KULIAH
UMUM
DISAMPAIKAN
DI
UNIVERSITAS
SYIAH KUALA,
BANDA ACEH
BANDA ACEH
14
MARET 2013
KEJANGGALAN
DALAM
HUBUNGAN DIPLOMATIK
ANTARA
REPUBLIK
INDONESIA
DENGAN
KERAJAAN
BELANDA
Oleh Batara R.
Hutagalung
Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
Diselenggarakan oleh
Fakultas Keguruan
Ilmu Pendidikan UNSYIAH
dan
Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
Pengantar
Ada
beberapa Negara, yang dalam hubungan dengan Negara lain, terutama sehubungan
dengan masa lalu kedua Negara tersebut, mempunyai ganjalan bahkan antipati satu
dengan lainnya, seperti yang dialami oleh beberapa Negara baik di Eropa, Asia
maupun di Afrika.
Yang
sangat sering terjadi, walaupun antara pemerintahnya telah terjalin hubungan
diplomatik, di kalangan masyarakatnya masih terdapat ganjalan dan ressentiment, bukan hanya di antara
Negara-negara yang bertetangga, namun juga antara Negara-negara yang berjauhan
letaknya, seperti yang dirasakan oleh warga Belanda, yang selama tiga setengah
tahun mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia, selama masa
pendudukan di Indonesia antara Maret 1942 sampai 15 Agustus 1945.
Di
Eropa, rakyat di Negara-negara yang pernah diduduki oleh tentara Jerman selama
Perang Dunia II, 1939 – 1945, sampai sekarang masih menunjukkan ketidaksenangan
mereka terhadap orang Jerman. Hal ini sangat kental dirasakan di Polandia. Di
Belanda, hingga sekarang masih sering terdengar cemoohan-cemoohan warga Belanda
terhadap turis Jerman. Juga sejarah masa lampau, seperti misalnya Belanda yang
pernah lama dijajah oleh Spanyol, atau di zaman perebutan hegemoni atas
perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara pada abad 16 dan 17, di mana di
antara negera-negara Eropa tersebut saling membunuh dan merampok.
Di
Asia, antara Jepang dengan rakyat di negara-negara yang pernah diduduki oleh
Balatentara Dai Nippon di masa agresi
militer Jepang ke Asia Timur dan Asia Tenggara antara tahun 1941 – 1945.
Pemerintah Cina dan Korea sering memrotes dan bahkan mengecam langkah
pemerintah Jepang, apabila ada kebijakan yang menyinggung kedua Negara
tersebut, sehubungan dengan lembaran hitam sejarah pendudukan Jepang di kedua
Negara tersebut.
Di
Afrika, sangat dirasakan antipati dan bahkan kebencian penduduk kulit hitam
terhadap kulit putih, bukan hanya atas penjajahan, melainkan terutama perbudakan
yang sangat biadab dan tidak manusiawi yang dialami oleh penduduk kulit hitam. Walaupun harus
diakui, bahwa perdagangan budak juga dilakukan oleh raja-raja dan penguasa
kulit hitam setempat.
Sering
ketidaksenangan bahkan kebencian tersebut dilampiaskan dalam
pertandingan-pertandingan olah-raga antar negara, atau apabila terjadi sengketa
perbatasan.
Namun
dalam hubungan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, ternyata
terlihat ada kejanggalan, yang tidak lazim terjadi antara dua Negara yang
saling menjalin hubungan diplomatik.
“Hubungan Diplomatik” Indonesia - Belanda
Tanpa
harus menjadi pakar ilmu politik atau mengetahui mengenai seluk beluk
diplomasi, seorang awampun mengetahui, bahwa untuk menjalin hubungan diplomatik
antara dua Negara, keduanya harus saling mengakui dan menghargai. Hubungan
kedua Negara juga harus berdasarkan kesetaraan. Semua perjanjian bilateral,
haruslah berlaku azas resiprositas, timbal-balik. Namun kenyataannya tidak
demikian dalam hubungan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Aneh
tapi nyata. Janggal, tetapi telah berjalan selama puluhan tahun.
