Selain mencatat pengulangan sejarah, kemenangan pasangan Ir. Joko Widodo (Jokowi) – Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pilkada DKI Jakarta 2012, dan mencatat sejarah baru untuk Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, juga memberi pelajaran yang sangat berharga untuk ke depan.
Diasumsikan,
bahwa penghitungan suara yang akan dilakukan oleh KPUD tidak berbeda jauh
dengan hitung-cepat (quick count)
yang telah dilakukan oleh enam lembaga penelitian, maka tanggal 7 Oktober 2012
DKI Jakarta akan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Hasil penghitungan
cepat enam lembaga tersebut telah menyatakan kemenangan pasangan Jokowi/Ahok
atas pasangan Dr. Ing. Fauzi Bowo (Foke) - Mayjen. TNI (Purn.) Nachrowi Ramli
(Nara).
Selama
ini, hasil hitung-cepat tidak berbeda jauh dengan tabulasi yang dilakukan oleh
KPU, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, apabila tidak terjadi “hal-hal
yang aneh”, maka dipastikan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama akan menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 – 2017.
Dengan
berhasilnya Joko Widodo, yang masih menjabat sebagai Walikota Solo, menjadi
Gubernur DKI Jakarta, maka ini adalah pengulangan sejarah, yaitu seorang
Walikota Solo menjadi orang nomer satu di Jakarta. Hal ini pernah terjadi,
ketika Syamsurizal, mantan Walikota Solo, menjadi orang nomer satu di Jakarta tahun
1951 – 1953. Pada waktu itu statusnya
masih sebagai Walikota Jakarta.
Pada
tahun 1959, status Kota Jakarta mengalami perubahan dari kotapraja yang dipimpin
oleh seorang walikota, ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang
dipimpin oleh gubernur.
Yang
menjadi gubernur Jakarta pertama ialah Brigjen. TNI. dr. Soemarno Sosroatmodjo,
seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung
oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah
Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan jabatan gubernurnya tetap
dipegang oleh Sumarno.
Jabatan
Sumarno diselingi oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung, yang lebih dikenal
dengan nama Henk Ngantung, yang menjadi Gubernur DKI tahun 1964 - 1965. Henk
Ngantung adalah seorang seniman dari Minahasa keturunan Tionghoa dan beragama
Kristen.
Karena
kesehatannya terganggu, Henk Ngantung diganti lagi oleh Sumarno, yang merangkap
sebagai Menteri Dalam Negeri. Henk Ngantung yang dituduh terlibat dalam
peristiwa tragedi nasional September/Oktober 1965, memang tidak pernah
ditangkap atau diperiksa, namun hidupnya dalam kemiskinan dan meninggal juga
dalam keadaan miskin.
Sejarah
baru: Akhir era militer di DKI Jakarta
Dari kalangan militer yang pertama kali memimpin Jakarta adalah Letkol Daan Yahya, yang menjadi Gubernur militer Jakarta tahun 1948 – 1950. Daan Yahya berasal dari Sumatera Barat. Gubernur DKI terakhir dari kalangan sipil adalah Henk Ngantung tahun 1965.
Sejak
tahun 1965, dimulai oleh Brigjen. Dr. H. Sumarno Sastroatmodjo, yang menggantikan
Henk Ngantung, Jakarta selalu dipimpin oleh militer. Sumarno digantikan oleh
Letjen. TNI/KKO. Ali Sadikin, kemudian berturut-turut Letjen. TNI. Tjokropranolo, Letjen. TNI. Soeprapto, Letjen. TNI. Wiyogo
Atmodarminto, Letjen.TNI. Soerjadi Soedirdja dan terakhir Letjen. TNI.
Soetiyoso.
Tahun
2007, Fauzi Bowo yang menjadi Wakil Gubernur ketika Soetiyoso menjabat sebagai
Gubernur, berhasil memenangkan pemilihan Gubernur, mengungguli Mayjen. Pol. (Purn.)
Adang Daradjatun. Yang menjadi Wakil Gubernurnya Bowo masih dari kalangan
militer, yaitu Mayjen. TNI (Purn.) Priyanto. Ketika maju menjadi Calon Gubernur
dalam pilkada 2012, Bowo masih didampingi oleh seorang militer, Mayjen.TNI.
(Purn.) Nachrowi Ramli.
