar 30-an tahun saja. Tidak ada wilayah, apalagi kerajaan atau kesultanan yang dijajah sampai 350 tahun.

Demikian sekilas mengenai kekejaman dan diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman kolonialisme Belanda di Asia Tenggara. Kekejaman-kekejaman, ketidak-adilan, undang-undang yang sangat diskriminatif dan rasis yang dialami oleh pribumi, membangkitkan kesadaran dan semangat berjuang bersama melawan penjajah untuk melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing, dan menjadi  Tuan di Negeri Sendiri.

Tidaklah mengherankan, di daerah-daerah yang mengalami kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa seperti ini, timbul kebencian yang juga luar biasa besarnya di kalangan pribumi, bukan hanya terhadap penjajah, melainkan juga terhadap kakitangannya yang bekerjasama dengan penjajah selama ratusan tahun. Pembalasan dendam yang juga kejam terhadap mantan penjajah dan antek-antek serta kaki-tangannya atas penindasan selama ratusan tahun, dilampiaskan pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.


Gerakan Kemerdekaan
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, di Eropa timbul gerakan untuk membentuk ‘Tatanan Baru Dunia' (New World Order), yang menentang bentuk monarchi absolut (kekuasaan raja yang tidak terbatas) dan menentang kemapanan para pemodal besar (kapitalis). Ideologi komunisme dan sosialisme yang anti kapitalisme/imperialisme muncul dan berkembang pesat. Hal ini berpengaruh pada pemuda-pemuda pelajar/mahasiswa yang berasal dari negara-negara jajahan yang berada di Eropa. Gerakan internasional untuk mengubah tatanan dunia membangkitkan rasa nasionalisme mereka, termasuk para pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, yang sedang belajar di beberapa negara di Eropa, terutama di Belanda.

Tahun 1904 pecah perang antara Kekaisaran Jepang melawan Kekaisaran (Tsar) Rusia. Mereka memperebutkan hegemoni atas Manchuria dan Korea. Tahun 1905 tentara Jepang berhasil mengalahkan tentara Rusia. Kemenangan Jepang ini mempunyai dampak yang sangat besar, yaitu hancurnya mitos ras kulit putih tidak terkalahkan. Kemenangan Jepang ini membangkitkan semangat pada bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa.

Pada 20 Mei 1908 di Nederlands-Indië (India-Belanda) didirikan organisasi yang dinamakan  Budi Utomo. Pada awalnya bukan gerakan politik, melainkan hanya untuk membantu para pemuda etnis Jawa golongan bawah memperoleh pendidikan. Bahkan etnis Sunda tidak termasuk di dalamnya. Pada waktu itu, yang mampu mengenyam pendidikan hanya anak-anak bangsawan tinggi dan pegawai-pegawai Pamong Praja yang berpenghasilan tinggi. Sangat sedikit anak-anak priayi golongan rendah dapat bersekolah. Pimpinan Budi Utomo pertama adalah para priyayi/bangsawan tinggi yang kooperatif dengan pemerintah kolonial. Baru di tahun 1920-an Budi Utomo bersifat politis dan menerima anggota yang bukan etnis Jawa

Juga di tahun 1908, beberapa bulan setelah berdirinya Budi Utomo, para pemuda pribumi yang belajar di Belanda mendirikan organisasi yang dinamakan Indische Vereeniging (Perhimpunan India - PI). Indische Vereeniging didirikan oleh para pemuda pribumi dari berbagai daerah jajahan Belanda, a.l. dari etnis Jawa, Batak, Minahasa, Minangkabau, Sunda, dll. Awalnya, Indische Vereeniging didirikan hanya untuk tujuan sosial, saling membantu sesama perantau dari wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara. Pada waktu itu, wilayah Nederlands-Indië oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indie (India) dan penduduk pribuminya dinamakan Indier (orang India). Penyebutan ini sering menimbulkan kerancuan dengan Sub-kontinen India, yang waktu itu dijajah Inggris. Para pemuda bangsa Cina di Belanda yang berasal dari Nederlands-Indië, mendirikan organisasi sendiri yang dinamakan Chung Hwa Tsung Hui
Setelah datangnya tokoh-tokoh politik pribumi dari Nederlands Indie, a.l. dr. Cipto Mangunkusumo (1886 – 1943), Suwardi Suryaningrat (1889 - 1959), kemudian Mohammad Hatta (1902 – 1980) dll.,[6] maka Indische Vereeniging menjadi organisasi politik yang berjuang untuk kemerdekaan wilayah jajahan Belanda.

Selain berdiskusi dan melakukan berbagai penelitian, kegiatan yang paling penting adalah menerbitkan dan menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka melalui majalah, yang juga dapat dibaca di Nederlands-Indië. Ketika Suwardi Suryaningrat menjadi Ketua, Indische Vereeniging menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Poetra. Dengan demikian, walaupun belum pernah saling betemu, para tokoh pergerakan anti penjajahan dapat saling mengetahui perkembangan baik di Nederlands Indie maupun di Eropa. Mereka saling mengenal melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan, baik di Belanda maupun di Nederlands-Indië
.
Di Batavia, para pemuda pribumi dari berbagai daerah mendirikan organisasi-organisasi pemuda yang masih berdasarkan etnis, yaitu Jong (pemuda) Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), dll. Juga berdasarkan agama, seperti Jong Islamieten Bond (Islam), Indonesische Christen Jongeren (Pemuda Kristen Protestan) dan Katholieke Jongelingen Bond (Pemuda Kristen Katholik). Tujuan para pendiri Jong Java (Pemuda Jawa) pada waktu itu, tahun 1915, adalah untuk mendirikan Jawa Raya, yang akan dikembangkan dengan mengikut-sertakan para pemuda dari etnis Sunda, Bali dan Lombok.