Selama
ini masyarakat terutama di Indonesia, hanya melihat ada Kedutaan Besar Republik
Indonesia di Belanda, dan ada Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Indonesia,
tanpa mengetahui apakah persyaratan untuk menjalin hubungan diplomatik telah
terpenuhi. Tentu masyarakat berasumsi, bahwa Pemerintah Belanda telah mengakui
kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia, demikian juga sebaliknya. Bahwa
segala sesuatunya telah sesuai dengan azas saling mengakui, saling menghargai
dan kedua Negara sejajar di semua tataran.
Namun
kenyataannya tidak demikian. Baru beberapa tahun belakangan terungkap, bahwa
hingga kini, ternyata pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan RI adalah 27
Desember 1949, yaitu yang dari sudut pandang Belanda, hanyalah merupakan
pelimpahan kewenangan (soevereniteitsoverdracht)
dari pemerintah Netherlands-Indië
(India Belanda) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pemerintah
RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Netherlands – Indië, oleh karena itu pemerintah RIS harus
menanggung utang pemerintah Netherlands-Indië
kepada pemerintah Belanda, yang disetujui dalam Konferensi Meja Bundar
(KMB). KMB adalah perundingan dari tiga
pihak, yaitu pemerintah Kerajaan Belanda, pemerintah Republik Indonesia dan
perwakilan dari Bijeenkomst voor
Federaale Overleg –BFO (Musyawarah Negara-negara Federal yang terdiri dari
15 “Negara Bagian”). KMB difasilitasi oleh PBB. Disepakati, bahwa pemerintah
RIS akan membayar utang pemerintah Netherlands
Indië kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden, waktu itu setara dengan sekitar 1,1 milyar US $. Di
dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda di Indonesia, dan
utang VOC tahun 1799 kepada pemerintah Belanda yang dibebankan kepada
pemerintah Netherlands-Indië.
Sejarah mencatat bahwa RIS dibubarkan
pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Presiden Sukarno menyatakan
berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.
Pemerintah RI masih meneruskan
pembayaran cicilan utang yang telah disepakati dalam KMB, dan hingga tahun 1956
telah dibayar sebesar 4 milyar gulden. Kemudian sejalan dengan pembatalan KMB
secara sepihak oleh pemerintah RI, maka sisa cicilan sekitar 500 juta gulden
tidak dibayar lagi, dan Uni Belanda – Indonesia dinyatakan bubar.
Di Indonesia tidak banyak yang
mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk
mengakui de jure kemerdekaan RI
adalah 17.8.1945. Namun di Belanda cukup banyak kalangan yang mengetahui bahwa
pemerintah Belanda tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan RI 17.8.1945, termasuk banyak anggota Tweede Kamer (parlemen Belanda), dan merekalah yang justru mendesak
pemerintah Belanda untuk mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945.
Di
Indonesia kini cukup banyak yang mengetahui kejanggalan ini, sejak LSM Komite
nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak tahun 2002, dan
dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak tahun 2005,
mengangkat masalah ini dan menuntut pemerintah Belanda untuk mengakui
kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena menurut KNPMBI/KUKB, masalah pengakuan de jure menyangkut martabat bangsa.
Pada
14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag, memenangkan sebagian tuntutan
beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah
Belanda diputus bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan
oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu
itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Oleh
karena itu, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang
masih hidup serta seorang korban yang selamat dari pembantaian tersebut. Namun
putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara
Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum
terhadap warganya sendiri, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda
tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949.
Dalam
pertimbangan putusannya, disebut sebagai “fakta”:
2.
