Friday, May 20, 2016

PEMBODOHAN SEJARAH NASIONAL BERKELANJUTAN HARUS SEGERA DIHENTIKAN





Dalam Rangka
Membangun Bangsa Dan Jatidiri Bangsa
(Nation and Character Building)




Pembodohan Sejarah Nasional Berkelanjutan

Harus Segera Dihentikan





Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite Nasional 
Pembela Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa (PKNMB)


MENINGGALKAN SEJARAH INDONESIA,
MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH


Pengantar

Alinea ke empat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia mengamanatkan:
"… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”

Dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia saat ini, sangat dirasakan memudarnya nasionalisme, idealisme dan semangat gotong-royong, karena semakin berkembangnya pragmatisme dan liberalisme. Namun juga banyak yang sejak awal berdirinya Republik Indonesia, tidak pernah memiliki rasa nasionalisme Indonesia, karena mereka masih merasa sebagai warga Nederlands Indie hingga tanggal 27.12.1950, kemudian setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi warga Republik Indonesia Serikat (RIS), dan setelah RIS dibubarkan pada 16.8.1950, “terpaksa” menjadi rakyat NKRI.
(Lihat tulisan: “MEREKA YANG TIDAK PERNAH PUNYA NASIONALISME”

Hanya tinggal segelintir anak bangsa yang masih bersungguh-sungguh berjuang untuk mempertahankan Kedaulatan NKRI, membela Martabat Bangsa, dan masih berkeinginan Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building). Sebagian besar hanya sebatas retorika, slogan pada waktu kampanye untuk memperoleh kedudukan.

Tak banyak lagi yang menyadari, bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah suatu NEGARA BANGSA (Nation State), yang merupakan kesatuan dan persatuan dari kerajaan-kerajaan serta kesultanan-kesultanan yang berbasis etnisitas di Nusantara, yang hingga 9 Maret 1942 adalah jajahan Belanda yang bernama Nederlands Indie (India Belanda),  kemudian sampai 15 Agustus 1945 di bawah pendudukan tentara Jepang.

Sebagai bangsa baru yang timbul dari masyarakat yang mempunyai kesamaan nasib sebagai jajahan (definisi Otto Bauer), masih sangat perlu Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa. Namun hingga sekarang, belum tampak konsep yang jelas.

Dalam banyak hal, para pemimpin dan para penyelenggara Negara ini belum satu persepsi, termasuk yang sehubungan dengan PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945 dan era perang mempertahankan kemerdekaan 1945 – 1949 terhadap agresi militer belanda dan sekutunya, sampai pada “pelimpahan kewenangan” (Inggris: transfer of sovereignty – Belanda: soevereniteitesoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949..

Hal ini a.l. juga disebabkan, karena penulisan sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia sejak 17 Agustus 1945, banyak yang –sengaja atau tidak- salah, dikaburkan, dihilangkan atau bahkan masih menggunakan versi mantan penjajah di Nusantara.

Apabila juga dipahami, bahwa sejak berakhinya Perang Dingin antara blok komunis dan blok anti komunis awal tahun 90-an, Indonesia berada di era Perang Asimetris (saya berpendapat, bahwa dunia internasional kini telah memasuki era Pola Perang Generasi V – 5th Generation of Warfare), maka pengaburan penulisan sejarah nasional suuatu Negara juga merupakan bagian dari perang asimetris. Hal ini diformulasikan dengan tepat sebagai berikut:

“Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui beberapa tahapan.

Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain.

Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”

Kemudian untuk membalikkan peran pelanggar HAM dan pengawal HAM, maka:  Keempat, semua Negara bekas penjajah, kecuali Amerika Serikat, telah menghapus hukuman mati, dan kini menyatakan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran HAM. Kemudian Negara-negara bekas penjajah, dibantu antek-anteknya di Negara-negara bekas jajahan, memoles citra mantan penjajah sebagai Negara-negara yang “mengajarkan HAM”, bahkan sebagai pengawal/pengawas HAM.

Kelima, secara TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASSIF, bekas Negara-negara jajahan yang adalah korban dari genosida (pembantaian etnis) kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran HAM, walaupun “master mind” dari berbagai konflik kekerasan di Negara-negara bekas jajahan adalah para mantan penjajah.


Sebagai contoh, berbagai tndakan dan peristiwa yang terjadi di Negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia, oleh Negara-negara mantan penjajah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, a.l hukuman mati terhadap para gembong narkoba. Padahal di zaman penjajahan belanda, perdagangan opium adalah MONOPOLI pemerintah penjajah. Rumah-rumah madat yang tujuannya untuk menghancurkan mental rakyat jajahannya, mendapat izin resmi dari pemerintah penjajah.

Pada kenyatannya, penulisan sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia yang ada di buku-buku sekolah, yang dibaca oleh SELURUH siswa-siswi, sangat jauh dari penilaian “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA” sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Apa yang dapat diharapkan dari generasi yang  buta akan sejarah perjuangan heroik bangsanya, agar dapat membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa? Dalam hubungan dengan sejarah, mereka ini adalah “the lost generation!”

Di era Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), pengetahuan mengenai sejarah nasional dan internasional menjadi sangat penting, karena dapat menjadi “senjata” ampuh untuk memojokkan suatu Negara, terutama sehubungan dengan pelanggaran HAM, pembantaian massal atau kejahatan perang yang telah dilakukan oleh suatu Negara.

Pengetahuan sejarah nasional Indonesia dapat memperkuat dasar dan sekaligus sebagai “serangan balik” (counter) terhadap isu-isu yang selalu dilontarkan oleh Negara-negara tertentu untuk menjatuhkan citra Indonesia, sekaligus “memoles” citra mereka sebagai “pengawas HAM internasional.”

Catatan: Sebagaimana saya tulis dalam penerbitan buku-buku terdahulu, saya tidak meng-klaim, bahwa penelitian, analisis dan pendapat saya adalah yang paling benar. Diserahkan kepada pembaca untuk menilai dan meneliti hal-hal yang saya kemukakan.













Permasalahan:

1.  Penulisan Sejarah Nusantara dan Sejarah Indonesia Yang SALAH.

A.  Umum

Selama puluhan tahun.seluruh rakyat Indonesia di sekolah membaca buku-buku Sejarah Nusantara, yang memuat data-data yang salah, berorientasi ke barat dan bahkan banyak yang masih merupakan peninggalan penjajah atau dari sudut pandang penjajah.

Demikian juga dengan Sejarah Indonesia, yang tidak memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Namun bukan hanya karena penulisan sejarah saja yang salah, melainkan pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah juga  sangat minim dan salah.

Belanda menjajah Indonesia 3,5 abad. Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun. Demikianlah pendapat hampir seluruh rakyat Indonesia hingga kini. Yang sehubungan dengan masa penjajahan Belanda 3,5 abad, tidak pernah dijelaskan secara rinci, kapan dimulainya penjajahan Belanda di Indonesia, dan kapan berakhirnya.

Yang berpendapat bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun  tidak terbatas pada rakyat biasa, bahkan beberapa (mungkin semua) menteri sekalipun sampai sekarang masih berpendapat seperti ini, sebagaimana diucapkan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu beberapa waktu lalu, dan Menteri ESDM, Sudirman Said, ketika meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Bantul pada 4 Mei 2015. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa semua pimpinan nasional- berpendapat seperti ini.

Adalah Bonifacius Cornelis de Jonge, yang menjadi Gubernur Jenderal India-Belanda ke 63, dari tanggal 12 September 1931 sampai 16 September 1936, yang tahun 1935 mengatakan
:” Als ik met nationalisten praat, begin ik altijd met de zin: Wij Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg minstens 300 jaar blijven. Daarna kunnen we praten” (Seandainya saya berbicara dengan para nasionalis , saya selalu memulai dengan kalimat: Kami Belanda telah di sini 300 tahun dan kami bahkan akan tinggal paling sedikit 300 tahun lagi. Kemudian kita bisa bicara).

Di Belanda dikenal kata-kata bijak, yaitu: Hoogmoed komt voor de val” (Keangkuhan datang menjelang kejatuhan). Gubernur Jenderal berikutnya, ke 64, Jonkheer Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer 1936 – 9.3.1942, adalah penguasa Belanda terakhir di India Belanda. Setelah menyerahnya pemerintah India Belanda kepada Jepang pada 9 Maret 1942, dia semula dibawa ke Taiwan, kemudian ditahan di Kamp di Hsien (sekarang bernama Liaoyuan) di Mancuria, sampai dibebaskan pada 16 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kepada sekutu.

Tidak diketahui dengan pasti, kapan kalimat Bonifacius de Jonge tersebut mulai digunakan oleh para pemimpin Indonesia, sebagai slogan yang konon untuk membangkitkan emosi, kemarahan dan semangat rakyat Indonesia. Juga tidak diketahui, siapa yang memulai dengan angka 350 tahun. Bagaimana perhitungannya.

Sampai awal abad 20 Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh Asia Tenggara/Nusantara. Kesultanan Aceh baru jatuh tahun 1904, Kerajaan Badungdi Bali berakhir dengan Puputan Badung pada 20 September 1906, Kerajaan Batak jatuh 17 Juni 1907 dengan tewasnya Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya. Terakhir adalah Kerajaan Klungkung di Bali yang berakhir dengan Puputan Klungkung pada 28 April 1908

Seandainya hal ini benar adanya, yaitu Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, bukankah ini sangat memalukan, bahwa Negara sekecil Belanda dapat menjajah wilayah yang belasan kali lipat dari negaranya, dengan penduduk yang lebih dari 15 kali lipat jumlahnya dari penduduk Belanda? Hal ini sering menjadi olok-olokan di kalangan orang Indonesia sendiri, yang tidak memiliki rasa nasionalisme, atau bahkan mungkin pro Belanda. Dengan demikian, kalimat itu menjadi Bumerang untuk Indonesia.