Pada mulanya di Batavia sering terjadi pergesekan, bahkan konflik di antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah, karena belum saling mengenal. Pergesekan juga disebabkan oleh konflik di masa lalu di antara etnis-etnis atau konflik warisan akibat politik divide et impera Belanda. Sebagai contoh: Tahun 1830, setelah menangkap Pangeran Diponegoro (1785 – 1855) dan kemudian mengasingkannya ke Sulawesi Utara (Manado), Belanda menggunakan bekas pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot Prawirodirjo untuk menyerang Sumatera Barat (Perang Padri). Demikian juga setelah mengalahkan Maluku, Belanda merekrut pasukan Marsose (Marrechaussee) dari Maluku, yang dikerahkan untuk berperang di Aceh (1873 – 1904) dan di  Batak (1878 – 1907), yang pada waktu itu belum dikuasai oleh Belanda. belanda juga merekrut pasukan yang berasal dari berbagai etnis, yang kemudian dikerahkan untuk membantu Belanda menyerang wilayah lain di Asia Tenggara, yang sampai awal abad 20 belum dikuasai oleh Belanda. Tujuan bangsa Belanda pada waktu itu adalah untuk mewujudkan suatu Pax Nederlandica (Pax Neerlandica), suatu “perdamaian Nederland (Belanda)” meniru Pax Romana (Perdamaian Roma). Tujuan  membangun imperium di bawah kekuasaan bangsa Belanda sebenarnya adalah untuk mengamankan jalur perdagangan yang dikemas dengan kedok “perdamaian.” De jure dan de facto, “Pax Nederlandica” di Asia Tenggara/Nederlands-Indië, hanya berlangsung selama sekitar 30-an tahun saja, sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu ketika pemerintah Nederlands-Indië menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang di Kalijati, dekat subang, Jawa barat.

Lama-kelamaan timbul kesadaran di kalangan pemuda pribumi, bahwa musuh bersama mereka adalah Belanda, bukan sesama pribumi dari berbagai wilayah jajahan Belanda. Mereka melihat, bahwa Belanda berhasil mengusai berbagai kerajaan dan kesultanan, karena sampai awal abad 20, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia tenggara tidak bersatu, bahkan saling memerangi. Tidak sedikit raja/sultan yang berpihak kepada Belanda, atau bahkan meminta bantuan Belanda untuk bekuasa. Sejak ada inter-aksi dan komunikasi di antara para pemuda/pelajar dari berbagai daerah yang belajar di Batavia, timbul kesadaran untuk berjuang bersama melawan penjajah. Juga terjalin hubungan dengan Indische Vereeniging di Belanda.

Adalah tiga serangkai, dr. Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (namanya kemudian menjadi Danudirdja Setiabudhi) yang mendirikan Partai Politik pertama di wilayah jajahan Belanda, yaitu Indische Partij (Partai India), pada 25 Desember 1912. Pada saat itu nama INDONESIA belum dikenal di Nederlands Indie. Indische Partij tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial, dan  dibubarkan pada bulan Maret 1913. Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap memprovokasi rakyat, ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda. pada waktu itu dalam Undang-undang Nederlands Indie ada pasal tentang Exorbitante rechten, yang memberi hak kepada Gubernur Jenderal untuk menangkap dan membuang atau mengasingkan orang-orang yang dipandang berbahaya untuk pemerintah kolonial. Sangat banyak tokoh pribumi yang dijerat dengan Pasal Exorbitante rechten dan dibuang ke berbagai tempat di wilayah jajahan Belanda, atau diasingkan ke Belanda.

Tokoh-tokoh pergerakan pribumi menyadari, bahwa mereka berasal dari berbagai etnis (suku) di wilayah jajahan Belanda dan belum merupakan suatu nation (bangsa). Tokoh-tokoh pribumi yang belajar di Belanda dan tergabung dalam Indische Vereeniging sangat aktif berinteraksi dengan gerakan-gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme yang sangat besar di Eropa pada awal abad 20. Mereka mempelajari sistem-sistem pemerintahan, sistem hukum dan perundang-undangan, sistem perekonomian termasuk sistem koperasi untuk melawan pemodal besar/kapitalis, dll.

Mereka mencermati, bahwa bentuk negara-negara di Eropa adalah Negara Bangsa (Nation State). Konsep Negara Bangsa ini digagas pertama kali dalam Perdamaian Westfalia, tahun 1648. Perdamaian Westfalia yang diselenggarakan di Muenster dan Osnabrueck, Jerman, mengakhiri perang 30 tahun antara kerajaan2 yang menganut ajaran Kristen Katholik di Eropa bagian tengah/selatan, melawan kerajaan2 yang menganut ajaran Kristen Protestan di Eropa tengah/utara.  Perdamaian Westfalia juga mengakhiri perang 80 tahun antara Belanda melawan mantan penjajahnya, Spanyol.

Sebagai dasar persatuan untuk mendirikan Negara Bangsa, para tokoh pribumi mencari definisi yang tepat mengenai bangsa dan ikatan suatu bangsa. Cukup banyak definisi mengenai bangsa yang disampaikan oleh para filosof di abad 19 dan awal abad 20, a.l. Johan Gottlieb Fichte, John Stuart Mill, dll. Pada umumnya definisi suatu bangsa berkisar pada kesamaan asal-usul, wilayah, budaya/tradisi dan bahasa. Yang termasuk paling populer dan aktual mengenai definisi bangsa pada waktu itu adalah pendapat dari Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) dan Otto Bauer (1881 – 1938). Mengenai adanya kesamaan bahasa untuk suatu bangsa, menjadi salahsatu topik utama dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I.

Ernest Renan, seorang filosof dan sejarawan  Perancis mendefinisikan pembentukan suatu bangsa sebagai “Le desir d’etre ensemble,” yaitu kemauan untuk berkumpul/menjadi satu. Sedangkan Otto Bauer mantan Menteri Luar Negeri Austria mendefinisikan bangsa sebagai “Eine Nation ist  eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Character-gemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan karakter/ciri yang sama yang tumbuh berdasarkan kesamaan nasib/sejarah). Kedua definisi ini menjadi butir pertama dan kedua dalam dasar-dasar persatuan yang dirumuskan dalam resolusi hasil Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Selain mencari definisi yang tepat mengenai bangsa, juga menjadi bahan pembahasan adalah mencari nama untuk negara dan bangsa yang akan didirikan, serta mencari bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa persatuan.


