Dalam Rangka
Membangun Bangsa Dan
Jatidiri Bangsa
(Nation and Character
Building)
Pembodohan Sejarah
Nasional Berkelanjutan
Harus Segera Dihentikan
Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite Nasional
Pembela Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa (PKNMB)
Pembela Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa (PKNMB)
MENINGGALKAN SEJARAH INDONESIA,
MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH
Pengantar
Alinea ke empat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia mengamanatkan:
"… Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, MENCERDASKAN
KEHIDUPAN BANGSA, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”
Dalam kehidupan bernegara, berbangsa
dan bermasyarakat di Indonesia saat ini, sangat dirasakan memudarnya
nasionalisme, idealisme dan semangat gotong-royong, karena semakin
berkembangnya pragmatisme dan liberalisme. Namun juga banyak yang sejak awal
berdirinya Republik Indonesia, tidak pernah memiliki rasa nasionalisme
Indonesia, karena mereka masih merasa sebagai warga Nederlands Indie hingga
tanggal 27.12.1950, kemudian setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi warga
Republik Indonesia Serikat (RIS), dan setelah RIS dibubarkan pada 16.8.1950,
“terpaksa” menjadi rakyat NKRI.
(Lihat tulisan: “MEREKA YANG TIDAK PERNAH PUNYA
NASIONALISME”
Hanya tinggal segelintir anak bangsa
yang masih bersungguh-sungguh berjuang untuk mempertahankan Kedaulatan NKRI,
membela Martabat Bangsa, dan masih berkeinginan Membangun Bangsa dan Jatidiri
Bangsa (Nation and Character Building). Sebagian besar hanya sebatas
retorika, slogan pada waktu kampanye untuk memperoleh kedudukan.
Tak banyak lagi yang menyadari,
bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah suatu
NEGARA BANGSA (Nation State), yang
merupakan kesatuan dan persatuan dari kerajaan-kerajaan serta
kesultanan-kesultanan yang berbasis etnisitas di Nusantara, yang hingga 9 Maret
1942 adalah jajahan Belanda yang bernama Nederlands
Indie (India Belanda), kemudian
sampai 15 Agustus 1945 di bawah pendudukan tentara Jepang.
Sebagai bangsa baru yang timbul dari
masyarakat yang mempunyai kesamaan nasib sebagai jajahan (definisi Otto Bauer),
masih sangat perlu Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa. Namun hingga sekarang,
belum tampak konsep yang jelas.
Dalam banyak hal, para pemimpin dan
para penyelenggara Negara ini belum satu persepsi, termasuk yang sehubungan
dengan PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17 AGUSTUS 1945 dan era perang mempertahankan
kemerdekaan 1945 – 1949 terhadap agresi militer belanda dan sekutunya, sampai pada
“pelimpahan kewenangan” (Inggris: transfer
of sovereignty – Belanda: soevereniteitesoverdracht)
dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
27 Desember 1949..
Hal ini a.l. juga disebabkan, karena
penulisan sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia sejak 17 Agustus 1945, banyak
yang –sengaja atau tidak- salah, dikaburkan, dihilangkan atau bahkan masih
menggunakan versi mantan penjajah di Nusantara.
Apabila
juga dipahami, bahwa sejak berakhinya Perang Dingin antara blok komunis dan
blok anti komunis awal tahun 90-an, Indonesia berada di era Perang Asimetris
(saya berpendapat, bahwa dunia internasional kini telah memasuki era Pola
Perang Generasi V – 5th
Generation of Warfare), maka pengaburan penulisan sejarah nasional suuatu
Negara juga merupakan bagian dari perang asimetris. Hal ini diformulasikan
dengan tepat sebagai berikut:
“Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui
beberapa tahapan.
Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi
baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan
nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan
nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara
ilmiah.
Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan
stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan
lain-lain.
Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang
dalam kolonialisasi.”
Kemudian
untuk membalikkan peran pelanggar HAM dan pengawal HAM, maka: Keempat, semua Negara bekas penjajah,
kecuali Amerika Serikat, telah menghapus hukuman mati, dan kini menyatakan
bahwa hukuman mati adalah pelanggaran HAM. Kemudian Negara-negara bekas
penjajah, dibantu antek-anteknya di Negara-negara bekas jajahan, memoles citra
mantan penjajah sebagai Negara-negara yang “mengajarkan HAM”, bahkan sebagai
pengawal/pengawas HAM.
Kelima, secara TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASSIF, bekas Negara-negara jajahan yang adalah korban dari genosida (pembantaian etnis) kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran HAM, walaupun “master mind” dari berbagai konflik kekerasan di Negara-negara bekas jajahan adalah para mantan penjajah.
Kelima, secara TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASSIF, bekas Negara-negara jajahan yang adalah korban dari genosida (pembantaian etnis) kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi, selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran HAM, walaupun “master mind” dari berbagai konflik kekerasan di Negara-negara bekas jajahan adalah para mantan penjajah.
Sebagai contoh, berbagai tndakan dan peristiwa yang terjadi di Negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia, oleh Negara-negara mantan penjajah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM, a.l hukuman mati terhadap para gembong narkoba. Padahal di zaman penjajahan belanda, perdagangan opium adalah MONOPOLI pemerintah penjajah. Rumah-rumah madat yang tujuannya untuk menghancurkan mental rakyat jajahannya, mendapat izin resmi dari pemerintah penjajah.
Pada
kenyatannya, penulisan sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia yang ada di
buku-buku sekolah, yang dibaca oleh SELURUH siswa-siswi, sangat jauh dari
penilaian “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA” sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Apa yang
dapat diharapkan dari generasi yang buta
akan sejarah perjuangan heroik bangsanya, agar dapat membangun Bangsa dan
Jatidiri Bangsa? Dalam hubungan dengan sejarah, mereka ini adalah “the
lost generation!”
Di era Perang
Asimetris (Asymmetric Warfare),
pengetahuan mengenai sejarah nasional dan internasional menjadi sangat penting,
karena dapat menjadi “senjata” ampuh untuk memojokkan suatu Negara, terutama
sehubungan dengan pelanggaran HAM, pembantaian massal atau kejahatan perang
yang telah dilakukan oleh suatu Negara.
Pengetahuan
sejarah nasional Indonesia dapat memperkuat dasar dan sekaligus sebagai
“serangan balik” (counter) terhadap
isu-isu yang selalu dilontarkan oleh Negara-negara tertentu untuk menjatuhkan
citra Indonesia, sekaligus “memoles” citra mereka sebagai “pengawas HAM
internasional.”
Catatan:
Sebagaimana saya tulis dalam penerbitan buku-buku terdahulu, saya tidak
meng-klaim, bahwa penelitian, analisis dan pendapat saya adalah yang paling
benar. Diserahkan kepada pembaca untuk menilai dan meneliti hal-hal yang saya
kemukakan.
Permasalahan:
1.
Penulisan Sejarah Nusantara dan Sejarah Indonesia Yang
SALAH.
A. Umum
Selama puluhan tahun.seluruh rakyat
Indonesia di sekolah membaca buku-buku Sejarah Nusantara, yang memuat data-data
yang salah, berorientasi ke barat dan bahkan banyak yang masih merupakan
peninggalan penjajah atau dari sudut pandang penjajah.
Demikian juga dengan Sejarah
Indonesia, yang tidak memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai
berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, setelah bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun bukan hanya karena penulisan
sejarah saja yang salah, melainkan pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah
juga sangat minim dan salah.