Jenderal Ryamizard Ryacudu ketika menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dalam sambutannya pada peringatan Palagan Ambarawa yang diperingati sebagai Hari Juang Kartika TNI AD bulan Desember tahun 2003, salah menyampaikan peristiwa tersebut. Dikatakan a.l., bahwa:” Ketika itu, Presiden Soekarno ditawan, pemerintahan lumpuh, dan Belanda dengan militernya mengancam akan kembali menguasai Indonesia. TNI di bawah pimpinan Jenderal Soedirman menunjukkan eksistensinya secara heroik. Dengan persenjataan sederhana, TNI bersama rakyat mampu memenangi pertempuran untuk menjaga integritas bangsa dan Negara.”

Catatan: Presiden Sukarno ditawan oleh Belanda pada 19 Desember 1948, yaitu ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua, sedangkan peristiwa Palagan Ambarawa terjadi pada bulan Desember 1945, dan pada waktu itu belum TNI, melainkan namanya adalah Tentara Keamanan Rakyat - TKR (kemudian pada 7 Januari 1946 namanya diganti menjadi Tentara Rakyat Indonesia dan pada 3 Juli 1947 menjadi Tentara Nasional Indonesia – TNI, sampai sekarang). Yang dilawan pada bulan Desember 1945 adalah tentara Inggris, bukan tentara Belanda.

Sebagai contoh yang paling fatal karena sangat banyak memuat kesalahan –menurut pendapat saya- adalah buku sejarah KARANGAN I Wayan Badrika Kurikulum 1994 (Edisi kedua): “Sejarah Nasional Indonesia dan Umum” untuk SMU Kelas 2.

Selain menggunakan terminologi dari sudut pandang penjajah, seperti pelaut Inggris “MENEMUKAN” Australia (halaman 22), para penjarah, perampok emas dan pembantai penduduk asli di benua Amerika yang datang dari Spanyol dan Portugal disebut sebagai PARA PENAKLUK DUNIA BARU. Kata “PENAKLUK” merupakan terjemahan dari bahasa Spanyol “Conquistador” (halaman 19). “PENEMUAN” Lautan Teduh, Selat Magelhaens dan Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope) merupakan “KARYA YANG MENGAGUMKAN” (halaman 23).

Padahal Jalan Sutra (Silk Road) perdagangan dari Asia Timur sampai ke Mesir telah berusia 5000 tahun. Di Lembah Bamyn Afghanistan terdapat dua patung Buddha terbesar di dunia, yang sudah berusia 1.500 tahun. Pangeran Siddharta Gautama yang kemudian dikenal sebagai Buddha berasal dari lahir di Lumbini, sekarang termasuk Nepal. Sangat disayangkan, kedua patung Buddha tersebut tahun 2001 dihancurkan oleh Taliban.

Demikian juga jalur laut perdagangan antara Tiongkok sampai ke Mesir, yang tentunya harus melalui Nusantara/Selat Malakka. Para pedagang rempah-rempah telah berdagang sampai ke Maluku, beberapa ratus tahun sebelum datangnya orang-orang Eropa. Jadi APA YANG MENGAGUMKAN DARI ORANG-ORANG YANG RATUSAN TAHUN BELAKANGAN DATANG?

Mengenai alasan Pangeran Diponegroro bangkit melawan Belanda, ditulis “SEBAB-SEBAB KHUSUS”, yaitu “pembuatan jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo” (halaman 67). Kalimat ini masih tertera dalam buku I Wayan Badrika berdasarkan Standar Isi 2006 (halaman 166).

“Sebab khusus” yang sama, yaitu “PENYEBAB KHUSUS Perang Diponegoro terjadi tahun 1825, yaitu ketika Belanda hendak membuka jalan baru dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegal Rejo, tempat makam leluhur Pangeran Diponegoro berada”, tetap digunakan dalam buku KARANGAN Samsul Farid, Kurikulum 2013, Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI, halaman 182.

Dalam orasi ilmiah (yang saya hadiri) yang diberikan pada waktu inaugurasi sebagai Guru Besar Tamu di Universitas Indonesia tanggal 1 Desember 2014, Prof. Dr. Peter Carey yang melakukan penelitian selama puluhan tahun mengenai Pangeran Diponegoro, mengatakan a.l.:
”… I am still struck at how effectively the Dutch brainwashed the pribumi population in the aftermath of the Java War to regard Diponegoro as a leader who was only concerned with his own personal ambitions – his supposed frustration at not being appointed sultan, and his outrage at the building of a road across his estate being touted by a succession of Dutch historians as the principle reasons for his July 1825 rebellion.
Nowhere is there any mention in these histories of the deeper socio-economic problems which precipitated the five-year conflict, problems which would repeat themselves in the Southern Netherlands during the brief period of the United Kingdom of the Netherlands (1815- 30).
This would end with the Belgian Revolt of August 1830, a revolt backed – in contrast to the Javanese anti-colonial struggle of 1825-30 - by the major European powers…”
(Prof. Dr. Peter Carey-Inaugural Lecture as Adjunct Professor, 1 Dec 2014 Page 7 )

{Terjemahannya yang dilakukan sendiri oleh Prof. Peter Carey:
Saya masih heran betapa efektif Belanda mencuci otak penduduk
pribumi pada masa setelah Perang Jawa dengan mencap Diponegoro sebagai seorang pemimpin yang hanya mementingkan ambisi pribadinya - frustrasi karena tidak diangkat sebagai sultan, dan memberontak hanya sebab sepele, yaitu marah bahwa tanah miliknya dan pemakaman keluarga dilintasi jalan baru pada bulan Juli 1825.
Masalah sosial-ekonomi di pedalaman Jawa tengah-selatan yang memicu pemberontakan massa pada awal Perang Diponegoro sama sekali tidak dibahas oleh sejarawan Belanda. Dan yang aneh disini – bukan hanya warga pedalaman Jawa tengah-selatan yang menderita akibat kepicikan Belanda tapi juga penduduk  di Belanda Selatan selama periode yang sama - Persatuan Kerajaan Belanda (1815-1830).
Hal ini akan berakhir dengan Revolusi Belgia Agustus 1830, pemberontakan yang didukung – sesuatu yang tidak terjadi dengan perjuangan anti-kolonial Jawa pada Perang Dponegoro (1825-1830) - oleh negara-negara adidaya Eropa.}

Seandainyapun peristiwa pembuatan jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro memang benar adanya, apakah hal ini perlu dicantumkan dalam buku sejarah selama puluhan tahun sebagai “sebab khusus”? Bukankah versi Belanda ini memberi kesan, bahwa Pangeran Diponegoro seorang egois, yang marah dan bereaksi setelah milik pribadinya diambil oleh Belanda?

HARUS DIJELASKAN DAN DISEBUTKAN SUMBER ATAU REFERENSI MENGENAI “SEBAB KHUSUS” INI!

Kesalahan lain dari buku I Wayan Badrika ada di halaman 287, mengenai pertempuran di Surabaya tanggal 28 – 29 Oktober 1945, di mana ditulis a.l.:
“… Bahkan pemimpin pasukan Sekutu (Inggris) Brigadir Jenderal Mallaby berhasil ditawan oleh para pemuda.”
Tidak ada satu sumberpun yang menulis, bahwa Brigjen Mallaby pernah ditawan oleh para pemuda!

Masih KARANGAN I Wayan Badrika Kurikulum 1994. Penulisan yang salah di halaman 242:
“… Pada tanggal 8 Desember 1941 pecahlah perang di Lautan Pasifik, Jepang terlibat di dalamnya …”.
Kalau yang dimaksud adalah penyerangan Jepang ke Pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, ini terjadi tanggal 7 Desember 1941.
“… Bahaya kuning…”, adalah dari sudut pandang penjajah dari Eropa/Amerika.
“ …Hindia Belanda termasuk di dalam front ABCD (Amerika Serikat, Britania, Cina, Dutch/Belanda dengan Jenderal Wavel (Inggris) sebagaiPanglima tertinggi, berkedudukan di Bandung …”

“Front ABCD” tidak ada. Yang ada adalah ABDACOM, yaitu American, British, Dutch Australian Command yang dibentuk bulan Januari 1942. Panglima tertingginya adalah Jenderal Sir Archibald Wavell.
“…begitu kuatnya serangan musuh sehingga Hindia Belanda yang merupakan benteng kebanggaan Inggris di Asia Tenggara jatuh ke tangan Jepang…”
Sejak kapan India Belanda menjadi “Benteng Kebanggaan Inggris di Asia Tenggara?

