Pembantaian di Galung Lombok
Kesaksian
Sebagaimana dituturkan
kepada Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang
Kehormatan Belana (KUKB)
Selama
berada di Sulawesi Barat dari tanggal 17 – 19 Juni 2012, selain menjadi
narasumber dalam seminar di Majene, saya juga mengunjungi salah satu ladang
pembantaian (killing field) yang
terkejam di dunia, yaitu di Desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali
Mandar, sekitar 8 km dari Majene, Sulawesi Barat. Pembantaian tersebut lebih
kejam dan dengan korban lebih banyak lagi dari peristiwa pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (Balongsari) pada 9 Desember
1947, di mana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa.
Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama HM Ali Hatta,
putra seorang korban, pengurus KKMSB dan pengurus Lembaga Advokasi,
di depan gerbang masuk ke Monumen Galung Lombok
Di
desa Galung Lombok, pada hari Sabtu, 1 Februari 1947 terjadi pembantaian terhadap lebih dari 700 orang, bukan hanya penduduk dari desa Galung Lombok, melainkan juga
yang digiring dari desa-desa di sekitar Galung Lombok, bahkan ada yang dari
desa yang berjarak sekitar 38 km dari desa Galung Lombok. Pembantaian ini
termasuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang paling kejam dan
biadab di dunia, karena ke arah kerumunan massa -penduduk sipil, non combatant- yang jumlahnya
diperkirakan mencapai ribuan, diperintahkan untuk menembak secara membabibuta.
Tidak terhitung jumlah orang yang menderita luka akibat penembakan yang
membabibuta tersebut. Di antara korban tewas, terdapat dua orang perempuan dan
beberapa orang anak-anak.
Lembaga
Advokasi Korban 40.000 Galung Lombok Sulawesi Barat, yang telah mengumpulkan
data sejak sekitar 3 bulan, telah mendapat 485 nama korban, sebagian masih
dapat dilacak ahli warisnya. Lebih dari 160 belum diketahui namanya. Pada waktu
terjadinya peristiwa pembantaian, karena sangat terburu-buru dan di bawah
ancaman tentara Belanda, tidak ada lagi yang berpikir untuk menghitung jumlah
korban yang tewas dan berapa yang luka-luka.
Peristiwa
seperti ini, yang dilakukan hanya dalam waktu beberapa jam dengan korban
ratusan jiwa, hanya terjadi dua kali di dunia, yaitu selain di Galung Lombok,
juga telah terjadi di Amritsar, India pada hari Minggu, 13 April 1919 yang
dikenal sebagai Jallianwala Bagh massacre.
Di tengah kerumunan penduduk sipil yang berjumlah sekitar 15.000 orang,
termasuk wanita dan anak-anak, komandan pasukan Inggris Brigjen Reginald Dyer
memerintahkan 50 orang serdadunya untuk menembaki kerumunan massa tersebut.
Pihak Inggris mengklaim, bahwa korban tewas “hanya” sekitar 300 orang, namun
Kongres India menyatakan, bahwa korban tewas mencapai 1.000 jiwa dan 1.500
lainnya terluka.
Saya
juga berkesempatan bertemu seorang janda korban yang telah berusia 91 tahun,
beberapa saksi mata, dan putra-putri korban pembantaian yang dilakukan oleh
anak buah Raymond Westerling dari Depot
Speciale Troepen (DST) di Desa Galung Lombok. Beberapa dari mereka sempat
saya wawancarai satu-persatu. Karena keterbatasan waktu, tidak semua dapat saya
wawancarai. Selain itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena beberapa dari
mereka kurang mengerti bahasa Indonesia, sehingga harus diterjemahkan ke bahasa
Mandar. Juga setelah 65 tahun tentu tidaklah lagi dapat diingat semua dengan
rinci, dan hanya garis besarnya saja yang dapat dituturkan.
Keterangan
disampaikan dengan lancar dari putra-putra atau saksi mata, yang pada waktu
peristiwa tersebut terjadi, berusia belasan tahun, atau mendengar langsung dari
kerabat yang selamat dari pembantaian.