De
feiten
Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het
Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan
nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
Hal
ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan
Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan
Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah Belanda tetap tidak mau
mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
“Fakta”
yang disebut oleh pengadilan sipil di Belanda menegaskan apa yang telah
dikatakan oleh Ben Bot, Menlu Belanda (waktu itu) di Jakarta pada 16 Agustus
2005. Dalam sambutannya di Kemlu, Jakarta, dia mengatakan, bahwa kini Belanda
menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Sehari sebelum
berangkat ke Jakarta, dalam acara peringatan pembebasan para interniran pada
15.8. di Den Haag, Ben Bot dengan tegas menyebut, akan menyampaikan kepada
bangsa Indonesia, bahwa kini pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Hal ini dinyatakannya
juga dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta pada 18.8.2005, bahwa
pengakuan kemerdekaan hanya diberikan satu kali, yaitu akhir 1949, berarti yang dimaksud adalah yang dinamakan
pelimpahan kewenangan (soevereniteitsoverdracht)
dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pernyataan
Ben Bot pada 16.8.2005 tersebut seharusnya sangat mengejutkan bangsa Indonesia,
karena berarti, hingga tanggal 16.8.2005, NKRI untuk pemerintah Belanda tidak
eksis sama sekali, dan baru tanggal 16.8.2005 naik tingkat menjadi ANAK HARAM,
karena hanya diterima (acceptance) keberadaannya,
namun tidak diakui (acknowledgement) legalitasnya.
Dengan
demikian terungkap, bahwa ternyata ada kejanggalan dalam hubungan diplomatik
antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.
Tentu
menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda tetap bersikukuh dengan
sikap ini, yaitu tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Di lain pihak, pemerintah Indonesia terutama
Kementerian Luar Negeri RI, juga mengetahui mengenai hal ini, namun membiarkan
sikap pemerintah Belanda ini dan tidak memrotes, atau memutus hubungan
diplomatik yang janggal ini.
Selain
tidak mau mengakui de jure kemerdekaan
RI 17.8.1945, juga terdapat ketimpangan dalam kesetaraan antara dua Negara.
Perdana Menteri Belanda berhasil memperjuangkan kepentingan warganya yang ingin mengunjungi Indonesia, dengan mendapat
fasilitas Visa-on-arrival, namun di
lain pihak, sangat sulit bagi warga Indonesia memperoleh visa untuk berkunjung
ke Belanda, dengan alas an,
Belanda terikat dengan Perjanjian Schengen.
Tidak mau diperjuangkan agar warga Indonesia-pun memperoleh fasilitas visa-on-arrival yang khusus berlaku
untuk Belanda.
Pemerintah
Belanda terus menuntut, agar tewasnya seorang wartawan Belanda, Sander Thoenes,
di Timor Timur tahun 1999 yang diduga dibunuh oleh ABRI, diusut tuntas. Juga
parlemen Belanda sering mengadakan “kunjungan kerja” ke Indonesia untuk
memantau perkembangan HAM di Indonesia. Namun mereka menutup mata atas tuntutan
pengusutan tewasnya ratusan ribu rakyat Indonesia yang dibantai tanpa proses
oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun
1945 – 1950.
Latar Belakang Sejarah
Untuk
dapat melihat mengapa pemerintah Belanda “terpaksa” bersikukuh pada pengakuan
kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, perlu ditinjau latar belakang
sejarahnya.
Dalam
perang di Eropa, pada bulan Mei 1941 Belanda “digilas” oleh tentara Jerman hanya
dalam tiga hari. Demikian juga di Asia, invasi Jepang ke Asia Timur dan
Tenggara, yang diawali dengan penyerangan terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember
1941 berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana pimpinan tertinggi militer
Jepang.
Pada
27 februari 1942 armada ABDACOM (American,
British, Dutch, Australian Command) dihancurkan dalam pertempuran di Laut
Jawa. Kemudian tentara ABDACOM di Jawa juga dihancurkan balatentara Dai Nippon
di bawah komando Letjen Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Jepang ke 16,
hanya.dalam waktu satu minggu.
Pada
9 Maret 1942 di Lanud Kalijati, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letjen Hein
ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer,
menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat kepada tentara Jepang, dan
menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, sejak tanggal
tersebut berakhirlah penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, dan Belanda telah kehilangan
hak sejarahnya, yang diperoleh dengan kekerasan.
Lebih
dari 200.000 mantan tentara ABDACOM dan warga sipil Eropa, terutama Belanda,
serta Amerika yang merupakan sekutu Belanda, mendekam di kamp-kamp interniran
Jepang di seluruh Indonesia sampai berakhirnya Perang Pasifik pada 15 Agustus
1945.
