MEREKA YANG TIDAK PERNAH
PUNYA NASIONALISME INDONESIA
Catatan akhir tahun Batara
R. Hutagalung
Jakarta, 31 Desember 2015
Meninggalkan Sejarah
Indonesia, Membuat Indonesia Menjadi Sejarah.
Pendahuluan
Banyak
kalangan di Indonesia yang menyatakan, bahwa kini terlihat kecenderungan
lunturnya nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda. Namun apabila
ditinjau sejarah Republik Indonesia sejak didirikan pada 17 Agustus 1945, akan
terlihat jelas, bahwa sangat banyak yang kini menjadi warga negara Republik
Indonesia, sejak berdirinya Republik Indonesia, tidak pernah memiliki
nasionalisme Indonesia.
Bahkan
sangat banyak pribumi yang justru berada di pihak Belanda, ketika Belanda yang
dibantu sekutunya di Perang Dunia II, melancarkan agresi militer terhadap
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, dalam upaya menjajah Indonesia. Tetapi
tidak berhasil.
Juga apabila
meneliti masa penjajahan Belanda di Nusantara yang di beberapa daerah
berlangsung selama lebih dari 300 tahun, akan terlihat bahwa banyak penguasa
setempat dan bangsa Cina yang bekerjasama dengan penjajah di segala bidang.
Perlu
diketahui, bahwa sampai awal abad 20, Belanda belum berhasil mengalahkan
beberapa kerajaan dan kesultanan di Sumatera dan Bali.
Latar Belakang Sejarah
Di Perang
Dunia II, pemerintah Nederlands Indie
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 9 Maret 1942 di Kalijati.
Kemudian
Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan
menghentikan semua kegiatan militer dan administrasi sipilnya. Tidak ada
kekuasaan samasekali di wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang,
termsuk di bekas jajahan belanda.
Dokumen
menyerah tanpa syarat (unconditional
surrender) baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas
Kapal Perang AS, Missouri di Tokyo Bay. Artinya terjadi Kekosongan Kekuasaan (Vacuum of Power) antara tanggal 15
Agustus – 2 September 1945.
Di masa Vacuum of Power tersebut, pada 17
Agustus 1945 Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dengan demikian
Pernyataan kemerdekaan tersebut bukan merupakan pemberontakan kepada siapapun,
karena tidak ada suatu pemerintahan. Juga bukan revolusi, karena tidak ada
pemerintah yang digulingkan.
Dari sudut
pandang belanda dinyatakan bahwa ini adalah suatu pemberontakan atau revolusi.
Jelas pernyataan ini untuk mengecoh opini dunia, bahwa belanda masih memiliki
hak sebagai penguasa.
Bangsa
Belanda, bekas penguasa Nederlands indie,
tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, dan berusaha untuk menjajah
Indonesia. Upaya belanda dibantu oleh sekutunya di Perang Dunia II, Inggris,
Australia dan Amerika Serikat. Inggris menyediakan 3 British-Indian Division di bawah komando Letjen Philip Christison,
dan Australia menyediakan 2 divisi di bawah komando Letjen Leslie “Ming the Merciless” Morshead. Amerika
Serikat memberi pelatihan untuk tentara belanda. Ketiga Negara tersebut
membrikan bantuan persenjataan dan logistik, karena setelah Perang Dunia II,
Belanda hancur dan hampir tak memiliki apapun untuk kepentingan angkatan
perangnya.
Selain
mendatangkan 150.000 wajib militer dari belanda, belanda juga merekrut sekitar
65.000 pribumi dari bekas jajahannya. Di antaranya sekitar 5.000 dari Maluku.
Selebihnya dari berbagai etnis di wilayah bekas jajahan belanda. Kebanyakan
adalah mereka, yang sebelum agresi militer Jepang tahun 1942, sudah menjadi
tentara KNIL. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)/Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia
(TNI), beberapa mantan perwira dan serdadu KNIL menyatakan bergabung dengan
Republik Indonesia. Namun sebagian terbesar termasuk para perwira menengahnya
memilih untuk tetap mendukung Belanda, dan berperang di pihak Belanda.