Masih di halaman 242:
“… Dalam tempo sebulan Jepang telah menguasaI Asia Tenggara seperti Indo China, Muangthai, Birma, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Jatuhnya Singapura pada tanggal 15 Februari 1941 ke tangan Jepang yaitu dengan ditenggelamkannya kapal Induk Inggris yang bernama Prince of Wales dan Refulse sangat menggoncangkan pertahanan sekutu di Asia…
…Namun sisa-sisa pasukan sekutu di bawah pimpinan Karel Doorman (Belanda) sempat mengadakan perlawanan di laut Jawa…”

Catatan kesalahan:
1.    Nama kapal perang RePulse, bukan ReFulse.
2.    Prince of Wales dan Repulse bukan kapal induk. Prince of Wales adalah BATTLESHIP (Kapal Perang). Repulse adalah BATTLECRUISER Penjelajah Perang).
3.    Keduanya tenggelam dalam perang laut tanggal 10 Desember 1941. Tanggal 15 Februari 1941 belum ada perang di Asia-Pasifik.
4.    Yang diserang Jepang bukan INDONESIA, melainkan India Belanda. INDONESIA baru ada setelah 17 Agustus 1945.
5.    Rear Admiral Karel Doorman tidak memimpin “sisa-sisa pasukan sekutu.” Karel Doorman adalah Panglima Armada Gabungan ABDACOM, dalam perang di laut Jawa tanggal 27 Februari 1942. Dia tewas dan tenggelam bersama kapalnya De Ruyter.
6.    Pulau Jawa dikuasai total oleh Jepang tanggal 8 Maret 1942, dan tanggal 9 Maret 1942 pemerintah India Belanda resmi menyerah kepada Jepang.

Sangat luar biasa, bahwa di satu halaman saja, halaman 242, terdapat sekian banyak kesalahan/kengawuran. Apabila Kurikulum 1994 saja sudah demikian ngawurnya, bagaimana dengan penerbitan sebelumnya? Menjadi tandatanya besar, mengapa selama puluhan tahun, tidak pernah dilakukan penelitian mengenai isi dari buku-buku sejarah untuk sekolah. Tidak ada samasekali daftar pustaka/referensi, sehingga tidak diketahui darimana sumber penulisan tersebut.

Buku KARANGAN Samsul Farid Kurikulum 2013 ini juga memberikan penilaian secara emosional dari sudut pandang Belanda. Di halaman 95 ditulis mengenai keinginan VOC membuat Jayakarta menjadi pusat kekuasaan: “… Baru pada pemerintahan Jan Pieterszoon Coen, MIMPI ini terwujud. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC di bawah komando langsung darinya menggempur Jayakarta. Kemenanganpun berpihak kepada VOC …” Dari sudut pandang penduduk Jayakarta, seharusnya ditulis: “… MIMPI BURUK DIMULAI”, juga tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai  AWAL PENJAJAHAN DI BUMI NUSANTARA!

Yang paling fatal kesalahannya adalah mengenai persyaratan mendirikan suatu Negara, sebagaimana tertulis di buku sejarah KARANGAN Samsul Farid di halaman 214, di mana tertera:”Proklamasi Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tentunya belumlah cukup untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah Negara, karena SYARAT sebuah Negara adalah bila mempunyai wilayah, rakyat, pemerintah YANG BERDAULAT, PENGAKUAN INTERNASIONAL dan HUKUM DASAR atau UNDANG-UNDANG DASAR (UUD..) ”

Hal ini sangat salah, karena walaupun merujuk kepada Konvensi Montevideo 26 Desember 1933, PENGAKUAN INTERNASIONAL TIDAK DIPERLUKAN, demikian juga tak ada syarat untuk segera memiliki UNDANG-UNDANG DASAR.

Tanpa pengakuan dari Negara manapun pernyataan kemerdekaan suatu Negara sah, sejauh Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda tahun 1581 ketika menyatakan kemerdekaan dari penjajahan Spanyol; Belgia menyatakan kemerdekaan pada 4 Oktober 1830 dan memisahkan diri dari Belanda, Amerika Serikat menyatakan kemerdekaan pada 4 Juli 1776 dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris.

Republik Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kemudian Vietnam pada 2 September 1945. Indonesia dan Vietnam tidak berontak kepada siapapun, karena setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, tidak ada otoritas di wilayah bekas pendudukan Jepang.

Dari beberapa contoh di atas terlihat, bahwa selama puluhan tahun seluruh rakyat Indonesia menjadi “produk” atau bahkan “korban” dari buku-buku sejarah yang salah dan bahkan menyesatkan karena SALAH ORIENTASI, SALAH PENULISAN DAN MEMAKAI VERSI BELANDA/PENJAJAH..

Hal ini yang sejak lama terjadi di Indonesia. Matapelajaran sejarah dibuat menjadi sangat tidak penting, menghilangkan bagian-bagian yang heroik yang dilakukan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, dan yang ditonjolkan adalah versi belanda, yang sebenarnya memalukan bangsa Indonesia.

Bahkan berbagai peristiwa heroik yang terjadi di masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 – 1945, maupun di masa perang MEMPERTAHANKAN kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda dan sekutunya antara tahun 1945 – 1950, yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, hanya sedikit yang tercantum di buku-buku sejarah di sekolah, dan tidak ditulis secara rinci.

Di masa pendudukan Jepang juga terjadi sangat banyak kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat lainnya, seperti pekerja paksa (Romusha) wanita yang dipaksa menjadi penghibur/pemuas nafsu sex tentara Jepang (Jugun Yanfu), pembantaian ribuan intelektual pribumi yang dilaksanakan di Mandor, Kalimantan Barat, kejahatan Unit 731 tentara Jepang, dll. Tak terhitung korban jiwa selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang.

Agresi militer Belanda –dibantu tentara sekutunya- di Republik Indonesia yang MERDEKA DAN BERDAULAT tidak hanya menghancurkan infra struktur dan perekonomian Negara Indonesia yang baru berdiri, melainkan juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak. Laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969, De Excessennota  menyebutkan, bahwa korban tewas di pihak Indonesia sekitar 150.000 orang.

Namun apabila melihat jumlah korban di suatu daerah yang tertera dalam laporan resmi, jauh lebih kecil dari angka yang sebenarnya. Sebagai contoh, pembantaian di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) dekat Karawang, Jawa Barat. Di laporan pemerintah Belanda tertera, jumlah korban sipil “hanya” 20 orang. Faktanya adalah, jumlah penduduk sipil yang tewas dibantai oleh tentara Belanda, tanpa proses hukum apapun, berjumlah 431 orang.

Pembantaian di desa Rawagede dilakukan oleh tentara belanda pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal Renville, yang difasilitasi oleh PBB. Sebelumnya, pada 17 Agustus 1947, Republik Indonesia dan Belanda telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata.

Mengenai pembantaian oleh tentara belanda di Rawagede, lihat 3 link berikut ini:
“Dari Rawagede Ke Parlemen Belanda”

“RAWAGEDE, PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB”

“The Craft of the Historian: Revolution, Reaction & Reform from a Javanese Perspective, 1785-1855”


Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara belanda, tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda, seperti misalnya pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer ke II yang dilancarkan pada 19 Desember 1948.
Pada 5 Januari 1949 tentara Belanda membantai sekitar 2.500 penduduk Rengat, Riau, termasuk Bupati Tulus, ayah dari pujangga Chairil Anwar. Pada bulan Januari – Februari 1949 di Kranggan dan sekitarnya, tentara belanda membunuh sekitar 1.500 pemuda secara acak. Semuanya penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum.

Dengan difasilitasi lagi oleh PBB, Republik Indonesia dan Belanda menandatangani kesepakatan gencatan sejata, yang mulai berlaku tanggal 10 Agustus 1949 jam 24.00. Namun di kota Solo, di pagi buta tanggal 11 Agustus 1949, tentara belanda membantai sekitar 20 penduduk sipil dengan kelewang, di satu rumah seorang  dokter yang dijadikan sebagai klinik darurat.

Yang luar biasa di sini adalah, 9 hari sebelum melancarkan agresi militer ke II, pada 10 Desember 1948 Belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (United Nations Universal Declaration of Human Rights).

Baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya korban agresi militer Belanda dan sekutunya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Mengenai agresi militer Inggris di Surabaya, lihat 4 link di bawah ini:

“Mengapa Inggris Membom Surabaya?”

“10 NOVEMBER 1945 - LATAR BELAKANG, AKIBAT DAN PENGARUHNYA”

“Menuntut Pemerintah Inggris Atas Pemboman Surabaya November 1945”

“Pernyataan Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney”


Apabila mengacu pada jumlah korban yang sangat diperkecil jumlahnya, diperkirakan, korban tewas di pihak Indonesia mencapai satu juta jiwa. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil –non combatant.

Semua peristiwa kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, Belanda dan sekutunya tidak tercantum dalam buku-buku sejarah, sehingga generasi muda Indonesia tidak mengetahui kekejaman, bahkan kebiadaban mereka dan membantai penduduk sipil. 

Akibatnya, segelintir orang Indonesia, sebagian tidak jelas kewarganegaraannya, sejak puluhan tahun terlibat konspirasi internasional untuk memojokkan Indonesia sebagai NEGARA PELANGGAR HAM, dan menyanjung mantan penjajah sebagai PENGAWAS DAN PELINDUNG HAM. Puncaknya adalah “Tribunal Rakyat Internasional” tanggal 10 – 13 November 2015 di Den Haag, belanda, yang dikoordinir oleh beberapa “tokoh HAM” Indonesia.

Juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan sebagai revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan, dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh tentara belanda adalah membasmi para perampok, perusuh dan ekstremis tyang dipersenjatai Jepang.

Hal-hal tersebut di atas sangat salah dan menyesatkan. Dikuatirkan, apabila pendapat-pendapat tersebut di atas tidak dibantah dan diluruskan, generasi-generasi mendatang di Indonesia juga percaya terhadap pendapat-pendapat yang salah ini, yang sebagian besar adalah versi Belanda. Juga tidak ada bantahan, apabila dunia internasional berpendapat demikian.

Melihat demikian banyaknya kesalahan yang ada di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah memberikan kesan, bahwa yang penting isinya tidak mengajarkan radikalisme dan unsur-unsur pornografi. Kalau NGAWUR boleh, dan kalau SALAH, tidak apa-apa!