Dalam
pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta putaran pertama, sejumlah petinggi
militer masih ikut meramaikan “pesta demokrasi.” Tercatat selain Mayjen. TNI
(Purn.) Nachrowi Ramli (Cawagub dari Fauzi Bowo) yang masuk ke putaran kedua,
ada Mayjen.TNI (Purn.) Hendardji Soepandji (Cagub Independen), dan Letjen. TNI
(Purn.) Nono Sampono (Cawagub dari Alex Nurdin).
Sejarah
baru yang dicatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok adalah, untuk pertamakalinya
sejak tahun 1965 tidak ada militer di pucuk pimpinan DKI Jakarta. Dengan
kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di putaran kedua pada 20 September 2012, kini
Jakarta “bebas militer”, karena baik Jokowi maupun Ahok tidak mempunyai latar
belakang militer.
Sejarah
kedua yang dicatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok adalah, untuk pertamakalinya
seorang etnis Tionghoa ikut memimpin Ibukota Republik Indonesia, dan sekaligus
juga menambah catatan sejarah, yaitu untuk kedua kalinya seorang yang beragama
Kristen ikut memimpin masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam. Henk
Ngantung yang menjadi Gubernur DKI tahun 1964 – 1965 berdarah campuran
Minahasa, sedangkan kedua orangtua Basuki Tjahaja Purnama (Zhong Wan Xie),
mantan Bupati Belitung Timur yang akrab dipanggil Ahok. dari etnis Tionghoa. Ahok
adalah putra pertama dari pasangan alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam)
dan Buniarti Ningsih (Bun Nen Caw).
Kemenangan "semut" melawan "gajah"
Kemenangan pasangan pemimpin muda (Jokowi 51 tahun, Ahok 46 tahun) yang hanya didukung oleh dua partai yang relatif kecil di Jakarta, juga memberi pelajaran yang sangat berharga dan dapat menjadi barometer untuk pemilihan-pemilihan yang akan dating, baik pemilihan presiden maupun kepala daerah yang lain.
Jokowi
– Ahok hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra, sedangkan Bowo – Nara didukung
oleh partai-partai penguasa di pemerintah pusat: Partai Demokrat, Golkar, PKS,
PAN, PPP dan Hanura, serta sejumlah partai gurem yang tak mempunyai wakil di DPRD.
Bahkan pada putaran kedua,koordinator tim sukses pasangan independen Faisal
Basri – Biem menyatakan dukungannya ke Bowo – Nara.
Apabila
dilihat perolehan suara di Jakarta pada pemilu 2009, PDIP dan Gerindra dijumlah,
maka hanya memperoleh 18 % dari jumlah suara pemilih, sedangkan partai-partai
pendukung Bowo – Nara memperoleh 82 % suara. Apabila kemudian melihat komposisi
kursi di DPRD DKI, pendukung Jokowi - Ahok hanya memperoleh 17 kursi dari keseluruhan
94 kursi di DPRD DKI.
Selain
itu, jalan Jokowi-Ahok menuju DKI 1 dan 2 masih diganjal oleh isu SARA (Suku, Agama,
Ras dan Antar-golongan), yang pertama kali dilontarkan oleh penyanyi dangdut
Rhoma Irama. Dalam khotbahnya di Masjid, dia mengatakan, bahwa Bowo-Nara orang
Betawi, sedangkan Jokowi orang Jawa, Ahok etnis cina beragama Kristen, bahkan
memfitnah, bahwa orangtua Jokowi juga Kristen. Memang bukan rahasia, bahwa Joko
Widodo berasal dari etnis Jawa dan Ahok dari etnis Tionghoa beragaman Kristen. Namun
selanjutnya, dengan mengutip ayat dari Al Qur’an, Rhoma Irama mengatakan, bahwa
orang yang beragama Islam dilarang memilih pemimpin yang bukan Islam.
Pernyataan
penyanyi dangdut ini mendapat dukungan dari menteri Agama Suryadarma Ali. Walaupun
Irama sendiri dalam pernyataannya di televisi tidak membantah telah
mengeluarkan isu SARA, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) menyatakan bahwa
Irama tidak melanggar UU Pemilu mengenai SARA.
Ketua
DPR RI, Marzuki Alie, yang adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat,
juga menyatakan, bahwa orang yang beragama Islam harus memilih pemimpin yang
beragama Islam.
Presiden
Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sebagai atasan dari
Suryadarma Ali dan Marzuki Alie, tidak memberikan komentar ataupun teguran
terhadap bawahannya, dan membiarkan hal ini menjadi polemik di masyarakat,
sehingga memberikan kesan, bahwa diapun mendukung isu-isu SARA tersebut.