Penyusunan
kesaksian ini memang tidak sempurna, mengingat waktu telah berjalan lebih dari
65 (!) tahun, dan para saksi mata atau janda korban sebagian besar usianya
telah lebih dari 85 tahun. Juga belum semua yang ditemui di Sulawesi Barat
dapat diwawancarai. Memerlukan waktu yang jauh lebih lama lagi dan lebih intensif untuk mendapat gambaran yang
lebih luas dan mendalam mengenai apa yang telah terjadi pada 1 Februari 1947. Putra-putri
dari para korban yang tewas pun usianya telah lebih dari 70 tahun. Kebanyakan
mereka mendengar penuturan dari para kerabat yang menyaksikan langsung
peristiwa pembantaian, yang oleh masyarakat Mandar dikenal sebagai PENYAPUAN/PANYAPUANG!
Monumen Galung Lombok
Peristiwanya
Pada
hari Sabtu tanggal 1 Februari 1947, seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan
Westerling dalam menebar terror di masyarakat di Sulawesi Selatan (sekarang
sebagian termasuk Sulawesi Barat), fase pertama adalah, orang-orang dari
desa-desa di sekitar desa Galung Lombok dikumpulkan dan digiring ke desa Galung
Lombok. Hari Sabtu di daerah itu adalah hari pasar, dan semua orang yang sedang
berada di pasar-pasar di desa-desa di sekitar Galung Lombok digiring ke desa
Galung Lombok. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Juga ada yang diangkut dengan
truk karena jaraknya jauh, seperti dari Soreang, yang berjarak 38 km dari Galung
Lombok, namun sebagian terbesar berjalan kaki sekitar 5 – 10 km. Pasukan Depot Speciale Troepen (DST) yang ke
Majene dipimpin oleh Letnan Vermeulen.
Ribuan
rakyat itu dipaksa menyaksikan eksekusi terhadap orang-orang yang oleh Belanda
dituduh sebagai ekstremis, perampok atau pembunuh. Semua tahanan dari
penjara-penjara dibawa ke Galung Lombok untuk kemudian langsung ditembak mati
tanpa proses pengadilan. Metode tentara Belanda ini dikenal sebagai standrechtelijke executie, atau tembak mati
di tempat.
Sebenarnya
pola yang akan dilakukan di desa Galung Lombok juga sama, yaitu fase pertama,
seluruh masyarakat digiring ke satu lapangan besar yang terbuka, kemudian
perempuan dan anak-anak dipisahkan. Fase kedua, dilakukan seleksi terhadap
orang-orang yang dipandang sebagai ekstremis, perampok dan pembunuh.
Berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari intel Belanda yang kebanyakan
dibantu oleh pribumi, komandan tentara Belanda memanggil nama-nama yang ada di
daftar, dan langsung ditembak mati. Yang diambil dari penjara juga langsung
ditembak mati, karena dianggap sebagai perampok atau pembunuh.
Di
beberapa tempat, seperti di Pinrang, mereka sebelumnya disuruh menggali lubang
dahulu untuk kuburan mereka sendiri baru kemudian ditembak di depan lubang yang
mereka gali. Namun hal ini tidak dilakukan di desa Galung Lombok. Sekitar siang
hari, ketika fase kedua sedang berlangsung, komandan pasukan Belanda, Letnan
Vermeulen mendapat berita, bahwa terjadi penghadangan terhadap pasukan Belanda
di desa Talolo (ada yang menyebut Tadholo), di mana 3 orang serdadu Belanda
mati. Berita ini membuat Vermeulen menjadi marah besar, dan kemudian
memerintahkan untuk menembaki ribuan orang yang telah terkumpul di lapangan di
desa Galung Lombok. Dalam laporannya tahun 1969, pemerintah Belanda menyebut
korban tewas di Galung Lombok (Belanda salah menulis nama desanya, yang disebutkan
terjadi di desa Galoenggaloeng) antara 350 – 400 orang. Tidak disebut berapa
ratus orang yang terluka.