Masih merujuk kepada buku KARANGAN I Wayan Badrika:

Apa gunanya para siswa/siswi mempelajari mengenai Aufklaerung/Pencerahan (halaman 12)  di Eropa, sementara yang diperlukan generasi muda bangsa Indonesia adalah PENCERAHAN UNTUK MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building).

Apa gunanya para siswa/siswi mempelajari reformasi gereja (halaman 25 – 27), sementara kita semua tidak mengetahui mengenai perkembangan ratusan agama asli Nusantara dan kearifan lokal lain yang perlahan-lahan sirna.

Apa gunanya siswa/siswi menetahui “kehebatan” para petualang dan “penemu” dari Eropa 1451 (Columbus) – 1541 (Pizzaro), halaman 15 – 21, sementara generasi sekarang tidak mengetahui apa yang terjadi dalam Perang Bubat tahun 1537? Konon Perang Bubat inilah yang menjadi penyebab, maka di Jawa Barat dan Banten tidak ada nama jalan Gajah Mada, Majapahit dan Hayam Wuruk.

Apa gunanya para siswa/siswi menghafalkan perang koalisi I – VII  dari tahun 1792 – 1815 (halaman 34 – 37), sementara mereka tidak mengetahui alasannya mengapa banyak orang Batak yang mengetahui sejarah, menolak Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional. Sebelum berperang melawan Belanda, pasukan Padri berulangkali melancarkan agresi militer besar terhadap Kerajaan Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi.

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit

Di buku sejarah KARANGAN I Wayan Badrika, Standar isi 2006 halaman  246, dan di Karangan Habib Mustopo dkk., tahun 2002 halaman 187-188, dengan kalimat yang hampir sama, ditulis mengenai kekalahan tentara Inggris di bawah komando Jenderal Cornwallis dengan 7000 tentaranya dalam pertempuran di Yorktown tahun 1783, di mana kemudian tentara Inggris menyerah kepada Jenderal Washington.

Sementara siswa-siswi kurang diberikan informasi mengenai berbagai pertempuran dan peristiwa yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, seperti a.l. Petempuran 28 – 29 Oktober 1945 di Surabaya, di mana para pemuda dari seluruh  Indonesia berhasil mengalahkan Brigade 49 tentara Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby. Inggris adalah salahsatu pemenang Perang Dunia II. Pertempuran hebat juga terjadi di Bojongkokosan, Jawa Barat, Desember 1945, Pertempuran Medan Area, Desember 1945, Palagan Ambarawa, Desember 1945, Peristiwa Bandung Lautan Api, Maret 1946, dsb.

Pada 19 Juni 2012 media di Belanda memberitakan, bahwa tiga lembaga penelitian terbesar di Belanda, yaitu The Netherlands Institute for Military History (NIMH), the Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV-KNAW) and the NIOD Institute for War, Holocaust and Genocidestudies (NIOD-KNAW), bersepakat untuk melakukan penelitian yang lengkap mengenai perang yang berlangsung di Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Mereka mengajukan Proposal kepada pemerintah Belanda dengan anggaran sebesar 2 juta Euro untuk tujuan tersebut.

Namun pada bulan Februari 2013 pemerintah Belanda memberikan jawaban, bahwa pemerintah Indonesia tidak tertarik untuk bekerjasama. Hal ini tentu sangat mengejutkan dan mengherankan, mengapa justru pemerintah Indonesia yang tidak mau. Padahal tidak diminta dana sepeserpun dari pemerintah Indonesia, dan hasilnya tentu juga sangat bermanfaat untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk generasi mendatang, sehingga mereka mengetahui apa yang telah terjadi di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.



B.  Khusus

Sangat rendahnya pengetahuan mengenai sejarah Nusantara, masa pendudukan Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda, sejarah Indonesia, juga  pengetahuan umum mengenai psikologi sosial, konflik antar etnis/suku yang telah berlangsung sangat lama/ratusan tahun, berdampak pada perumusan kebijakan/konsep, pengambilan keputusan, dll., yang justru menjadi bagian atau penyebab masalah, dan bukan solusi menyelesaikan masalah.

Penelitian mengenai semua peristiwa yang terjadi di masa lalu yang lengkap dan akurat dengan berbagai pendekatan (approach) sangat penting bukan hanya untuk kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, melainkan juga dalam menetapkan suatu kebijakan. Tanpa kecuali. Yang tak kalah pentingnya adalah interpretasi, kesimpulan dan pemahaman dari sudut pandang dan kepentingan Negara, Bangsa dan Rakyat Indonesia, bukan untukmembela  kepentingan mantan penjajah



B.1. Nama INDONESIA

Masalah yang timbul dari kekurang-pengetahuan mengenai sejarah dari memilih dan menetapkan Nama INDONESIA, sebagai nama NEGARA dan BANGSA yang akan melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Awal abad 20, para tokoh pergerakan kemerdekaan di wilayah jajahan Belanda mencari nama di luar nama Nederlands Indie (India Belanda), atau yang berasal dari bahasa/orang Belanda.

Douwes Dekker menguslkan nama Insulinde, namun ini juga dari bahasa Belanda, yang artinya juga Kepulauan India. Konon, adalah Prof. Cornelis van Vollenhofen, seorang Belanda, yang mengusulkan nama INDONESIA, yang dikatakan bahwa ini bukan dari bahasa Belanda, juga bukan dari orang Belanda, melainkan dari orang Inggris, George Samuel Windsor Earl.

Kata INDONESIA berasal dari bahasa Yunani: Indos, artinya India, dan Nesos, artinya Kepulauan. Jadi Indonesia juga berarti Kepulauan India. Papua tidak termasuk Indonesia. Papua termasuk Melanesia (mela = hitam), yaitu Kepulauan penduduk berkulit Hitam.

Sejarah mencatat, akhirnya pilihan jatuh pada nama INDONESIA. Kurang diketahui, siapa yang memutuskan untuk menetapkan nama INDONESIA sebagai nama Negara yang akan didirikan dan apa dasar pertimbangannya. Apakah ada tim/kelompok yang melakukan penelitian, dari mana dan apa arti nama tersebut. Apakah memang sudah sesuai dengan kriteria untuk  BANGSA BARU yang akan DIBANGUN, yaitu YANG TIMBUL DARI KESAMAAN NASIB.

Sebenarnya agak janggal, kalau ingin mencari nama di luar peninggalan penjajah. Sejarah mencatat, bahwa Inggris pernah menjajah Nusantara, yaitu wilayah jajahan Belanda dari tahun 1811 – 1816, yaitu “The British Inter –Regnum”. Penjajahan Inggris terjadi ketika berlangsung perang di Eropa. Inggris yang berseteru dengan Perancis dan Belanda, merebut jajahan Belanda di Asia Tenggara. Setelah diadakan perdamaian dalam Kongres Wina 18. September 1814 sampai 9. Juni 1815, maka jajahan-jajahan “dikembalikan” kepada tuan penjajah semula.

Oleh karena itu tidak jelas siapa yang memutuskan dan apa pertimbangan memilih nama INDONESIA. (Rincian mengenai hal ini, lihat: “Asal-usul Kata 'INDONESIA'. Indonesia diganti menjadi NUSANTARA!”



B.  2. Glorifikasi Majapahit dan Sumpah Imperialis Gajah Mada

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).

Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi:
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Terjemahannya:
Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".

Arti nama-nama tempat: Gurun = Pulau Gorom, Seram Bagian Timur; Seran = Seram; Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat; Haru = Kerajaan Aru Sumatera Utara (Karo); Pahang = Pahang, Malaysia; Dompo = sebuah daerah di pulau Sumbawa; Bali = Bali; Sunda = Kerajaan Sunda; Palembang = Palembang atau Sriwijaya; Tumasik = Singapura

Adalah kebiasaan dari zaman dahulu, sampai sekarang, ambisi suatu Negara untuk menguasai Negara-negara lain, dengan berbagai tujuan. Yang paling utama dari semua tujuan adalah untuk menguasai kekayaan/SDA (Sumber Daya Alam) dari kerajaan yang diserang. Jelas bukan berdasarkan idealisme untuk “Mempersatukan” seperti yang dahulu diterjemahkan, melankan untuk MENGALAHKAN. 

Ambisi Gajah mada ini yang menjadi penyebab terjadinya Perang Bubat tahun 1357. Pada waktu itu, kerajaan Sunda belum ditaklukkan oleh Majapahit. Konon, Perang Bubat inilah yang menjadi penyebab, mengapa di Jawa Barat dan Banten tidak ada nama-nama jalan Gajah Mada, Hayam wuruk dan Majapahit. Mengenai Perang Bubat masih harus dilakukan penelitian yang mendalam, terutama mencari sumber, naskah yang dapat dipercaya keabsahannya. Banyak peninggalan penulisan di Nusantara, seperti Kakawnin Nagarakretagama (Negarakertagama),  Babad Tanah Jawi, I La Galigo (Sastra Bugis), semuanya kini disimpan di Belanda. Orang-orang Belanda mulai menerbitkan terjemahan naskah-naskah tersebut setelah usai Perang Diponegoro tahun 1830. Dalam banyak penulisan, terlihat disain Belanda memanipulasi isinya, untuk kepentingan kekuasaanBelanda, dan mengadu-domba pribumi.

Selain itu, apabila ingin menonjolkan dan mengagungkan suatu kerajaan atau kesultanan, seharusnya suatu kerajaan dan kesultanan yang tak terkalahkan. Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit telah dikalahkan oleh Kesultanan Demak. Raja Majapahit terakhir, Brawijaya VI, adalah ayah dari Sultan Demak, Raden Patah. Majapahit hanya bertahan sekitar 120 tahun.