Di
masa pendudukan Jepang, untuk kepentingan mendukung kekuatan militernya dan
untuk membantu menjaga keamanan serta ketertiban, Jepang melatih pribumi untuk
menjadi tentara dan polisi. Tentara gemblengan Jepang ini kemudian sangat
berguna melawan agresi militer Belanda yang berusaha menjajah kembali
Indonesia.
Pada
6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima, dan
kemudian pada 9 Agustus di atas kota Nagasaki. Amerika mengancam, apabila
Jepang tidak mau menyerah tanpa syarat, bom berikutnya akan dijatuhkan di atas Ibukota
Jepang, Tokyo. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah. Namun dokumen
Menyerah –Tanpa-Syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal
Perang AS Missouri, di Tokyo Bay. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus
dan 2 September 1945 terdapat kekosongan kekuasaan pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah yang
diduduki oleh Jepang, termasuk Netherlands-Indië
(India Belanda).
Di masa kekosongan kekuasaan (vacuum
of power),.pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Pernyataan kemerdekaan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan
Presiden dan Wakil Presiden serta pembentukan pemerintahan, sehingga ketiga
persyaratan mengenai berdirinya suatu Negara, yaitu:
- Adanya wilayah,
- Adanya penuduk yang permanen, dan
- Adanya pemerintahan,
telah terpenuhi, sebagaimana tertera
dalam Konvensi Montevideo, Uruguay, yang ditandatangani pada 26 Desember 1933.
Pemerintah Republik Indonesia yang
baru dibentuk menyatakan, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah seluruh wilayah
bekas Netherlands Indië (India
Belanda). Pernyataan batas wilayah Negara ini berdasarkan azas Utti possidetis Juris (iuris), yaitu penentuan batas-batas
Negara bekas jajahan Negara lain. Hukum ini diadopsi dari hukum Romawi.
Dengan demikian, proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia yang dicetuskan pada 17.8.1945, dicetuskan, bukan
merupakan pemberontakan terhadap negara manapun, baik terhadap Jepang maupun
Belanda, karena Jepang telah menyatakan menyerah kepda tentara Sekutu, dan
pemerintahan Netherlands Indië-pun tidak ada sejak tanggal 9 Maret 1942.. Juga
bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Mengenai
periode antara tahun 1945 – 1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan.
Tanggal 10 Juni 1947, Mesir merupakan
Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian disusul
oleh Liga Arab dan India, setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Dengan
demikian, syarat keempat telah terpenuhi, yaitu kesanggupan untuk melakukan
hubungan internasional. Konvensi Montevideo juga memberi catatan, bahwa tanpa
adanya pengakuan dari Negara lain, Negara tersebut berhak mempertahankan
kedaulatannya, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda.
Pemerintah Belanda tidak mau mengakui
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan meminta bantuan Inggris. Pada 24
Agustus 1945 di kota Chequers dekat London, ditandatangani perjanjian antara
Inggris dan Belanda yang dinamakan Civil
Affairs Aggreement (CAA), di mana Inggris mewajibkan diri membantu Belanda
untuk memperoleh kembali jajahannya, Netherlands
Indië, yang baru menyatakan kemerdekaannya. Dalam perjanjian tersebut,
Inggris akan “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan setelah
“dibersihkan”, akan diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA).
Tiga divisi tentara Inggris di bawah
komando Letjen Phillip Christison untuk Sumatera dan Jawa serta 2 divisi
tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morsehead di Indonesia Timur, berusaha
“membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Pasukan Australia di
Indonesia Timur berhasil menghancurkan sebagian besar perlawanan bersenjata
pendukung Republik Indonesia. Pada 15 Juli 1946, tentara Australia menyerahkan
seluruh wilayah Indonesia Timur kepada NICA. Pada 16 Juli 1946, Wakil Gubernur
Jenderal van Mook menggelar Konferensi Malino, yang meletakkan dasar
pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi di Denpasar bulan Desember
1946, Negara Indonesia Timur disahkan. Setelah itu, di daerah-daerah yang
dikuasai oleh Inggris dan kemudian diserahkan kepada Belanda, van Mook
mendirikan Negara-negara boneka lainnya, yaitu Negara Sumatera Timur.