Fase
ketiga, setelah selesai dilakukan pembantaian, rakyat disuruh berkumpul semua.
Apabila ada kepala desa di antara yang mati ditembak atau yang dianggap tidak
mendukung Belanda, maka diangkat kepala desa baru dengan ancaman kepada seluruh
rakyat, bahwa demikianlah nasib orang-orang yang menentang kekuasaan Belanda.
Kesaksian
Berikut
ini kesaksian singkat dari seorang janda korban dan putra korban serta empat
orang saksi mata.
- Baya
Langi.
Kini berusia 91 tahun. Pada waktu
terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap suaminya, Hadollah, di Desa Galung
Lombok, dia berusia 26 tahun. Ketika itu, Baya Langi dan Hadollah tinggal di
desa Soreang, sekitar 38 km dari desa Galung Lombok.
Di pagi itu sekitar pukul 7, seperti
biasanya setiap pagi, Baya Langi menenun kain. Dari dalam rumah mereka telah
mendengar hingar-bingar di luar rumah. Terdengar suara truk. Rupanya tentara
Belanda datang dengan truk, dan memerintahkan semua laki-laki untuk naik ke
truk, tanpa membawa apapun. Semula, Hadollah ke luar rumah dan berpura-pura
akan mengambil air wudhu, namun dicegah oleh tentara Belanda, dan diperintahkan
untuk langsung naik ke atas truk. Hadollah telah naik ke truk, namun tiba-tiba
dia meloncat turun lagi dan menghampiri isterinya. Dia mencabut cincin yang
sedang dikenakannya dan memberikan cincin tersebut kepada isterinya sambil
berkata: “Sabar, saya tidak bersalah!”
Ternyata Hadollah salah sangka. Dia
tidak kembali.
Baya Langi menunjukkan cincin yang diberikan Hadollah sebelum
dibawa pergi oleh tentara Belanda ke Galung Lombok
Hadollah kemudian naik ke truk lagi,
di mana telah ada sekitar 30-an orang lain. Hadollahpun tidak tahu akan dibawa
kemana. Itulah terakhir kali Baya Langi melihat suaminya. Di malam hari,
orang-orang menyampaikan kepadanya, bahwa suaminya ikut dibunuh oleh tentara
Belanda di Desa Galung Lombok.
Ketika itu Baya Langi sedang hamil 5
bulan. Anaknya lahir tanpa mengenal ayahnya yang mati ditembak tentara Belanda
tanpa proses, tanpa mengetahui mengapa dia dibunuh dengan kejam. Anaknya
meninggal di usia 2 tahun.
- H.M.
Ali Hatta, 71 tahun.
Putra dari Hatta, korban pembantaian
di Galung Lombok pada 1 Februari 1947. Pada waktu itu keluarga Hatta tinggal di
dekat Galung Lombok. Hatta memiliki 4 orang putra dan satu orang putri. Pada
waktu terjadinya peristiwa pembantaian, putra bungsunya baru lahir beberapa
minggu. Kini tinggal Ali Hatta dan seorang abangnya yang masih hidup, yang lain
telah meninggal. Ali Hatta kini tinggal di Tanjung Priok, Jakarta, dan masih
bekerja sebagai petugas keamanan di lingkungannya.
H.M. Ali Hatta di depan makam ayahnya
Pada 1 Februari 1947, dia baru berusia
sekitar 5 tahun, dan hanya mendengar ceritera dari kerabatnya. Ayahnya, seorang
pengurus warga di desanya, dijemput oleh tentara Belanda waktu subuh. Setelah
itu tidak kembali lagi. Di tembok nama-nama korban di Monumen Galung Lombok,
nama Hatta tertera di lajur pertama, baris ke tujuh dari atas. Di lajur pertama,
nama-nama yang tertera di situ hampir semua adalah kerabat Hatta yang tewas
pada 1 Februari 1947.
Almarhumah ibu dari Ali Hatta juga
seorang pejuang yang mendapat anugerah Bintang Gerilya dari pemerintah RI.