“Terciptanya” Nama INDONESIA[7]
(Penjelasan yang rinci mengenai “Terciptanya” Nama Indonesia, telah saya upload ke weblog sejak tahun 2006. Silakan klik:

Juga pada permulaan abad 20, seiring dengan bangkitnya gerakan untuk kemerdekaan dari penjajahan, para tokoh pribumi mencari nama untuk mengganti nama Nederlands-Indië yang adalah bahasa Belanda, bahasa penjajah, yang artinya adalah India Belanda. Ada beberapa usulan antara lain dari Douwes Dekker yang mengusulkan kata Insulinde. Namun kata ini juga dari bahasa Belanda. Para tokoh pribumi tidak mau menggunakan nama yang berasal dari penjajah.

“Terciptanya” nama Indonesia berawal dari ketidaksukaan bangsa Inggris untuk menggunakan kata atau nama yang “berbau” Belanda, yaitu  Netherlands India, Netherlands East Indies, Dutch East India, dsb. Sikap ketidaksukaan terhadap Belanda juga ditunjukkan oleh George Samuel Windsor Earl (10.2.1813 – 9.8.1865) seorang ilmuwan-autodidak bangsa Inggris.

Tahun 1850 Earl memuat tulisannya yang berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations” (Tentang Karakteristik Utama Bangsa-Bangsa Papua, Australia dan Melayu Polinesia) dalam Volume (Jilid) IV jurnal The Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. (Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur). Earl merasakan perlunya memberi nama untuk cabang ras Polynesia berkulit coklat yang menghuni Kepulauan India. Atas dasar inilah dia “menciptakan” nama Melayunesian, Sebenarnya dia “menciptakan” dua nama, yaitu “INDU-NESIAN” dan “MELAYU-NESIAN.” Namun kemudian dia lebih senang menggunakan nama Melayunesian (singular/tunggal), yang artinya adalah penghuni Kepulauan Melayu, dan nama wilayahnya menjadi Melayunesia. Persebaran penutur bahasa Melayu di Asia tenggra, juga menjadi salahsatu dasar Earl menggunakan nama Melayunesian untuk cabang ras Polynesia berkulit coklat yang menghuni Kepulauan India.  .

James Richardson Logan (10.4.1819 – 20.10.1869), pendiri dan editor jurnal tersebut lebih menyukai nama Indu-nesian untuk penduduk di Kepulauan India. Dia melanjutkan penggunaan nama tersebut dan mengganti huruf “U” dengan huruf “O” menjadi Indo-nesian. Logan menerbitkan tulisannya dalam jilid (volume) yang sama di Jurnal yang terbit bulan Februari 1850 (halaman 252 – 347), dengan judul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing enquiries into the Continental relations of the Indo-Pacific Islanders”, (Etnologi Kepulauan India: Merangkul pertanyaan-pertanyaan ke dalam hubungan penduduk-penduduk di pulau-pulau Indo-Pasifik).

Adalah Adolf Philipp Wilhelm Bastian (26.6.1826 – 2.2.1905), seorang dokter Jerman yang mempopulerkan kata Indonesia tersebut. Bastian bekerja sebagai dokter di kapal selama 8 tahun yang membawanya keliling dunia, termasuk ke Asia Tenggara, Papua dan Australia. Dia melakukan penelitian etnologis di daerah-daerah yang dikunjunginya dan kemudian menulis hasil-hasil penelitiannya sebagai buku-buku. Antara tahun 1884 – 1894 Adof Bastian menerbitkan 5 jilid buku dengan judul Indonesien oder die inseln des Malayischen Archipel (Indonesia, atau Pulau-Pulau di Kepulauan Malaysia). Jilid I berjudul Maluku, jilid II Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya, jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup. 
Sangat banyak orang Belanda yang juga tidak mengetahui latar belakang “terciptanya” kata Indonesia, sehingga di kalangan orang Belanda, Adolf Bastian disangka sebagai “pencipta” kata Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penulisan-penulisan oleh orang-orang Belanda di awal abad 20.

Konon Prof. Cornelis van Vollenhoven (1874 – 1933), seorang Belanda, yang memperkenalkan nama Indonesia kepada para anggota Indische Vereeniging tahun 1917. Tidak ada penjelasan, apakah tahun 1917 van Vollenhoven telah mengetahui, bahwa “pencipta” nama Indonesia bukanlah Adolf Bastian yang orang Jerman, melainkan George S.W. Earl yang orang Inggris yang pertama kali menulis nama “Indu-nesian”, kemudian diubah sedikit menjadi “Indo-nesian” oleh James R. Logan yang orang Skotlandia.

Seperti telah ditulis di atas, bahwa pada waktu itu orang-orang Belanda masih menyangka, bahwa Adolf Bastianlah “pencipta” nama Indonesia.
Tidak tertutup kemungkinan, bahwa para pendiri negara dan bangsa Indonesia pada waktu itu juga tidak mengetahui latar belakang dan proses “terciptanya” kata Indonesia, bahwa yang menciptakan nama Indonesia bukanlah orang Jerman, seperti yang disangka semula, melainkan diciptakan oleh orang Inggris dan orang Skotlandia, yang adalah bagian dari Britania Raya. Sebagai catatan, Inggris pernah mejajah wilayah jajahan Belanda di Asia tenggara dari tahun 1811 – 1816. Jadi Nama INDONESIA juga “diciptakan” oleh mantan penjajah.