Belanda menjajah Indonesia 3,5 abad. Jepang menjajah Indonesia
3,5 tahun. Demikianlah pendapat hampir
seluruh rakyat Indonesia hingga kini. Yang sehubungan dengan masa penjajahan
Belanda 3,5 abad, tidak pernah dijelaskan secara rinci, kapan dimulainya
penjajahan Belanda di Indonesia, dan kapan berakhirnya.
Yang berpendapat bahwa Belanda
menjajah Indonesia selama 350 tahun
tidak terbatas pada rakyat biasa, bahkan beberapa (mungkin semua)
menteri sekalipun sampai sekarang masih berpendapat seperti ini, sebagaimana
diucapkan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu beberapa waktu lalu, dan
Menteri ESDM, Sudirman Said, ketika meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu
(PLTB) di Bantul pada 4 Mei 2015. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa semua
pimpinan nasional- berpendapat seperti ini.
Adalah Bonifacius Cornelis de Jonge, yang menjadi Gubernur
Jenderal India-Belanda ke 63, dari tanggal 12 September 1931 sampai 16 September 1936, yang tahun 1935 mengatakan
:” Als ik met nationalisten praat, begin ik altijd
met de zin: Wij Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg
minstens 300 jaar blijven. Daarna kunnen we praten” (Seandainya saya berbicara dengan para
nasionalis ,
saya selalu memulai dengan kalimat: Kami Belanda telah di sini 300 tahun dan
kami bahkan akan tinggal paling sedikit 300 tahun lagi. Kemudian kita bisa bicara).
Di Belanda dikenal kata-kata bijak, yaitu: “Hoogmoed
komt voor de val”
(Keangkuhan datang menjelang kejatuhan). Gubernur Jenderal berikutnya, ke 64, Jonkheer Alidius Warmoldus
Lambertus Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer 1936 – 9.3.1942, adalah penguasa
Belanda terakhir di India Belanda. Setelah menyerahnya pemerintah India Belanda
kepada Jepang pada 9 Maret 1942, dia semula dibawa ke Taiwan, kemudian ditahan
di Kamp di Hsien (sekarang bernama Liaoyuan) di Mancuria, sampai dibebaskan
pada 16 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kepada sekutu.
Tidak diketahui dengan pasti, kapan
kalimat Bonifacius de Jonge tersebut mulai digunakan oleh para pemimpin
Indonesia, sebagai slogan yang konon untuk membangkitkan emosi, kemarahan dan
semangat rakyat Indonesia. Juga tidak diketahui, siapa yang memulai dengan
angka 350 tahun. Bagaimana perhitungannya.
Sampai awal
abad 20 Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh Asia Tenggara/Nusantara.
Kesultanan Aceh baru jatuh tahun 1904, Kerajaan Badungdi Bali berakhir dengan
Puputan Badung pada 20 September 1906, Kerajaan Batak jatuh 17 Juni 1907 dengan tewasnya
Sisingamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya. Terakhir adalah Kerajaan Klungkung di Bali yang berakhir dengan Puputan
Klungkung pada 28 April 1908
Seandainya hal ini benar adanya,
yaitu Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, bukankah ini sangat
memalukan, bahwa Negara sekecil Belanda dapat menjajah wilayah yang belasan
kali lipat dari negaranya, dengan penduduk yang lebih dari 15 kali lipat
jumlahnya dari penduduk Belanda? Hal ini sering menjadi olok-olokan di kalangan
orang Indonesia sendiri, yang tidak memiliki rasa nasionalisme, atau bahkan
mungkin pro Belanda. Dengan demikian, kalimat itu menjadi Bumerang untuk Indonesia.
Jenderal Ryamizard Ryacudu ketika
menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dalam sambutannya pada
peringatan Palagan Ambarawa yang diperingati sebagai Hari Juang Kartika TNI AD
bulan Desember tahun 2003, salah menyampaikan peristiwa tersebut. Dikatakan
a.l., bahwa:” Ketika
itu, Presiden Soekarno ditawan, pemerintahan lumpuh, dan Belanda dengan
militernya mengancam akan kembali menguasai Indonesia. TNI di bawah pimpinan
Jenderal Soedirman menunjukkan eksistensinya secara heroik. Dengan persenjataan
sederhana, TNI bersama rakyat mampu memenangi pertempuran untuk menjaga
integritas bangsa dan Negara.”
Catatan: Presiden Sukarno ditawan oleh
Belanda pada 19 Desember 1948, yaitu ketika Belanda melancarkan agresi
militernya yang kedua, sedangkan peristiwa Palagan Ambarawa terjadi pada bulan
Desember 1945, dan pada waktu itu belum TNI, melainkan namanya adalah Tentara
Keamanan Rakyat - TKR (kemudian pada 7 Januari 1946 namanya diganti menjadi
Tentara Rakyat Indonesia dan pada 3 Juli 1947 menjadi Tentara Nasional
Indonesia – TNI, sampai sekarang). Yang dilawan pada bulan Desember 1945 adalah
tentara Inggris, bukan tentara Belanda.
Sebagai contoh yang paling fatal
karena sangat banyak memuat kesalahan –menurut pendapat saya- adalah buku
sejarah KARANGAN I Wayan Badrika
Kurikulum 1994 (Edisi kedua): “Sejarah Nasional Indonesia dan Umum” untuk SMU
Kelas 2.
Selain menggunakan terminologi dari
sudut pandang penjajah, seperti pelaut Inggris “MENEMUKAN” Australia (halaman 22),
para penjarah, perampok emas dan pembantai penduduk asli di benua Amerika yang
datang dari Spanyol dan Portugal disebut sebagai “PARA PENAKLUK DUNIA BARU”. Kata
“PENAKLUK” merupakan terjemahan dari bahasa Spanyol “Conquistador” (halaman
19). “PENEMUAN” Lautan Teduh, Selat
Magelhaens dan Tanjung Harapan Baik (Cape
of Good Hope) merupakan “KARYA YANG
MENGAGUMKAN” (halaman 23).
Padahal Jalan Sutra (Silk Road) perdagangan dari Asia Timur
sampai ke Mesir telah berusia 5000 tahun. Di Lembah Bamyn Afghanistan terdapat
dua patung Buddha terbesar di dunia, yang sudah berusia 1.500 tahun. Pangeran
Siddharta Gautama yang kemudian dikenal sebagai Buddha berasal dari lahir di
Lumbini, sekarang termasuk Nepal. Sangat disayangkan, kedua patung Buddha
tersebut tahun 2001 dihancurkan oleh Taliban.
Demikian juga jalur laut perdagangan
antara Tiongkok sampai ke Mesir, yang tentunya harus melalui Nusantara/Selat
Malakka. Para pedagang rempah-rempah telah berdagang sampai ke Maluku, beberapa
ratus tahun sebelum datangnya orang-orang Eropa. Jadi APA YANG MENGAGUMKAN DARI
ORANG-ORANG YANG RATUSAN TAHUN BELAKANGAN DATANG?
Mengenai alasan Pangeran Diponegroro
bangkit melawan Belanda, ditulis “SEBAB-SEBAB
KHUSUS”, yaitu “pembuatan jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro
di Tegal Rejo” (halaman 67). Kalimat ini masih tertera dalam buku I Wayan
Badrika berdasarkan Standar Isi 2006 (halaman 166).