Namun sampai saat ini, belum pernah ada yang menanyakan kepadanya mengenai
peristiwa yang dialami oleh keluarga besarnya pada 1 Februari 1947. Ini adalah
yang pertama kali Ali Hatta menuturkan kisah pilu keluarganya. Sebagaiman nasib
ribuan anak-anak korban pembantaian tentara Belanda, Ali Hatta dan kakak serta
adiknya diasuh oleh ibunya dengan bantuan dari kerabat mereka. Tidak pernah
mendapat bantuan, baik dari pemerintah Indonesia, apalagi dari pemerintah
Belanda.
Adik bungsunya bernama Abdullah
Rasyid, namun nama panggilan sehari-harinya adalah Si Sapuan, karena baru lahir
ketika terjadi peristiwa PENYAPUAN!
Setiap ada kesempatan, Ali Hatta
selalu berziarah ke makam ayah dan kerabatnya yang lain, terutama menjelang
bulan suci Ramadhan.
- Sama
Unding, 85 tahun
Pada waktu terjadinya peristiwa di
Desa Galung Lombok, berusia 20 tahun. Sama Unding berasal dari Desa Lawarang,
Kecamatan Tinambung.
Sama Unding
Tanggal 1 Februari pagi-pagi, dia
dijemput dari rumah dan bersama-sama dengan laki-laki dari desanya digiring ke
Galung Lombok. Dia melihat sekitar 40 – 50 orang yang dikawal tentara. Satu
kelompok sekitar 5 orang yang diikat tali satu dengan lainnya. Siang hari,
ketika dimulai penembakan, dia melarikan diri ke arah pepohonan enau. Telapak
tangan kanannya terkena peluru, tetapi dia terus lari. Kemudian dia tidak
melihat lagi apa yang terjadi dan hanya mendengar setelah itu, bahwa terjadi
pembunuhan terhadap ratusan orang.
- Hama,
81 tahun.
Berasal dari desa Lawarang. Pada waktu
kejadian berusia sekitar 16 tahun. Pagi itu sekitar pukul 08.00 dia sedang
membetulkan atap rumah. Tentara Belanda mengambilnya dari rumah dan dibawa ke
tepi sungai, untuk menunggu semua orang dari desa Lawarang yang akan dibawa ke
Galung Lombok. Keseluruhan dari desa Lawarang yang dibawa ke Galung Lombok
sekitar 40 orang. Dia melihat rombongan tahanan yang dibawa dari Majene.
Dia menyaksikan ada orang-orang yang
diadu untuk saling berkelahi, kemudian keduanya ditembak mati. Hama juga
melihat kenalan-kenalannya yang ditembak mati oleh tentara Belanda, a.l. Kapa,
Kacamba, Tasu, Kaco Pecik, Lawungan. Juga dia melihat Imam Baruga ditembak di
kepala. Sebelumnya Imam baruga mengatakan:” Saya Haji!”, Tentara Belanda menjawab:”Semua
Haji perampok” dan langsung menembak Imam Baruga di kepala. Kemudian tentara Belanda
itu mengambil topi haji dari Imam Baruga dan mengenakan topi tersebut. Lalu dia
berkata:”Sekarang saya haji!”
Hama
Sekitar siang hari, Hama melihat
seorang tentara Belanda datang membawa surat kepada komandan tentara Belanda
yang tidak diketahui namanya oleh Hama. Belakangan diketahui, bahwa komandan
tersebut mendapat informasi mengenai penghadangan terhadap pasukan Belanda di
desa Talolo, yang mengakibatkan tewasnya 3 tentara Belanda.
Komandan tentara Belanda tersebut
kemudian memerintahkan untuk melakukan penembakan ke kerumunan massa yang
berjumlah ribuan orang. Penembakan dilakukan dengan menggunakan senjata
otomatis (sten gun?). Pada waktu itu,
penembakan tersebut dikenal dengan nama “PENYAPUAN”, seperti layaknya menyapu
hingga bersih!