Nama Indonesia terlebih dahulu dikenal oleh para pribumi dari Nederlands-Indië yang berada di Eropa/Belanda tahun 1917. Pada tahun 1922, atas inisiatif Mohammad Hatta,  Indische Vereeniging resmi mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan demikian, Indonesische Vereeniging menjadi organisasi pribumi pertama yang menggunakan nama Indonesia. Tahun 1924 nama organisasi resmi menjadi Perhimpunan Indonesia – PI dalam bahasa Melayu, tidak lagi menggunakan bahasa Belanda. Nama “Bahasa Indonesia” belum “diciptakan.” Nama majalah yang diterbitkan oleh PI, yaitu Hindia Poetra, diganti menjadi Indonesia Merdeka. Ini juga merupakan untuk pertama kali dicetuskan tujuan mendirikan Negara INDONESIA MERDEKA.  Genderang Perang secara politis telah ditabuh oleh para pemuda pribumi di Belanda, di negara penjajah, “di kandang macan.


Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I
(Kongres Pemuda Indonesia I)

Pemikiran-pemikiran dan pergerakan para pemuda/mahasiswa pribumi dari Nederlands-Indië (India Belanda) yang belajar di Eropa, sangat berpengaruh terhadap pergerakan pemuda-pemudi pribumi di Nederlands Indie. Sejak awal tahun 1920-an nama INDONESIA diperkenalkan kepada tokoh-tokoh pribumi di Nederlands Indie. Seperti telah ditulis di atas, di Nederlands Indie telah banyak didirikan organisasi-organisasi pemuda pribumi yang masih bersifat kesukuan dan keagamaan. Perhimpunan Indonesia di Belanda terus mendorong organisasi-organisasi pribumi di Nederlands-Indië yang masih bersifat kesukuan (etnis), agar bersatu membentuk suatu organisasi yang tidak berdasarkan kesukuan atau keagamaan. Himbauan ini disambut baik oleh banyak anggota dari beberapa organisasi pemuda tersebut.


Banyak di antara mereka sudah saling mengenal, karena mereka menempuh pendidikan di sekolah yang sama, atau tinggal di tempat kos/asrama yang sama, sehingga hampir setiap hari bertemu dan berdiskusi. Pertemuan-pertemuan dan tempat mereka berdiskusi adalah di Indonesische Clubgebouw (Gedung Perkumpulan India) Jl. Kramat 106, tempat mereka kos dan menyewa ruangan, atau ngobrol tentang politik di Gang Rijkman dan Fromberg Park,[8] dll.

Pertemuan besar mereka bersama yang pertama diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia. Hadir pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa peminat perorangan.

Dengan suara bulat  dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan keagamaan tersebut. Tujuannya:
“Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”

Susunan Panitia:
Ketua: Mohammad Tabrani Soerjowitjitro (1904 – 1984)[9]
Wakil Ketua: Sumarto
Sekretaris: Djamaluddin (Kemudian dikenal sebagai Adi Negoro) (1904 -1967)
Bendahara: Suwarso.
Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.[10]

Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, seorang pemuda anggota Jong Java yang berasal dari Pamekasan, Madura. Pada waktu itu Tabrani adalah wartawan di Harian Hindia Baroe, di mana H. Agus Salim pernah menjadi Pemimpin Redaksinya.

Mohammad Tabrani Soerjowitjitro

Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani mengundang organisasi-organisasi pemuda untuk menghadiri pertemuan yang waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Dalam bahasa Belanda dinamakan Het eerste indonesische Jeugd Congres. Kerapatan tersebut  diselenggarakan di Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur) milik Perkumpulan Vrijmetselaarij (Freemason), Batavia dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926. (Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma di Jl. Budi Utomo N0. 1). Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I. 
 

 Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur).
Tempat penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.

Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma,
di Jl. Budi Utomo No. 1


Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I, hadir wakil-wakil dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden Minahasaers dan Sekar Rukun. Hadir juga Wage Rudolf Supratman, sebagai wartawan dari Harian Sin Po.

Pertemuan besar pertama dari para pemuda-pemudi pribumi di wilayah jajahan Belanda membahas  masalah Persatuan, Peran Perempuan, Peran Agama dan pentingnya bahasa persatuan, dalam rangka mencapai persatuan. Pada waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga semua pembicara menggunakan bahasa Belanda. Pembahasan juga dilakukan dalam bahasa Belanda. Demikian juga hasil-hasil kerapatan diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Verslag van het Eerste Indonesisch Jeugdcongres, Gehouden te Weltevreden van 30 April tot 2 Mei 1926 (Laporan Kongres Pertama Pemuda Indonesia, diselenggarakan di Weltevreden[11] dari tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926). 

Suasana sidang

Laporan lengkap yang diterbitkan oleh Panitia Kongres disita dan dimusnahkan oleh penguasa Belanda. Untung sebelum menyampaikan laporan tersebut, Tabrani diam-diam membuat dua salinan laporan. Satu diberikan kepada redaksi majalah mingguan, dan satu salinan disampaikan ke Museum  Pusat di Batavia.[12] Sangat disayangkan, laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I baru diterjemahkan tahun 1981. [13]

Laporan Hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I

Dalam sambutan pembukaan Kerapatan, Tabrani mengatakan :
“Bagaimana kita dapat memajukan pertumbuhan Semangat Persatuan Nasional dengan menghindari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan  kita, maka Panitia memilih acara-acara yang mengandung unsur-unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari  benih-benih perpecahan.”

Tabrani menutup sambutannya dengan kata-kata:
”Mengakhiri pidato saya, saya amat mengharapkan, supaya kongres ini menyuarakan generasi muda sekarang yang nantinya terpanggil untuk bekerja, berkarya, berjuang dan meninggal untuk Kemerdekaan Nusa dan Bangsa. RAKYAT DI SELURUH KEPULAUAN INDONESIA, BERSATULAH!”

Demikianlah yang diucapkan oleh seorang pemuda berusia 22 tahun, pada 30 April 1926.