“Sebab khusus” yang sama, yaitu “PENYEBAB KHUSUS Perang Diponegoro
terjadi tahun 1825, yaitu ketika Belanda hendak membuka jalan baru dari
Yogyakarta ke Magelang melalui Tegal Rejo, tempat makam leluhur Pangeran
Diponegoro berada”, tetap digunakan dalam buku KARANGAN Samsul Farid, Kurikulum 2013, Sejarah untuk SMA/MA Kelas
XI, halaman 182.
Dalam orasi ilmiah (yang saya
hadiri) yang diberikan pada waktu inaugurasi sebagai Guru Besar Tamu di
Universitas Indonesia tanggal 1 Desember 2014, Prof. Dr. Peter Carey yang
melakukan penelitian selama puluhan tahun mengenai Pangeran Diponegoro,
mengatakan a.l.:
”… I am still struck at how effectively the Dutch
brainwashed the pribumi population in the aftermath of the Java War to regard
Diponegoro as a leader who was only concerned with his own personal ambitions –
his supposed frustration at not being appointed sultan, and his outrage at the
building of a road across his estate being touted by a succession of Dutch
historians as the principle reasons for his July 1825 rebellion.
Nowhere is there any mention in these histories of
the deeper socio-economic problems which precipitated the five-year conflict, problems which would repeat themselves in the
Southern Netherlands during the brief period of the United Kingdom of the
Netherlands (1815- 30).
This would end with the Belgian Revolt of August
1830, a revolt backed – in contrast to the Javanese anti-colonial struggle of 1825-30
- by the major European powers…”
(Prof. Dr. Peter
Carey-Inaugural Lecture as Adjunct Professor, 1 Dec 2014 Page 7 )
{Terjemahannya
yang dilakukan sendiri oleh Prof. Peter Carey:
Saya masih heran betapa efektif
Belanda mencuci otak penduduk
pribumi pada masa setelah Perang Jawa dengan mencap Diponegoro sebagai seorang pemimpin yang hanya mementingkan ambisi pribadinya - frustrasi karena tidak diangkat sebagai sultan, dan memberontak hanya sebab sepele, yaitu marah bahwa tanah miliknya dan pemakaman keluarga dilintasi jalan baru pada bulan Juli 1825.
pribumi pada masa setelah Perang Jawa dengan mencap Diponegoro sebagai seorang pemimpin yang hanya mementingkan ambisi pribadinya - frustrasi karena tidak diangkat sebagai sultan, dan memberontak hanya sebab sepele, yaitu marah bahwa tanah miliknya dan pemakaman keluarga dilintasi jalan baru pada bulan Juli 1825.
Masalah sosial-ekonomi di
pedalaman Jawa tengah-selatan yang memicu pemberontakan massa pada awal Perang Diponegoro sama sekali tidak
dibahas oleh sejarawan Belanda. Dan yang aneh disini – bukan hanya warga
pedalaman Jawa tengah-selatan yang menderita akibat kepicikan Belanda tapi juga
penduduk di Belanda Selatan selama
periode yang sama - Persatuan Kerajaan Belanda (1815-1830).
Hal ini akan berakhir dengan
Revolusi Belgia Agustus 1830, pemberontakan yang didukung – sesuatu yang tidak
terjadi dengan perjuangan anti-kolonial Jawa pada Perang Dponegoro (1825-1830)
- oleh negara-negara adidaya Eropa.}
Seandainyapun peristiwa pembuatan
jalan melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro memang benar adanya, apakah hal
ini perlu dicantumkan dalam buku sejarah selama puluhan tahun sebagai “sebab
khusus”? Bukankah versi Belanda ini
memberi kesan, bahwa Pangeran Diponegoro seorang egois, yang marah dan bereaksi
setelah milik pribadinya diambil oleh Belanda?
HARUS DIJELASKAN DAN DISEBUTKAN SUMBER ATAU REFERENSI
MENGENAI “SEBAB KHUSUS” INI!
Kesalahan lain dari buku I Wayan
Badrika ada di halaman 287, mengenai pertempuran di Surabaya tanggal 28 – 29
Oktober 1945, di mana ditulis a.l.:
“… Bahkan pemimpin pasukan Sekutu (Inggris)
Brigadir Jenderal Mallaby berhasil ditawan oleh para pemuda.”
Tidak ada satu sumberpun yang
menulis, bahwa Brigjen Mallaby pernah ditawan oleh para pemuda!
Masih KARANGAN I Wayan Badrika
Kurikulum 1994. Penulisan yang salah di halaman 242:
“… Pada tanggal 8 Desember 1941 pecahlah perang di
Lautan Pasifik, Jepang terlibat di dalamnya …”.
Kalau yang dimaksud adalah
penyerangan Jepang ke Pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, ini
terjadi tanggal 7 Desember 1941.
“… Bahaya kuning…”, adalah dari sudut pandang penjajah dari Eropa/Amerika.
“ …Hindia Belanda termasuk di dalam front ABCD (Amerika
Serikat, Britania, Cina, Dutch/Belanda dengan Jenderal Wavel (Inggris)
sebagaiPanglima tertinggi, berkedudukan di Bandung …”
“Front ABCD”
tidak ada. Yang ada adalah ABDACOM, yaitu American, British, Dutch Australian
Command yang dibentuk bulan Januari 1942. Panglima tertingginya adalah Jenderal
Sir Archibald Wavell.
“…begitu kuatnya serangan musuh sehingga Hindia
Belanda yang merupakan benteng kebanggaan Inggris di Asia Tenggara jatuh ke
tangan Jepang…”
Sejak kapan India Belanda menjadi
“Benteng Kebanggaan Inggris di Asia Tenggara?
Masih di halaman 242:
“… Dalam tempo sebulan Jepang telah
menguasaI Asia Tenggara seperti Indo China, Muangthai, Birma, Malaysia,
Philipina dan Indonesia. Jatuhnya Singapura pada tanggal 15 Februari 1941 ke tangan Jepang yaitu dengan ditenggelamkannya kapal
Induk Inggris yang bernama Prince of Wales dan Refulse sangat menggoncangkan
pertahanan sekutu di Asia…
…Namun sisa-sisa pasukan sekutu di
bawah pimpinan Karel Doorman (Belanda) sempat mengadakan perlawanan di laut
Jawa…”
Catatan kesalahan:
1.
Nama kapal perang RePulse, bukan
ReFulse.
2.
Prince of Wales dan Repulse bukan
kapal induk. Prince of Wales adalah BATTLESHIP (Kapal Perang). Repulse adalah
BATTLECRUISER Penjelajah Perang).
3.
Keduanya tenggelam dalam perang laut
tanggal 10 Desember 1941. Tanggal 15 Februari 1941 belum ada perang di Asia-Pasifik.
4.
Yang diserang Jepang bukan
INDONESIA, melainkan India Belanda. INDONESIA baru ada setelah 17 Agustus 1945.
5.
Rear Admiral Karel Doorman tidak
memimpin “sisa-sisa pasukan sekutu.” Karel Doorman adalah Panglima Armada
Gabungan ABDACOM, dalam perang di laut Jawa tanggal 27 Februari 1942. Dia tewas
dan tenggelam bersama kapalnya De Ruyter.
6.
Pulau Jawa dikuasai total oleh
Jepang tanggal 8 Maret 1942, dan tanggal 9 Maret 1942 pemerintah India Belanda
resmi menyerah kepada Jepang.
