Pengantar
Penulisan sejarah adalah suatu proses tanpa akhir (never ending process), karena apabila ditemukan bukti atau dokumen baru, maka harus dilakukan revisi terhadap sesuatu penulisan. Hal ini berlaku untuk semua penulisan mengenai sejarah di Indonesia, termasuk peristiwa Madiun dan peristiwa-peristiwa lain.
Penulisan sesuatu kejadian atau peristiwa tidak terlepas dari sosok penulisnya. Susah untuk menyatakan, bahwa sesuatu penulisan itu 100% obyektif, karena hal ini bukan hanya tergantung dari sumber yang diperolehnya, melainkan juga tergantung dari sudut pandang si penulis. Juga yang sangat penting adalah kesimpulan berdasarkan fakta dan data yang tersedia.
Misalnya mengenai yang dinamakan “Serangan Umum 1 Maret 1949”, walaupun sudah ada bukti-bukti dan dokumen yang baru ditunjukkan, tetap saja ada 3 versi mengenai peristiwa tersebut.
Peristiwa Madiun, dahulu tidak pernah disebutkan sebagai Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), melainkan dikenal sebagai Madiun Affairs, juga di berbagai penulisan sebelum tahun 1965.
Salah satu sumber referensi saya yang sangat penting adalah almarhum ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (10.3.1910 – 29.4.2002). Catatan dr. W. Hutagalung diberikan kepada saya pada bulan Agustus 1979, ketika mengunjungi saya di Hamburg, Jerman.
Sebelum Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Dalam pertempuran 28-29 Oktober 1945 di Surabaya Hutagalung memimpin pasukan yang mengepung tentara Inggris di daerah Darmo, dan menerima Kapten Flower (berkewarganegaraan Australia) yang membawa BENDERA PUTIH. Salah seorang ajudan Hutagalung di Surabaya adalah Wijoyo Suyono, yang kemudian menjadi KSAD dengan pangkat Jenderal bintang empat. Sebelum agresi milter Belanda ke II selain bertugas di Kementerian Pertahanan di Yogya, juga sebagai seorang dokter spesialis paru, dr. W. Hutagalung ikut merawat Panglima Besar (Pangsar) Sudirman yang menderita penyakit paru. Bulan September 1948 dr. W. Hutagalung diangkat menjadi perwira teritorial yang ditugaskan membangun jaringan gerilya di Jawa Tengah dalam persiapan menghadapi agresi militer Belanda ke II. Selama agresi militer II, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima divisi II dan III dengan Pangsar Sudirman. Markas Hutagalung di lereng Gunung Sumbing bersama Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Dr. W. Hutagalung pada waktu itu juga adalah atasan Letkol Suharto, komandan Wehrkreis 10. Setelah berakhirnya agresi militer II, dr. W. Hutagalung diangkat menjadi Kepala Staf Q (Kwartiermeestergeneraal Staf “Q”) dan memimpin delegasi TNI dalam perundingan serah-terima perlengkapan KNIL kepada TNI Januari 1950 di Bandung. Pihak Belanda diwakili oleh Kepala Staf tentara Belanda Mayor Jenderal van Langen. Wakil Hutagalung dalam perundingan tersebut adalah Kolonel GPH Jatikusumo [hal ini dituturkan oleh alm. Kol. TNI.(Purn). Alex E. Kawilarang pada 9 November 1999 di Gedung Joang 31. Menurut beliau, pada waktu itu kepangkatan tidak memegang peran penting, yang menentukan adalah jabatan yang dipegang oleh seseorang].
Akhir tahun 1949 sampai awal tahun 1950, dr. W. Hutagalung bersama keluarga tinggal di Paviliun rumah Pangsar Sudirman di (nama dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta, dan ikut dalam tim dokter yang merawat Jenderal Sudirman hingga beliau meninggal akhir Januari 1950.
Dr. W. Hutagalung hadir hampir dalam setiap perundingan penting yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman, baik sebelum agresi militer II, dan setelah agresi militer II selesai. Hutagalung selalu hadir bersama Jenderal Sudirman, karena selain sebagai Kepala Staf “Q”, juga sebagai satu-satunya perwira yang juga adalah dokter yang ikut merawat Pangsar, yang penyakit parunya semakin parah akibat berbulan-bulan kurang dirawat selama perang gerilya.