Salahsatu pidato yang sangat penting disampaikan oleh pemuda Sumarto. Dia mengatakan:
“Semangat persatuan Indonesia pada pokoknya bersumber  kepada semangat kemerdekaan. Ia mengandung cita-cita untuk mencapai Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka. INDONESIA KARENANYA ADALAH  PENGERTIAN POLITIK, berbeda dengan Indonesia dalam pengertian bukan politik. Secara etnologisch, philologisch dan geografisch, Indonesia mengandung arti yang lebih luas.
Karenanya dapat dimengerti bahwa sebutan itu tidak dapat memuaskan banyak orang. Bahkan menimbulkan pendapat, bahwa Indonesia itu hanya impian atau khayalan belaka. Namun mereka yang berpendapat demikian berbuat suatu kesalahan karena tidak dapat membedakan antara politik dan ilmu. INDONESIA MENURUT PENDAPAT SAYA HARUS DIARTIKAN SECARA POLITIS.
DR. Ratulangi dalam Kongres Al-Indie di Bandung menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia ialah daerah di Asia dan Australia yang terkenal dengan nama Hindia Belanda.
Berhubung dengan ini, orang Indonesia ialah yang tergolong PRIBUMI INDONESIA.”

Sebagai penutup pidatonya, Sumarto mengatakan:
“Jika pada penutup uraian saya ini ditanyakan kepada saya, apakah kemauan saya dan apakah yang sepenuhnya terkandung dalam hati saya, maka jawab saya ialah: PEMUDA INDONESIA BANGUNLAH MENUJU PERSATUAN, BANGKITLAH MENUJU INDONESIA MERDEKA!”[14]

Sumarto, Ketua Jong Java


Mengenai peranan wanita, tiga pembicara menyampaikan pandangannya, yaitu Nona Stientje Ticoalu-Adam asal Minahasa yang menyampaikan mengenai kedudukan wanita di Minahasa, Djaksodipuro menyampaikan mengenai hukum adat di Solo yang dikenal dengan sebutan “rapak-lumuh,” dan Bahder Djohan.

Dalam uraiannya sebagai penutup, Bahder Djohan mengatakan:[15]
“Tujuan terutama dari uraian saya  ialah: mencapai hak yang sama untuk wanita dan pria terhadap Tuhan dan dunia, sebab itulah inti pemandangan saya;hanya dengan cara demikianlah bagian terbesar daripada rasa cintanya yang menggetarkan seluruh pribadinya dapat dipersembahkan kepada Tanah Air dan Bangsa, yang membuatnya mereka bahagia.
Meluasnya lapangan bergerak yang memungkinkan pertumbuhan kekaryaan wanita, akan membuka harapan-harapan bagi hari depan Nusa dan Bangsa. Ya, tak ada seorang yang akan menaruh keberatan, jika saya melangkah lebih jauh dan berkata: DI TANGAN WANITALAH TERLETAK HARI DEPAN INDONESIA!”

Bahder Djohan


Dalam Kerapatan tersebut masalah bahasa juga dibahas. Disadari bahwa diperlukan satu bahasa persatuan sebagai pengganti bahasa Belanda. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan digunakannya istilah BAHASA INDONESIA untuk bahasa Melayu.  Sedangkan Mohammad Yamin (1903 – 1962) mengajukan usul agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Bahasa Melayu telah menjadi Lingua franca, bahasa pengantar dalam perdagangan di kawasan Asia Tenggara sejak ratusan tahun.
Sehubungan dengan hal ini, Tabrani menulis a.l.:[16]
“Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun menurut keyakinannya bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa tersebut....
... sekitar pidato saudara Yamin ini mungkin ada faedahnya disajikan sesuatu yang hanya diketahui oleh tiga pemuda ketika itu yaitu saudara Yamin sendiri, saudara Djamaludin dan saya. Soalnya, saya tidak setuju, jika berdasarkan uraian saudara Yamin itu (walaupun saya menyetujui seluruh pidatonya) Kongres lantas akan mengambil keputusan, bahasa Melayulah yang akan dijadikan bahasa persatuan. Jalan pikiran saya ialah tujuan kita besama yaitu SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA.
Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut BAHASA INDONESIA, dan bukan Bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia itu.
Saudara-saudara Yamin dan Djamaludin memahami dan menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya, sehingga pengambilan putusan tentang nama bahasa persatuan ditunda dan hendaknya dikemukakan dalam Kongres Pemuda kedua.”

Demikian penjelasan M. Tabrani, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I.

Djamaluddin Adinegoro

Dari keterangan M. Tabrani dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” terlihat jelas, bahwa embrio gagasan SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya kesepakatan, maka gagasan tersebut dicetuskan dan disetujui dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda II.

Dalam Kongres Pemuda I belum dicapai kesepakatan untuk melakukan fusi (peleburan) berbagai organisasi yang berdasarkan etnis, karena masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Salahsatu terobosan besar adalah disepakati pentingnya suatu bahasa persatuan. Pemuda I menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, yang kemudian diterima sebagai salahsatu butir resolusi dalam Kongres Pemuda II dengan nama Bahasa Indonesia. Usul menggunakan nama BAHASA INDONESIA adalah dari Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi II, M. Yamin akhirnya menyetujui menggunakan nama BAHASA INDONESIA, bukan bahasa melayu YANG MENJADI BAHASA PERSATUAN BANGSA INDONESIA.

Muhammad Yamin

Dalam Kerapatan pertama juga dibahas mengenai peran agama untuk mencapai persatuan. Paul Pinontoan, pemuda asal Minahasa, menyerukan saling pengertian (tolerantie) di antara pemeluk bermacam-macam agama dan kepercayaan di seluruh Indonesia demi untuk memperkuat gerakan persatuan nasional.[17]

Keberhasilan dari kerapatan pemuda-pemudi pertama ini adalah didirikannya dua organisasi pemuda yang tidak lagi bersifat kedaerahan atau keagamaan. Setelah usai kerapatan, pada bulan September 1926 Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan kemudian pada 20 Februari 1927 didirikan Jong Indonesia. Dalam kongres pertama Jong Indonesia di Bandung tanggal  28 Desember 1927, nama Jong Indonesia resmi diganti menjadi Pemuda Indonesia.[18] Kedua organisasi ini ikut menjadi motor penyelenggaraan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II).

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II. Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu BAHASA PERSATUAN BANGSA INDONESIA, ada di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).

Setelah usai Kongres Pemuda I, pembicaraan-pembicaraan yang sangat intensif dilakukan oleh para pemimpin organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda I. Pada 15 Agustus 1926 diselenggarakan pertemuan di Oost Java Bioscoop. Hadir wakil-wakil dari Jong Bataksche Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Vereeniging voor Ambonesische Studerenden, Sekar Rukun dan Panitia Kerapatan Besar  Pemuda-Pemudi Indonesia I.

Pada akhir tahun 1926, dua tokoh yang berperan dalam Kerapatan I, yaitu M. Tabrani dan Djamaludin melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman. Tabrani kembali ke Nederlands-Indië tahun 1931, sehingga tidak dapat menghadiri Kerapatan II. Namun usulnya untuk menggunakan nama BAHASA INDONESIA diterima dalam Kerapatan II.

Pertemuan besar dilanjutkan tanggal 20 Februari 1927. Selain organisasi-organisasi tesebut di atas, dalam pertemuan ini hadir wakil-wakil dari PPPI, yang didirikan bulan September 1926.

Pertemuan berikutnya diselenggarakan pada 23 April 1927, di mana sudah hadir wakil dari Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan ini disepakati untuk menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.

Diskusi dan pembahasan tidak hanya dilakukan dalam pertemuan-pertemuan besar tersebut di atas. Karena banyak di antara mereka tinggal bersama di satu asrama atau tempat kos, pembicaraan dan diskusi di kelompok-kelompok kecil dapat lebih intensif dan fokus.

Demikianlah perjalanan panjang gerakan para pemuda-pemudi pribumi dari berbagai wilayah jajahan Belanda untuk mewujudkan persatuan dan menyusun gagasan untuk mendirikan Negara Bangsa Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia dan “menciptakan” bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ketiga hal tersebut menjadi putusan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.


Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II
(Kongres Pemuda ke II)

Pada awal bulan Oktober 1928 dibentuk Panitia Penyelenggara Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.
Susunan Panitia Kongres Pemuda II:
Ketua                  : Sugondo Joyopuspito (PPPI)
Wakil Ketua        : Joko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris           : Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara          : Amir Syarifuddin Harahap (Jong Bataksche Bond)
Pembantu I         : Johan M. Cai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II        : Kacasungkana (Pemuda Indonesia)
Pembantu III       : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV      : Josef Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V       : Rohyani (Pemoeda Kaoem Betawi)

Sebagaimana telah ditulis di atas, bahwa Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II merupakan rapat umum yang terbuka untuk semua yang berminat hadir. Hal ini mengakibatkan membludaknya masyarakat yang menghadiri ketiga sidang yang diselenggarakan selama dua hari, jumlah yang hadir mencapai sekitar 700 orang. Namun yang resmi tercatat sebagai peserta sidang sekitar  80 orang yang mewakili 9 organisasi pemuda pribumi.

Dalam tiga persidangan selama dua hari, disampaikan ceamah-ceramah, baik dari kalangan pemuda maupun dari kalangan senior. sebagaimana telah ditulis di atas, Mohammad Tabrani, tokoh yang berperan dalam kerapatan pertama tidak hadir, karena melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman kemudian di Belanda. namun gagasannya mengenai “menciptakan” bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, dibahas dalam kerapatan II. Yamin, yang dalam Kerapatan I mengusulkan agar menyatakan bahasa Melayu ditetapkan menjadi Bahasa Indonesia, akhirnya menyetujui, bahwa namanya bukan bahasa Melayu, melainkan Bahasa Indonesia.  

Pada dasarnya, Kerapatan Pemuda II hanya menyempurnakan hasil dari Kerapatan Pemuda I dan beberapa pertemuan besar setelah Kerapatan Pemuda I serta belasan kali diskusi yang intensif di antara para pemuda dari organisasi-organisasi, baik yang terlibat dalam Kerapatan Pemuda I, maupun organisasi-organisasi yang dibentuk setelah Kerapatan Pemuda I.

Gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II. Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928.

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA[19]

Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemuda Sumatera), Jong Bataksche Bond, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini; Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:

Pertama     : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe
  bertoempah darah jang satu, tanah indonesia.
Kedoea      : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe
  berbangsa jang satoe, bangsa indonesia
Ketiga        : Kami poetera dan poeteri indonesia
  mendjoendjoeng bahasa persatuan,
  bahasa  indonesia

Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannya:

KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN

dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.

Demikian usulan resolusi tersebut yang dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito dan diterima oleh sidang, menjadi Putusan Kongres. Putusan Kongres ini belakangan dinamakan sebagai SUMPAH PEMUDA.[20]

Mencermati butir satu sampai butir empat dasar persatuannya terlihat, bahwa ini adalah definisi-definisi mengenai bangsa yang dikenal permulaan abad 20, yaitu kemauan untuk bersatu, kesamaan sejarah/senasib, ikatan bahasa dan kebudayaan..

KEMAUAN untuk membentuk Bangsa Indonesia ini menggunakan definisi mengenai bangsa dari Ernest Renan, yaitu “Le desir d’etre ensamble.” (Kemauan untuk menjadi satu/persatuan).

SEJARAH. Latar belakang untuk membentuk Bangsa Indonesia ini merujuk pada definisi mengenai bangsa dari Otto Bauer:, yaitu “Eine Nation ist  eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan karakter/ciri yang sama yang timbul dari kesamaan nasib/sejarah)

BAHASA. Para peserta Kongres sepakat untuk tidak menetapkan bahasa Jawa yang digunakan oleh mayoritas penduduk di wilayah jajahan Belanda, melainkan menyatakan bahasa Melayu sebagai  bahasa yang digunakan sebagai bahasa persatuan.

Sehubungan dengan pilihan menetapkan Bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan bangsa, Prof. Mahsun menulis:[21]

“Kiranya tidak keliru apabila para pendiri bangsa mengedepankan bahasa sebagai fondasi dalam membangun nasionalisme negara bangsa Indonesia. 
Pilihan bahasa yang dijunjung tinggi jatuh pada bahasa yang waktu itu adalah bahasa lokal, yaitu bahasa Melayu bukan bahasa Jawa. Padahal, dari segi jumlah penutur dan kekayaan kosakatanya jauh lebih besar penutur dan jumlah kosakata bahasa Jawa dibandingkan bahasa Melayu saat itu. Berdasarkan hasil survei tahun 1930 penutur bahasa Jawa mencapai 42 juta, sedangkan penutur bahasa Melayu tidak lebih dari satu juta orang (Ibrahim, 2013). Alasan yang dikemukakan yaitu bahasa Melayu memiliki sebaran geografis yang sangat luas, mencakupi seluruh kawasan yang menjadi cikal bakal wilayah NKRI serta kemampuan daya ungkapnya meskipun rendah namun lebih mencerminkan semangat kemerdekaan yang menjadi tuntutan para pejuang kemerdekaan. Dikatakan demikian karena dalam kosakata bahasa Melayu tidak dikenal sistem gradasi sosial seperti bahasa Jawa yang sangat kaya dengan sistem undak usuk/tingkat tutur, yang sangat kental dengan semangat feodalisme. Suatu semangat yang justru ingin dihilangkan melalui cita-cita pendirian negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya elemen bahasa dalam membangun nasionalisme keindonesiaan merupakan pilihan yang sangat strategis. 

Kesadaran itu tidak hanya terrefleksi sebagai salah satu butir dari tiga butir kandungan Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda 87 tahun silam (28 Oktober 1928), tetapi juga dieksplisitkan di dalam UUD 1945, yaitu penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Bahkan dipilihnya nama bahasa nasional NKRI dengan nama bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu -karena  memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang “dilahirkan” dari bahasa Melayu- menggambarkan bahwa para pendiri bangsa memang telah bertekad untuk membangun nasionalisme keindonesiaan bukan di atas fondasi suku bangsa (suku bangsa Melayu) tetapi di atas fondasi kebahasaan yang disebut bahasa Indonesia.”

Demikian penjelasan Prof. Mahsun.

HUKUM ADAT. Walaupun ada hukum Belanda, namun semua etnis/suku bangsa di wilayah jajahan Belanda memiliki Hukum Adat/kearifan lokal.

PENDIDIKAN dan KEPANDUAN, mempunyai peran penting bukan hanya untuk mencerdaskan rakyat, namun juga dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan mengajarkan disiplin kepada generasi muda. Hampir semua organisasi, bahkan organisasi berdasarkan keagamaan memiliki bidang kepanduan.

Kemungkinan Poster ini dibuat kemudian, dan bukan oleh Panitia Kongres, 
karena ada beberapa kesalahan:1. Nama Jong Ambon tidak dicantumkan,
 2. Penulisan Jomng Batak seharunsnya Joing Bataksche Bond.
3. Tempat penyelenggaraan di Batavia. Nama Jakarta baru digunakan mulai
tanggal 8 Agustus 1942, yaitu di masa pendudukan tentara Jepang.



PENUTUP


Dari penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para pelaku sejarah, terutama kedua Ketua Panitia Kerapatan Pemuda dan tokoh-tokoh yang menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia yang pertama dan kedua terlihat, bahwa selama ini cukup banyak kekeliruan dalam karangan-karangan mengenai kedua pertemuan besar organisasi-organisasi pemuda pribumi.

Kesalahan-kesalahan karangan mengenai Kerapatan pertama disebabkan a.l. karena para pengarang kelihatannya belum membaca hasil laporan Kerapatan pertama. Hal ini terjadi karena laporan hasil kerapatan pertama dalam bahasa Belanda, baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tahun 1981. Misalnya dalam buku karangan Drs. Mardanus Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya No. 106 dalam melahirkan Sumpah Pemuda yang diterbitkan tahun 1973, mengenai Kongres Pemuda Indonesia Pertama terdapat beberapa kesalahan. M. Tabrani, Ketua Panitia Kongres Pemuda I menulis, bahwa dalam daftar bacaan buku tersebut, tidak dijumpai Laporan Hasil Kongres Pemuda Indonesia I. [1]

Apabila membaca karangan-karangan mengenai Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, dan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II terlihat, bahwa karangan Mardanus Safwan ini menjadi rujukan/referensi. Kalau rujukan rujukannya salah, maka jelas karangan-karangan berikutnya yang menggunakan rujukan tersebut dipastikan salah. Demikianlah cara penyebaran informasi yang salah yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Dalam beberapa artikel yang dimuat di beberapa media ternama, ditulis nama-nama orang-orang yang “berperan” dalam “lahirnya Sumpah Pemuda,” hanya satu nama yang ikut berperan dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yaitu Muhammad Yamin. Bahkan dalam satu artikel, ditulis nama-nama yang sama-sekali tidak ada perannya dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II, apalagi dalam “melahirkan Sumpah Pemuda.” Beberapa nama yang ditulis hanya merupakan tamu yang samasekali tidak ikut berbicara, apalagi berperan. Dari sekitar 700 orang pengunjung, belakangan dimunculkan beberapa nama pemuda bangsa asing, yang tidak dijelaskan mewakili organisasi pemuda mana. Yang paling lucu adalah, pedagang asing yang menyewakan gedung tempat penyelenggaraan acara, juga ditulis sebagai “tokoh” yang berperan dalam “lahirnya Sumpah Pemuda.” Dia hanya pemegang HGB (Hak Guna Bangunan), yang menyewakan gedungnya menjadi tempat kos dan pertemuan para pemuda pribumi. Setelah masa berlakuknya HGB habis, gedung tersebut diambil kembali oleh Pemda DKI  dan kemudian dijadikan Museum Sumpah Pemuda.

Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang dan menulis baru, bukan sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah yang salah.

Sudah waktunya menonjolkan tokoh-tokoh yang sebenarnya sangat berperan sehingga terselenggaranya pertemuan besar pertama organisasi-organisasi pemuda pribumi dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, yang waktu itu masih berdasarkan etnis (suku bangsa) dan agama. Tokoh-tokoh yang sangat berperan sehingga terselenggaranya pertemuan besar yang sangat bersejarah tersebut di antaranya adalah Mohammad Tabrani Surjowitjitro dan Djamaluddin Adinegoro. Terbukti, bahwa Tabranilah yang pertama menggunakan nama BAHASA INDONESIA, dan mengusulkan, agar nama bahasa yang akan dijadikan bahasa persatuan dari Bangsa Indonesia yang akan dibentuk, bukan Bahasa Melayu sebagaimana diusulkan oleh Muhammad Yamin, melainkan dinamakan BAHASA INDONESIA. Tidaklah berlebihan apabila menobatkan Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menjadi BAPAK BAHASA INDONESIA.

Sudah waktunya untuk melakukan koreksi besar atas penilaian terhadap Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I), yang ternyata merupakan EMBRIO PERSATUAN PEMUDA PRIBUMI DAN GAGASAN MENDIRIKAN NEGARA BANGSA (NATION STATE) INDONESIA, MEMBENTUK BANGSA INDONESIA DAN “MENCIPTAKAN” BAHASA INDONESIA.


[1] M. Tabrani, , hal. 310, dan hal. 315 – 318..


Jakarta 17 Juli 2020


********

Catatan:
Referensi/Daftar Pustaka sehubungan dengan penulisan sejarah, dapat dibaca di buku-buku yang telah saya terbitkan:

1.   10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Millenium Publishers, Jakarta 2001. 470 halaman.

2.   SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.

3.      SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2016. 316 halaman.
(Versi ringkasnya)

4.      INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2017. 310 halaman.

***

Catatan kaki:


[1] Sugondo Joyopuspito, Beberapa Cerita Yang Kurang Tepat Dalam Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda. Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, 20 Mei 1974, halaman 209.
Sugondo Joyopuspito adalah Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II),  sekaligus Ketua Sidang.
[2] Sumpah Gajah Mada tersebut sesungguhnya bukan bertujuan untuk “mempersatukan” Nusantara, melainkan menaklukkan dan menjajah kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara. Di tahun 1950-an terjemahan kalimat Gajah Mada ditulis sebagai “mempersatukan Nusantara.” Terjemahan yang sebenarnya adalah MENGALAHKAN, bukan “mempersatukan.”
Saling menyerang untuk menguasai kerajaan  atau negara lain adalah hal yang biasa terjadi di seluruh dunia. Kerajaan yang kalah harus membayar upeti yang sangat besar kepada pemenang. Tidak jarang rakyat dari kerajaan yang kalah dijadikan budak oleh pemenang. Pasukan dari kerajaan yang kalah digunakan untuk membantu angkatan perang pemenang dalam menyerang kerajaan-kerajaan lain. Metode ini juga digunakan oleh Belanda dalam menjajah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara sejak awal abad 17.
[3] 45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta. 20 Mei 1974. Halaman 41.
[4] Sejak tahun 1999 saya telah menulis lebih dari 200 artikel mengenai sejarah dan menerbitkan 4 buku mengenai sejarah.
[5] Mengenai VOC, lihat Catatan Batara R. Hutagalung: “VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie)
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa.”
[6] Dr. Mohammad Hatta, Sekitar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, hal. 197. Hatta menulis: “Pada tanggal 3 Agustus 1921 aku berangkat ke Rotterdam untuk meneruskan pelajaranku di Nederlands Handels Hige School. Waktu itu pergerakan pemuda di Tanah Air masih bersifat kedaerahan. Nama Indonesia belum dikenal.
[7] Bagian ini dikutip dari tulisan saya ASAL-USUL NAMA INDONESIA di weblog:
[8] Sugondo Joyopuspito, ibid., hal. 211.
[9] Mohammad Tabrani Soerjowitjitro (1904 – 1984) pada waktu itu adalah seorang wartawan di harian Hindia Baroe. Dalam Editorial tanggal 10 Januari 1926 dia pertama kali menulis istilah “BAHASA INDONESIA.”
Kemudian dala Editorial tanggal 11 Februari 1926: dia menulis: “Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah. Bahasa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah.”
[10] M. Tabrani, Kongres Pemuda Indonesia Pertama,dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, ibid., hal. 309.
[11] Weltevreden adalah bagian dari kota Batavia (Jakarta).
[12] M. Tabrani, ibid., hal. 308.
[13] Laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 1981, Diterbitkan oleh CV TAKARI.
Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, hal. 116.
[14] M. Tabrani, ibid., hal. 311.
[15] M. Tabrani, ibid., hal. 312
[16] M. Tabrani, ibid., hal. 313-314.
[17] M. Tabrani, ibid., hal. 314.
[18] 45 Tahun Sumpah Pemuda. Ibid., hal. 44.
[19] Dikutip sesuai aslinya dengan ejaan lama.
[20] Menurut sejarawan JJ Rizal, yang pertama kali menyebut hasil kerapatan pemuda I adalah sutan Takdir ali Syahbana yahun 1931.
Dalam peringatan Kerapatan Pemuda ke-25 pada tahun 1953, istilah Hari Sumpah Pemuda secara resmi digunakan menggantikan istilah Hari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya atas prakarsa Muhammad Yamin. Agar terkesan sakral, istilah Sumpah Pemuda dipilih agar secara historis sejajar dengan Sumpah Palapa yang pernah diucapkan oleh Patih Gajah Mada. Soekarno pun turut menyetujui perubahan istilah tersebut. Lihat:
[21] Mahsun, Prof. Indonesia Dalam Perspektif Politik Kebahasaan. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta 2015. Hal. 50 – 51.