Selain KNIL
yang berpihak kepada Belanda, juga ada pasukan bangsa Cina yang tinggal di
Indonesia, Po An Tui. Mengenai pasukan Cina Po An Tui
(Belanda menyebut Pao An Tui). Po An Tui (PAT) pertama kali didirikan menjelang
agresi militer Jepang ke jajahan Belanda, India Belanda. Awalnya memang hanya
untuk pertahanan lingkungan bangsa Cina di India Belanda. Setelah pemerintah
Nederlands Indie (India Belanda) menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, di
masa pendudukan tentara Jepang, pasukan Cina Po An Tui dimanfaatkan oleh Jepang
untuk membantu dalam menjaga keamanan lingkungan.
Hingga saat
ini, tidak pernah dilakukan penelitian yang rinci mengenai sepak terjang
pasukan Cina Po An Tui. Berdasarkan
keterangan para veteran TNI yang berjuang dari tahun 1945 - 1950 mereka menegaskan, bahwa dalam agresi militer
Belanda I yang dimulai tanggal 22 Juli 1947 dan dalam agresi militer ke II yang
dimulai tanggal 19 Desember 1948, selain KNIL pasukan PAT juga ikut terlibat
dalam berbagai pertempuran melawan TNI di Sumatera dan Jawa.
Selama masa
penjajahan belanda di Asia Tenggara/Nusantara, bangsa Belanda telah menggandeng
bangsa Cina sebagai mitra dalam perdagangan. Kerjasama ini dilakukan sejak
tahun 1619, yaitu sejak VOC di bawah Gubernur Jenderal keempat Jan Pieterszoon
Coen berhasil mengalahkan Jayakarta, yang kemudian namanya diganti menjadi
Batavia.
Kerjasama
Belanda dan Cina bukan hanya dalam bidang perdagangan umum saja, melainkan juga
dalam perdagangan budak dan narkoba (candu) yang pada waktu itu adalah bidang
perdagangan yang sangat menguntungkan. Ukuran kekayaan seseorang adalah jumlah
budak yang dimilikinya.
Setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, terjadi
pembalasan dendam yang dilakukan oleh rakyat, terutama oleh laskar-laskar
pemuda, terhadap para mantan penjajah, yaitu bangsa Jepang dan bangsa Belanda,
serta terhadap mereka yang di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
telah bekerjasama dengan para penindas, yaitu bangsa Cina dan pribumi sendiri.
Pembalasan
dendam seperti ini juga terlihat setelah kekalahan Jerman di Eropa dan
kekalahan Jepang di Asia. Pembalasan dendam tidak hanya dilakukan terhadap
bangsa Jerman dan bangsa Jepang, melainkan juga terhadap bangsa mereka sendiri,
yang selama masa pendudukan bekerjasama dengan para agresor.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, pada bulan Desember 1945 dengan persetujuan tentara
pendudukan Inggris, di kota Medan dibentuk kembali PAT. Awalnya memang untuk
menjaga lingkungan komunitas Cina.
Kemudian di
Jakarta dan di beberapa kota di Jawa juga dibentuk pasukan Cina PAT. Sejak
pertengahan tahun 1947 hampir di semua kota di Jawa dan Sumatera pasukan PAT
dibentuk, dipersenjatai dan dilatih oleh tentara Belanda.
Po An Tui
berorientasi ke Kuomintang dan mereka juga mengibarkan bendera Kuomontang. Panglima
tertinggi PAT, Lim Seng diberi pangkat Letnan Jenderal.
Sejak
munculnya Partai Komunis Cina, komunitas Cina di perantauan, termasuk di
India-Belanda terpecah. Ada yang mendukung komunis, seperti Liem Koen Hian yang
ikut dalam BPUPK, ada yang mendukung Kuomintang, ada yang tetap setia kepada
Belanda, dan beberapa orang ikut dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, a.l.
Laksamana John Lie.