Sangat luar biasa, bahwa di satu
halaman saja, halaman 242, terdapat sekian banyak kesalahan/kengawuran. Apabila
Kurikulum 1994 saja sudah demikian ngawurnya, bagaimana dengan penerbitan
sebelumnya? Menjadi tandatanya besar, mengapa selama puluhan tahun, tidak
pernah dilakukan penelitian mengenai isi dari buku-buku sejarah untuk sekolah.
Tidak ada samasekali daftar pustaka/referensi, sehingga tidak diketahui
darimana sumber penulisan tersebut.
Buku KARANGAN Samsul Farid Kurikulum 2013 ini juga memberikan penilaian
secara emosional dari sudut pandang Belanda. Di halaman 95 ditulis mengenai
keinginan VOC membuat Jayakarta menjadi pusat kekuasaan: “… Baru pada
pemerintahan Jan Pieterszoon Coen, MIMPI
ini terwujud. Pada tanggal 30 Mei 1619, VOC di bawah komando langsung darinya
menggempur Jayakarta. Kemenanganpun berpihak kepada VOC …” Dari sudut pandang
penduduk Jayakarta, seharusnya ditulis: “… MIMPI BURUK DIMULAI”, juga tanggal
30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai
AWAL PENJAJAHAN DI BUMI NUSANTARA!
Yang paling
fatal kesalahannya adalah mengenai persyaratan mendirikan suatu Negara,
sebagaimana tertulis di buku sejarah KARANGAN Samsul Farid di halaman 214, di
mana tertera:”Proklamasi Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
tentunya belumlah cukup untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah Negara, karena
SYARAT sebuah Negara adalah bila mempunyai wilayah, rakyat, pemerintah YANG BERDAULAT, PENGAKUAN INTERNASIONAL dan HUKUM
DASAR atau UNDANG-UNDANG DASAR
(UUD..) ”
Hal ini
sangat salah, karena walaupun merujuk kepada Konvensi Montevideo 26 Desember
1933, PENGAKUAN INTERNASIONAL TIDAK DIPERLUKAN, demikian juga tak ada syarat
untuk segera memiliki UNDANG-UNDANG DASAR.
Tanpa
pengakuan dari Negara manapun pernyataan kemerdekaan suatu Negara sah, sejauh
Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri, sebagaimana yang dilakukan
oleh Belanda tahun 1581 ketika menyatakan kemerdekaan dari penjajahan Spanyol; Belgia
menyatakan kemerdekaan pada 4 Oktober 1830 dan memisahkan diri dari Belanda, Amerika
Serikat menyatakan kemerdekaan pada 4 Juli 1776 dan melepaskan diri dari
penjajahan Inggris.
Republik
Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kemudian Vietnam pada 2
September 1945. Indonesia dan Vietnam tidak berontak kepada siapapun, karena
setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, tidak ada otoritas di wilayah bekas
pendudukan Jepang.
Dari beberapa contoh di atas terlihat,
bahwa selama puluhan tahun seluruh rakyat Indonesia menjadi “produk” atau
bahkan “korban” dari buku-buku sejarah yang salah dan bahkan menyesatkan karena
SALAH ORIENTASI, SALAH PENULISAN DAN MEMAKAI VERSI BELANDA/PENJAJAH..
Hal ini yang
sejak lama terjadi di Indonesia. Matapelajaran sejarah dibuat menjadi sangat
tidak penting, menghilangkan bagian-bagian yang heroik yang dilakukan oleh
berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, dan yang ditonjolkan adalah
versi belanda, yang sebenarnya memalukan bangsa Indonesia.
Bahkan
berbagai peristiwa heroik yang terjadi di masa pendudukan Jepang antara tahun
1942 – 1945, maupun di masa perang MEMPERTAHANKAN kemerdekaan menghadapi agresi
militer Belanda dan sekutunya antara tahun 1945 – 1950, yang seharusnya menjadi
kebanggaan rakyat Indonesia, hanya sedikit yang tercantum di buku-buku sejarah
di sekolah, dan tidak ditulis secara rinci.
Di masa
pendudukan Jepang juga terjadi sangat banyak kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat lainnya, seperti pekerja paksa (Romusha)
wanita yang dipaksa menjadi penghibur/pemuas nafsu sex tentara Jepang (Jugun
Yanfu), pembantaian ribuan intelektual pribumi yang dilaksanakan di Mandor,
Kalimantan Barat, kejahatan Unit 731 tentara Jepang, dll. Tak terhitung korban
jiwa selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang.
Agresi
militer Belanda –dibantu tentara sekutunya- di Republik Indonesia yang MERDEKA
DAN BERDAULAT tidak hanya menghancurkan infra struktur dan perekonomian Negara
Indonesia yang baru berdiri, melainkan juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
yang sangat banyak. Laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969, De
Excessennota menyebutkan, bahwa
korban tewas di pihak Indonesia sekitar 150.000 orang.
Namun apabila
melihat jumlah korban di suatu daerah yang tertera dalam laporan resmi, jauh
lebih kecil dari angka yang sebenarnya. Sebagai contoh, pembantaian di desa
Rawagede (sekarang bernama Balongsari) dekat Karawang, Jawa Barat. Di laporan
pemerintah Belanda tertera, jumlah korban sipil “hanya” 20 orang. Faktanya
adalah, jumlah penduduk sipil yang tewas dibantai oleh tentara Belanda, tanpa
proses hukum apapun, berjumlah 431 orang.
Pembantaian di
desa Rawagede dilakukan oleh tentara belanda pada 9 Desember 1947, sehari
setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal Renville, yang difasilitasi oleh PBB. Sebelumnya, pada 17 Agustus
1947, Republik Indonesia dan Belanda telah menandatangani kesepakatan gencatan
senjata.
Mengenai pembantaian oleh tentara belanda di
Rawagede, lihat 3 link berikut ini:
“Dari
Rawagede Ke Parlemen Belanda”
“RAWAGEDE,
PERJUANGAN KNPMBI DAN KUKB”
“The
Craft of the Historian: Revolution, Reaction & Reform from a Javanese
Perspective, 1785-1855”
Selain itu,
sangat banyak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara belanda, tidak
ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda, seperti misalnya pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer ke II yang dilancarkan
pada 19 Desember 1948.
Pada 5
Januari 1949 tentara Belanda membantai sekitar 2.500 penduduk Rengat, Riau, termasuk
Bupati Tulus, ayah dari pujangga Chairil Anwar. Pada bulan Januari – Februari
1949 di Kranggan dan sekitarnya, tentara belanda membunuh sekitar 1.500 pemuda
secara acak. Semuanya penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum.
Dengan
difasilitasi lagi oleh PBB, Republik Indonesia dan Belanda menandatangani
kesepakatan gencatan sejata, yang mulai berlaku tanggal 10 Agustus 1949 jam
24.00. Namun di kota Solo, di pagi buta tanggal 11 Agustus 1949, tentara
belanda membantai sekitar 20 penduduk sipil dengan kelewang, di satu rumah
seorang dokter yang dijadikan sebagai
klinik darurat.
Yang luar
biasa di sini adalah, 9 hari sebelum melancarkan agresi militer ke II, pada 10
Desember 1948 Belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (United Nations Universal Declaration of Human
Rights).
Baik
pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan
penelitian, berapa sebenarnya korban agresi militer Belanda dan sekutunya di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Mengenai agresi militer Inggris di Surabaya,
lihat 4 link di bawah ini:
“Mengapa
Inggris Membom Surabaya?”
