Sunday, January 29, 2023

PERBUDAKAN DI MASA KOLONIALISME BELANDA

 

PERBUDAKAN DI MASA KOLONIALISME BELANDA

 

Catatan Batara R. Hutagalung

Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

 

Perbudakan dimulai oleh VOC


Di masa VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie), berdasarkan Bataviasche Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan Undang-Undang Perbudakan.


Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.


Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu, terutama di zaman Romawi.Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak.


Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak memilih dan dipilih.


Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal.Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.


Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak.Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.


Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.


Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. 


Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo.Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”


Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum).Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.

 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQIqys4P7IzdqQVnKeC-hFeVrEDV1jDEEl37VNLni_bQYkwW5DbfaDAtPNER4wWT6NRhOxGvnI5fhisjvxznjNscILjBGXEb8u0lk4hqLVBP9RlBchFFd5c9NeiaO8vVxHZAmlEg/s320/Tabel+1.+Perbandingan+jumlah+penduduk+dan+budak.jpg

Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.

Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.

Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.

Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.

Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCKMePAHhmWSUzDJnCNHUZuE1I8M4tQo7HG41jPnwEP2_wBG6P9WgyhOcLQUNPemwhXlJqFhc4ORg-8iP3GqlQ-Uw2hmUXRLj1DrdLu9Pw8CNsfOR69nkr489lzfNLsM2Da-lG7A/s320/Tabel+2.+Jumlah+budak+VOC+dan+Belanda.jpg

Perdagangan budak tidak hanya dilakukan oleh VOC saja, melainkan juga langsung oleh pemerintah Belanda. Perdagangan budak yang lebih besar lagi dilakukan oleh Belanda ke Benua Amerika, di mana para budak dibawa dari Afrika, 

Di jajahan Belanda di Asia Tenggara pada waktu itu, jumlah budak yang dimiliki seseorang adalah ukuran kekayaanya. Budak laki-laki dipekerjakan sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak perempuan dijadikan gundik oleh para majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan laki-laki. Bahkan ada pemilik budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur, dan mengantongi hasilnya. Penjualan/pelelangan budak-budak dilakukan oleh orang-orang Cina. 

 

Di bawah ini beberapa tulisan mengenai perbudakan oleh belanda di wilayah jajahan belanda. 

 

1.    TOKO MERAH SLAVES ON SALES:

 http://jakarta-corners.blogspot.co.id/2010/08/toko-merah-slaves-on-sales.html

 

2.     INDONESIA: SLAVE TRADE A SCAR ON BATAVIA'S HISTORY.
By Ida Indawati Khouw

http://www.friends-partners.org/partners/stop-traffic/1999/1472.html

 

3.    Two centuries of slavery on Indonesian soil

http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/05/two-centuries-slavery-indonesian-soil.html

 

Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama bangsa Belanda dengan bangsa Cina dalam memperjual-belikan pribumi di negeri sendiri.

 

Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1862.Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877. Praktek-praktek perbudakan masih berlangsung sampai awal abad 20. Di Sumbawa perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1910 dan di pulau Samosir, Sumatra Utara, perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1914.


Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.
Belanda tidak termasuk negara-negara Eropa yang meminta maaf atas perbudakan di masa kolonialisme Belanda, baik di Asia Selatan dan Asia tenggara maupun di Amerika Tengah dan di Amerika Selatan.

 


Genosida (Pembantaian Etnis)  oleh Belanda di Kepulauan Banda


Tidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang sangat banyak memberi kenguntung bagi mereka, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada tahun 1621 (lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint).


Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda.Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya.286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal.Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala.Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.


Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas.


Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:


“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba.Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat.Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam.Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat.Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat.Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda:

 

“Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.


Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu.Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.


Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini
..”.


Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.


Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang masih hidup beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia, untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan.Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.


Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara.

 

Catatan:

Tulisan ini merupakan cuplikan dari tulisan:

VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie)
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa

 

Selengkapnya mengenai VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie)
 silakan klik:

https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/10/voc-verenigde-oost-indische-compagnie.html

 

********