Dalam agresi
militer Belanda I tanggal 22 Juli 1947 dan ke II tanggal 19 Desember 1948,
pasukan PAT membantu tentara Belanda berperang melawan Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
Setelah KMB, tahun 1950 tentara Belanda ditarik
kembali ke Belanda.KNIL dan Po An Tui dibubarkan. Sekitar 23.000 mantan tentara KNIL diterima di Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan pada 16 Agustus 1950, APRIS menjadi Tentara nasional Indonesia (TNI).
Karena pernyataan Mao Tse Tung tahun 1950 bahwa
semua orang Cina di seluruh dunia adalah warga negara RRC, sebagian besar
bangsa Cina di Indonesia tidak mengambil kewarga-negaraan Indonesia.
Republik Indonesia menolak Dwi kewarga-negaraan.
Berdasarkan kesepakatan antara Republik Indonesia dan RRC tahun 1955, sampai
tahun 1962 bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia harus menentukan, apakah
menjadi warga negara Indonesia atau warga negara RRC.
Pada bulan November 1959 Presiden Sukarno
mengeluarkan Peraturan Presiden Nr. 10, yang menyatakan, bahwa orang asing
dilarang berdagang di luar Ibukota Kabupaten. Dengan demikian, semua orang Cina
yang bukan warga negara Indonesia, harus melepas usaha mereka di luar Ibukota
Kabupaten.
Setelah keluar Perpres tersebut, lebih dari
100.000 bangsa Cina kembali ke RRC dan yang tinggal di Indonesia kemudian
mengajukan permohonan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia. Dengan
demikian, bangsa Cina yang selama ratusan tahuhn bekerjasama dengan Belanda,
sejak itu “terpaksa” menjadi warga negara Indonesia, agar mereka dapat
berdagang sampai ke pelosok-pelosok/kampung di Indonesia.
Sepak Terjang Pribumi Pro belanda
Hingga saat ini, mengenai peran para pribumi
yang membantu belanda dalam upaya belanda menguasai Indonesia, belum pernah
diungkap, apalagi dibahas. Padahal peran para pribumi ini, yang waktu itu belum
sebagai warganegara Republik Indonesia, sangat signifikan, terutama dalam
membocorkan dokumen-dokumen, rencana-rencana pemerintah RI dan TNI serta dalam peristiwa
pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, sangat penting.
Di buku-buku sejarah mengenai perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 – 1950, sering ditulis
mengenai adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh pribumi untuk memberikan
informasi ke pihak belanda. Beberapa pengkhianatan berakibat sangat fatal untuk
puluhan ribu jiwa.
Eksekusi di tempat yang dilakukan oleh
Westerling dan anak buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian
kini termasuk Provinsi Sulawesi barat) terhadap rakyat pendukung Republik
Indonesia, dilakukan berdasarkan informasi dari penduduk setempat yang menjadi
mata-mata belanda. Sesuai daftar nama yang diberikan, maka oang-orang tersebut
ditembak di tempat. Tragisnya, setelah eksekusi para pendukung Republik
Indonesia, para informan tersebut juga ditembak mati di tempat.
Hal ini juga terjadi a.l. di desa Galung Lombok,
dekat Majene, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari 1947 pasukan elit Westerling Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah
komando Letnan Vermeulen mengumpulkan ribuan penduduk dari Kabupaten Majene dan
Kabupaten Polewali Mandar untuk menyaksikan eksekusi terhadap pendukung
Republik Indonesia. Berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh para informan,
tahap awal 29 orang ditembak satu-persatu. Kemudian gelombang kedua, secara
acak ditembak lebih dari 200 orang. Kemudian karena ada laporan bahwa pejuang
Indonesia membunuh tiga orang prajurit belanda yang akan memperkosa seorang
wanita, Vermeulen memerintahkan untuk menembak kearah kerumunan massa. Hanya
dalam waktu beberapa jam dalam tiga gelombang, keseluruhan lebih dari 600 orang
ditembak mati di tempat, termasuk para informan pribumi. Di antara yang
tertembak mati ada seorang wanita hamil dan anakp-anak.
Demikian juga yang terjadi di desa Rawagede,
dekat Karawang pada 9 Desember 1947, satu hari setelah dimulainya perundingan
perdamaian di atas Kapal Renville. Pada waktu itu tentara belanda terus memburu
Kapten TNI Lukas Kustaryo dan pasukannya.
Belanda mendapat informasi dari mata-matanya,
bahwa Kapten Lukas berada di desa Rawagede. Di pagi buta desa tersebut dikepung
dan segera dimulai menyisir rumah penduduk satu-persatu. Namun tidak ada
seorangpun anggota TNI.
Karena penduduk setempat tidak mau memberitahu
keberadaan Kapten Lukas dan pasukan TNI, maka komandan pasukan belanda, Mayor
Aflons Wijnen memerintahkan anak buahnya untuk membunuh semua laki-laki di atas
usia 15 tahun. Namun ternyata di antara 431 penduduk laki-laki yang dibunuh,
juga ada seorang bocah berusia 12 tahun. Ketika itu sedang musim hujan,
sehingga orang-orang yang ditembak di tepi sungai, langsung hanyut ke laut.
Karena tidak ada satupun penduduk laki-laki,
maka para janda dan anak-anak terpaksa menguburkan mayat-mayat penduduk
laki-laki yang tewas. Hari itu ada seorang wanita yang harus menguburkan ayah,
suami dan dua putranya. Ini semua karena ulah seorang pribumi yang menjadi
mata-mata belanda.
Pada perundingan Renville yang dimulai tanggal 8 Desember 1947, Belanda menunjukkan
kehebatannya dalam mengadu-domba pribumi Nusantara. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, sedangkan delegasi Belanda
dipimpin oleh seorang pribumi antek Belanda, Kolonel KNIL Raden Abdulkadir
Wijoyoatmojo.
Peristiwa Madiun September 1948 adalah manuver
militer Belanda, dalam rangka mempersiapkan agresi militernya yang terbesar
terhadap Republik Indonesia, yang dimulai pada 19 Desember 1948. Yang sangat
berperan di sini adalah “Van der Plas
Connection” yang dibentuk Januari 1942.
Untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun yang
dimulai tanggal 19 September 1948, TNI harus mengerahkan seluruh pasukan yang
dimilikinya, baik dari Divisi I Jawa Timur, termasuk Brigade Mobil Polisi,
pasukan Divisi II dan Divisi III Jawa tengah, serta pasukan Divisi Siliwangi,
yang akibat persetujuan Renville harus keluar dari jawa Barat. Hal ini
mengakibatkan, bahwa di Yogyakarta tidak ada satu batalyonpun yang menjaga
Ibukota Republik Indonesia waktu itu.
Di tengah kekosongan pasukan di Yogyakarta, pada
19 Desember 1948 belanda melancarkan agresi militernya secara besar-besaran
terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia di Sumatera dan Jawa.
Padahal waktu itu ditengah berlangsungnya
perundingan antara Indonesia dengan belanda yang difasilitasi oleh PBB. Komisi
PBB, United Nations Commission for
Indonesia (UNCI) dipimpin oleh orang Amerika.
Serangan terhadap Ibukota Yogyakarta dimulai
dengan menduduki lapangan terbang Maguwo. Di pagi hari pukul 06.45, bersamaan
dengan pendaratan tentara belanda di Maguwo, Wakil Tinggi Mahkota Belanda (Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon - HVK) Dr. Willem Drees,
menyampaikan pidato di radio, di mana dia menyatakan, bahwa belanda tidak lagi
terikat dengan Perjanjian Renville.
Mulusnya penyerangan dan pendaratan tentara
belanda di lapangan terbang Maguwo dekat Yogyakarta, dikarenakan telah terjadi pengkhianatan di pihak Republik
Indonesia. Ada yang memerintahkan agar senjata berat ditarik dari Maguwo.
Akibatnya, satu-satunya lapangan terbang dekat
Ibukota RI Yogyakarta, Maguwo hanya dijaga oleh 150 tentara dengan senjata
ringan. Tentara belanda tidak mendapat kesulitan untuk menghancurkan pertahanan
TNI di Maguwo. Hampir seluruh prajurit TNI ditembak mati. Di pihak Belanda, tak
seorangpun yang mati. Beberapa serdadu
yang selamat kemudian menuturkan peristiwa jatuhnya Maguwo ke tangan tentara
Belanda. .
Di masa perang gerilya, pada 1 Januari 1949
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng mengeluarkan
Instruksi Rahasia, yang isinya memberi perintah kepada seluruh pasukan di
wilayah Divisi III, Jawa tengah Bagian Barat, agar melancarkan serangan
serentak pada 17 Januari 1949.
Instruksi Rahasia tersebut ada yang membocorkan
ke pihak belanda. Akibatnya, untuk mengantisipasi kemungkinan serangan dari
gerilyawan Indonesia, di daerah Kranggan, dekat Temanggung, sejak awal Januari
1949 setiap pemuda Indonesia yang ditemui di jalan ditangkap, langsung dibawa
ke tepi Kali Progo, kemudian ditembak mati dan mayatnya dilempar ke Kali Progo.
Pembunuhan ini berlangsung sampai bulan Februari 1949. Diperkirakan sekitar
1.500 pemuda Indonesia ditembak mati tanpa proses hukum. Di tepi Kali Progo
dibangun Monumen untuk mengenang peristiwa ini.
Ironisnya, pada 10 Desember 1948 Belanda ikut
menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights). Sembilan hari kemudian,
belanda melancarkan agresi militernya di mana selama masa agresi militer
tersebut puluhan ribu penduduk sipil non-combatant,
dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Demikian secuil kisah pengkhianatan para pribumi
yang menjadi informan belanda, atau bahkan berperang di pihak Belanda, yang
berakibat fatal untuk rakyat Indonesia.
Di pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu
juga telah disusupi antek-antek Belanda, sebagaimana dituturkan oleh Letjen TNI
(Purn.) TB Simatupang dalam bukunya “Laporan Dari Banaran”, yang terbit pertama
kali tahun 1960.
Di masa agresi militer Belanda ke II yang
dimulai tanggal 19 Desember 1948, dalam catatan hariannya, Simatupang menulis
(Laporan dari banaran, halaman 133 – 134):
... Rupa-rupanya Belanda menarik dua kesimpulan yang utama dari
peperangan pertama dan dari persetujuan Renville:
(a)
Republik telah terdesak ke daerah-daerah yang
paling padat penduduknya dan paling sedikit penghasilannya di Sumatera dan
Jawa, sehingga apabila blokade ekonomi diteruskan (dan blokade demikian
diteruskan di depan mata KTN, yang tidak dapat berbuat apa-apa selain dari
melaporkannya ke DK), Republik akan menemui kesulitan-kesulitan di dalam
negeri, sehingga dia terpaksa menerima tuntutan-tuntutan Belanda.
(b) Sekiranya yang tersebut
tidak terjadi, maka dari pengalaman-pengalaman selama peperangan pertama
Belanda rupanya menarik kesimpulan bahwa apabila dia menyerang Republik,
perlawanan akan dapat dipatahkan dalam waktu singkat dan selanjutnya bahwa
perlawanan yang mungkin akan diteruskan oleh beberapa golongan akan dapat
dipatahkan dengan bantuan dari beberapa pemimpin Republik sendiri ...
Demikian penuturan Letjen TNI (Purn.) TB
Simatupang.
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan sesudahnya
Di masa agresinya sampai gencatan senjata pada
10 Agustus 1949, belanda berhasil mendirikan 15 Negara-negara atau daerah
otonom, di mana para penguasanya adalah orang-orang yang pro belanda.
Dari 23 Agustus – 2 November 1949 berlangsung
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, belanda dengan hasil, didirikannya Republik
Indonesia Serikat (RIS), dengan Parlemen RIS.
Menjelang dimulainya KMB, semua kasus kejahatan
yang dilakukan oleh tentara belanda ditutup. Namun pada 5 September 1949, di
tengah perundingan perdamaian di belanda, hukuman mati terhadap seorang pemuda
pejuang Indonesia, Wolter Robert Mongisidi dilaksanakan.
Sejarah mencatat, tak lama setelah berdiri, di
beberapa Negara Bagian RIS bentukan belanda timbul kemarahan rakyatnya yang
sejak awal tidak setuju dengan pembentukan Negara yang terpisah dari Republik
Indonesia dan pergolakan rakyat tak dapat dicegah oleh pemerintah-pemerintah
bentukan Belanda. Beberapa pemerintahan Negara Bagian kemudian dipaksa oleh
rakyatnya untuk membubarkan diri atau dibubarkan secara paksa oleh rakyatnya,
sehingga pada bulan April 1950, hanya tinggal 3 Negara Bagian RIS yang tersisa,
yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia
Timur (NIT).
Dengan persetujuan NST dan NIT, pada 19 Mei 1950
Pemerintah Republik Indonesia (RI) di bawah pimpinan Mr. Assaat Datuk Mudo mengadakan
perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dicapai
kesepakatan untuk kembali membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 12 Agustus 1950, KNIP Republik Indonesia menyetujui Rancangan
Undang-Undang Dasar Sementara NKRI yang telah disusun oleh panitia bersama, dan
pada 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengesahkan Undang-Undang Dasar
Sementara untuk NKRI.
Tanggal 15 Agustus Perdana Menteri RIS M. Hatta
menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RIS Sukarno. Demikian juga dengan
Mr. Assaat Datuk Mudo –Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia- yang
menyerahkan mandatnya kepada Presiden RIS. Setelah itu Presiden RIS Sukarno
menyatakan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pada 17 Agustus 1950 Ir.
Sukarno mengumumkan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kudeta APRA Westerling pada 23 Januari 1950 yang
didalangi oleh Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana bersama Sultan Hamid
II dari Kalimantan, dan pemberontakan
Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga adalah rancangan belanda mengalami kegagalan total. Kemudian terjadi
konspirasi tingkat tinggi militer dan sipil belanda untuk menyelamatkan
Westerling kembali ke belanda, di mana dia dielu-elukan sebagai pahlawan.
Sekitar 4.000 bekas KNIL etnis Maluku bersama
keluarganya diboyong ke belanda. Kemudian berdasarkan keputusan kerajaan
tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar
120 tahun, Koninklijk Nederlands-Indisch
Leger atau KNIL dinyatakan bubar.
Sesuai dengan hasil KMB, mereka yang ingin bergabung dengan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diterima dengan pangkat yang sama. Namun sebelum
dibubarkan, banyak dari mereka dinaikkan pangkatnya, bahkan sampai dua tingkat.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa ketika
Republik Indonesia didirikan, sekitar 65.000 pribumi yang mungkin masih merasa
sebagai warganegara belanda, menjadi serdadu KNIL yang sampai 10 Agustus 1949
berperang di pihak belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di bidang
politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen RIS duduk orang-orang yang
bukan warganegara Republik Indonesia (RI), melainkan warga negara RIS.
Setelah KNIL dan RIS dibubarkan, mereka
“terpaksa” menjadi warganegara Republik Indonesia.
Sebagian bekas KNIL menjadi anggota TNI. Banyak
bekas petinggi-petinggi pribumi pro belanda ikut ke belanda, a.l. Kol. KNIL R.
Abdulkadir Wijoyoatmojo. Namun sebagian terbesar, terutama di wilayah 15 Negara-Negara
Bagian atau Daerah Otonom bentukan belanda, para pejabatnya masih tinggal di
daerah masing-masing.
Di lingkungan masyarakat di daerah-daerah, masih
diketahui dengan jelas peran orang tua atau kakek mereka di zaman penjajahan
dan di masa Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan.
Sampai tahun 50-an karena masih sangat segar di
ingatan masing-masing, cukup terbuka siapa-siapa saja yang pernah mengabdi
untuk belanda.
Ada kelompok pribumi Nusantara yang tinggal di
belanda mendirikan paguyuban dengan menyatakan “Kesetiaan Abadi” (door de euwen trouw) kepada belanda.
Yang tentu menjadi pertanyaan penting, apakah
mereka (dan keturunannya) yang di zaman penjajahan, bahkan sampai tahun 1950
masih di pihak belanda untuk menghancurkan cita-cita Republik Indonesia sebagai
bangsa yang Merdeka, tiba-tiba sejak tahun 1950 semua menjadi nasionalis?
Demikian juga dengan bangsa Cina yang selama
ratusan tahun bekerjasama dengan penjajah memperdagangkan pribumi Nusantara
sebagai budak di negeri sendiri, dan kemudian tahun 1962 “terpaksa” menjadi
warga negara Republik Indonesia agar dapat menghindari Peraturtan Presiden No.
10 tahun 1959. Apakah dapat diharapkan nasionalismenya?
Memang harus diterapkan azas pra-duga tak
bersalah. Jelas tidak semua dari mereka yang sampai tahun 1950 masih setia
kepada belanda, setelah tahun 1950 masih tetap setia kepada belanda.
Namun diketahui, cukup banyak yang setelah tahun
1950 masih menerima uang pensiun dari pemerintah belanda, yang menyebabkan mereka
tetap setia kepada belanda. Bahkan kabarnya sampai sekarang, terutama mereka
yang termasuk jaringan Van der Plas
Connection atau yang terus bertugas sebagai informan belanda, tetap
mendapat gaji dari Belanda.
Setelah KMB, ternyata Belanda tidak
henti-hentinya mengadu-domba bangsa Indonesia dan terus berusaha memecah-belah
NKRI, dengan bantuan mantan kakitangan dan antek-anteknya di masa lalu.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk dari
belanda sendiri, ternyata belanda ikut terlibat di berbagai peristiwa di
Republik Indonesia, dari mulai pemberontakan RMS sampai peristiwa tahun 1965.
Pada waktu itu, selain peran Van der Plas
Connection dan Pater Josephus (Joop) Beek, juga diketahui adanya OLAF (Our Local Army Friends) sebagaimana
disebut oleh Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta pada waktu itu. Di
tahun 60-an dan 70-an beberapa mantan tentara KNIL yang sampai tahun 1949 masih
berperang di pihak Belanda, berhasil menjadi PATI (Perwira Tinggi) di TNI.
Konflik di antara para pejuang Republik
Indonesia berlanjut terus hingga tahun 80-an, dan yang mendapat keuntungan
adalah justru mereka yang sampai tahun 1949 masih di pihak belanda yang
bertujuan untuk memecah-belah NKRI. Bukan rahasia lagi, bahwa sejak
pemerintahan Orde Baru sampai sekarang dikabarkan, bahwa banyak menteri di
pemerintahan RI adalah titipan asing.
Mengenai hal ini, bukanlah hal baru, sebagaimana
telah dituturkan oleh Letjen. TNI (Purn.) TB Simatupang, bahwa sejak tahun 1948
di pemerintah Republik Indonesia telah ada antek Belanda.
Kemungkinan besar inilah penyebab utama, mengapa
segala usaha untuk membuka lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang
selama agresi militer mereka di Indonesia (Jepang 1942 – 1945, Belanda, Inggris
dan Australia dari 1945 – 1950) dan meminta pertanggungjawaban atas pembantaian
jutaan rakyat di wilayah pendudukan Jepang dan setelah itu di wilayah Republik Indonesia mengalami kesulitan besar.
Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak
merespons tuntutan agar menunjukkan bahwa Indonesia Berdaulat Dalam Politik
Luar Negeri.
Pertengahan tahun 2012, tiga lembaga penelitian
terbesar di belanda mengajukan proposal untuk melakukan penelitian mengenai
segala sesuatu yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, justru
pemerintah Indonesia yang menolak, tanpa menyebut alas an penolakan. Mungkin
ini salahsatu bukti, bahwa lobby pemerintah belanda di kalangan pejabat di
Indonesia, terutama di Kementerian Luar Negeri RI sangat kuat. Kementerian Luar
Negeri RI sejak bertahun-tahun tetap tidak mau menjelaskan kepada rakyat
Indonesia, mengapa pemerintah RI membiarkan sikap belanda, yang tidak mau
mengakui de jure kemerdekaan RI
17.8.1945.
Bukan hanya para diplomat di seluruh dunia,
orang awam juga mengetahui, bahwa apabila dua Negara akan saling berhubungan
diplomatik, keduanya harus saling mengakui dan menghargai kesetaraan.
Kemungkinan di sini juga “keberhasilan” lobby belanda untuk menutupi fakta ini,
karena apabila belanda terpaksa mengakui de
jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka belanda harus menghadapi tuntutan,
bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu
Negara yang merdeka dan berdaulat. Selain harus membayar pampasan perang, yang
paling keberatan terhadap pengakuan de
jure ini adalah veteran belanda, karena mereka akan menjadi penjahat
perang.
Di lain pihak, apabila Indonesia tetap menerima
versi belanda bahwa kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1947, maka berarti
pemerintah Indonesia membiarkan pandangan, bahwa yang dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis
yang dipersenatai oleh Jepang, karena demikianlah alasan belanda melancarkan
“aksi polisional”nya. Yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan-pasukan
elit dan marinirnya.
Kalau melihat “peta kekuatan” jaringan Belanda, Van der Plas Connection dan jaringan Pater Beek serta jaringan sekutu
belanda, ABDACOM, tidak tertutup kemungkinan, bahwa apabila MENINGGALKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT
INDONESIA MENJADI SEJARAH!
Imperium Uni Sovyet yang gagah perkasa, hanya
bertahan 70 tahun, kemudian pecah dan bubar. Bahkan salahsatu Negara kuat di
Eropa, Republik Demokratik Jerman ( Jerman Timur) hanya bertahan 4O tahun.
Pemerintah Jerman Timur membubarkan diri dan
bergabung dengan Jerman Barat.
Telah sering diberitakan, bahwa berbagai konflik
dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan,
selalu ada campur-tangan asing. Namun belum pernah disebutkan dengan tegas,
Negara mana saja yang ikut-campur atau “bermain.” Sudah jelas orang-orang dari
Negara-negara tersebut tidak mungkin untuk turun tangan sendiri, karena akan
sangat janggal, apabila banyak bule berseliweran di pelosok-pelosok daerah
konflik. Tugas ini tentu dilakukan oleh para pribumi.
Bung Karno telah memprediksi apa yang akan
dihadapi bangsa Indonesia, sehubungan dengan antek-antek Belanda tersebut yang
tinggal di Indonesia. Dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno
Mengatakankan:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati.
Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya
seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan
dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme
juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol
ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui
segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen
itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”
Selain itu juga ada kalimat Bung Karno yang
sangat terkenal:
“PERJUANGANKU LEBIH MUDAH KARENA MENGUSIR PENJAJAH.
PERJUANGANMU AKAN LEBIH SULIT KARENA MELAWAN BANGSAMU SENDIRI”
********
Revisi Agustus 2017.
Referensi dan lampiran-lampiran yang sehubungan
dengan artikel di atas, dapat dilihat di buku tulisan Batara R. Hutagalung:
“Serangan Umum 1 Maret
1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia”, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.
********
Lihat juga weblogs:
---------------------------------------------------------------
Delegasi KUKB dipimpin oleh Ketum KUKB, Batara R. Hutagalung berkunjung ke Parlemen Belanda, Tweede Kamer, di Den Haag pada 9 Oktober 2013
Ini kunjungan KUKB pimpinan Batara R. Hutagalung yang keempat ke Parlemen Belanda