Sebagai perbandingan, apabila datanya benar karena awalnya juga berasarkan penelitian sejarawan Perancis, George CÅ“dès, Kerajaan Buddhis Sriwijaya di Sumatera bertahan lebih dari lima abad, yaitu paling sedikit dari abad 7 – 12. Tokoh/Bhiksu Buddhis di Sriwijaya yang paling terkenal di dunia agama Buddha adalah Dharmakiriti.

Dari beberapa sumber yang memang harus diteliti lebih lanjut, Kerajaan Maritim Sriwijaya ini telah menjalin hubungan dengan Pantai Timur Afrika, terutama dengan Madagaskar.




B.  3. PANCA “PILAR” Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat

MPR periode 2010 – 2014 merumuskan dan kemudian menyosialisasikan yang dinamakan “EMPAT PILAR KEBANGSAAN”, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Atas gugatan dari sebagian masyarakat, pada 3 April 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan, bahwa Frasa PILAR tidak boleh lagi digunakan. Sejak itu muncul kata KONSENSUS. Namun pada kenyataannya hingga saat ini, 2016, kata “PILAR” masih tetap digunakan.

Dalam merumuskan “PILAR” kebangsaan, banyak menggunakan ideal yang berasal dari masa Orde Baru. Yang sangat ditonjolkan adalah DAS SOLLEN dan seolah-olah melupakan DAS SEIN. Landasan filosofis dan landasan sosiologis dari Empat “Pilar” sangat lemah. Landasan historisnya, yang sehubungan dengan PILAR (atau apapun namanya) UTAMA samasekali tidak ada. Yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Logikanya adalah, tanpa “PILAR” (KONSENSUS) UTAMA/PERTAMA, maka ke-empat “Pilar” lainnya tidak ada.

Mengenai PANCA PILAR KEHIDUPAN BERNEGARA, BERBANGSA DAN BERMASYARAKAT, lihat:




B.  4. Penetapan Hari Jadi Ibukota Jakarta

Contoh lain kurangnya pengetahuan sejarah dan tidak diperhatikannya aspek sosial-psikologis, adalah dalam menetapkan Hari Jadi Jakarta.

Ketika menjabat sebagai Gubernur DKI, dalam situsnya Fauzi Bowo menulis a.l.:
“… Sudiro yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya, ingin agar warga Jakarta dapat merayakan ulang tahun kota-nya dengan meriah setiap tahun. Pada awal tahun 1954 ia menghubungi beberapa orang ahli sejarah, di antaranya: Mr. Muh. Yamin, Sudarjo Tjokrosisworo (wartawan senior) dan Mr. Dr. Sukanto. Kepada mereka diminta kesediaan untuk meneliti kapan kota Jakarta didirikan. Permintaan ini jelas mengacu kepada kota Jakarta dan bukan Batavia yang didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen.

Sukanto yang waktu itu adalah juga Kepala Arsip Negara (sekarang Arsip Nasional RI) mengambil ancang-ancang tanggal pendirian Djajakarta oleh Falatehan dalam menentukan hari ulang tahun kota Jakarta. Ia berkesimpulan hari itu adalah tanggal 22 Juni 1527. Maka dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Februari 1956 no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta

Dari ke tiga orang yang diminta, hanya Mr. Dr. Sukanto yang menyambut baik dan menuliskan hasil penelitiannya berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Buku ini terbit pada akhir tahun 1954 sebagaimana dicantumkan dalam kata pendahuluan, sedangkan kata pengantar ditulis oleh Walikota Sudiro.

 Maka dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Februari 1956 no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta…

… Perhitungan kalender yang digunakan oleh Sukanto dan Husein Djajadiningrat, yang diakui oleh ke duanya, masih bersifat perkiraan teoritis. Jadi, penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari ulang tahun Jakarta adalah sebuah ketetapan politik yang diambil dalam sidang Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja atau DPRDS Jakarta waktu itu. Seperti yang diakui oleh Sudiro sendiri, bahwa dasar hukum penetapan tanggal tersebut diperlukan untuk menghindari berbagai polemik yang akan timbul…”

Jadi jelas, bahwa penetapan tanggal 22 Juni sebagai Hari Jadi Jakarta adalah keputusan politis dan berdasarkan kekuasaan. Bukan berdasarkan penelitian sejarah yang sesungguhnya, dan mengabaikan aspek sosial psikologis.

Penetapan tanggal ini menimbulkan beberapa pertanyaan:
a.    Kalau dinyatakan sebagai Hari Jadi/Didirikannya KOTA, dalam situs resmi DKI Jakarta, ditulis bahwa:
”... Kota ini (Sunda Kalapa –pen.) kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta...”
Berarti: Yang diserang adalah suatu KOTA. Jadi hanya DIGANTI NAMAnya.
b.    Nama SUNDA KALAPA diganti menjadi JAYAKARTA, bukan JAKARTA.
c.    Nama Batavia diganti menjadi JAKARTA oleh Jepang tanggal 8 Agustus 1942.
d.    JAYAKARTA artinya KOTA KEMENANGAN. Nama ini konon digunakan untuk glorifikasi kemenangan agresor dari Demak terhadap Sunda Kalapa, kota pelabuhan dari Kerajaan Hindu Pajajaran.
Dipandang dari sudut penduduk Sunda Kalapa, “merayakan” kekalahan bukan hanya sangat ironis, melainkan juga penghinaan besar. Seandainya masih ada keturunan dari penduduk Sunda Kalapa, dan mereka mengetahui sejarah kota Sunda Kalapa – Jayakarta – Batavia – Jakarta, apakah mereka dapat dengan bergembira “merayakan” kekalahan nenek-moyangnya?

Selengkapnya mengenai “Kontroversi HUT Jakarta: 22 JUNI, APA YANG DIRAYAKAN?” Renungan Jakarta, lihat:




B.  5. Penetapan Pahlawan Nasional

Muhammad Shahab yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Imam Bonjol, pemimpin kaum Padri, diangkat menjadi Pahlawan Nasional karena telah berperang melawan Belanda. Golongan Padri  dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab (Samsul Farid, Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI, Kurikulum 2013, halaman177). Namun sebelum berperang melawan Belanda, golongan Padri  telah menghacurkan Kerajaan Pagarruyung di Sumatera Barat dan membunuh hampir seluruh keluarga kerajaan. Kemudian mereka melancarkan agresi ke Tanah Batak.
Selama agresinya di Tanah Batak, pasukan Padri telah membunuh puluhan ribu  mungkin ratusan ribu rakyat Batak, melakukan perkosaan terhadap wanita-wanita Batak dan menghacurkan Istana Bakkara di Batak. (Lihat tulisan: “Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”
Lihat juga tulisan: “Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi”

Patut dipertanyakan, apakah pemimpin dari suatu kelompok yang telah membantai ribuan orang sesama etnisnya karena berbeda aliran dari agama yang sama, diangkat menjadi pahlawan nasional, termasuk pahlawan dari etnis yang telah dibantai oleh pengikutnya. Yang sangat ironis adalah, sekarang orang Batak juga harus menerima Imam Bonjol sebagai pahlawan.




2.  Pandangan Terhadap Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945

Selain masalah penulisan sejarah, masalah yang tak kalah penting adalah pandangan terhadap keabsahan pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Banyak pakar hukum, diplomat dan politisi Indonesia yang cenderung membenarkan sejarah versi Belanda dan bahkan tidak sedikit pakar hukum Indonesia yang berpendapat, bahwa Indonesia baru memperoleh kemerdekaan penuh pada 27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda “menyerahkan kewenangan” (transfer of sovereignty/soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Juga hampir semua rakyat Indonesia menyangka, bahwa Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana tertulis dalam sejarah singkat KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus).

Pada peringatan ke 63 KOPASSUS tanggal 16 April 2015 yang lalu, dibacakan sejarah singkat KOPASSUS: “… Sejak Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda tgl. 27 Desember 1949 dan beberapa Pemberontakan di wilayah Indonesia (APRA, Andi Azis, RMS) …”

Yang menjadi masalah di sini adalah kalimat: “Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda tgl. 27 Desember 1949”, yang tidak pernah dilakukan oleh Belanda. Yang terjadi pada 27 Desember 1949 adalah PELIMPAHAN KEWENANGAN (Inggris: Transfer of sovereignty; Belanda: Soevereniteitsoverdracht), kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India – Belanda (Nederlands Indië). Hal ini tertuang dalam perjanjian, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Jadi, pelimpahan kewenangan tersebut kepada RIS, bukan kepada NKRI.

Banyak kalangan di Indonesia menilai, bahwa hasil KMB ini sangat merugikan Indonesia dan hanya menguntungkan Belanda, terutama secara finansial. Karena juru runding Indonesia menerima, bahwa RIS dipandang sebagai kelanjutan India – Belanda, maka RIS (kemudian setelah RIS dibubarkan pada 16.7.1950, cicilan dibayar oleh pemerintah RI) harus menanggung utang pemerintah India – Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalam utang ini, termasuk biaya belanda untuk melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Selain itu, Republik Indonesia hanya menjadi satu dari 16 Negara Bagian. Juga pembahasan mengenai Irian Barat ditunda, sehingga di dalam RIS, Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.

Yang sangat memprihatinkan adalah, banyak sejarawan Indonesia yang cenderung membenarkan sejarah versi Belanda dan bahkan tidak sedikit pakar hukum Indonesia yang berpendapat, bahwa Indonesia baru memperoleh kemerdekaan penuh pada 27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda “menyerahkan kewenangan” (transfer of sovereignty/ soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Bahkan yang sangat mengejutkan adalah pernyataan Dr. Hasan Wirayudha ketika sebagai Menteri Luar Negeri RI memberi Keynote Speech di acara peringatan di Linggajati pada 14 November 2006. Dia dengan gamblang membela versi Belanda yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia mengatakan a.l.:

“… Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak menentukan nasib sendiri apabila demand metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak, tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak akan ada …
… saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita memaknai kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia internasional pada saat itu…”

Apabila diartikan dalam hubungan Indonesia Belanda, maka kalimatnya adalah:   “… karena pihak yang lain (Belanda) tidak setuju, maka kemerdekaan (Indonesia) itu tidak akan ada…” Dengan kata lain, proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 TIDAK SAH.

Yang sangat luar biasa di sini adalah, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang Menteri Luar Negeri RI, yang seharusnya membela proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 sebagai harga mati, bahkan cenderung membodohi rakyat Indonesia mengenai tatanan dunia internasional pada waktu itu.” (Teks lengkap Keynote Speech dapat dibaca di:MENLU RI: PROKLAMASI 17.8.1945 TIDAK SAH”


Pernyataan seseorang yang berbicara sebagai MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA, tentu sangat mengherankan, karena di Belanda, banyak tokoh-tokoh masyarakat, sejarawan, bahkan anggota parlemen Belanda, yang mendesak pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. (Lihat: “Tokoh-Tokoh dan Anggota Parlemen Belanda Mendukung Pengakuan Kemerdekaan RI 17.8.1945.”

 Memang sesuai dengan UUD RI Pasal 28 E Ayat 3 (Perubahan ke II, tahun 2002), yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”,  maka siapapun dapat berpendapat bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak sah, karena tidak ada Undang-Undang yang melarang untuk berpendapat demikian.

Apabila seorang mahasiswa Fakultas Hukum semester satu yang berpendapat demikian, dapat dimaklumi, bahwa dia kurang membaca atau kurang pengetahuan serta tak memiliki rasa nasionalisme. Namun hal ini akan sangat berbeda, apabila yang berbicara adalah seorang Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, yang bergelar PhD (DOKTOR), yang menyatakan menulis disertasinya di Amerika Serikat dengan judul “The Indonesian Questions and the Security Councils.” Di hadapan Duta Besar Belanda, sejarawan Indonesia dan tokoh-tokoh masyarakat, menyebarluaskan versi Belanda, bahwa Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 TIDAK SAH. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ini adalah sikap pemerintah Indonesia. Selain itu, sejak diucapkan bulan November 2006, tidak ada yang membantah pernyataan ini.

Dia bukan satu-satunya mantan menlu RI yang berpendapat demikian. Mungkin ini sebabnya pemerintah Indonesia selama puluhan tahun, hingga saat ini, 2016, membiarkan pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945. Namun hal ini membuat hubungan “diplomatik” Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda menjadi janggal dan tidak setara.


Untuk banyak peristiwa sejarah, kurang dilakukan analisis yang lengkap dan cermat, dan dari kacamata bangsa dan kepentingan Indonesia. Cukup banyak yang masih menggunakan terminologi penjajah. Yang paling menyolok adalah, banyak orang Indonesia yang ikut-ikutan menggunakan istilah “aksi polisional” versi Belanda sehubungan dengan agresi militer Belanda.. Yang agak “keras” menamakan agresi militer Belanda sebagai “clash” (bentrokan/benturan).

Secara keseluruhan, berbagai peristiwa yang terjadi di bekas India-Belanda yang kemudian diduduki oleh Jepang antara tahun 1942 – 1945, maupun di Republik Indonesia antara tahun 1945 - 1950 kurang diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, atau bahkan tidak diketahui samasekali. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia boleh dikatakan sangat minim. Banyak tulisan hanya sekadar menenerjemahkan tulisan-tulisan peneliti Belanda atau penulis bangsa asing lainnya.

Kurang dilakukan penelitian, apakah penulisan sejarah Nusantara yang sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat luas, adalah benar sesuai fakta, ataukah penulisan tersebut telah “diselewengkan” oleh penjajah, untuk mengaburkan peristiwanya dan juga mendiskreditkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu itu) dalam pidatonya di Gedung Kemlu RI, Jakarta mengatakan, bahwa kini Belanda MENERIMA Proklamasi Kemerdekaan RI 17.8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS. Sehari Sebelumnya di Den Haag, dia mengatakan lebih jelas, bahwa kini (2005) Belanda MENERIMA DE FACTO KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.

Pernyataan (dalam bahasa Inggris) Ben Bot di Jakarta pada 16.8.2005, di mana dia menyatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS.
“Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration”:

Pernyataan Ben Bot di Den Haag, 15 Agustus 2005 (dalam bahasa Belanda), bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.
“Ben Bot. Toespraak ter gelegenheid van de 15 augustus-herdenking bij het Indië-monument”:

Menlu Belanda: Kemerdekaan Republik Indonesia Desember 1949.
Wawancara Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18 Agustus 2005: http://www.youtube.com/watch?v=_x-wVZc_u_I )

Pernyataan menlu Belanda ini sangat mengejutkan, karena berarti hingga 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali, dan 60 tahun setelah kemerdekaan RI, Belanda secara lisan menerima de facto. Namun atas pernyataan ini, tidak ada seorangpun di RI yang memberikan reaksi atau tanggapan. Bahkan karena kebohongan publik yang dilakukan oleh beberapa media nasional besar, banyak yang menyangka, bahwa pada 16 Agustus 2005 belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.12.1933. Walaupun sebenarnya kemerdekaan sesuatu Negara tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri dari serangan Negara lain.

Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.

Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG, dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!

Juga harus menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, bahwa Indonesia Pelopor Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II. Kemudian diikuti oleh Vietnam yang menyatakan kemerdekaan pada 2 September 1945. Vietnam juga berhasil mempertahankan kemerdekaan dari mantan penjajahnya, Perancis, yang berusaha menjajah Vietnam, tetapi tidak berhasil. 

Belanda dan sekutunya, yang adalah pemenang Perang Dunia II melancarkan AGRESI MILITER antara tahun 1945 - 1949 untuk menjajah Indonesia. Namun hingga perundingan perdamaian Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949, Belanda dan sekutunya TIDAK BERHASIL MENGALAHKAN TNI DAN RAKYAT INDONESIA. 

Dengan demikian INDONESIA TIDAK PENAH DIJAJAH! 



3.  Sejarah dan Penelitian Genetika

Penelitian mengenai sejarah yang lengkap dan akurat juga dapat memberi penjelasan mengenai pertanyaan yang sudah lama menggelitik di kalangan bangsa Indonesia, yaitu, secara kasat mata dapat dilihat, bahwa banyak orang Indonesia, bahkan di kampung-kampung atau bahkan di daerah terpencil di pedalaman, mirip seperti orang Eropa, Cina, Afrika, Arab, dsb.

“Tak ada gen murni. Manusia Indonesia ialah campuran beragam genetika dan semuanya pada dasarnya berasal dari Afrika.” Demikian dinyatakan oleh
Prof. Dr. dr. Herawati Supolo Sudoyo, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman, yang 15 tahun terakhir bersama timnya dari Lembaga Eijkman berkeliling Nusantara mengumpulkan sampel DNA dari tiap suku untuk meneliti genetika orang Indonesia. (Kompas, 29 Oktober 2015).

Kelihatannya Prof. Herawati mengikuti teori migrasi “Out of Africa”, yaitu asal-usul manusia dari Afrika. Namun sebagaimana teori migrasi sebelum menggunakan genetika, teori migrasi “Out of Africa” juga mendapat sanggahan dari para ilmuwan lain. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap penelitian selama 15 tahun yang telah dilakukan, para pakar genetika penganut teori migrasi ”Out of Africa” tidak terlalu bersikeras, bahwa teori ini yang paling benar dan sudah final.


Agak berbeda dengan Prof. Herawati, Prof. Dr. Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menjelaskan, dari pemetaan genetika yang dilakukan 99 ahli genetika di Asia, terungkap orang Melayu lebih tua dibandingkan dengan orang China. Khususnya Yunan yang selama ini dianggap sebagai nenek moyang umumnya orang Indonesia.

Ras Austronesia, termasuk orang Melayu, lebih dulu ada dibandingkan dengan ras Chinotis-Belan, yaitu ras yang berbahasa China/Mandarin. Sangkot mengungkapkan hal itu dalam orasi ilmiahnya pada Dialog Budaya Melayu di Pekanbaru, Riau, Selasa (4/12).




 Apabila dengan cermat membaca sejarah Nusantara, sejarah pendudukan Jepang di bekas wilayah Nederlands Indie serta Sejarah Indonesia yang dimulai tanggal 17.8.1945, sudah dapat diketahui, bahwa genetika sebagian terbesar (mungkin seluruhnya?) orang-orang Indonesia sekarang adalah campuran beragam genetika dari seluruh dunia.

Dari penelusuran asal-usul mereka yang pernah ke Nusantara, menetap, bekerja dll., akan terlihat, bahwa sejak lebih dari seribu tahun, hampir semua kelompok etnis yang ada di muka bumi, terwakili di Nusantara, termasuk sekarang di Indonesia. 