Dalam upaya menjajah kembali Indonesia
melalui pengerahan militer secara besar-besaran, tentara Belanda telah
melakukan sangat banyak kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, serta
melanggar konvensi Jenewa mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil di
dalam suatu perang. Untuk menghindari tudingan ini, Belanda menamakan agresi
militernya sebagai “aksi polisional”, yaitu dengan dalih membasmi para
perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh
Jepang, guna memulihkan kembali “Rust en
Orde (Law and Order).
Bangsa Indonesia mencatat, selama
agresi militer Belanda di Indonesia, terjadi berbagai pelanggaran HAM berat,
bahkan juga kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta perkosaan
terhadap perempuan Indonesia yang dilakukan oleh tentara Belanda. Peristiwa-peristiwa
pembantaian massal yang dikenal adalah pembantaian yang dilakukan oleh
Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (sekarang setelah pemekaran,
beberapa daerah masuk ke Provinsi Sulawesi Barat) antara 11 Desember 1946
sampai pertengahan Februari 1947. Di Rawagede (sekarang bernama Balongsari)
yang terjadi pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk desa tewas dibantai
tanpa proses, pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Kereta Maut
Bondowoso-Surabaya, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, dll.
Selama 20 tahun sampai tahun 1969, di
Belanda seolah-olah ada “gerakan tutup mulut”, dan samasekali tidak pernah
diberitakan mengenai kekejaman yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama
agresi militer Belanda tersebut.
Kebisuan ini “dipecahkan” oleh Prof.
Joop Hueting, Guru Besar Psikologi, yang mengritisi berbagai kecaman di Belanda
atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Amerika di My Lai, Vietnam pada
bulan April 1968, yang baru terungkap akhir 1968. Prof. Hueting, yang adalah mantan
wajib militer yang ditugaskan untuk perang di Indonesia mengatakan, bahwa yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1946 – 1949 lebih
kejam daripada yang dilakukan oleh tentara Amerika tersebut. Pernyataan ini
tentu sangat mengejutkan masyarakat di Belanda. Prof. Hueting diwawancarai oleh
berbagai media, di mana dia juga mengungkapkan apa yang telah dilakukan olehnya
dan pasukannya.
Pada bulan Januari 1969 parlemen
Belanda mendesak pemerintah Belanda melakukan penelitian terhadap hal-hal yang
telah disampaikan oleh Prof. Hueting. Pemerintah Belanda membentuk tim antar
departemen, yang pada bulan Juni menyampaikan laporannya, yang diberi judul “De Excessennota, Nota betreffende het
archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door
Nederlandse militairen in de periode 1945-1950.” Di dalamnya terdapat
laporan sekitar 140 “ekses” yang telah dilakukan oleh tentara Belanda. Namun
pakar-pakar hukum di Belanda menyebut, bahwa yang dinamakan “ekses” oleh
pemerintah Belanda, tak lain adalah Oorlogsmisdaden,
kejahatan perang.
Dalam
sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda Ben Bot
mengakui, bahwa pengerahan militer secara besar-besaran telah menempatkan
Belanda pada sisi sejarah yang salah, di mana jatuh korban di kedua belah
pihak. Namun kalau dilakukan perbandingan jumlah yang tewas, akan terlihat,
bahwa ucapan ini tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Di pihak Belanda
sekitar 6.000 orang tewas, semuanya tentara. Namun tidak semuanya mati dalam
pertempuran, melainkan juga banyak yang mati karena sakit atau bunuh diri,
seperti kabarnya yang dilakukan oleh Letjen Simon Spoor, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda di Indonesia, yang menembak kepalanya sendiri karena kecewa
atas disetujuinya perundingan perdamaian antara Belanda dan Republik Indonesia.
Korban
di pihak Indonesia, menurut catatan Belanda, sekitar 150.000 orang. Sangat
disayangkan, pihak Republik Indonesia sendiri tidak pernah melakukan
penelitian, berapa sebenarnya jumlah korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia,
demikian juga kehancuran perumahan, bangunan dan perekonomian rakyat. Sebagian
besar korban tewas adalah penduduk sipil, non
combatant. Apabila membandingkan jumlah korban di beberapa daerah dengan
angka resmi yang dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota terlihat perbedaan yang
cukup besar mengenai jumlah yang tewas. Sebagai contoh, peristiwa pembantaian
di desa Rawagede. Dalam laporannya pemerintah Belanda menyebut jumlah penduduk
yang dibunuh 20 orang, sedangkan menurut data setempat, jumlah penduduk yang
dibantai tanpa proses pada 9 Desember 1947 sebanyak 431 orang. Demikian juga di
daerah-daerah lain, jumlah korban ternyata jauh lebih banyak dibandingkan data
dalam laporan pemerintah Belanda. Selain itu, sangat banyak peristiwa
pembantaian yang tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda tersebut.