“10
NOVEMBER 1945 - LATAR BELAKANG, AKIBAT DAN PENGARUHNYA”
“Menuntut
Pemerintah Inggris Atas Pemboman Surabaya November 1945”
“Pernyataan
Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney”
Apabila
mengacu pada jumlah korban yang sangat diperkecil jumlahnya, diperkirakan,
korban tewas di pihak Indonesia mencapai satu juta jiwa. Sebagian terbesar
adalah penduduk sipil –non combatant.
Semua
peristiwa kejahatan perang yang dilakukan oleh Jepang, Belanda dan sekutunya
tidak tercantum dalam buku-buku sejarah, sehingga generasi muda Indonesia tidak
mengetahui kekejaman, bahkan kebiadaban mereka dan membantai penduduk sipil.
Akibatnya,
segelintir orang Indonesia, sebagian tidak jelas kewarganegaraannya, sejak
puluhan tahun terlibat konspirasi internasional untuk memojokkan Indonesia
sebagai NEGARA PELANGGAR HAM, dan menyanjung mantan penjajah sebagai PENGAWAS
DAN PELINDUNG HAM. Puncaknya adalah “Tribunal Rakyat Internasional” tanggal 10
– 13 November 2015 di Den Haag, belanda, yang dikoordinir oleh beberapa “tokoh
HAM” Indonesia.
Juga sering
terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan sebagai
revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan, dan dari sudut
pandang belanda, yang dilakukan oleh tentara belanda adalah membasmi para
perampok, perusuh dan ekstremis tyang dipersenjatai Jepang.
Hal-hal
tersebut di atas sangat salah dan menyesatkan. Dikuatirkan, apabila
pendapat-pendapat tersebut di atas tidak dibantah dan diluruskan,
generasi-generasi mendatang di Indonesia juga percaya terhadap
pendapat-pendapat yang salah ini, yang sebagian besar adalah versi Belanda.
Juga tidak ada bantahan, apabila dunia internasional berpendapat demikian.
Melihat
demikian banyaknya kesalahan yang ada di buku-buku sejarah untuk
sekolah-sekolah memberikan kesan, bahwa yang penting isinya tidak mengajarkan
radikalisme dan unsur-unsur pornografi. Kalau NGAWUR boleh, dan kalau SALAH,
tidak apa-apa!
Masih merujuk
kepada buku KARANGAN I Wayan Badrika:
Apa gunanya para siswa/siswi
mempelajari mengenai Aufklaerung/Pencerahan
(halaman 12) di Eropa, sementara yang
diperlukan generasi muda bangsa Indonesia adalah PENCERAHAN UNTUK MEMBANGUN
BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building).
Apa gunanya para siswa/siswi
mempelajari reformasi gereja (halaman 25 – 27), sementara kita semua tidak
mengetahui mengenai perkembangan ratusan agama asli Nusantara dan kearifan
lokal lain yang perlahan-lahan sirna.
Apa gunanya siswa/siswi menetahui
“kehebatan” para petualang dan “penemu” dari Eropa 1451 (Columbus) – 1541 (Pizzaro),
halaman 15 – 21, sementara generasi sekarang tidak mengetahui apa yang terjadi
dalam Perang Bubat tahun 1537? Konon Perang Bubat inilah yang menjadi penyebab,
maka di Jawa Barat dan Banten tidak ada nama jalan Gajah Mada, Majapahit dan
Hayam Wuruk.
Apa gunanya para siswa/siswi
menghafalkan perang koalisi I – VII dari
tahun 1792 – 1815 (halaman 34 – 37), sementara mereka tidak mengetahui
alasannya mengapa banyak orang Batak yang mengetahui sejarah, menolak Imam
Bonjol sebagai Pahlawan Nasional. Sebelum berperang melawan Belanda, pasukan
Padri berulangkali melancarkan agresi militer besar terhadap Kerajaan Batak.
Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan
terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang
dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng
Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.
Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan
rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah
Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi.
Penyerbuan
terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit
kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang
memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun
kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati
karena berbagai penyakit
Di buku sejarah KARANGAN I Wayan
Badrika, Standar isi 2006 halaman 246,
dan di Karangan Habib Mustopo dkk., tahun 2002 halaman 187-188, dengan kalimat
yang hampir sama, ditulis mengenai kekalahan tentara Inggris di bawah komando
Jenderal Cornwallis dengan 7000 tentaranya dalam pertempuran di Yorktown tahun
1783, di mana kemudian tentara Inggris menyerah kepada Jenderal Washington.
Sementara siswa-siswi kurang
diberikan informasi mengenai berbagai pertempuran dan peristiwa yang seharusnya
menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, seperti a.l. Petempuran 28 – 29 Oktober
1945 di Surabaya, di mana para pemuda dari seluruh Indonesia berhasil mengalahkan Brigade 49
tentara Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby. Inggris adalah
salahsatu pemenang Perang Dunia II. Pertempuran hebat juga terjadi di
Bojongkokosan, Jawa Barat, Desember 1945, Pertempuran Medan Area, Desember
1945, Palagan Ambarawa, Desember 1945, Peristiwa Bandung Lautan Api, Maret
1946, dsb.
Pada 19 Juni 2012
media di Belanda memberitakan, bahwa tiga lembaga penelitian terbesar di
Belanda, yaitu The Netherlands Institute
for Military History (NIMH), the Royal Netherlands Institute of Southeast Asian
and Caribbean Studies (KITLV-KNAW) and the NIOD Institute for War, Holocaust
and Genocidestudies (NIOD-KNAW), bersepakat untuk melakukan penelitian yang
lengkap mengenai perang yang berlangsung di Indonesia antara tahun 1945 – 1949.
Mereka mengajukan Proposal kepada pemerintah Belanda dengan anggaran sebesar 2
juta Euro untuk tujuan tersebut.
Namun pada bulan
Februari 2013 pemerintah Belanda memberikan jawaban, bahwa pemerintah Indonesia
tidak tertarik untuk bekerjasama. Hal ini tentu sangat mengejutkan dan
mengherankan, mengapa justru pemerintah Indonesia yang tidak mau. Padahal tidak
diminta dana sepeserpun dari pemerintah Indonesia, dan hasilnya tentu juga
sangat bermanfaat untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk generasi
mendatang, sehingga mereka mengetahui apa yang telah terjadi di Republik
Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
B. Khusus
Sangat rendahnya
pengetahuan mengenai sejarah Nusantara, masa pendudukan Jepang di wilayah bekas
jajahan Belanda, sejarah Indonesia, juga pengetahuan umum mengenai psikologi sosial,
konflik antar etnis/suku yang telah berlangsung sangat lama/ratusan tahun,
berdampak pada perumusan kebijakan/konsep, pengambilan keputusan, dll., yang
justru menjadi bagian atau penyebab masalah, dan bukan solusi menyelesaikan
masalah.
Penelitian mengenai
semua peristiwa yang terjadi di masa lalu yang lengkap dan akurat dengan
berbagai pendekatan (approach) sangat
penting bukan hanya untuk kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat,
melainkan juga dalam menetapkan suatu kebijakan. Tanpa kecuali. Yang tak kalah
pentingnya adalah interpretasi, kesimpulan dan pemahaman dari sudut pandang dan
kepentingan Negara, Bangsa dan Rakyat Indonesia, bukan untukmembela kepentingan mantan penjajah
B.1. Nama INDONESIA
Masalah yang timbul
dari kekurang-pengetahuan mengenai sejarah dari memilih dan menetapkan Nama INDONESIA, sebagai nama NEGARA dan
BANGSA yang akan melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Awal abad 20, para
tokoh pergerakan kemerdekaan di wilayah jajahan Belanda mencari nama di luar
nama Nederlands Indie (India
Belanda), atau yang berasal dari bahasa/orang Belanda.