Hutagalung juga hadir dalam pertemuan pada 2 Agustus 1949 sore hari di rumah Pangsar di Jl. Widoro No. 10. Hadir antara lain Kolonel Nasution, Kolonel Hidayat, Kolonel Simatupang, Kolonel Gatot Subroto, Kolonel Bambang Sugeng, Kolonel GPH Jatikusumo dan Letkol dr. W. Hutagalung. Dalam pertemuan itu, Jenderal Sudirman meminta pendapat para perwira tersebut mengenai persyaratan gencatan senjata yang telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, tanpa melibatkan unsur pimpinan militer. Walau pun sebagian besar perwira Angkatan Perang sangat kecewa atas tindakan pimpinan sipil yang pada fase terakhir perjuangan kelihatannya ingin jalan sendiri dan mengabaikan peran TNI dan juga PDRI, namun semua sepakat, bahwa pada saat itu perlu dihindari perpecahan, apalagi antara pimpinan militer dengan pimpinan Pemerintah Republik.
Akhirnya Panglima Besar menerima pendapat tersebut dan mengirim utusan ke Istana, guna menyampaikan kepada Presiden Sukarno, bahwa Angkatan Perang Republik Indonesia menyetujui gencatan senjata yang sebelumnya telah disetujui oleh pimpinan sipil RI, dan agar Presiden Sukarno mengumumkan hal itu.
Sebenarnya, Pangsar telah menulis surat tertanggal 1 Agustus 1949 mengenai pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar TNI, dan bahkan dari dinas aktif TNI. Pangsar menerima pendapat para perwira TNI yang hadir, sehingga surat yang telah ditandatangani tersebut tidak jadi dikirim ke Presiden Sukarno.
Letkol TNI Dr. W. Hutagalung bersama seluruh staf dan ajudannya keluar dari dinas ketentaraan pada bulan Maret 1950, sebagai protes terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, yaitu:
Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS),
Diterimanya mantan tentara KNIL ke tubuh TNI.
Setelah Jenderal Sudirman meninggal akhir Januari 1950, pangkat tertinggi di TNI adalah Kolonel, baik itu Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel T.B. Simatupang, maupun Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution dan sejumlah Panglima Divisi dengan pangkat Kolonel juga.
Ketika mengurus Bintang Gerilya tahun 1994, yang menandatangan sebagai saksi untuk permohonan memperoleh Bintang Gerilya adalah Jenderal Besar TNI (Purn.) Suharto, Presiden RI, dan Jenderal TNI (Purn.) Surono, mantan KSAD, yang juga pernah menjadi bawahan Hutagalung ketika bertugas di Yogyakarta. Dalam waktu 11 hari surat keputusan mengenai pemberian Bintang Gerilya kepada Hutagalung telah ditandatangani oleh Presiden Suharto. Pada 4 November 1994, dalam kunjungan Hutagalung ke Presiden Suharto di Jl. Cendana No. 8, Presiden Suharto telah menyampaikan, akan menandatangani dua kali, sekali sebagai saksi, dan sekali sebagai Presiden. Dr. W. Hutagalung meninggal pada 29 April 2002, di usia 92 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata.
Semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam upaya mencari kebenaran dan meluruskan penulisan sejarah Indonesia, yang telah banyak diputar-balikkan.
Perang dingin (cold war) dimulai
Konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948, pada waktu itu dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena PKI tidak pernah dibubarkan, dan bahkan pada Pemilihan Umum pertama di RI tahun 1954, PKI menjadi partai terkuat ke 4. Baru di zaman Orde Baru peristiwa tersebut dinamakan pemberontakan PKI.
Untuk memahami latar belakang terjadinya tragedi nasional pertama ini, harus dilihat situasi dunia pada waktu itu.
Setelah usai Perang Dunia II, dua negara yang menjadi super power, Amerika Serikat dan Uni Sovyet, membangun kubu masing-masing. Dengan pengalaman PD II, di mana sekitar 20 juta warganya tewas, Uni Sovyet tidak ingin lagi diserang secara mendadak dan berdasarkan hasil keputusan Konferensi Yalta, Februari 1945 yang membelah Eropa menjadi dua blok, Uni sovyet membuat negara-negara tetangga yang di bawah pengaruhnya, menjadi tameng. Satu persatu negara tetangganya dikuasai oleh partai komunis di negara masing-masing, yaitu Polandia, Hongaria, Rumania, Bulgaria dan terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia). Sempurna sudah pagar negara yang dibangun Uni Sovyet di Eropa. Tiongkok yang kemudian jatuh ke tangan komunis, juga merupakan tameng Uni Sovyet di bagian timur.