Oleh karena itu jumlah korban tewas di seluruh Indonesia diperkirakan lebih
dari 500.000 jiwa, dan mungkin dapat mencapai 1 juta jiwa.
Pemerintah
Belanda terpaksa menyetujui dilakukannya perundingan dengan pihak Republik
Indonesia atas tekanan PBB, terutama Amerika Serikat dan sekutunya, yang kuatir
Republik Indonesia jatuh ke kubu komunis di bawah Uni Sovyet, Karena era perang
dingin melawan kubu Negara-negara komunis di bawah pimpinan Uni Sovyet baru
dimulai. Amerika Serikat mengancam, apabila Belanda tidak mau berunding dengan
Republik Indonesia, pemerintah Amerika akan menghentikan bantuan Marshall Plan, yang sangat dibutuhkan
oleh Belanda, yang hancur setelah Perang Dunia II.
Namun
dalam perundingan di KMB, setelah menang dalam perundingan Linggajati, Renville, persetujuan Roem-Royen,
Belanda menunjukkan lagi kepiawaiannya di meja perundingan internasional
sehingga dapat dikatakan, bahwa Belanda lah yang “menang” dalam perundingan
KMB.
Dilema Pemerintah Belanda
Latar
belakang sejarah kelam Belanda selama agresi militernya ini yang menempatkan
pemerintah Belanda dalam posisi yang sangat dilematis, (memakai kata-kata dari
Menlu Ben Bot, yang diucapkannya pada 16 Agustus 2005: “pengerahan kekuatan
militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang
salah”), dan tidak dapat melakukan hubungan diplomatik yang “normal” dengan
pemerintah Republik Indonesia. Hal ini juga yang diungkapkan a.l. oleh Angelien
Eijsink, anggota parlemen Belanda dari Fraksi Partai Buruh (Partij van de Arbeid - PvdA), yang
membidangi masalah veteran Belanda di Tweede
Kamer, sebagaimana diungkapkannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di
parlemen Belanda pada 15 Desember 2005.
Hal
yang senada juga dikatakan oleh Ad van Liempt, jurnalis senior Belanda dari
Media Tv Belanda Andere Tijden, dalam
pertemuan dengan pimpinan KUKB di Hilversum pada 18 Desember 2005.
Kesulitan
besar yang dihadapi pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah,
bahwa dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi
polisional I dan II” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka
dan berdaulat. Akibatnya adalah, tentara Belanda menjadi penjahat perang. Hal
inilah yang paling dikuatirkan oleh para veteran Belanda. Selain itu,
pemerintah Indonesia dapat menuntut pampasan perang, seperti yang dilakukan
oleh Negara-negara yang pernah diduduki oleh tentara Jepang selama Perang
Pasifik. Pengakuan ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menuntut
pemerintah Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) yang berkedudukan di Den Haag,
Belanda.
Di
International Criminal Court, ada
empat kejahatan yang tidak mengenal azas kadaluarsa, yaitu:
- Genocide (Pembersihan/pembantaian etnis)
- Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
- War crime (kejahatan perang) dan
- Crime of aggression (kejahatan agresi).
Yang
selama 60 tahun dikuatirkan oleh pemerintah Belanda kini telah terbukti. Pada
15 Desember 2005, pimpinan KUKB membawa masalah penolakan Belanda untuk mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945 dan peristiwa pembantaian di desa
Rawagede pada 9 Desember 1947.