Douwes Dekker
menguslkan nama Insulinde, namun ini
juga dari bahasa Belanda, yang artinya juga Kepulauan India. Konon, adalah Prof. Cornelis van Vollenhofen,
seorang Belanda, yang mengusulkan nama INDONESIA, yang dikatakan bahwa ini bukan
dari bahasa Belanda, juga bukan dari orang Belanda, melainkan dari orang
Inggris, George Samuel Windsor Earl.
Kata INDONESIA
berasal dari bahasa Yunani: Indos, artinya India, dan Nesos, artinya Kepulauan.
Jadi Indonesia juga berarti Kepulauan
India. Papua tidak termasuk Indonesia. Papua termasuk Melanesia (mela =
hitam), yaitu Kepulauan penduduk berkulit Hitam.
Sejarah mencatat,
akhirnya pilihan jatuh pada nama INDONESIA. Kurang diketahui, siapa yang
memutuskan untuk menetapkan nama INDONESIA sebagai nama Negara yang akan
didirikan dan apa dasar pertimbangannya. Apakah ada tim/kelompok yang melakukan
penelitian, dari mana dan apa arti nama tersebut. Apakah memang sudah sesuai
dengan kriteria untuk BANGSA BARU yang
akan DIBANGUN, yaitu YANG TIMBUL DARI KESAMAAN NASIB.
Sebenarnya agak
janggal, kalau ingin mencari nama di luar peninggalan penjajah. Sejarah
mencatat, bahwa Inggris pernah menjajah Nusantara, yaitu wilayah jajahan
Belanda dari tahun 1811 – 1816, yaitu “The
British Inter –Regnum”. Penjajahan Inggris terjadi ketika berlangsung
perang di Eropa. Inggris yang berseteru dengan Perancis dan Belanda, merebut
jajahan Belanda di Asia Tenggara. Setelah diadakan perdamaian dalam Kongres
Wina 18. September 1814 sampai 9. Juni 1815, maka jajahan-jajahan
“dikembalikan” kepada tuan penjajah semula.
Oleh karena itu tidak
jelas siapa yang memutuskan dan apa pertimbangan memilih nama INDONESIA. (Rincian
mengenai hal ini, lihat: “Asal-usul Kata 'INDONESIA'. Indonesia diganti menjadi NUSANTARA!”
B. 2. Glorifikasi Majapahit dan Sumpah Imperialis Gajah Mada
Sumpah Palapa
adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara
pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).
Sira Gajah Madapatih
Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah
nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana
isun amukti palapa".
Terjemahannya:
Dia Gajah Mada Patih
Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah
mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun,
Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".
Arti nama-nama tempat: Gurun = Pulau Gorom, Seram Bagian Timur; Seran = Seram; Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat; Haru = Kerajaan Aru Sumatera Utara (Karo); Pahang = Pahang, Malaysia; Dompo = sebuah
daerah di pulau Sumbawa; Bali = Bali; Sunda = Kerajaan Sunda; Palembang = Palembang atau Sriwijaya; Tumasik = Singapura
Adalah kebiasaan dari
zaman dahulu, sampai sekarang, ambisi suatu Negara untuk menguasai
Negara-negara lain, dengan berbagai tujuan. Yang paling utama dari semua tujuan
adalah untuk menguasai kekayaan/SDA (Sumber Daya Alam) dari kerajaan yang
diserang. Jelas bukan berdasarkan idealisme untuk “Mempersatukan” seperti yang dahulu
diterjemahkan, melankan untuk MENGALAHKAN.
Ambisi Gajah mada ini
yang menjadi penyebab terjadinya Perang Bubat tahun 1357. Pada waktu itu,
kerajaan Sunda belum ditaklukkan oleh Majapahit. Konon, Perang Bubat inilah yang
menjadi penyebab, mengapa di Jawa Barat dan Banten tidak ada nama-nama jalan
Gajah Mada, Hayam wuruk dan Majapahit. Mengenai Perang Bubat masih harus dilakukan
penelitian yang mendalam, terutama mencari sumber, naskah yang dapat dipercaya keabsahannya.
Banyak peninggalan penulisan di Nusantara, seperti Kakawnin Nagarakretagama (Negarakertagama),
Babad Tanah Jawi, I La Galigo (Sastra Bugis),
semuanya kini disimpan di Belanda. Orang-orang Belanda mulai menerbitkan terjemahan
naskah-naskah tersebut setelah usai Perang Diponegoro tahun 1830. Dalam banyak penulisan,
terlihat disain Belanda memanipulasi isinya, untuk kepentingan kekuasaanBelanda,
dan mengadu-domba pribumi.
Selain itu, apabila
ingin menonjolkan dan mengagungkan suatu kerajaan atau kesultanan, seharusnya
suatu kerajaan dan kesultanan yang tak terkalahkan. Kerajaan Hindu-Buddha
Majapahit telah dikalahkan oleh Kesultanan Demak. Raja Majapahit terakhir,
Brawijaya VI, adalah ayah dari Sultan Demak, Raden Patah. Majapahit hanya bertahan sekitar 120 tahun.
Sebagai perbandingan,
apabila datanya benar karena awalnya juga berasarkan penelitian sejarawan
Perancis, George Cœdès, Kerajaan Buddhis Sriwijaya di Sumatera
bertahan lebih dari lima abad, yaitu paling sedikit dari abad 7 – 12.
Tokoh/Bhiksu Buddhis di Sriwijaya yang paling terkenal di dunia agama Buddha adalah
Dharmakiriti.
Dari beberapa sumber yang memang harus diteliti lebih
lanjut, Kerajaan Maritim Sriwijaya ini telah menjalin hubungan dengan Pantai
Timur Afrika, terutama dengan Madagaskar.
B. 3. PANCA “PILAR” Kehidupan
Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat
MPR periode 2010 –
2014 merumuskan dan kemudian menyosialisasikan yang dinamakan “EMPAT PILAR
KEBANGSAAN”, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Atas gugatan dari
sebagian masyarakat, pada 3 April 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) telah
memutuskan, bahwa Frasa PILAR tidak boleh lagi digunakan. Sejak itu muncul kata
KONSENSUS. Namun pada kenyataannya hingga saat ini, 2016, kata “PILAR” masih
tetap digunakan.
Dalam merumuskan
“PILAR” kebangsaan, banyak menggunakan ideal yang berasal dari masa Orde Baru.
Yang sangat ditonjolkan adalah DAS SOLLEN dan seolah-olah melupakan DAS SEIN.
Landasan filosofis dan landasan sosiologis dari Empat “Pilar” sangat lemah.
Landasan historisnya, yang sehubungan dengan PILAR (atau apapun namanya) UTAMA
samasekali tidak ada. Yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Logikanya adalah,
tanpa “PILAR” (KONSENSUS) UTAMA/PERTAMA, maka ke-empat “Pilar” lainnya tidak
ada.
Mengenai PANCA PILAR
KEHIDUPAN BERNEGARA, BERBANGSA DAN BERMASYARAKAT, lihat:
B. 4. Penetapan Hari Jadi Ibukota Jakarta
Contoh lain kurangnya
pengetahuan sejarah dan tidak diperhatikannya aspek sosial-psikologis, adalah
dalam menetapkan Hari Jadi Jakarta.
Ketika menjabat sebagai Gubernur DKI, dalam
situsnya Fauzi Bowo menulis a.l.:
“… Sudiro
yang sejak 8 Desember 1953 menjadi Walikota Jakarta Raya, ingin agar warga
Jakarta dapat merayakan ulang tahun kota-nya dengan meriah setiap tahun. Pada
awal tahun 1954 ia menghubungi beberapa orang ahli sejarah, di antaranya: Mr.
Muh. Yamin, Sudarjo Tjokrosisworo (wartawan senior) dan Mr. Dr. Sukanto. Kepada
mereka diminta kesediaan untuk meneliti kapan kota Jakarta didirikan.
Permintaan ini jelas mengacu kepada kota Jakarta dan bukan Batavia yang
didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen.
Sukanto
yang waktu itu adalah juga Kepala Arsip Negara (sekarang Arsip Nasional RI)
mengambil ancang-ancang tanggal pendirian Djajakarta
oleh Falatehan dalam
menentukan hari ulang tahun kota Jakarta. Ia berkesimpulan hari itu adalah
tanggal 22 Juni 1527. Maka dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Februari 1956
no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja menetapkan tanggal 22
Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta…
Dari ke
tiga orang yang diminta, hanya Mr. Dr. Sukanto yang menyambut baik dan
menuliskan hasil penelitiannya berjudul Dari Djakarta ke Djajakarta. Buku ini
terbit pada akhir tahun 1954 sebagaimana dicantumkan dalam kata pendahuluan,
sedangkan kata pengantar ditulis oleh Walikota Sudiro.
Maka dengan Surat Keputusan tertanggal 23
Februari 1956 no. 6/D.K. Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja
menetapkan tanggal 22 Juni 1527 sebagai hari lahir kota Djakarta…
… Perhitungan kalender yang digunakan oleh
Sukanto dan Husein Djajadiningrat, yang diakui oleh ke duanya, masih bersifat
perkiraan teoritis. Jadi, penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari ulang tahun
Jakarta adalah sebuah ketetapan politik yang diambil dalam sidang Dewan
Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja atau DPRDS Jakarta waktu itu. Seperti yang
diakui oleh Sudiro sendiri, bahwa dasar hukum penetapan tanggal tersebut
diperlukan untuk menghindari berbagai polemik yang akan timbul…”
Jadi jelas, bahwa
penetapan tanggal 22 Juni sebagai Hari Jadi Jakarta adalah keputusan politis
dan berdasarkan kekuasaan. Bukan berdasarkan penelitian sejarah yang
sesungguhnya, dan mengabaikan aspek sosial psikologis.
Penetapan tanggal ini
menimbulkan beberapa pertanyaan:
a.
Kalau
dinyatakan sebagai Hari Jadi/Didirikannya KOTA, dalam situs resmi DKI Jakarta,
ditulis bahwa:
”... Kota ini (Sunda
Kalapa –pen.) kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah,
dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama
Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati
sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad
ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta...”
Berarti: Yang
diserang adalah suatu KOTA. Jadi hanya DIGANTI NAMAnya.
b.
Nama
SUNDA KALAPA diganti menjadi JAYAKARTA, bukan JAKARTA.
c.
Nama
Batavia diganti menjadi JAKARTA oleh
Jepang tanggal 8 Agustus 1942.
d.
JAYAKARTA
artinya KOTA KEMENANGAN. Nama ini konon digunakan untuk glorifikasi kemenangan agresor
dari Demak terhadap Sunda Kalapa, kota pelabuhan dari Kerajaan Hindu Pajajaran.
Dipandang dari sudut
penduduk Sunda Kalapa, “merayakan” kekalahan bukan hanya sangat ironis,
melainkan juga penghinaan besar. Seandainya masih ada keturunan dari penduduk
Sunda Kalapa, dan mereka mengetahui sejarah kota Sunda Kalapa – Jayakarta –
Batavia – Jakarta, apakah mereka dapat dengan bergembira “merayakan” kekalahan
nenek-moyangnya?
Selengkapnya mengenai “Kontroversi
HUT Jakarta: 22 JUNI, APA YANG DIRAYAKAN?” Renungan Jakarta, lihat:
B.
5. Penetapan Pahlawan
Nasional
Muhammad Shahab yang kemudian
dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]
Imam Bonjol, pemimpin kaum Padri, diangkat
menjadi Pahlawan Nasional karena telah berperang melawan Belanda. Golongan
Padri dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab (Samsul Farid, Sejarah untuk
SMA/MA Kelas XI, Kurikulum 2013, halaman177). Namun sebelum berperang melawan Belanda,
golongan Padri telah menghacurkan
Kerajaan Pagarruyung di Sumatera Barat dan membunuh hampir seluruh keluarga
kerajaan. Kemudian mereka melancarkan agresi ke Tanah Batak.
Selama agresinya di Tanah Batak, pasukan
Padri telah membunuh puluhan ribu mungkin ratusan ribu rakyat Batak, melakukan
perkosaan terhadap wanita-wanita Batak dan menghacurkan Istana Bakkara di
Batak. (Lihat tulisan: “Tuanku
Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”
Lihat
juga tulisan: “Beberapa Catatan mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi”
Patut dipertanyakan, apakah pemimpin dari
suatu kelompok yang telah membantai ribuan orang sesama etnisnya karena berbeda
aliran dari agama yang sama, diangkat menjadi pahlawan nasional, termasuk pahlawan
dari etnis yang telah dibantai oleh pengikutnya. Yang sangat ironis adalah,
sekarang orang Batak juga harus menerima Imam Bonjol sebagai pahlawan.
2. Pandangan Terhadap Keabsahan
Proklamasi 17 Agustus 1945
Selain masalah penulisan sejarah,
masalah yang tak kalah penting adalah pandangan terhadap keabsahan pernyataan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Banyak pakar hukum, diplomat dan
politisi Indonesia yang cenderung membenarkan sejarah versi Belanda dan bahkan
tidak sedikit pakar hukum Indonesia yang berpendapat, bahwa Indonesia baru
memperoleh kemerdekaan penuh pada 27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda
“menyerahkan kewenangan” (transfer of
sovereignty/soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Juga hampir
semua rakyat Indonesia menyangka, bahwa Belanda telah mengakui kemerdekaan
Republik Indonesia, sebagaimana tertulis dalam sejarah singkat KOPASSUS
(Komando Pasukan Khusus).
Pada
peringatan ke 63 KOPASSUS tanggal 16 April 2015 yang lalu, dibacakan sejarah
singkat KOPASSUS: “… Sejak Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda
tgl. 27 Desember 1949 dan beberapa Pemberontakan di wilayah Indonesia
(APRA, Andi Azis, RMS) …”
Yang menjadi
masalah di sini adalah kalimat: “Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda
tgl. 27 Desember 1949”, yang tidak pernah dilakukan oleh Belanda. Yang
terjadi pada 27 Desember 1949 adalah PELIMPAHAN KEWENANGAN (Inggris: Transfer of sovereignty; Belanda: Soevereniteitsoverdracht), kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat
(RIS), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India –
Belanda (Nederlands Indië). Hal ini
tertuang dalam perjanjian, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar, 23
Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Jadi, pelimpahan kewenangan
tersebut kepada RIS, bukan kepada NKRI.