Puncak
dari penjegalan dengan isu SARA dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Jakarta, yang -tidak tanggung-tanggung- mengeluarkan Fatwa, bahwa orang yang
beragama Islam tidak boleh memilih kafir sebagai pemimpin.
Angka-angka
berbicara
Perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok pada putara kedua mencapai sekitar 54 suara pemilih dan Bowo-Nara yang didukung oleh “gajah-gajah” hanya memperoleh sekitar 46 % suara saja. Ini berarti warga Jakarta telah sangat cerdas, terbuka dan tidak terpengaruh oleh isu-isu SARA. Apabila warga Jakarta yang beragama Islam mengikuti Fatwa MUI Jakarta, maka seharusnya Fauzi Bowo-Nara memperoleh suara paling sedikit 85 % suara warga yang beragama Islam, dan apabila mengikuti perolehan suara dari partai-partai penguasa pendukungnya, maka di atas kertas, pada putaran kedua Bowo-Nara seharusnya memperoleh 82 %.
Fakta-fakta
di atas yang menjadi catatan sejarah, akan berdampak positif yang luar biasa
besarnya, bukan hanya untuk Jakarta dan seluruh Indonesia, melainkan juga akan
meningkatkan citra bangsa Indonesia di dunia internasional, karena kemenangan
Jokowi - Ahok ini sekaligus menepis tudingan selama ini, bahwa Islam di
Indonesia itu radikal, mendiskriminasikan non-Islam serta anti etnis Tionghoa!
Juga
kemenangan Jokowi yang berasal dari Jawa Tengah menunjukkan kemenangan Bhinneka
Tunggal Ika yang tercermin di Jakarta, bahwa warga Jakarta, juga tokoh-tokoh
masyarakat di Jakarta tidak menolak calon-calon dari daerah lain. Peristiwa ini
terjadi di tengah-tengah maraknya isu, bahwa kepala daerah haruslah putra
daerah asli.
Turunnya
kredibilitas partai politik
Kalau dilihat pemilu tahun 2009, Partai Demokrat saja memperoleh 30% suara di DKI Jakarta! Kelihatannya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi Partai Demokrat sangat berpengaruh dalam penilaian masyarakat. Kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini terbongkar adalah yang melibatkan jajaran tertinggi partai, dimulai dengan M. Nazaruddin, mantan Bendahara partai, Angelina Sondakh, mantan Wakil Sekjen, Hartati Murdaya, mantan Anggota Dewan Pembina. Selain itu, yang diduga ikut terlibat kasus-kasus korupsi seperti Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat, dan Andi Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga, juga Mirwan Amir, anggota DPR RI. Deretan nama-nama petinggi partai Demokrat yang diduga terlibat kasus-kasus korupsi kelihatannya akan semakin panjang.
Bukan
hanya partai Demokrat yang kian terpuruk dengan kasus-kasus korupsi, melainkan
juga partai-partai lain, yang kader-kadernya telah banyak dijebloskan ke
penjara karena kasus Korupsi. Yang paling akhir adalah Zulkarnaen Djabbar,
anggota DPR RI dari partai Golkar, yang oleh KPK telah ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi pengadaan Al Qur’an.
Setelah
calon yang didukungnya kalah, Golkar kembali menunjukkan sikap mencla-menclenya.
Seorang petinggi partai Golkar, Indra J. Piliang menyatakan, bahwa Golkar
keliru mendukung pasangan Fauzi Bowo dan Nara, kader-kader partai Demokrat,
yang sebenarnya dianggap “musuh” oleh partai Golkar. (lihat:
Fauzi
Bowo adalah anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, dan Nachrowi Ramli adalah
Ketua Partai Demokrat di DKI.
Kemenangan
Jokowi-Ahok menjadi peringatan bagi semua yang masih hidup dimasa lampau, yang
tidak dapat membaca tanda-tanda zaman, bahwa zaman telah berubah, masyarakat
ingin perubahan dan menolak status quo. Para petinggi partai politik tidak
dapat lagi membodoh-bodohi rakyat dengan janji-janji palsu seperti akan
memberantas korupsi, namun ternyata para petinggi partai politik tersebut
justru yang melakukan korupsi. Rakyat tentu masih ingat iklan anti korupsi
partai Demokrat yang “dibintangi” oleh Angelina Sondakh (sedang menjalani
proses pengadilan), Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.