Seluruh
Indonesia dapat melihat, mendengar dan membaca putusan pengadilan sipil di Den
Haag pada 14 September 2011, yang menyatakan pemerintah Belanda harus
bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, dan memberi kompensasi kepada para
janda dan satu korban selamat terakhir. Putusan pengadilan ini dapat menjadi
juris prudensi untuk kasus-kasus serupa, yaitu peristiwa-peristiwa pembantaian
yang dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, di masa agresi
militer Belanda.
Referensi
- Bank, Jan, (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
- Dr. H. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
- Profesor Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Hutagalung, Batara R. 10 November 1945. mengapa Inggris Membom Surabaya? Millenium Publisher. Jakarta 2001.
- Hutagalung, Batara R. Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010.
- Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Anak Bangsa Dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, (Naskah).
- Prof. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
- Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000.
- Jenderal TNI DR. A.H. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Mega Bookstore, Jakarta, 1966.
- Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau bertempur, jilid 2. Penerbit Angkasa, Bandung, 1977.
- DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, jilid 11, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979.
- Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996.
- Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
- Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 – 3, Jakarta 1963.
- Charles Wolf, Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
- Yong Mun Cheong, H.J.van Mook and Indonesian Independence. A study of his role in Dutch – Indonesian Relations, 1945 – 1948, Marinus Nijhoff, Den Haag, 1982.
*******
Lampiran 1
Pidato Menlu Belanda Ben Bot pada 15.8.2005 di Den Haag;
Sekarang Belanda MENERIMA DE FACTO Proklamasi 17.8.1945
Toespraak ter
gelegenheid van de 15 augustus-herdenking bij het Indië-monument
Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het
Koninkrijk der Nederlanden, ter gelegenheid van de 15 augustus
herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15
augustus 2005
Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting
Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de
herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse
zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier
ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze
herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve
als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000
kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn
herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en
toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers,
herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het
verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een
einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen
van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die
tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken
ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos
stierven.
Na de capitulatie
was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet
geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts
geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden
onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en
kinderen, het leven.
In de jaren
daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen
tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de
Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en
psychisch leed.
Zelf kijk ik met
gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je
misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen,
vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een
verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen,
maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk
daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig
de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans
‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor
kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens
ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden
kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat,
denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets
weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote.
Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat
groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot
was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als
rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn
buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem
waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat
moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn moeder
opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn
loontje”.
Er wordt weer
veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk
wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet
veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn
vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom
een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de
terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende,
de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik
graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een
koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht
kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er
als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen,
terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd
duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige
groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je
had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over
de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat
ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving
wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al
die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er
ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder
geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier
voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en
heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt
komen.
(Levende
geschiedenis)
Zestig jaar,
dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van
toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met
zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid
schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat
ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het gemeenschappelijke
verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd die geschiedenis
graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum
het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere scholen bijvoorbeeld
militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de geschiedenis met overtuiging te
koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het verleden en de kennis van dat
verleden ook voor het heden en de toekomst relevant zijn.
Winston Churchill
zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit
weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een
voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de
relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan
ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets
moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van
gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige
kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen,
of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een
samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden
moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen
geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland -
op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen
de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van
deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering
van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking
voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een
gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het
adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De
uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de
strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is
belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in
Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk
land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische,
hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van
spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van
de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan
intensivering van de betrekkingen met Indonesië.
(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie
tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat
er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als
Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons
land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding
heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones
doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land
vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945
uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat
mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu
in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn
schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus
aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met
steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in
Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië
de facto al begon op
17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en
morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in
morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen
over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en
Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het
leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s,
waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de
grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de
verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor
alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse
militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men
op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg
naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren
bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is
te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en
met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de
boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het
begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in
Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons
gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een
gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een
gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met
Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden
dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.
********
Lampiran 2
Pidato Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005:
Sekarang Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 SECARA MOERAL DAN POLITIS!
Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of
Indonesia’s independence declaration
Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta , 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1. SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)
2. I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3. Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate
Ladies and gentlemen,
4. This is the first time since
Ladies and gentlemen,
5. If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the
6. The end of the Japanese occupation of
7. In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the
8. Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9. This is also an important moment for me personally. The country where I was born,
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60
years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA (Translation: Friendship knows no borders.) Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)
*******
Source: