Sunday, May 19, 2013

PRESS RELEASE KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB)


KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA

Sekretariat: Jl. Wahyu No. 2 B. GandariaSelatan. Jakarta 12420
Tel.: 021 – 7008 4908. Email: batara44rh@yahoo.com

_____________________________________________


PRESS RELEASE
20 Mei 2013


Sehubungan dengan adanya dualisme antara Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta dan Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (YKUKB) yang berkedudukan di Belanda, kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:

1.    Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) didirikan pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31, Jakarta, oleh para aktifis Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI). (Lihat:
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) didirikan pada 9 November 1999, bertempat di Gedung Joang ’45, oleh para aktifis Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS), yang pada 10 November 1999 menuntut pemerintah Inggris untuk meminta maaf dan bertanggungjawab atas pemboman Surabaya pada November 1945, yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 jiwa, sebagian terbesar adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak. (Kronologi kegiatan KPHARS menuntut pemerintah Inggris, lihat:
Pernyataan Duta Besar Inggris Richard Gozney pada 27.10.2000, lihat:
(Mengenai 10 November 1945 – Latar Belakang, Akibat dan Pengaruhnya,lihat:

2.    Tujuan utama membuka kembali lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang telah melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia -setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya- adalah, pertama, membela martabat bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, karena agresi milter yang telah dilancarkan oleh Negara-negara tersebut (Belanda, Inggris dan Australia) telah

melanggar hak asasi suatu Negara, yaitu melanggar kedaulatan Negara yang bersangkutan.

Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Belanda telah kehilangan hak sejarahnya, setelah menyerahkan jajahannya kepada Jepang. (Lihat: 9 Maret 2012, 70 Tahun Berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara

Ketika Belanda yang ikut diboncengan tentara Inggris dan tentara Australia bulan September 1945 ke Indonesia, mereka datang ke satu Negara yang telah merdeka dan berdaulat menurut hukum internasional. (Lihat tulisan: Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945:
Versi bahasa inggris

Kedua, agresi militer yang dilancarkan antara tahun 1945 – 1950, selain telah menimbuilkan kehancuran fisik serta merusak sendi-sendi kehidupan dan perekonomian, juga mengakibatkan tewasnya ratusan ribu rakyat/penduduk sipil yang tidak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak, sebagian tewas dibantai dengan cara-cara yang sangat tidak berperikemanusiaan.
Namun dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut, jalan pertama yang ditempuh bukanlah jalur hukum,  melainkan sebagai langkah awal, ditawarkan suatu rekonsiliasi yang bermartabat, yaitu antara dua Negara yang setara dan saling mengakui serta menghormati. Yang telah melakukan kesalahan harus mengakui kesalahannya, meminta maaf dan bertanggungjawab atas hal-hal yang diakibatkan oleh kesalahan tersebut. Apabila langkah ini tidak disepakati, maka ditempuh jalur hukum internasional.
Langkah yang ditempuh sehubungan dengan Belanda adalah, didirikan khusus organisasi yang dinamakan Komite Utang Kehormatan Belanda. Titik beratnya adalah pada Utang Kehormatan (bahasa Belanda: ereschuld), yang pertama kali dicetuskan oleh Theodor van Deventer tahun 1899, ketika dia mengkritisi praktek-praktek kolonialisme Belanda yang tidak manusiawi.
(Mengenai KUKB lihat:
Versi bahasa Inggris
Secara rigkas, tujuan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) adalah membela martabat bangsa dan memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban agresi militer Belanda di seluruh Indonesia.

3.    Hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI adalah 27.12.1949,yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pada 22 April 2005, KNPMBI mengirim petisi terbuka (online) kepada pemerintah Belanda. (Lihat Petition-online KNPMBI 22.04.2005 dalam bahasa Inggris dan Indonesia):
Pada 20 Mei 2005, KUKB melanjutkan tuntutan yang dimajukan oleh KNPMBI. Melalui Kedutaan Belanda di Jakarta Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menyampaikan petisi, menuntut Pemerintah Belanda untuk:
I.              MENGAKUI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17.8.1945,
II.            MEMINTA MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, PELANGGARAN HAM BERAT DAN KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN

Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka sebagai konsekuensi logisnya, Indonesia dapat menuntut PAMPASAN PERANG kepada Belanda, sebagaimana Jepang dituntut oleh Negara-negara yang menjadi korban agresi militer Jepang antara 1942 – 1945. Jepang telah membayar pampasan perang kepada Indonesia, walaupun antara tahun 1942 – 1945 selama masa pendudukan Jepang, Indonesia belum merupakan suatu Negara ataupun entitas politik. Jepang tidak membayarkan pampasan perang tersebut kepada pemerintah Belanda atau pemerintah Nederlands-Indie (India Belanda), yang tahun 1945 masih mengklaim, bahwa Indonesia adalah Provinsi Seberang Laut Kerajaan Belanda.
Pada 15 Agustus 2005 dalam acara peringatan pembebasan para interniran di Den Haag, Belanda, Menlu Belanda Ben Bot mengatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945 sebagai harikemerdekaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005, dia mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Ini berarti, sampai tanggal 16.8.2005, NKRI untuk pemerintah Belanda tidak eksis samasekali, dan pada 16.8.2005 diterima keberadaannya namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, NKRI untuk pemerintah Belanda adalah NEGARA (ANAK) HARAM!
(Teks lengkap pernyataan Menlu Ben Bot di Den Haag tanggal 15.8.2005 dalam bahasa Belanda lihat:
Teks lengkap pernyataan Ben Bot di Jakarta tanggal 16.8.2005, dalam bahasa Inggris lihat:
(Wawancara Ben Bot di Metrotv, lihat:

Pernyataan ini tentu sangat janggal, karena dalam persetujuan Linggajati November 1946, pemerintah Belanda telah mengakui de facto Republik Indonesia, walaupun waktu itu, wilayah RI yang diakui hanya Sumatera, Jawa dan Madura.

4.    Pada 15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung, didampingi Ketua Dewan Penasihat KUKB Mulyo Wibisono, SH., MSc, dan beberapa pendukung KUKB di Belanda, ke parlemen Belanda (Tweede Kamer), di mana delegasi KUKB diterima oleh Bert Koenders, Jurubicara Fraksi Partij van de Arbeid (PvdA), yang didampingi oleh rekan separtainya, Angelien Eijsink, yang membidangi masalah veteran Belanda.
KUKB menyampaikan, bahwa ada beberapa masalah yang belum diselesaikan antara Republik Indonesia dengan Belanda, yaitu pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, dan akibat dari agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, di mana banyak terjadi pembantaian terhadap penduduk sipil. Sebagai contoh, pembantaian terhadap penduduk sipil di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana tentara Belanda, tanpa proses hukum apapun membantai 431 penduduk desa.
Disampaikan juga, bahwa KUKB telah mengirim petisi kepada Perdana Menteri Belanda pada 20 Mei 2005, namun belum juga dijawab.
Bert Koenders berjanji akan membawa masalah ini ke sidang pleno parlemen Belanda.
Angelien Eijsink memberi keterangan, bahwa yang masih menentang pengakuan kemerdekaan RI 17.8.1945 adalah para veteran Belanda. Mereka berdua sebagai generasi muda tidak mempunyai beban untuk mengakui proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.
(Diberitakan oleh harian Rakyat Merdeka 19 Desember 2005. Lihat:

5.    Dalam kunjungan ke Belanda tersebut, pada 18 Desember 2005 bertempat di Wisma Indonesia, Den Haag, pimpinan KUKB juga meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua serta Charles Surjandi sebagai Sekretaris. Seorang warga Belgia, Rene Thomassen yang menikah dengan seorang wanita Indonesia, Ruth Thomassen membuatkan website untuk KUKB Cabang Belanda. Charles Surjandi yang telah lama tinggal di Eropa (jerman dan Belanda) dan sangat berpengalaman berorganisasi menyarankan, untuk memudahkan beroperasi di Belanda, sebaiknya organisasinya berbentuk Yayasan (stichting).
Kepada KUKB Cabang Belanda ditugaskan untuk mencari pengacara, yang akan mewakili KUKB dan seluruh keluarga korban di Rawagede mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda di pengadilan di Belanda.

(Mengenai perjalanan pimpinan KUKB selama di Belanda dan pengangkatan Jeffry Pondaag menjadi Ketua serta Charles Surjandi menjadi sekretaris KUKB Cabang Belanda, dapat dilihat di:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html)

6.    Pada bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda, dan mempertanyakan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab oleh pemerintah Belanda.
Pada 28 Juni 2006, Menlu Ben Bot di parlemen Belanda menyampaikan jawaban terhadap petisi Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) (Jawaban Menlu Ben

7.    Bulan September 2006 di Jakarta, bertempat di kediaman alm. Bapak Abdul Irsan, anggota Dewan Penasihat KUKB, diserahkan dana sebesar US $ 1.000,-, yang merupakan sumbangan Bapak Irsan, kepada Ketua KUKB Cabang Belanda, Jeffry Pondaag, untuk biaya mendirikan Yayasan dan untuk membayar pengacara. Bapak Abdul Irsan adalah mantan Duta Besar RI untuk Belanda. Sejak bulan April 2006 menjadi anggota Dewan Penasihat KUKB.
Para pengurus dan simpatisan KUKB Cabang Belanda di Belanda ikut menyumbang untuk mendirikan Yayasan.
Kemudian Ketua KUKB Cabang Belanda Jeffry Pondaag bersama Sekretaris KUKB Cabang Belanda, Charles Surjandi, menemui pengacara di Belanda, Liesbeth Zegfeld. Charles Surjandi juga menyumbang dana untuk membayar pengacara.

8.    Karena menyimpang dari tujuan utama  KUKB, dan tidak mempertanggungjawabkan keuangan yang diberikan oleh KUKB Pusat, tahun 2007 Jeffry Pondaag dipecat dari keanggotaan KUKB. .

9.    Bulan Februari 2007, Bert Koenders yang ditemui pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, diangkat menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan dalam kabinet koalisi CDA dan PvdA.

10. Dalam kunjungan ke Jakarta, pada 14 Januari 2009 Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen mengundang para janda dan korban selamat dari Rawagede untuk bertemu di Kedutaan Belanda di Jakarta.
Sementara itu, pimpinan KUKB, Batara R. Hutagalung bersama Direktur Jenderal Bidang Politik Kementerian Luar Negeri Belanda, Pieter de Gooijer, membahas surat terbuka dari KUKB yang ditujukan kepada Menlu Belanda (Lihat
Setelah pertemuan dengan Pieter de Gooijer sekitar satu jam, Batara R. Hutagalung diundang untuk bertemu dengan Menlu Maxime Verhagen. Dalam kesempatan tersebut, Batara R. Hutagalung menitipkan foto-foto ketika bertemu Bert Koenders di parlemen Belanda pada 15.12.2005, serta menyampaikan pesan, untuk mengingatkan Bert Koenders akan janjinya untuk membantu menyelesaikan masalah Rawagede. (Pertemuan KUKB dengan Menteri LN Belanda dan Dirjen Politik Kementerian LN Belanda, lihat