Tokoh-tokoh
agama tidak dapat lagi menggiring umatnya untuk memilih atau tidak memilih
seseorang karena latar belakang agama, demikian juga tokoh-tokoh dari sesuatu
etnis, tidak dapat lagi sesukanya untuk “mengancam” warga etnisnya.
Masyarakat
tentu juga tidak melupakan pernyataan-pernyataan partai-partai dan tokoh-tokoh
yang mendukung lawan-lawan Fauzi Bowo pada putaran pertama, yang menyatakan
bahwa Fauzi Bowo telah gagal sebagai gubernur. Namun ketika pada putaran kedua
mereka menyatakan dukungan kepada Fauzi Bowo dengan alasan a.l. bahwa dia yang
pantas menduduki jabatan sebagai gubernur, pernyataan-pernyataan seperti ini
dinilai oleh banyak kalangan sebagai menjilat ludah sendiri.
Hal-hal
tersebut diatas seharusnya menjadi pelajaran yang sangat penting bagi para petinggi
partai politik, untuk berhati-hati berbicara, dan jangan seenaknya mengeluarkan
pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan yang dikeluarkannya sendiri
beberapa waktu sebelumnya.Ternyata ingatan kolektif masyarakat masih cukup baik
dibandingkan daya ingat para petinggi partai, yang cepat lupa dengan
ucapan-ucapannya sendiri, dan janji-janjinya setelah menang.
Kendala
besar yang akan dihadapi oleh Jokowi-Ahok
Apabila
euphoria kemenangan telah usai dan kemudian memasuki rutinitas kerja,
permasalahan yang lebih besar dan lebih berat lagi akan dihadapi oleh Gubernur
dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru.
Selain
masalah klasik yaitu banjir, kemacetan lalu-lintas dan polusi udara yang
diakibatkan oleh jumlah kendaraan bermotor yang meningkat dengan tajam setiap
tahun, Gubernur dan Wagub akan menghadapi tantangan dan tentangan besar, baik
di internal Pemda DKI maupun di DPRD DKI Jakarta.
Diduga,
bahwa selama ini sejumlah besar proyek di lingkungan Pemda DKI diatur melalui
“arisan” di antara perusahaan-perusahaan yang mungkin telah puluhan tahun
mendapat proyek-proyek dari Pemda DKI. Apabila hal ini akan dibenahi, sudah
tentu akan mendapat perlawanan keras dari pejabat-pejabat yang selama ini ikut
menikmati praktek-praktek “arisan” ini.
Demikian
juga untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang perlu mendapat persetujuan
dari DPRD, tentu dengan dukungan 17 orang melawan 77 orang dari kubu pendukung
lawan di pilkada, akan susah untuk dilakukan, apalagi apabila kebijakan
tersebut akan merugikan kelompok atau pengusaha-pengusaha mitra mereka selama
ini.
Kelihatannya
perjuangan pasangan Jokowi-Ahok selama sekitar 5 bulan untuk memenangkan
pilkada DKI, akan terlihat sangat kecil dan enteng, dibandingkan perjuangan
berat lima tahun kedepan, menghadapi birokrasi internal dan tentangan di DPRD
DKI Jakarta.
Tak perlu pura-pura
jadi Betawi
Dalam melakukan kampanye, Jokowi-Ahok membuat catatan baru, yaitu dalam hal pakaian. Mereka "menciptakan" ciri-ciri khusus, yang samasekali baru untuk Jakarta, yaitu dengan mengenakan baju kotak-kotak.
Kemenangan Jokowi-Ahok dengan mengenakan baju kotak-kotak, dan tidak mengenakan busana yang banyak dipakai oleh orang Jakarta, yang disebut Betawi, juga sekaligus menjadi contoh, bahwa untuk kampanye dan menang di Jakarta, tidaklah perlu mengenakan pakaian ala orang Jakarta, alias Betawi. Juga tidak perlu pura-pura menjadi "orang Betawi."
Untuk melakukan ini, bukan hanya diperlukan kreatifitas tinggi, melainkan juga keberanian yang luar biasa besarnya, untuk melawan arus, yaitu yang selalu dilakukan oleh semua calon yang ingin bertarung di Jakarta.
Untuk pemilihan Gubernur/Wagub di DKI Jakarta, para calon dapat mengembangkan kreatifitasnya, untuk menunjukkan ciri-ciri khusus, seperti yang telah ditunjukkan oleh Jokowi-Ahok.
*******