Sunday, October 19, 2008

Akhirnya anggota parlemen Belanda bertemu dengan keluarga korban pembantaian di Rawagede.

PERISTIWA BERSEJARAH!!!

Oleh Batara R. Hutagalung, Ketua  KUKB
Pada hari kedatangan delegasi parlemen Belanda di Jakarta, Minggu, 12 Oktober 2008, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R Hutagalung bersama Sekretaris KUKB, Dian Purwanto, menemui Harry van Bommel, anggota parlemen dari fraksi Partai Sosialis, partai oposisi terbesar di parlemen Belanda, di Hotel JW Marriott, tempat delegasi parlemen Belanda menginap.

Tujuan kunjungan delegasi parlemen Belanda ke Indonesia setiap tahun, selain memantau proyek-proyek yang didanai oleh Belanda, mereka juga “memantau” dan “mengawasi” kondisi HAM di Indonesia. Fokus mereka selalu pelanggaran HAM di Aceh, Maluku dan Papua. Dahulu sebelum merdeka, juga Timor Timur.
Sebagaimana diberitakan oleh pers di Indonesia, kunjungan delegasi parlemen Belanda kali ini juga “memantau” kondisi HAM di Indonesia. Dalam pertemuan dengan Wapres Jusuf Kalla, ketua delegasi HJ Ormel menyampaikan bahwa mereka “mengkhawatirkan” kasus HAM di Indonesia, terutama di Maluku dan Papua. (lihat Kompas, 17.10.2008).

Dengan latar belakang ini, KUKB mengusulkan agar delegasi parlemen Belanda juga mengunjungi desa Rawagede, yang letaknya hanya sekitar 80 km dari Jakarta. Sebagaimana kini telah diketahui oleh banyak orang Belanda, pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, tanpa proses, tuntutan, pembelaan, dsb. Hal ini bukan hanya merupakan pelanggaran HAM berat, melainkan kejahatan perang, karena yang dibantai adalah penduduk sipil, non-combatant, dan jelas melanggar konvensi Jenewa.

KUKB memberikan pilihan, apabila delegasi menyatakan bahwa acara mereka sangat padat dan waktu mereka sempit, KUKB menawarkan untuk mendatangkan para janda dari Rawagede ke Jakarta dan bertemu dengan mereka di Hotel tempat mereka menginap.

Pada hari Senin, 13 Oktober, Harry van Bommel membawakan usulan KUKB ke rapat delegasi parlemen Belanda. Ternyata mayoritas delegasi menolak kedua usulan tersebut.

Pada hari Selasa, 14 Oktober, Harry van Bommel dan KUKB menggelar jumpa pers bersama (joint press meeting), yang juga dihadiri oleh koresponden harian Belanda terkemuka, NRC Handelsblad. Sebelumnya, koresponden NRC Handelsblad, Elske Schouten, telah mewawancarai Ketua KUKB melalui telepon, dan pada hari itu juga, diberitakan di Belanda.

Harry van Bommel menyampaikan kekecewaan dan kesedihannya, atas keputusan mayoritas rekan-rekannya. Batara Hutagalung menyatakan, dengan demikian terbukti, bahwa sebagian besar anggota parlemen Belanda buta sebelah mata. Mereka hanya mau mengawasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Indonesia sendiri, namun menolak untuk membicarakan kejahatan perang yang telah dilakukan oleh tentara Belanda terhadap orang Indonesia di Indonesia. NRC Handelsblad mengutip ucapan Batara Hutagalung dalam beritanya pada hari itu juga, 14 Oktober. (lihat berita Handelsblad di bawah ini).

Hampir seluruh media di Belanda memberitakan penolakan delegasi parlemen Belanda untuk bertemu dengan para janda dan keluarga korban pembantaian di Rawagede.

KUKB kemudian mengusulkan kepada Harry van Bommel, apabila dia satu-satunya yang bersedia untuk bertemu dengan keluarga korban Rawagede dan waktunya sempit, KUKB akan menghadirkan beberapa janda dari Rawagede, untuk bertemu dengannya di Hotel Marriott, tempat dia menginap.

Pada 18 Oktober 2008 pukul 16.30, Harry van Bommel mengirim SMS kepada Batara Hutagalung, bahwa selain dirinya, seorang anggota delegasi yang lain, Joël S. Voordewind dari Partai Uni Kristen juga bersedia menerima kunjungan para janda dari Rawagede pada hari Minggu jam 14.00 di Hotel Marriott.
.
Dalam waktu singkat, KUKB mengorganisir pertemuan di Lounge Hotel Marriott.pada hari Minggu, 19 Oktober yang dimulai tepat pukul 14.00 sesuai rencana. Dari Rawagede hadir Sa’ih, 86 tahun, orang terakhir yang selamat dari pembantaian di Rawagede. Dia kena tembak dua kali, tetapi dia hanya terluka, namun ayahnya yang berdiri di sampingnya, mati ditembak. Selain itu hadir dua orang janda korban yaitu Wanti, 84 tahun, Wisah, 81 tahun dan hadir juga Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede.

Dari delegasi parlemen Belanda, di luar dugaan, selain Harry van Bommel dan Joël Voordewind, juga hadir Harm Evert Waalkens dari Partai Buruh (PvdA). Yang istimewa dalam hal ini adalah, Partai Uni Kristen dan Partai Buruh, merupakan partai koalisi di pemerintahan Belanda. Oleh karena itu, van Bommel menyatakan bahwa pertemuan ini mempunyai bobot yang besar.

 Batara R. Hutagalung bersama 3 anggota parlemen Belanda dan 2 janda korban serta Sa'ih

Dari KUKB hadir Batara Hutagalung, Ketua KUKB dan Purwanto, Sekretaris KUKB.
Pers yang meliput adalah TVRI (dityangkan hari Senin pukul 10.00), tvOne, RRI, Detikcom dan koresponden dari harian Belanda NRC Handelsblad. Jawa Pos, Indopos (keduanya menurunkan berita pada hari Senin, 20 Oktober 2008) dan Rakyat Merdeka meminta keterangan melalui telepon dan email. Radio Elshinta mewawancarai Batara Hutagalung secara langsung pada Minggu malam, pukul 22.30.

Joël Voordewind dan Harm Waalkens hadir selama sekitar 1 jam, sampai pukul 15.00. Pertemuan dengan Harry van Bommel dilanjutkan hingga pukul 16.00. Secara keseluruhan pertemuan selama 2 jam berlangsung dalam suasana yang sangat ramah. Ketiga anggota parlemen Belanda menyampaikan rasa simpati yang sedalam-dalamnya kepada para janda dan Sa’ih atas peristiwa tersebut dan atas penderitaan yang dialami oleh keluarga korban pembantaian di Rawagede..

Voordewind dan Waalkens mengatakan, mereka berbicara sebagai pribadi, tidak atas nama partai dan tidak mengeluarkan pernyataan apapun, karena sebagai anggota partai pemerintah, mereka menunggu pernyataan resmi dari pemerintah Belanda.

Menurut pendapat Harry van Bommel, dalam rangka pemulihan hubungan baik yang sebenarnya antara Indonesia dengan Belanda dan untuk mencapai suatu rekonsiliasi, langkah pertama telah dimulai oleh Ben Bot, Menlu Belanda tahun 2005, ketika menghadiri peringatan Hari kemerdekaan RI di Jakarta pada 17 Agustus 2005. Walaupun pada waktu itu Ben Bot mengatakan, bahwa pemeritah Belanda menerima proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 secara politis dan moral, jadi hanya de facto, dan tidak secara yuridis (de jure), karena pengakuan de iure telah diberikan pada 27 Desember 1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Langkah kedua adalah dengan hadirnya seorang wakil dari Kedutaan Belanda pada acara peringatan ke 60 peristiwa pembantaian di Rawagede yang diselenggarakan pada 9 Desember 2007. Batara Hutagalung menambahkan, bahwa Wim Meulenberg, Wakil Direktur Erasmus Huis, diminta langsung oleh Dubes van Dam untuk mewakilinya, karena Dubes mendampingi Bert Koenders, Menteri kerjasama Pembangunan yang sedang berkunjung ke Indonesia. Harm Waalkens menegaskan, dengan demikian Wim Meulenberg hadir atas nama Duta Besar. Namun Batara Hutagalung menyampaikan, bahwa seharusnya yang hadir adalah Duta Besar Belanda. Harry van Bommel menyatakan, akan mendukung tuntutan, bahwa Duta Besar Belanda yang harus hadir, dan bukan seorang staf rendahan dari Kedutaan. Dia mengatakan, bahwa dia akan membawa masalah ini ke parlemen Belanda.

Dan masih menurut Harry van Bommel, pertemuan dengan beberapa keluarga korban pembantaian di Rawagede yang dihadiri oleh beberapa orang anggota parlemen Belanda merupakan langkah ketiga. Dengan demikian, setelah pemerintah Belanda mengawalinya, kini parlemen Belanda melanjutkan langkah tersebut.

Langkah berikutnya adalah apabila berhasil menghadirkan para veteran Belanda yang terlibat dalam pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, untuk hadir pada acara peringatan di Rawagede yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2008.

Inti pembicaraan dalam pertemuan tersebut adalah rencana petemuan perdamaian/ rekonsiliasi antara para veteran Belanda yang pada waktu itu terlibat dalam pembantaian di Rawagede dengan para janda dan keluarga korban pembantaian. Mereka menyatakan, bahwa mereka tidak menaruh dendam lagi terhadap para pembunuh suami/ayah mereka, dan bersedia memberikan maaf. Masalahnya dalam hal ini, kepada siapa maaf akan diberikan apabila tidak ada yang meminta maaf.

Kepentingan mereka kini banyak ditangani oleh Yayasan Rawagede, yang mengayomi 181 keluarga korban pembantaian. Yayasan Rawagede mendapat bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang dan dari beberapa veteran TNI.

Masalah kompensasi ini tidak dibicarakan secara mendalam, karena hal ini telah ditangani oleh pengacara Gerrit Pulles di Belanda, dan Gerrit Pules telah resmi menuntut pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi bagi sembilan orang janda dan Sa’ih, korban terakhir yang selamat dari pembantaian di Rawagede. Mengingat usia mereka yang sudah di atas 80 tahun, mereka akan bergembira, apabila pemerintah Belanda tidak menunggu lebih lama dan memberikan kompensasi atas derita yang mereka alami selama puluhan tahun. Selama lebih dari 60 tahun, pemerintah Belanda tidak pernah memberi perhatian terhadap para korban agresi militer Belanda. Ketika Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), organisasi yang mendirikan KUKB mulai menangani kasus Rawagede tahun 2004, masih hidup 21 orang janda.

Mereka juga menyutujui gagasan KUKB, untuk mengundang veteran Belanda tersebut untuk hadir pada acara peringatan peristiwa pembantaian yang akan diselenggarakan di Rawagede pada 9 Desember 2008. Sa’ih mengatakan, mohon disampaikan kepada para veteran Belanda, bahwa mereka tidak usah takut datang ke Rawagede.

Batara Hutagalung mengatakan, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, mengakui bahwa: “…. In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history…” Dengan demikian Ben Bot mengakui bahwa pada waktu itu politik Belanda salah. Hal ini berarti bahwa bukan hanya orang Indonesia saja yang menjadi korban, melainkan tentara Belanda dan para pembangkang wajib militer Belanda (indonesië weigeraars) juga merupakan korban dari politik yang salah.

Harry van Bommel mengatakan, beberapa veteran Belanda pernah menyatakan, bahwa mereka memikul beban berat di pundak mereka selama puluhan tahun. Pasti mereka akan bergembira apabila mengetahui, bahwa para janda dan keluarga korban pembantaian bersedia memaafkan mereka. Van Bommel mendukung penuh rencana mengundang para veteran Belanda ke Rawagede dan akan berusaha sekuatnya agar hal ini dapat terwujud.
Harry van Bommel menyatakan, bahwa pertemuan tersebut sukses besar dan merupakan langkah penting dalam hubungan Indonesia-Belanda.

Harry van Bommel juga menyampaikan, bahwa Partai Sosialis telah beberapa kali membawa kasus pembantaian di Rawagede ke Parlemen Belanda, namun belum mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Partai Sosialis mendesak pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi kepada korban dan keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia. Beberapa partai oposisi seperti Kiri Hijau (GroenLinks) juga mendukung tuntutan Partai sosialis di parlemen Belanda.

Tak lama setelah Harry van Bommel pergi, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Dr. Nikolaos van Dam datang dan berbincang-bincang sebentar dengan Ketua KUKB Batara Hutagalung. Dubes van Dam mengatakan, telah mengetahui rencana pertemuan ini dari detikcom, yang telah memberitakan di internet pukul 12.34.

Batara Hutagalung mengusulkan kepada Dubes van Dam untuk melanjutkan Forum Dialog yang telah dilakukan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama Kedutaan Belanda pada bulan September 2002, dalam menyelenggarakan seminar internasional mengenai VOC. Para aktifis KNPMBI mendirikan KUKB pada 5 Mei 2005.


Van Bommel dan rekan-rekannya kembali ke Belanda pada hari Minggu 20 Oktober 2008 malam.


Jakarta, 20 Oktober 2008


Batara R Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)


Bagi yang berminat untuk mengetahui lebih jauh mengenai peristiwa Rawagede dan masalah hubungan Indonesia Belanda, silakan kunjungi weblogs: http://indonesiadutch.blogspot.com,


============================================



Massacre survivors snubbed by Dutch delegation

Published: 14 October 2008 15:43 | Changed: 14 October 2008 15:46
By Elske Schouten in Jakarta
Dutch members of parliament on an official visit to Indonesia have refused to meet survivors of a massacre by Dutch soldiers in 1947. The leader of the delegation says it would be “inappropriate”.
The Indonesian village of Rawagede was the scene of a massacre perpetrated by Dutch soldiers in 1947, shortly after the colony declared its independence and troops were sent in to restore order.
The village claims 431 men were shot, while a Dutch government investigation into war crimes in Indonesia puts the figure at 150.

Voted down
One man who survived the massacre and nine widows of victims still live in the village, which has been renamed Balongsari. Last week, a letter was sent on their behalf to the Dutch government asking for a formal apology and compensation. Their request is still being looked at.
Socialist Party member of parliament Harry van Bommel says he suggested a meeting with survivors twice but that the proposal was voted down by the rest of the delegation.
The delegation, made up of seven members of the parliamentary foreign affairs committee, is in Indonesia to discuss a range of issues until October 19.
Delegation chairman Henk Jan Ormel, member of parliament for the Christian Democrats, says he feels a meeting with the survivors, or their representatives, would be ‘inappropriate” while legal procedures are still ongoing.

False expectations
“A visit from an official Dutch delegation could create false expectations”, Ormel said, adding that he did not want Rawagede to become the focus of the visit to Indonesia. “A lot more has happened in this country,” he said.
Van Bommel, who feels the Netherlands should apologise and pay compensation, had wanted a “reconciliatory meeting”. “It would have been the first Dutch high-level visit,” he says. “For the survivors of Rawagede, this is far from over.”
The members of the delegation did not want to meet Batara Hutagalung, founder of the committee which filed the claim for compensation, either. Hutagalung says he finds it “odd” for parliamentarians to come to Indonesia to talk about human rights and not pay any attention to Rawagede.
“It is almost as if they are blind in one eye: they only see the atrocities perpetrated by others,” he said.

polling



Thursday, October 09, 2008

Korban Rawagede Akhirnya Menggugat Belanda

Jumat, 12 September 2008, 11:04:05 WIB 
Laporan: Yayat R. Cipasang Jakarta, myRMnews. 
 
Keluarga korban pembantaian tentara kolonial Belanda di Rawagede, Karawang, mengugat pemerintah Belanda. “Sembilan janda dan seorang pria yang selamat dari eksekusi menuntut ganti rugi atas penderitaan yang dialami mereka pada saatpolitionele actie (aksi polisi). 
 
Mereka menuntut kompensasi materi, tunjangan pensiun atau bantuan untuk menyambung hidup. Ekonomi kampung itu hancur,” kata pengacara Gerrit Jan Pulles seperti dilaporkan RNW Expert Desk, Jumat (12/9) waktu Indnesia. Menurut Pulles, ini adalah untuk pertama kali Negara Belanda digugat sebagai dampak politionele actie, operasi militer Belanda di bekas jajahan Hindia Belanda. Pada 9 Desember 1947 pagi-pagi tentara Belanda menyerang kampung Rawagede. Pria dipisahkan dari perempuan. Mayoritas pria penduduk desa itu dibunuh. 
 
Menurut Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), 431 orang terbunuh di Rawagede, sementara pemerintah Belanda pada 1969 menyebut, jumlahnya 150 orang. Karena semua pria di desa itu hilang. Sampai sekarang mereka hidup miskin. Menurut Pulles, mereka sekarang menggugat karena sebelumnya tidak pernah mendapat bantuan hukum. 
 
Menurut Ketua KUKB Batara Hutagalung, pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di Rawagede, Jawa Barat, 9 Desember 1947 terjadi sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian Indonesia – Belanda di atas kapal perang AS Renville. Tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa Rawagede, semua laki-laki di atas usia 15 tahun. 
 
Setelah pembantaian di Sulawesi Selatan, Desember 1946 hingga Februari 1947, peristiwa Rawagede ini adalah pembantaian terkejam yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk sipil (non combatant). Seperti di Sulawesi Selatan, tidak seorang pun pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan. 
 
Dikatakan Batara, di Belanda, 5 Mei dan 15 Agustus merupakan dua hari yang sangat istimewa. Pada 15 Agustus 1945, Belanda resmi bebas dari pendudukan Jerman. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito, menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat, dan hari itu juga merupakan hari pembebasan sekitar 300 ribu orang Belanda yang sejak tahun 1942 mendekam di kamp-kamp konsentrasi Jepang di Indonesia. 
 
Hingga sekarang, Belanda selalu mengenang masa pendudukan Jerman yang sangat kejam, dan para mantan interniran tetap menuntut Pemerintah Jepang meminta maaf atas “perlakuan buruk” yang dialami oleh orang-orang Belanda selama mendekam di kamp konsentrasi dan juga menuntut kompensasi. 
 
Ironisnya, kata Batara, setelah bebas dari pendudukan Jerman yang kejam dan masa interniran Jepang yang “buruk”, Belanda melakukan hal yang sama, bahkan di beberapa tempat lebih kejam daripada yang telah mereka alami dari Jerman dan Jepang. [yat] 
 
Sumber: http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=internasional/index.php?q=news&id=5783