Hama menjatuhkan diri ke tumpukan
orang yang telah kena tembak. Waktu itu sehabis hujan, jadi darah yang
bercampur dengan air memberikan kesan seperti terjadi banjir darah, dan tidak
diketahui, mana yang telah tewas dan mana yang masih hidup. Ribuan tubuh
bergelimpangan dan semuanya berlumuran darah.
Tentara Belanda kemudian
memerintahkan, agar yang masih hidup segera berdiri. Namun mereka yang belum
mati kena tembak, tetap tidak mau bangkit. Komandan tentara Belanda sampai tiga
kali memerintahkan agar yang tidak mati segera bangkit, dan dia berjanji, tidak
akan menembak lagi. Dia mengatakan:”Yang mati itu orang-orang kotor, dan yang
hidup orang-orang bersih!” Walaupun ragu-ragu satu persatu yang masih hidup
atau yang hanya terluka bangkit.
Komandan tentara Belanda kemudian
berkata:”Kuburkan semua yang mati. Kalau sampai jam 18.00 tidak selesai, kami
kembali dan kamu semua ditembak mati!”
Tentara Belanda meninggalkan desa
Galung Lombok sekitar pukul 17.30. Mereka yang hidup segera menguburkan
orang-orang yang mati dengan alat seadanya, dan kebanyakan dengan kayu-kayu
yang bisa mereka peroleh dari tempat di sekitar lapangan. Mereka juga mengambil
kayu-kayu pagar rumah. Mereka tidak sempat lagi memperhatikan apalagi merawat
yang terluka kena tembakan, karena ketakutan tentara Belanda akan kembali dan
menembak mati mereka semua.
Beruntung bahwa sehabis hujan, tanah
tidak terlalu keras, namun mereka hanya menggali sekitar sebatas dengkul,
karena ratusan mayat harus segera dikubur. Di satu lubang dimasukkan antara 5
sampai 10 mayat. Banyak dari mereka masih mengenali, siapa yang mereka
kuburkan, sehingga kemudian dapat memberitahu keluarga atau kerabat yang
teewas, di tumpukan mana keluarga mereka dikuburkan.
Hama mengingat, dia ikut menguburkan
Kacamba, Kapa, Nakku, Kaco Pecik dan Pasu. Mereka selesai menguburkan semua
mayat sebelum jam 18.00. Ternyata tentara Belanda tidak kembali, sehingga
mereka dapat memulai merawat orang-orang yang terluka. Tidak ada tenaga medis
sama sekali, sehingga orang-orang yang terluka hanya diobati seadanya secara tradisional.
- H.
Fatani Thayeb, 104 tahun.
Pada waktu terjadinya peristiwa
tersebut berusia 39 tahun. Pekerjaannya adalah penjahit. Fatani tamatan sekolah
menjahit (Kleermaker School) di
Batavia, oleh karena itu, dia dikenal sebagai Fatani “Taylor”. Pernah menjahitkan pakaian Presiden Sukarno.
Tahun 1947 dia tinggal di Baruga,
tempat pusat perlawanan terhadap Belanda. Bersama-sama semua penjahit dari
Baruga dan sekitarnya, pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 dia mendengar suara
ribut-ribut dan melihat tentara Belanda di depan rumahnya. Dia menuruni anak
tangga dari rumah panggungnya, dan pura-pura akan mengambil air wudhu. Namun
seorang tentara Belanda menahannya dan mengancam, agar tidak pergi kemana-mana.
Seluruh isi rumah harus keluar dan berkumpul di depan rumah. Bersama isteri dan
5 orang anaknya dia berbaris dengan rombongan penjahit dari Baruga dan
sekitarnya. Setiap deretan terdiri dari 4 orang.
Para penjahit dituduh menjahitkan
pakaian para pejuang, yang untuk Belanda dipandang sebagai ekstremis. Mereka
digiring ke Galung Lombok, melalui Desa Simulu, Desa Galung, Desa Tande dan
Desa Talolo.
Isterinya sedang hamil tua dan
mengalami kesulitan untuk berjalan kaki sepanjang sekitar 8 km, melalui
perbukitan. Oleh karena itu, Fatani dan keluarganya tertingal di belakang
rombongan penjahit dari Baruga. Di tengah jalan yang dilalui, bergabung juga
rombongan dari desa-desa yang mereka lalui, termasuk rombongan orang sakit dari
Desa Talolo.
Fatani Thayeb
Ketika mereka tiba di Galung Lombok,
rombongan penjahit dari Baruga telah ditembak mati semua. Dia selamat dari
eksekusi karena isterinya hamil tua dan jalannya sangat lambat, sehingga dia
dan keluarganya kemudian termasuk rombongan orang sakit dari Desa Talolo.
Abangnya, H. Sunusi, diperintahkan
untuk berkelahi dengan seseorang yang tak dikenalnya. Dijanjikan, bahwa yang
kalah akan ditembak mati dan yang menang akan dibiarkan hidup. Namun ternyata
keduanya ditembak mati.
Ketika dimulai penembakan membabi buta
oleh tentara Belanda, Fatani menjatuhkan diri dan tiarap serta berpura-pura
mati. Banyak yang melakukan ini.
Orang-orang dari Desa baruga yang
dibunuh, selain abangnya, yang dia ingat a.l. Kepala Desa Baruga, Sulaiman,
Kepala Desa Segeri Daming, Imam Baruga, Ama Makruf, Imam Segeri, H. Nuhung,
Setelah penembakan yang membabibuta itu, komandan tentara Belanda memerintahkan
agar yang tidak mati segera berdiri. Mereka diperintahkan untuk menguburkan
mayat-mayat tersebut.
- H.
Zainuddin Muhammad.
Menantu dari H. Fatani Thayeb. Usia
kini 74 tahun.
Pada waktu peristiwa terjadi, berusia
sekitar 8 tahun. Bersama orang tuanya tinggal di desa Baruga, yang merupakan
salahsatu basis perjuangan di daerahnya. Di Baruga terdapat markas GAPRI
(Gabungan Pemberontak RI) dengan Kode rahasia 351. GAPRI dipimpin oleh H.M.
Djud Pance dan isterinya, Hj. Maemunah. Mereka tertangkap dan kemudian dibuang
ke Cilacap. Zainuddin masih ingat, pada waktu itu sudah dilibatkan untuk
mengawasi jalanan, apabila ada orang asing yang melintas di daerahnya.
Pada 1 Februari 1947 di pagi hari,
semua orang dari desa Baruga digiring ke Galung Lombok, termasuk orang-orang
yang sakit. Mereka berjalan kaki sekitar 8 km. Setibanya di Galung Lombok,
wanita dan anak-anak serta orang sakit dipisahkan. Zainuddin masih ingat,
tentara Belanda yang berasal dari Jawa membagikan permen kepada anak-anak.
Pada waktu terjadi penembakan membabi
buta, ayah Zainuddin termasuk yang selamat. Tentara yang berasal dari Jawa
berteriak kepada mereka untuk tiarap. Yang tergeletak di tanah, apakah sudah
mati atau belum, tidak ditembak lagi. Demikianlah yang diingat oleh Zainuddin.
- Siti
Amani, putri dari Nakku, korban pembantaian oleh tentara Belanda, tidak
sempat diwawancarai.
Siti Amani menunjukkan nama ayahnya, Nakku
Siti Amani di depan makam ayahnya
Demikianlah
sekelumit kisah pilu dari Sulawesi Barat, yang bisu selama 65 tahun. Hampir 700
orang yang tewas dalam beberapa jam, namun ribuan orang memendam pilu dan derita
selama puluhan tahun. Sama seperti kisah pilu dari Rawagede, satu desa yang
terletak antara Karawang dan Bekasi, yang juga bisu sampai tahun 2005, sebelum
dibawa oleh KUKB ke parlemen Belanda pada 15 Desember 2005. Jeritan Chairil
Anwar: “Karawang – Bekasi” akhirnya didengar oleh dunia!
Dari kiri: Sama Unding, Baya Langi, Hama, Batara R. Hutagalung
*******