Bulan berikutnya, Februari 2009, Bert Koenders selaku Menteri Kerjasama Pembangunan menyatakan akan membantu pembangunan desa Rawagede. Pemerintah Belanda kemudian mengucurkan dana sebesar 850.000 Euro, atau setara sekitar lebih dari 10 milyar rupiah. Namun pemerintah Belanda tidak mau mengaitkan dana tersebut dengan gugatan KUKB dan keluarga korban di Rawagede. 2,5 milyar rupiah telah dikucurkan untuk koperasi di Rawagede, dan pada bulan Desember 2012 diletakkan batu pertama untuk pembangunan pasar di Rawagede.
Keluarga korban pembantaian di Rawagede tetap mengajukan gugatan ke pengadilan sipil di Den Haag, yang diwakili oleh pengacara Liesbeth Zegfeld.
Setelah melalui sejumlah persidangan, pada 14 September 2011 pengadilan sipil di Belanda menjatuhkan vonis (putusan), yang memenangkan sebagian gugatan para janda dan satu korban selamat. Pengadilan di Belanda menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus memberikan kompensasi kepada 9 penggugat. (Teks lengkap vonis pengadilan di Belanda, dalam bahasa Belanda, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/rawagede-uitspraak-van-de-rechtbank.html
Sebagian terjemahannya

11. Namun dalam putusan tersebut, sebagai dasar pertimbangan (lihat butir dua) dinyatakan, bahwa wilayah tersebut (Rawagede) sampai tahun 1949 adalah wilayah Belanda dengan nama Nederlands Indie. Oleh karena itu,ketika Duta Besar Belanda dalam acara peringatan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2011 menyampaikan permintaan maaf, maka dia tidak meminta maaf kepada rakyat Indonesia,sebagaiamana tuntutan KUKB, melainkan kepada rakyat Belanda. (Lihat: Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf
12. Kedutaan Besar Belanda kemudian menyerahkan kompensasi kepada 8 janda dan satu korban selamat (Sa’ih meninggal pada 7 Mei 2011, sebelum menerima uang tersebut), masing-masing sebesar 20.000 Euro, atau setara dengan sekitar 240 juta rupiah. Ternyata kompensasi yang hanya diberikan kepada 9 orang menjadi masalah besar di Rawagede, dan menimbulkan ketidakadilan sosial. Keluarga korban yang lain mempertanyakan mengapa kompensasi hanya diberikan kepada 9 orang, padahal jumlah korban adalah 431 orang. Akhrinya para penerima kompensasi harus menyerahkan 50% untuk dibagikan kepada keluarga korban yang lain.

13. Untuk menghindari terulangnya keributan yang diakibatkan pemberian kompensasi haya kepada segelintir orang dan akan menimbulkan ketidak-adilan sosial yang baru, KUKB telah menyarankan kepada wakil Yayasan KUKB yang ada di Jakarta, untuk tidak lagi mengajukan gugatan hanya untuk beberapa belas orang saja. Terutama di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, di mana korbannya belasan (mungkin puluhan) ribu orang, sedangkan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh pengadilan Belanda mungkin hanya beberapa puluh orang saja.
Konsep KUKB bukanlah menuntut kompensasi untuk perorangan, karena setelah lebih dari 60 tahun sangat sulit untuk dapat dengan tepat membuktikan, siapa-siapa saja atau ahli warisnya yang berhak menerima kompensasi. KUKB menuntut pemerintah Belanda untuk mendirikan sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan, di tempat-tempat tentara Belanda telah melakukan pembantaian massal.
Dengan demikian, fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh seluruh keturunan korban di seluruh Indonesia, dan bukan hanya untuk seratus atau dua ratus orang saja. Selain itu,korban agresi militer Belanda juga bukan hanya di Jawa Barat dan Sulawesi saja, melainkan di seluruh Indonesia.

14. KUKB, bekerjasama dengan berbagai lembaga dan organisasi, a.l. Legiun Veteran Sulawesi Selatan, Lembaga Advokasi Korban di Sulawesi barat, Yayasan gerbong Maut Bondowoso, dll, kini sedang mengumpulkan data dari seluruh seluruh Indonesia, dan akan menyampaikan ke International Criminal Court - ICC (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
(Lihat catatan Perjalanan ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Juni 2013:
Pembantaian di Galung Lombok. Kesaksian:
(Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 14.3.2013

Memang Statuta Roma tidak berlaku surut, tetapi untuk kasus-kasus sebelum berdirinya ICC, dapat dibentuk pengadilan Ad hoc (tribunal), sebagaimana telah dilakukan untuk mengadili penjahat-penjahat perang dari Serbia dan Rwanda.
Tahun 1993, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Roterdam, Belanda, Dr. Manuel Kneepkens telah mengusulkan dibentuknya tribunal internasional untuk mengadili penjahat-penjahat perang Belanda atas kekejaman yang mereka lakukan di Republik Indonesia, terutama kejahatan yang dilakukan oleh Westerling di Sulawesi Selatan. (Lihat:

15. Pengadilan di Belanda menyatakan bahwa Rawagede adalah wilayah Belanda sampai akhir tahun 1949, maka pengadilan Belanda menetapkan, bahwa eksekusi ini dilakukan oleh tentara Belanda dalam wilayah kekuasaan Nederlands Indie (India Belanda) yang waktu itu masih merupakan bagian Kerajaan Belanda. Juga disebutkan, bahwa para korban di Rawagede memiliki status warga Nederlands Indie, sehingga mereka termasuk yang dilindungi hukum Belanda. Oleh karena itu Pengadilan Belanda memutuskan untuk menerapkan hukum Belanda, di mana Negara (Belanda) wajib melindungi warganya.
Setelah mengetahui dasar putusan pengadilan Belanda, bahwa Rawagede, dan seluruh wilayah Republik Indonesia sampai 27.12.1949 adalah wilayah Belanda, sehingga termasuk yuridiksi Belanda, maka apabila melanjutkan gugatan untuk para janda dari daerah lain di Indonesia ke pengadilan Belanda dengan menggunakan hukum Belanda, berarti mengakui sikap pengadilan dan pemerintah Belanda, bahwa Indonesia sampai 27.12.1945 adalah wilayah Belanda. Hal ini sangat bertentangan dengan tuntutan utama KUKB kepada pemerintah Belanda, yaitu: Pengakuan de jure kemerdekaan RI 17.8.1945!
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta, tetap pada konsep semula, yaitu membela martabat bangsa dan memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban agresi militer Belanda di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jawa Barat atau Sulawesi saja, karena apabila hanya memperjuangkan kompensasi untuk seratus atau duaratus orang saja, padahal korban di seluruh Indonesia berjumlah ratusan ribu jiwa, akan menciptakan ketidak-adilan sosial bagi keluarga korban lain.
Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menolak upaya melanjutkan gugatan hanya untuk beberapa puluh orang saja, dan menyarankan kepada Yayasan KUKB untuk tidak melanjutkan langkah ini, yang akan menjadi kontra-produktif untuk perjuangan membela martabat bangsa serta memperjuangkan keadilan untuk SELURUH KORBAN AGRESI MILITER BELANDA.



Komite Utang Kehormatan Belanda

TTd.
  
Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua KUKB






Tokoh-Tokoh dan Anggota Parlemen Belanda Mendukung Pengakuan Kemerdekaan RI 17.8.1945


NRC Handelsblad, 22 December 2009
Indonesië werd onafhankelijk in 1945. Erken dit

Gepubliceerd: 22 december 2009 14:39 | Gewijzigd: 22 december 2009 14:54

Nog steeds is Nederland officieel van oordeel dat Indonesië pas in 1949 onafhankelijk werd. Maar Indonesiërs denken daar zelf anders over. Kom hen toch eens tegemoet.
Door Adriaan van Dis, Nelleke Noordervliet, Geert Mak e.a.

Over de gebeurtenissen in Indonesië in de jaren 1945-1949 en de gevolgen daarvan is in de afgelopen zestig jaar in Nederland een officiële verhaallijn gevolgd, gebaseerd op de beslissing van de toenmalige regering om de Republiek Indonesië niet te erkennen en te trachten de soevereiniteit van Nederland met militaire middelen te handhaven. Behalve die officiële verhaallijn is er een ander verhaal: dat van de tegenstanders van het regeringsbeleid, het verhaal van de bevolkingsgroepen die door de gebeurtenissen tussen wal en schip vielen, het verhaal van discriminatie en uitsluiting, het verhaal van gruwelijkheden aan beide kanten, het verhaal van het zoeken naar de waarheid.

Het is tijd om die twee lijnen bijeen te brengen en een plaats te geven in de gezamenlijke geschiedenis, een plaats die rekening houdt met het recht van een volk zelf te beslissen over het moment de eigen onafhankelijkheid af te kondigen. Daarom hebben wij een verzoek aan de Nederlandse regering opgesteld, dat als volgt luidt:

Regering!
Erken 17 augustus 1945 als de datum van de Indonesische onafhankelijkheid!

Op 17 augustus 1945 proclameerden Soekarno en Hatta de onafhankelijkheid van Indonesië.

De soevereiniteitsoverdracht door Nederland vond vier jaar later plaats op 27 december 1949 in het Paleis op de Dam en in het paleis van de gouverneur-generaal aan het Koningsplein te Jakarta. In de tussenliggende jaren voerde Nederland een steeds uitzichtlozer politiek en militair offensief.

Op 17 augustus 2005 sprak minister Bot, toenmalig minister van Buitenlandse Zaken, aanwezig bij de viering in Jakarta van 60 jaar onafhankelijkheid, een spijtbetuiging uit, die door de Indonesische regering is opgevat als een impliciete erkenning door Nederland van deze datum als de datum van onafhankelijkheid. De Nederlandse regering echter heeft tot op de dag van vandaag deze slechts politiek en moreel geaccepteerd.

Het ontbreken van volledige politieke erkenning door Nederland is een historische nalatigheid die wij onrechtvaardig achten jegens het Indonesische volk. Het feit dat de Indonesische regering zelf met begrip voor Nederlandse gevoeligheden niet aandringt op politieke erkenning, neemt die onrechtvaardigheid niet weg.

Veel Nederlanders, vooral uit de generaties die nog nauwe banden hebben met Indonesië, willen deze al zestig jaar bestaande nalatigheid wegnemen. Als het niet gedurende hun leven plaatsvindt, zal het in de vergetelheid raken en door jongere generaties als afgedaan worden beschouwd.

De gevoeligheid van de veteranen voor deze kwestie is zeer begrijpelijk; zij hebben zware offers gebracht in opdracht van de toenmalige Nederlandse regering.

Eind dit jaar is het zestig jaar geleden dat Nederland de soevereiniteit aan de Verenigde Staten van Indonesië overdroeg. Dat is een uitstekend moment om 27 december 1949 voortaan te zien als de datum waarop de soevereiniteit haar juridisch beslag kreeg, daarbij volledig erkennend dat de onafhankelijkheid al vanaf 17 augustus 1945 een politiek feit is. Wij beschouwen daarmee de proclamatie van Soekarno en Hatta als een rechtmatige politieke daad; het Indonesische volk heeft immers zelf bepaald wanneer het onafhankelijk is geworden.

Met expliciete politieke erkenning nu kan ook het gevoel weggenomen worden dat het Nederland van nu zich nog steeds identificeert met de opstelling van de Nederlandse regering toen.

De betrekkingen tussen Indonesië en Nederland zijn goed en ontwikkelen zich voorspoedig. De president van Indonesië zal ons land komend voorjaar bezoeken. Bij die gelegenheid zou de expliciete politieke erkenning door Nederland van 17 augustus 1945 als onafhankelijkheidsdatum een passend welkom zijn. Dat kan natuurlijk ook 65 jaar na dato, op 17 augustus 2010.

/Peter de Reuver, Nico Schulte Nordholt, Nelleke Noordervliet, Adriaan van Dis, Joty ter Kulve, Claudine Helleman, Norbert van den Berg, Jan Hendrik Peters. Comité van aanbeveling: Hans Blom, Theo van Boven, Peter Broekveldt, Frances Gouda, Rudy Kousbroek, Susan Legêne, Ad van Liempt, Geert Mak, Ulli d’Oliveira, Gert Oostindie, Pamela Pattynama, Henk Schulte Nordholt, Erry Stoové, Elsbeth Locher-Scholten. /

With Ad van Liempt.Hilversum, December 2005

With Prof. Henk Schulte Nordholt, Leiden, October 2007

*******


Open brief aan minister Bot:

Erken datum Indonesische onafhankelijkheid

05-08-2005 • Minister Bot woont op 17 augustus in Jakarta de zestigste viering bij van de onafhankelijkheidsdag van Indonesië. SP-Kamerlid Krista van Velzen vraagt de minister in een open brief verder te gaan en eindelijk deze datum te erkennen als de datum van de Indonesische onafhankelijkheid. Ook moet Bot voor de politionele acties namens Nederland excuses aanbieden aan de Indonesische bevolking.

Geachte minister,
Enigszins verrast maar zeker verheugd vernam ik dat u besloten heeft aanwezig te zijn bij de vieringen van de zestigjarige Indonesische onafhankelijkheid. Verrast, omdat de verschillende kabinetten tot nu toe altijd erg verkrampt omgingen met het al dan niet erkennen van de datum van 17 augustus 1945 als de dag waarop Indonesië onafhankelijk werd.

Dat is niet onbegrijpelijk: erkenning van deze datum als onafhankelijkheidsdag betekent dat de Nederlandse regering erkent dat er een verkeerde keuze is gemaakt door van 1947 tot 1949 met grootschalige militaire operaties te pogen het land als kolonie te behouden. Ook kan erkenning van de onafhankelijkheidsdag slecht vallen bij Indië-veteranen, die in naam van het vaderland naar Indonesië werden gezonden. Velen deden dat niet eens uit vrije keus. Zij gingen als dienstplichtige, maar wel in de veronderstelling een rechtvaardige militaire actie uit te voeren. Ik ben dan ook verheugd dat u heeft besloten het traditionele gekrakeel achter u te laten en op 17 augustus in Jakarta aanwezig te zijn.

Tot mijn verbazing vernam ik echter dat uw aanwezigheid niet betekent dat Nederland 17 augustus nu officieel als onafhankelijkheidsdag erkent. U gaat dus wel naar Indonesië om te vieren dat het zestig jaar onafhankelijk is van Nederland, maar u wilt dit niet officieel erkennen! Ik denk dat deze dubbelhartige houding nergens voor nodig is. U zult het met mij eens zijn dat de Indonesische bevolking het volste recht had de onafhankelijkheid uit te roepen. De politionele acties van 1947-1949 zijn naar mijn mening een historische misstap geweest, die ten koste ging van vele duizenden mensenlevens aan Nederlandse en Indonesische zijde. Daarnaast ligt er een nieuw feit, namelijk dat woordvoerders van de verschillende verenigingen van Indië-gangers aangeven dat uw aanwezigheid bij de vieringen absoluut niet zo gevoelig ligt als in het verleden, al was het maar omdat hun hoge leeftijd zorgt voor meer berusting. Al met al denk ik dat de tijd rijp is om in het reine te komen met fouten uit het Nederlandse koloniale verleden.

Ik wil bij deze een beroep op u doen er voor te zorgen dat uw aanwezigheid bij de onafhankelijkheidsviering een ware kentering in de Nederlandse houding wordt ten opzichte van het verleden met Indonesië. Erken 17 augustus officieel als de enige en echte onafhankelijkheidsdag en biedt namens de Nederlandse regering uw excuses aan de Indonesische bevolking aan voor het leed dat zij heeft ondervonden door de politionele acties. Tegelijkertijd zou u een bijeenkomst moeten organiseren met Indië-veteranen om hen duidelijk te maken dat het aanbieden van excuses aan de Indonesische bevolking niet zozeer een veroordeling inhoud van het handelen van deze Indië-veteranen, maar gezien moet worden als het afkeuren van een besluit van een regering om tegen beter weten in mensenlevens te offeren voor het in stand houden van een koloniale ambitie. Op deze manier kan dit boek, met een niet al te fraaie episode uit de Nederlandse geschiedenis, eindelijk gesloten worden.
Hoogachtend,

Krista van Velzen, lid van de Tweede Kamer voor de SP

(Deze open brief is op 4 augustus 2005 gepubliceerd in de Haagsche Courant)
http://www.sp.nl/nieuwsberichten/2888/050805-open_brief_aan_minister_bot_erken_datum_indonesische_onafhankelijkheid.html


With Krista van Velzen, Tweede kamer, Den Haag, April 2008


                                                   ********

Oppositie wil erkenning 17 augustus


UTRECHT - 05/08/05 - (Novum) - Nederland moet 17 augustus erkennen als officiële onafhankelijkheidsdatum van Indonesië. Dat vinden de fracties van de PvdA en de SP in de Tweede Kamer. SP-Kamerlid Krista van Velzen roept minister van Buitenlandse Zaken Ben Bot (CDA) vrijdag in een open brief op de datum officieel te erkennen. Haar PvdA-collega Bert Koenders deed datzelfde vorig jaar februari.

Bot woont dit jaar de vieringen rond de Indonesische onafhankelijkheidsverklaring bij. Hij is de eerste Nederlandse bewindsman die dat doet. Van Velzen en Koenders vinden dit de ideale gelegenheid om 17 augustus officieel te erkennen.

Van Velzen zegt verbaasd te zijn dat Bot de onafhankelijkheidsviering bijwoont, terwijl de Nederlandse regering de datum niet erkent. Bot moet volgens haar excuses aanbieden voor de slachtoffers die tijdens de politionele acties aan Indonesische zijde zijn gevallen. "De tijd is rijp om in het reine te komen met fouten uit het Nederlandse koloniale verleden", zegt Van Velzen in haar brief.

Koenders vindt dat Bot bij het bezoek aan Indonesië 'de ruimte moet nemen om een heldere verklaring namens Nederland af te leggen'. Daartoe moet Bot de Indonesische media opzoeken, vindt de sociaal-democraat. Vorig jaar zei de minister, zelf geboren in de voormalige kolonie, 'sympathiek' te staan tegenover de oproep van Koenders.

De Indonesische nationalist Soekarno riep op 17 augustus 1945 de Indonesische onafhankelijkheid uit. Vier maanden later, op 27 december 1945, droeg de Nederlandse regering officieel de macht over. Nederland heeft 17 augustus nooit als officiële onafhankelijkheidsdatum erkend. Het is een gevoelig onderwerp bij oud-militairen. Zij vinden dat Nederland destijds de plicht had militair op te treden tegen de Indonesische vrijheidsstrijders en de orde te handhaven middels politionele acties.

De stichting Platform van Veteranen zegt in een reactie dat de aanwezigheid van Bot bij de vieringen in Indonesië niet meer zo gevoelig ligt als in het verleden. Zestig jaar na dato verzetten de oud-strijders zich niet meer tegen een eventuele erkenning van 17 augustus als datum, zegt Albert Blok, vice-voorzitter van de organisatie, op eigen titel.
Tiscali/Novum

http://www.tiscali.nl/content/article/nbinn/305105.htm

With Bert Koenders and Angelien Eijsink (booth PvdA), Tweede Kamer, Den Haag, December 15, 2005


                                                        ********