Di lain pihak, Amerika Serikat yang takut akan bahaya komunis, juga tidak tinggal diam dalam upaya membendung penyebaran komunisme ke seluruh dunia. Tahun 1947, pendukung komunis di Yunani dan Turki semakin kuat, sehingga sangat mengkhawatirkan Inggris dan Amerika. Dalam rapat antara pejabat Departemen Luar Negeri dengan para anggota Kongres, Wakil Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, menyampaikan, bahwa apabila Yunani dan Turki jatuh ke tangan komunis, maka komunisme akan menjalar ke Iran dan bahkan sampai ke India. Di sinilah munculnya domino theory (teori domino). Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan terancam jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada 12 Maret 1947, Presiden Harry S. Truman meminta persetujuan Kongres untuk memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar 400 juta Dollar, guna menghancurkan komunis di kedua negara tersebut. Truman menyampaikan doktrinnya, yang kemudian dikenal sebagai The Truman Doctrin (Doktrin Truman), yang menjadi pedoman politik luar negeri AS untuk 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment ( containment = pembendungan) atau mengisolasi Uni Sovyet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.
Pada bulan Juni 1947, AS menyusun Marshall Plan yang dirancang oleh Menteri Luar Negeri AS, George Marshall, sebagai bagian dari kebijakan untuk membendung upaya Uni Sovyet dalam mempengaruhi negara-negara Eropa yang sedang dalam kesulitan finansial. Kongres AS menyetujui dana sebesar 12 milyar Dollar untuk program Mashall Plan, di mana dalam kenyataannya hanya dikucurkan kepada negara-negara Eropa Barat dan Yugoslavia, yang tidak ikut menjadi anggota Pakta Warsawa (kubu Uni Sovyet). Sedangkan negara-negara Eropa Timur lainnya yang berada di bawah kekuasaan Uni Sovyet tidak memperoleh, bahkan menolak dana dari Marshall Plan.
Perang Dingin (cold war) telah dimulai, dan makin memanas ketika Uni Sovyet melakukan blokade atas Berlin Barat, yang berada di bawah pengawasan AS. Marshall Plan kemudian tidak terbatas kepada negara-negara Eropa, namun di seluruh dunia. AS memberikan dana kepada negara-negara yang menyatakan kesediaannya akan membasmi komunisme, termasuk kepada Pemerintah Indonesia.
Pada bulan Maret 1948, AS. Inggris, Prancis, Belgia, Luxemburg dan Belanda membentuk organisasi yang menjadi cikalbakal pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang disahkan pada 4 April 1949. Tujuannya bukanlah untuk mempertahankan demokrasi atau free world (dunia yang merdeka) seperti yang digembar-gemborkan AS, melainkan hanya untuk menghadang ide komunisme, yang sangat menghantui para kapitalis, karena pada waktu itu, hampir semua negara-negara Eropa tersebut masih memiliki jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Inggris, Perancis, Belanda dan Belgia, yang tidak mau memberikan kemerdekaan kepada jajahan mereka. Bahkan Belanda dan Perancis dengan kekuatan militer yang besar, berusaha untuk menjajah kembali Indonesia dan Vietnam, yang telah menyatakan kemerdekaannya.
Di AS sendiri, warga kulit hitam hingga tahun 1968 belum memperoleh hak demokratisnya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Pada 4 April 1968, Martin Luther King Jr, tokoh kulit hitam AS yang sedang memperjuangkan hak politik dan demokrasi di AS, mati ditembak oleh kelompok rasis kulit putih AS.