Penyebabnya adalah:
3.    A. Perdagangan dan Penyebaran Agama Sejak Zaman “Jalan Sutra” (Silk Road)
Perdagangan melalui Jalan Sutera dari Cina sampai Mesir, demikian juga jalur laut (lihat Laksamana Cheng Ho, 1371 - 1433), telah berlangsung selama ribuan tahun. Para pedagang, yang mungkin 100% pria, apabila singgah di satu tempat, tinggal kadang-kadang sampai berminggu-minggu. Konon disebutkan, bahwa prostitusi adalah “profesi tertua” di dunia. Jejak perjalanan mereka juga merupakan jejak genetika yang ditinggalkan.

Selain perdagangan, penyebaran agama Hindu dan Buddha yang telah berlangsung selama 2.500 tahun juga menjadi indikasi adanya hubungan antar etnis dari Asia Tenggara sampai wilayah Persia dan Turki. Dua patung Buddha terbesar di dunia yang berada di  Afghanistan menjadi bukti adanya kontak antar etnis yang telah berlangsung selama lebih dari 1.500 tahun.

Di atas telah ditulis, bahwa Kerajaan Maritim Sriwijaya (abad 7 – 12) telah menjalin hubungan dengan Pantai Timur Afrika, terutama dengan Madagaskar.




3.   B. Di zaman Penjajahan Belanda

3.   B.1. Genosida di Kepulauan Banda

Pada bulan Mei 1621, Gubernur Jenderal VOC ke-4 Jan Pieterszoon Coen mengerahkan armada dan pasukan terbesarnya ke Kepulauan Banda, Maluku. Pada 8 Mei dilakukan pembantaian secara besar-besaran, yang mungkin terkejam sepanjang massa, terhadap para pemuka dan rakyat Banda. 40 orang pemuka Masyarakat dipenggal kepalanya, kemudian dabannya dibelah empat.

Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang tersisa beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000 jiwa.

Untuk melanjutkan budidaya buah Pala, yang waktu itu hanya ada di Kepulauan Banda, didatangkan para budak dari segala penjuru. Oleh karena itu, genetika orang-orang di Kepulauan Banda jelas berbeda dengan orang Maluku lainnya.




3.   B. 2. Perbudakan

Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Banten tahun 1596. Awalnya untuk berdagang. Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, Belanda mulai mendatangkan budak dari Madagaskar, Afrika Timur. 

Setelah mulai berkuasa di Jayakarta tahun 1619 selain  melakukan perdagangan rempah-rempah, bangsa Belanda dan bangsa Cina juga bekerjasama dalam perdagangan budak an candu. Dari tahun 1640 – 1842 pemerintah kolonial (VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan 31.12.1799 dilanjutkan oleh pemerintah Nederlands Indie) resmi memberlakukan Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda. Dengan demikian, di seluruh wilayah jajahan Belanda jual-beli budak legal.          

Selama 250 tahun, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia, yang memiliki beberapa basis di Afrika. Banyak budak yang merupakan tawanan perang, yang kemudian diperjual-belikan
Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).[1] Perbandingan jumlah penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir abad 17.

Para budak yang ada di Batavia, berasal dari Bali, Makassar, Bugis dan Timor. Sedangkan yang dari Afrika berasal dari Cape of Good Hope dan Mozambik. Budak asal Bali yang paling terkenal adalah Untung Surapati (1660 – 1706), yang bernama asli Surowiroaji. Setelah berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda, dia bahkan kemudian menjadi Bupati di Pasuruan.

Untuk dipekerjakan di perkebunan di Sumatera, didatangkan budak-budak terutama dari Madagaskar. Secara teratur VOC mengirim kapal-kapal ke Madagaskar untuk membawa para budak ke Sumatera. Karena banyak yang mati di perjalanan, maka tahun 1632 diputuskan, untuk hanya membawa yang sehat saja, dan selama dalam perjalanan mereka diberi cukup minum dan makan. Tidak ada catatan, berapa orang dari para budak yang dibawa dari Madagaskar, berhasil kembali ke Madagaskar.

Prosentase populasi budak di berbagai kota

{Lihat: “VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)



3.   B. 3. Tentara Kontrakan dari Jerman

Tahun 1787 VOC menyewa satu resimen tentara dari Wuerttemberg, Jerman. Semula pasukan tersebut ditempatkan di Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope; Bahasa Jerman: Kap der Guten Hoffnung), Afrika Selatan. Oleh karena itu, di Jerman dikenal sebagai Kapregiment. Tahun 1789, karena tak sanggup menghadapi perlawanan rakyat di Sulawesi, Gubernur Jenderal VOC minta bantuan pasukan dari Afrika Selatan.Dikirim 200 tentara Belanda dan 100 tentara dari Wuerttemberg.

Kemudian secara berangsur-angsur, seluruh pasukan resimen Wuerttemberg dikirim ke India Belanda, namun terpecah-pecah dalam bentuk Kompi. Pecahan-pecahan Resimen Wuerttemberg dikirim mundar-mandir, bahkan ada yang samoai ke India dan Ceylon (Sri Lanka). Sedangakan yang di India Belanda penugasannya juga berpindah-pindah, tergantung di daerah mana terjadi perlawanan rakyat setempat yang sangat gigih.

Jejak pasukan Wuerttemberg ini, juga jejak genetika yang ditinggalkan, mulai dari Batavia ke Makassar, Maluku, Semarang dan Cirebon.

Tahun 1807 hanya tersisa 1 batalion yang terdiri dari 229 tentara. Tanggal 1 Maret 1808 Resimen Wuerttemberg resmi dibubarkan dan sisa pasukan dimasukkan ke tentara KNIL.

Dari keseluruhan 3.200 tentara yang didatangkan dari Wuerttemberg, hanya 100 yang kembali ke Jerman.



3.   B. 4. Tentara Mantan Budak dari Afrika (Belanda Hitam)

Tahun 1830, setelah usai Perang Diponegoro, terlihat bahwa tentara yang didatangkan dari Eropa tidak tahan dengan iklim tropis. Juga akibat pemberontakan Belgia yang memisahkan diri dari Belanda, pemerintah Belanda tak dapat mendatangkan pasukan dari Belanda. Untuk menjaga jumlah pribumi yang menjadi tentara KNIL di bawah 50%, maka pemerintah Belanda memutuskan membeli budak dari Afrika untuk dijadikan tentara.

Tahun 1831 pemerintah India Belanda mulai membeli budak dari Afrika Barat. Sebagian dibeli di Pasar Budak, dan sebagian lagi “dipesan” dari Ashanti. Secara bertahap para budak tersebut didatangkan ke Nederlands Indie. Keseluruhan dari tahun 1831 - 1872 jumlahnya mencapai 3.000 orang.

Mereka dapat membeli kemerdekaan dari gaji mereka yang tinggi, dan mendapat status warganegara Belanda. Mereka inilah yang dinamakan Belanda Hitam (Zwarte Nederlander), bukan etnis Ambon.

Dalam agresi militer Belanda terhadap Kesultanan Aceh bulan Maret 1873, 2 kompi tentara dari Afrika sebanyak 230 orang  telah diikutsertakan. Mereka terbukti tangguh menghadapi iklim di Sumatera.

Para tentara mantan budak dari Afrika kemudian menikah dengan gadis-gadis pribumi. Jejak penugasan mereka ke berbagai darah di wilayah India Belanda dapat dipandang sebagai jejak genetika yang mereka tinggalkan. Mereka kemudian bermukim di garnisun-garnisun di Semarang, Salatiga, Batavia, Surabaya dan Yogya.

(Lihat: “Mardijkers, Marechaussée, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam dan KNIL” http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2006/04/mardijkers-marechausse-tentara.html)



3.   B. 5. Impor kuli dari Cina

Untuk dipekerjakan di perkebunan, terutama perkebunan tebu, Belanda lebih suka mendatangkan kuli perkebunan dari Cina yang murah dan patuh. Kuli - kuli pribumi sering membangkang, bahkan memberontak. Para kuli perkebunan dari Cina dipekerjakan di seluruh wilayah jajahan Belanda, terutama di Jawa, Kalimantan dan Banda/Maluku.

Jumlah kuli-kuli Cina yang “diimpor”  sejak awal abad 17 mencapai ratusan ribu orang, sehingga di beberapa daerah, seperti di Kalimantan Barat, di luar benteng Batavia, jumlahnya melebihi pribumi dan orang Eropa.

Banyak dari mereka kemudian mendatangkan wanita-wanita dari Cina untuk menjadi isteri mereka. Namun tidak sedikit yang menikah dengan gadis pribumi.



3.   B. 6. Ratusan ribu pria Belanda dan Eropa lain

Sejak ada perdagangan antara Eropa dengan Asia Tenggara akhir abad ke 16, hingga pecah Perang Dunia II tahun 1939, jumlah pria Belanda dan Eropa lainnya yang ditugaskan untuk bekerja di Asia Tenggara, termasuk Nederlands Indie, tentu sangat besar. Semuanya pria. Memang banyak yang membawa isteri atau pasangan hidup mereka. Namun sebagian terbesar adalah yang masih muda dan mencari pengalaman, sehingga belum memiliki isteri.
Terutama di wilayah jajahan Belanda, para pria Eropa hidup bersama gadis pribumi, yang dikenal sebagai Nyai. Setelah tugas selesai dan mereka kembali ke Eropa, hanya segelintir yang membawa para “Nyai” mereka ke Belanda/Eropa.

Cerita mengenai Nyai yang paling terkenal adalah legenda Nyai Dasima, seorang gadis dari desa Kuripan (Kahuripan?), Bogor, yang menjadi simpanan seorang pria Inggris Edward William, di masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles, sekitar tahun 1813. Konon ini kisah nyata yang ditulis oleh Gijsbert Francis tahun 1896. Bahkan pernah dibuat filmnya tahun 1929



4.   Di masa pendudukan Jepang

Selama masa pendudukan tentara Jepang di bekas wilayah Nederlands Indie, diperkirakan lebih dari 300.000 prajurit Jepang yang ditugaskan di wilayah ini. Utuk memenuhi kebutuhan biologis para prajurit, atau dengan kalimat yang lebih tegas: “Memuaskan nafsu seks para prajurit Jepang”, pimpinan militer Jepang mempekerjakan secara paksa gadis dan wanita pribumi untuk melayani para prajurit Jepang.

Para wanita ini disebut sebagai Jugun Yanfu, atau “wanita penghibur.” Selama puluhan tahun hal ini TABU untuk dibicarakan, karena pada umumnya, para wanita korban dan keluarganya malu untuk membuka tragedi ini. Tidak diketahui dengan pasti jumlahnya. Namun kalau dilihat, yang perlu “dihibur” sekitar 300.000 prajurit, tentu jumah “wanita penghiburnya” juga tidak sedikit.

Selain yang “resmi” ini, tentu tidak ada angka perkosaan terhadap wanita pribumi yang dilakukan oleh tentara Jepang, seperti yang terjadi di Nanking (Nanjing), Cina, yang dikenal sebagai “The Rape of Nanjing”, di mana terjadi perkosaan massal di tempat terbuka, dimulai tanggal 13 Desember 1937 dan berlangsung selama enam minggu. Diperkirakan 20.000 – 80.000 wanita diperkosa, dan kemudian banyak yang setelah diperkosa, lalu dibunuh dengan cara yang sadis.



5.   Di masa agresi militer Belanda di Indonesia 1945 - 1950

Bangsa Indonesia menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Belanda yang pernah menjajah berbagai kerajaan dan Kesultanan di Nusantara, di beberapa wilayah lebih dari 300 tahun, tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan ini. Hingga detik ini, tahun 2016.

Selain merekrut 65.000 pribumi menjadi serdadu KNIL (Tentara Kerajaan India-Belanda), Belanda juga mengirim lebih dari 150.000 tentara Wajib Militer dari Belanda. Sebagian bertugas selama lebih dari 3 tahun di Indonesia.

Di masa agresi militer Belanda yang dibantu sekutunya, 3 Divisi tentara Inggris dan 2 divisi tentara Australia, telah terjadi banyak kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, serta berbagai pelanggaran HAM, termasuk perkosaan terhadap wanita Indonesia.

Selain itu, banyak tentara Belanda yang hidup bersama wanita pribumi, baik resmi maupun tidak. Namun, setelah masa tugas mereka selesai, terutama setelah berdirinya Republik Idonesia Serikat (RIS), para prajurit belanda kembali ke negerinya, meninggalkan ister/simpanan, dll., bersama anak-anak mereka di Indonesia.

Di Indonesia belum ada yang melakukan penelitian mengenai hal-hal tersebut di atas, termasuk di masa agresi militer Belanda di Indonesia 1945 – 1950. Setelah kembali ke Belanda, ada mantan tentara yang menceriterakan pengalaman mereka selama bertugas di Indonesia, kepada anak-anak mereka. Kini di Belanda kelihatannya cukup banyak anak-anak veteran Belanda yang ingin berkenalan dengan saudara tiri mereka di Indonesia. Bahkan telah didirikan organisasi yang membantu mempertemukan para saudara tiri Indonesia – Belanda.

Website organisasi ini dan informasi lebih lanjut dapat dilihat di: http://indonesiadutch.blogspot.com/2012/01/warlovechild-forgotten-victims-of-dutch.html

Hal ini telah saya tulis di weblog saya pada 15 Januari 2012: “Indonesiëweigeraars dan Oorlogsliefdekind: Korban agresi militer Belanda yang terlupakan”

Data-data di atas menunjukkan, bahwa genetika yang berasal dari Afrika cukup banyak, yaitu dari Afrika Barat (Ghana), Selatan (Cape of Goog Hope) dan Timur (Madagaskar). Tidaklah mengherankan, bahwa bukan saja genetika campuran dari Afrika, bahkan juga sangat banyak orang Indonesia yang berna-benar mirip orang Afrika. Ini berdasarkan Hukum Mendel (genetika keturunan).

Oleh karena itu, ditemukannya banyak genetika yang berasal dari Afrika, belumlah menjadi alat bukti final yang membenarkan teori migrasi “Out of Afrika”,  bahwa nenek-moyang penduduk di Asia Tenggara/Nusantara berasal dari Afrika. 


Sejarah penjajahan dan perbudakan di Nusantara yang berlangsung di beberapa daerah selama sekitar 300 tahun, juga merupakan jejak genetika yang menyebabkan ditemukannya berbagai DNA di tubuh banyak rakyat Indonesia yang berasal dari banyak bangsa – bangsa yang ada di muka bumi.


Dengan menggunakan tehnologi paling mutakhir, 99 pakar Genetika Asia membuktikan, bahwa PRIBUMI MELAYU LEBIH TUA DARI CINA.



KESIMPULAN

Demikianlah pentingnya penelitian dan penulisan sejarah yang lengkap, akurat dan memuat hal-hal yang harus diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain harus mengetahui heroisme orang-tua, kakek-nenek bahkan nenek-moyangnya, agar menjadi kebanggaan untuk bangsa Indonesia sekarang.

BAHWA INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH OLEH SIAPAPUN!
(Lihat Tulisan: “RI MERDEKA DAN BERDAULAT 17. 8. 1945. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH”

Juga sangat perlu diketahui oleh generasi muda, terutama yang menamakan diri “aktifis HAM” namun buta sebelah mata, bahwa Negara-negara mantan penjajah yang ingin memoleh citra mereka sebagai “pengajar, pengawal dan hakim pelanggaran HAM”, belum lama berselang, adalah penjahat-penjahat perang terbesar sepanjang massa. Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan oleh mereka, bahkan perbudakan dan monopoli perdagangan opium.

Sebagai patokan/pedoman untuk bangsa Indonesia dapat dinyatakan:

  1. Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai dari tanggal 30 Mei 1619, yaitu dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan Belanda, dan berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Lanud Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, dan menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

  1. Belanda memerlukan waktu lebih dari 300 tahun untuk dapat membangun imperium jajahannya yang dinamakan Nederlands Indie.

  1. Masa pendudukan Jepang dari tanggal 9 Maret 1942, sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, dan menghentikan semua aktifitas sipil dan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk bekas jajahan Belanda, India-Belanda. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani pada 2 September 1945. Antara 15.8.1945 – 2.9.1945 terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

  1. Di masa kekosongan kekuasaan, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945. Kemudian membentuk pemerintahan. Dengan demikian proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.12.1933.
Walaupun sebenarnya kemerdekaan sesuatu Negara tidak mmembutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri dari serangan Negara lain.

  1. Karena tidak ada pemerintahan yang berkuasa, maka proklamasi 17.8.1945, bukan revolusi dan  bukan pemberontakan. Juga periode antara tahun 1945 – 1949/1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang MEMPERTAHANKAN kemerdekaan.

  1. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH BELANDA ATAU JEPANG, karena sebagai entitas politik dan hukum internasional baru ada sejak 17 Augustus 1945. Yang dijajah Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Bumi Nusantara/Asia Tenggara. Yang diduduki oleh tentara Jepang adalah wilayah bekas jajahan Belanda, BUKAN INDONESIA!

  1. Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.

  1. Selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, tentara Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, a.l. dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta rakyat Indonesia, penduduk sipil (non-combatant). Semua kejahatan tersebut oleh Dewan Keamanan PBB dinyatakan tidak kadalursa.

  1. Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG,dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!

  1. Indonesia Pelopor Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II.




REKOMENDASI

Apabila bangsa ini tidak ingin, bahwa generasi mendatang tetap disuguhi penulisan sejarah yang salah dan menyesatkan serta ada penyelenggara negara yang menjadi antek asing untuk mengaburkan sejarah perjuangan Indonesia, maka, agar tidak ada lagi “the lost generation”, yang harus SEGERA dilakukan dengan tegas adalah:

1.   Semua buku sejarah untuk SMA Kelas XI ditarik dari peredaran. Untuk para siswa-siswi diberi RINGKASAN PEDOMAN SEMENTARA. Untuk buku-buku sejarah lain, ditarik dari peredaran setelah diteliti, bahwa isinya salah.

2.   Dibentuk Komisi Nasional Sejarah, yang bukan hanya terdiri dari sejarawan  saja, melainkan juga dari berbagai disiplin ilmu, dari kalangan militer, diplomat, tokoh masyarakat dll., dengan catatan, bahwa semua teruji NASIONALISMENYA!
PENELITIAN MENGENAI BERBAGAI PERISTIWA YANG TERJADI DI MASA LALU TERLALU PENTING UNTUK DISERAHKAN HANYA KEPADA SEJARAWAN!

3.   Dibuat KONSEP BARU: yang terpenting adalah ORIENTASI tidak lagi ke Barat, melainkan ke Asia Timur/Selatan. Disusun kerangka dasar, hal-hal yang PERLU DAN HARUS DIKETAHUI GENERASI MUDA INDONESIA, terutama berbagai peristiwa heroik di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda dan Sekutunya.

4.   Semua Penyelenggara Negara, terutama Eksekutif dan Legislatif, HARUS MENGETAHUI SEJARAH PERJUANGAN INDONESIA MENCAPAI DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN.

5.   Pimpinan Nasional (Presiden, Wakil Presiden dan Para Menteri) HARUS MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI, YAITU MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945 SEBAGAI HARGA MATI!
  

********