Pada 18 September 1947 di AS, selain diresmikannya National Security Council (Dewan Keamanan Nasional) juga diresmikan berdirinya Central Intelligence Agency –CIA (Badan Pusat Intelijen), sebagai pengganti CIG (Central Intelligence Group). Founding fathers dari CIA adalah William "Wild Bill" Donovan dan Allen Dulles, kedua orang ultra konservatif tersebut beragama Katolik Roma dan anggota dari perkumpulan rahasia "Knights of Malta" (Ksatria Malta). CIA melakukan infiltrasi, subversi, bahkan pembunuhan dan melancarkan perang gerilya di negara-negara yang terindikasi tidak mendukung AS (Lihat: The CIA- The Police State dalam http://www.ezpz.co.za/cia.htm). Peranan perempuan dalam dinas rahasia AS sangat menonjol. Sebelum CIG, pada tahun 1942 Presiden Roosevelt mendirikan Office of Strategic Service, di mana terdapat 4.500 agen rahasia perempuan (National Women’s History Museum Exhibition on Woman Spies Opens Today, "Clandestine Women: The Untold Stories of Women in Espionage". Documents Women's History in the Undercover World, dalam http://www.nmwh.org/news/pressmarch25.htm).
Sepak terjang CIA dilakukan di berbagai belahan dunia, termasuk terlibat dalam penggulingan kepala negara atau kepala pemerintahan yang tidak mau tunduk kepada AS, seperti Perdana Menteri Mosadegh di Persia, Perdana Menteri Ngo Dinh Diem di Vietnam Selatan, Perdana Menteri Patrice Lumumba di Kongo, Presiden Salvador Allende (mati tertembak dalam kudeta yang disponsori oleh CIA) di Chile dan Presiden Sukarno di Indonesia. Langkah CIA bahkan sampai kepada pembunuhan kepala negara seperti Presiden Ecuador Jaime Roldos dan Presiden Panama Omar Torrijos (lihat: John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Berret-Kohler Publishers, Inc. San Francisco 2004).
Perang dingin antara AS dan Uni Sovyet menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia, di mana kedua super power bersama sekutu mereka, berusaha menarik para pemimpin Republik Indonesia ke pihak masing-masing, yang memuncak pada Madiun Affairs (peristiwa Madiun), September 1948.
Semula, AS menghindari kritik terhadap Belanda karena AS percaya, bahwa Eropa Barat harus dibangun dengan segala cara, dan apabila Eropa kehilangan jajahan mereka yang kaya, maka ini akan memperkecil kemampuan negara-negara Eropa untuk memulihkan diri. Di Belanda muncul istilah Indië verloren, rampspoed geboren (India hilang, timbul malapetaka. Sebutan Belanda untuk Indonesia adalah Indië, yaitu India). Tahun 1938, kekayaan yang dikuras dari Indonesia mencapai 16% dari pendapatan nasional Belanda. Bahkan antara 1851 – 1860, sumbangan dari Nusantara untuk pendapatan nasional Belanda mencapai sekitar 35% !
Padangan Pemerintah AS ini berdasarkan analisis CIA pada bulan September 1947. Ancaman terbesar bagi keamanan AS adalah kemungkinan runtuhnya perekonomian Eropa Barat dan akibatnya adalah makin kuatnya pengaruh komunis (McMahon, Robert J., Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in Indonesia, Lihat http://courreges.freeservers.com/indonesia.htm).
Perhatian AS lebih ditujukan kepada kesejahteraan Belanda, sekutunya sejak Perang Dunia II, sehingga perhatian terhadap tuntutan Republik Indonesia sangat terbatas. Namun setelah terlihat, bahwa Belanda tidak dapat menguasai Indonesia kembali, dan kuatir Indonesia yang merdeka akan masuk ke kubu Uni sovyet, AS merubah politiknya terhadap Indonesia. Dinas rahasia militer AS pada 23 Desember 1947 menyatakan, bahwa AS akan kehilangan muka di seluruh Timur Jauh apabila tidak mendukung gerakan-gerakan kemerdekaan yang merupakan hak mereka:
“…the US might lose prestige throughout the Far East, if we do not adequately support legitimate independence movements. The US State Department has further considered that a settlement with the present moderate Republican leaders would preclude Communist domination of the independence movement …”
Dana dari Marshall Plan untuk Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Suharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis 10), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Beberapa perwira TNI pendukung Pemerintah RI dan juga Ketua Mahkamah Agung Suryo (mantan Gubernur Jawa Timur) dibunuh, demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS dan gagasannya yaitu “Domino Theory”.
Red Drive Proposal. Konflik bersenjata internal RI yang pertama.
Pada bulan Maret 1948, sebelum kembali ke Amerika, Graham bertemu dengan Sukarno untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada Republik Indonesia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Sukarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB).
Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui "Red Drive Proposal" (proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan oleh Amerika.
Sebagai “imbalan” kesediaan Pemerintah Indonesia untuk membasmi komunisme di Indonesia, maka Indonesia pun mendapat kucuran dana sebesar 60 juta US $, yaitu bantuan untuk kepolisian RI. Namun ditekankan, bahwa bantuan tersebut tidak boleh dipergunakan untuk melawan Belanda.
Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA (lihat: Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997).
Kemudian disusunlah suatu skenario untuk memojokkan kelompok kiri, untuk mencari alasan penumpasan komunisme di Indonesia.
Diisukan, bahwa Sumarsono tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Sukarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Maka muncullah tudingan adanya “provokasi” dari Pemerintah Republik, karena keputusan yang telah diambil pimpinan Republik dengan wakil-wakil AS (lihat: T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82).
Sumarsono membantah tuduhan, bahwa pada 18 September 1948 dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND), dan telah terjadi pemberontakan PKI. Justru kebalikannya, bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat. Sumarsono yang kini menetap di Sidney, Australia, mengungkap hal tersebut kepada Radio Nederland dalam kunjungannya ke Belanda bulan Oktober 2002. Dia juga menyatakan, bahwa Suharto sebenarnya sangat mengetahui hal ini, namun mendiamkannya. Berikut adalah wawancara Radio Nederland dengan Sumarsono (lihat: Kolom Ibrahim Isa dalam milis Nasional):
Sumarsono: “Jadi setelah Bung Karno pidato, pidatonya itu menusuk hati Musso itu, lalu spontan dijawab sama Musso itu, ‘Ya, keadaannya jadi lain. Sebab pidatonya menggambarkan bahwa kita ini mesti dibasmi. Jadi karena itu,kita memikirkan bagaimana kita bela diri’ Jadi kami membentuk pemerintah Front Nasional Daerah. Saya dipilih sebagai gubernur militer. Lalu mulailah ada perlawanan pemerintah daerah Front Nasional Madiun terhadap usaha pemerintah pusat yang mengatakan kita melakukan pemberontakan dan mesti dibasmi.
Nah, dalam keadaan kayak begitu, Panglima besar Sudirman menyuruh Letkol Suharto, komandan resimen di Yogyakarta untuk meninjau Madiun. Dia telpon. Saya kebetulan yang menerima.
Dia bilang: ‘Ini mas, saya diutus oleh Pak Dirman untuk menjumpai mas Sumarsono.’
Oh, welcome, saya juga senang karena ini utusan Pak Sudirman supaya menyaksikan keadaan ini. Bahwa kami tidak berontak. Kami membela diri. Nah, datanglah yang namanya Letkol Suharto itu di Madiun. Sudah agak malam.
Radio Nederland [RN]: Sendiri?
Sumarsono: Sama sopirnya. Lalu saya bilang, saya senang ini dik Harto datang ke mari diutus Pak Sudirman. Tapi ini sudah malam dik Harto. Bagaimana kalau besok pagi dik Harto sama saya keliling kota, melihat keadaan di kota, bahwa kami nggak ada pemberontakan apa-apa. Dan apa yang disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta, karena itu Overste Suharto mengemukakan, ‘o surat-surat kabar di Yogyakarta ini mengatakan bendera merah-putih diturunkan, bendera palu arit Sovyet dinaikkan, pembunuhan, penangkapan massal, orang-orang baru dimasuk ke dalam penjara.’ Begitu di koran-koran. Besok kita saksikan. Nggak ada gitu dik Harto, nggak ada. Dan bagaimana dik Harto membantu kami? Kan nggak bagus ini, kita sedang hadapi Belanda, kok sekarang kita ini bertempur sendiri?”
RN: “Lalu apa tanggapan dik Harto ini?”
Sumarsono: “Waktu itu dia nanggapi dengan baik dan besok pagi bersama dengan dia kami keliling kota. Menyaksikan apa yang ditulis surat-surat kabar di Yogyakarta itu, itu nggak benar. Lalu saya ajak masuk penjara, lihat apa ada daftar orang baru yang ditangkap.”
Lalu sesudah itu saya minta sama dia: ‘dik Harto, tolong dik Harto ini nanti nyampaikan surat kami kepada Presiden Soekarno. Lalu tolong deh bikin pernyataan dik Harto supaya itu jangan sampai ada tanggapan itu seperti disiar-siarkan oleh surat kabar Yogyakarta.’ Dia berkata, ‘Baik, baik mas, tapi mas aja bikin pernyataan itu, nanti saya teken, saya tanggung jawab’.
RN: “Bapak bikin?”
Sumarsono: “Saya bikin. Bahwa keadaan di Madiun normal, tidak sebagaimana disiar-siarkan oleh surat-surat kabar di Yogyakarta. Tidak ada bendera merah-putih diturunkan, tidak ada bendera merah-palu arit dinaikkan. Di Madiun tidak ada penangkapan massal, tidak ada banjir darah. Keadaan di Madiun normal. Teken: Letkol Suharto. Dan pernyataan itu disiarkan oleh surat kabar daerah, radio Madiun. Nah, waktu dia mau pulang ke Yogya ini, dia bawa surat yang ditulis oleh Amir Syarifuddin untuk Bung Karno, supaya Bung Karno bisa turun tangan dan menyelesaikan secara baik. Karena kita masih butuh bersatu untuk melawan Belanda. Tapi kita dengar belakangan bahwa Suharto ini di Sragen ditahan oleh Siliwangi. Katanya surat itu tidak sampai kepada Presiden.”
RN: “Bagaimana dengan laporannya kepada Jenderal Sudirman?
Sumarsono: “Itu kami nggak tahu. Yang kami dengar, dia ditahan oleh Siliwangi. Tapi sebentar, terus dilepas lagi, kembali ke Yogya juga. Surat Amir itu nggak tahu ke mana.”
RN: “Tapi kemudian sejak Suharto menjadi Presiden, dia membisu tentang peristiwa Madiun?”
Sumarsono: “Tapi dia tulis juga di otobiografinya bahwa waktu peristiwa Madiun itu, dia ada di Madiun. Dia sebut ketemu sama Musso.”
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk membantu menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung kepada kaum imperialis AS. Hal ini diungkapkan oleh dr. W. Hutagalung, yang juga pernah dibujuk oleh Amir Syarifuddin untuk ikut bergabung dengan gerakan mereka. Hutagalung menuturkan pembicaraannya dengan Amir Syarifuddin, antara dua putra Batak di Yogyakarta, yang telah saling kenal sejak di Surabaya awal tahun 40-an:
“ …Pada suatu hari, sekitar pertengahan tahun 1948, kami bertemu dan Amir Syarifuddin menceriterakan mengenai rencana gerakan mereka, kekuatan pendukungnya serta rencana pengembangan pasukan pendukungnya. Dia tentu, mengetahui peran penulis dalam pertempuran di Surabaya Oktober/November 1945 dan selama perang gerilya di Jawa Timur.
Kemudian dia mengatakan: “Bung Willy, pimpinlah pasukan kami. Saya angkat saudara menjadi Mayor Jenderal.”
Saya menjawab: “Bung Amir, kau dibohongi orang-orangmu. Pasukanmu tidak begitu kuat dan tidak betul berpengalaman. Juga tidak betul senjatanya begitu banyak. Saya mengetahui dengan jelas jumlah pasukan beserta persenjataannya dan saya dari permulaan di daerah pertempuran di Jawa Timur. Saya tidak pernah melihat pasukan yang Bung Amir sebutkan. Di rumah sakit selalu didaftar mengenai korban, dari pasukan atau laskar mana, di mana kejadiannya, luka-lukanya karena apa. Tidak pernah saya lihat di daftar-daftar rumah sakit catatan pasukan-pasukan yang Bung Amir maksud. Untuk membangun pasukan yang Bung Amir rencanakan untuk merebut kekuasaan, perlu dana yang sangat besar. Selain itu saya tidak tertarik dengan pangkat Mayor Jenderal.” (Pada waktu itu, dr. W. Hutagalung berpangkat Kolonel. Pangkat Brigadir Jenderal belum dikenal di TNI waktu itu yang masih mengikuti sistem kepangkatan tentara Belanda, sehingga pangkat setelah Kolonel adalah Mayor Jenderal).
Saya juga mengemukakan, bahwa pergerakan sebesar itu memerlukan dana yang sangat besar, namun Amir Syarifuddin menjelaskan, bahwa ‘teman-temannya’ akan membantu menyediakan dana yang dia butuhkan. Saya ingat, bahwa Amir pernah menyatakan telah menerima uang dari Idenburg untuk membangun jaringan bawah tanah melawan tentara Jepang, dan saya duga, yang dimaksud dengan temannya itu adalah Idenburg. Bagi saya jelas, bahwa Belanda juga berada di balik gerakan Musso-Amir Syarifuddin…”
Demikian penuturan dr. W. Hutagalung.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Amir Syarifuddin mengakui telah menerima uang sebesar 25.000 gulden dari Dr. Idenburg untuk melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang. Namun sejumlah kalangan menyebutkan, bahwa melihat besarnya dana yang dikeluarkan oleh Syarifuddin, dana yang diberikan lebih dari itu, diperkirakan sebesar 50.000 gulden. Bagi Belanda, dan beberapa negara Eropa Barat, untuk melawan negara fasis seperti Jepang dan Jerman, termasuk orang-orang yang dipandang sebagai kolaborator fasis Jepang seperti Sukarno-Hatta, segala cara ditempuh, termasuk kerjasama dengan pihak sosialis dan komunis, dalam hal ini dengan Partai Komunis Indonesia dan kelompok kiri lainnya.
Ini bukanlah pertama kalinya satu negara kapitalis membantu kelompok komunis untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang menjadi lawannya. Hal ini dilakukan oleh Kaisar Wilhelm II dari Jerman, yaitu ketika membantu Lenin pada tahun 1917 untuk mengadakan revolusi di Rusia, yang waktu itu sedang berperang melawan Jerman dalam Perang Dunia I. Dengan harapan melalui revolusi Bolsyewik di Rusia, kekuatan Rusia akan melemah, pada 16 April 1917 pihak Jerman membantu Lenin kembali dari exilnya di Swiss dengan kereta api khusus menuju Swedia, kemudian melalui Finlandia dan sampai di Rusia.
Selama Perang Dunia II di Eropa, banyak pemuda Indonesia beraliran kiri, bertempur di pihak Belanda melawan fasisme Jerman.
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948 (Pengangkatan diumumkan melalui radio, sedangkan surat pengangkatan resmi baru diterima kemudian), serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Yasin menggambarkan peristiwa tersebut seperti situasi di Jerman, yaitu ketika pasukan Amerika Serikat dan pasukan Rusia bertemu di kota Berlin pada tahun 1945 [Wawancara dengan Komjen POL (Purn.) DR. M. Yasin, bulan Desember 1998]. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Catatan akhir:
Dr. W. Hutagalung menuturkan, bahwa ketika Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di Asia kelompok kiri Indonesia menjadi sekutu Belanda melawan fasisme Jerman dan Jepang. Namun setelah Perang Dunia (PD) II usai, berkembangnya pengaruh kelompok kiri di Indonesia yang juga mendukung kemerdekaan RI membuat Pemerintah Belanda kuatir. Ketika Amerika Serikat datang dengan gagasan pembasimian komunisme di seluruh Indonesia, termasuk di Indonesia, Belanda langsung menyetujuinya dan bahkan ikut berperan dengan bermuka dua, seolah-olah membantu kelompok kiri yang adalah mantan sekutunya selama PD II, dan juga kepada Pemerintah Indonesia menawarkan “bantuan” untuk membasmi komunisme.
Sejarah mencatat, bahwa di tengah-tengah konflik bersenjata internal RI yang pecah sejak 19 September 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948 dengan menyerbu Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu, dan menangkap seluruh pimpinan sipil RI.
Tokoh-tokoh kiri yang ditangkap, a.l. Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, diekseksi pada 20 Desember 1948 atas perintah Kolonel Gatot Subroto, karena TNI tidak mau dibebani dengan tawanan di masa perang melawan agresi militer Belanda.
PKI sendiri tidak pernah dibubarkan oleh Pemerintah RI waktu itu, dan ironisnya, selama agresi militer Belanda II, banyak pengikut kelompok kiri juga ikut bertempur di pihak Republik Indonesia melawan Belanda, yang merupakan sekutunya selama PD II.
Hal ini juga menunjukkan, bahwa di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hany kepentingan masing-masing, apakah kelompok, partai atau bahkan negara.
Jakarta, September 2006
Batara R. Hutagalung
Saturday, September 23, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)