Banyak
kalangan di Indonesia menilai, bahwa hasil KMB ini sangat merugikan Indonesia
dan hanya menguntungkan Belanda, terutama secara finansial. Karena juru runding
Indonesia menerima, bahwa RIS dipandang sebagai kelanjutan India – Belanda,
maka RIS (kemudian setelah RIS dibubarkan pada 16.7.1950, cicilan dibayar oleh
pemerintah RI) harus menanggung utang pemerintah India – Belanda kepada
pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden
(waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalam utang ini, termasuk biaya
belanda untuk melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia tahun
1947 dan 1948. Selain itu, Republik Indonesia hanya menjadi satu dari 16 Negara
Bagian. Juga pembahasan mengenai Irian Barat ditunda, sehingga di dalam RIS,
Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.
Yang sangat memprihatinkan adalah,
banyak sejarawan Indonesia yang cenderung membenarkan sejarah versi Belanda dan
bahkan tidak sedikit pakar hukum Indonesia yang berpendapat, bahwa Indonesia
baru memperoleh kemerdekaan penuh pada 27 Desember 1949, yaitu ketika Belanda
“menyerahkan kewenangan” (transfer of
sovereignty/ soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Bahkan yang sangat mengejutkan
adalah pernyataan Dr. Hasan Wirayudha ketika sebagai Menteri Luar Negeri RI
memberi Keynote Speech di acara
peringatan di Linggajati pada 14 November 2006. Dia dengan gamblang membela
versi Belanda yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia mengatakan
a.l.:
“…
Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak menentukan nasib sendiri apabila demand
metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement,
sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak,
tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka
kemerdekaan itu tidak akan ada …
…
saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi.
Kita memaknai kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan dengan ini
kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara
telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia
internasional pada saat itu…”
Apabila diartikan
dalam hubungan Indonesia Belanda, maka kalimatnya adalah: “… karena pihak yang lain (Belanda) tidak
setuju, maka kemerdekaan (Indonesia) itu tidak akan ada…” Dengan kata lain, proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945 TIDAK SAH.
Yang sangat luar biasa di sini adalah, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang Menteri Luar Negeri RI, yang seharusnya membela proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 sebagai harga mati, bahkan cenderung membodohi rakyat Indonesia mengenai “tatanan dunia internasional pada waktu itu.” (Teks lengkap Keynote Speech dapat dibaca di: “MENLU RI: PROKLAMASI 17.8.1945 TIDAK SAH”
Pernyataan seseorang
yang berbicara sebagai MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA, tentu sangat
mengherankan, karena di Belanda, banyak tokoh-tokoh masyarakat, sejarawan,
bahkan anggota parlemen Belanda, yang mendesak pemerintah Belanda mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. (Lihat: “Tokoh-Tokoh dan
Anggota Parlemen Belanda Mendukung Pengakuan Kemerdekaan RI 17.8.1945.”
Memang sesuai dengan
UUD RI Pasal 28 E Ayat 3 (Perubahan ke II, tahun 2002), yaitu “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”, maka
siapapun dapat berpendapat bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945 tidak sah, karena tidak ada Undang-Undang yang melarang untuk berpendapat
demikian.
Apabila seorang
mahasiswa Fakultas Hukum semester satu yang berpendapat demikian, dapat
dimaklumi, bahwa dia kurang membaca atau kurang pengetahuan serta tak memiliki
rasa nasionalisme. Namun hal ini akan sangat berbeda, apabila yang berbicara
adalah seorang Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, yang bergelar PhD
(DOKTOR), yang menyatakan menulis disertasinya di Amerika Serikat dengan judul
“The
Indonesian Questions and the Security Councils.” Di hadapan Duta Besar Belanda, sejarawan
Indonesia dan tokoh-tokoh masyarakat, menyebarluaskan versi Belanda, bahwa
Proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 TIDAK SAH. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ini adalah sikap pemerintah Indonesia. Selain itu, sejak
diucapkan bulan November 2006, tidak ada yang membantah pernyataan ini.
Dia bukan satu-satunya mantan menlu RI yang berpendapat demikian.
Mungkin ini sebabnya pemerintah Indonesia selama puluhan tahun, hingga saat
ini, 2016, membiarkan pemerintah Belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan RI
17.8.1945. Namun hal ini membuat hubungan “diplomatik” Republik Indonesia dengan
Kerajaan Belanda menjadi janggal dan tidak setara.
Untuk banyak peristiwa sejarah, kurang dilakukan analisis yang lengkap dan cermat, dan dari kacamata bangsa dan kepentingan Indonesia. Cukup banyak yang masih menggunakan terminologi penjajah. Yang paling menyolok adalah, banyak orang Indonesia yang ikut-ikutan menggunakan istilah “aksi polisional” versi Belanda sehubungan dengan agresi militer Belanda.. Yang agak “keras” menamakan agresi militer Belanda sebagai “clash” (bentrokan/benturan).
Secara keseluruhan, berbagai
peristiwa yang terjadi di bekas India-Belanda yang kemudian diduduki oleh
Jepang antara tahun 1942 – 1945, maupun di Republik Indonesia antara tahun 1945
- 1950 kurang diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia, atau bahkan tidak
diketahui samasekali. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia
boleh dikatakan sangat minim. Banyak tulisan hanya sekadar menenerjemahkan
tulisan-tulisan peneliti Belanda atau penulis bangsa asing lainnya.
Kurang dilakukan penelitian, apakah
penulisan sejarah Nusantara yang sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat
luas, adalah benar sesuai fakta, ataukah penulisan tersebut telah
“diselewengkan” oleh penjajah, untuk mengaburkan peristiwanya dan juga
mendiskreditkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan
Belanda.
Pada 16
Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu itu) dalam pidatonya di Gedung Kemlu RI,
Jakarta mengatakan, bahwa kini Belanda MENERIMA Proklamasi Kemerdekaan RI
17.8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS. Sehari Sebelumnya di Den Haag, dia
mengatakan lebih jelas, bahwa kini (2005) Belanda MENERIMA DE FACTO KEMERDEKAAN
RI 17.8.1945.
Pernyataan (dalam bahasa Inggris) Ben Bot di
Jakarta pada 16.8.2005, di mana dia menyatakan, bahwa kini (2005) pemerintah
Belanda MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS.
“Speech by Minister Bot On the 60th
anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration”:
Pernyataan Ben Bot di Den Haag, 15 Agustus
2005 (dalam bahasa Belanda), bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de
facto kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.
“Ben Bot. Toespraak ter gelegenheid van de 15
augustus-herdenking bij het Indië-monument”:
Menlu Belanda: Kemerdekaan Republik Indonesia
Desember 1949.
Wawancara Menteri Luar Negeri Belanda,
Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18 Agustus 2005: http://www.youtube.com/watch?v=_x-wVZc_u_I )
Pernyataan menlu
Belanda ini sangat mengejutkan, karena berarti
hingga 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali,
dan 60 tahun setelah kemerdekaan RI, Belanda secara lisan menerima de
facto. Namun atas pernyataan ini, tidak ada seorangpun di RI yang
memberikan reaksi atau tanggapan. Bahkan karena kebohongan publik yang
dilakukan oleh beberapa media nasional besar, banyak yang menyangka, bahwa pada
16 Agustus 2005 belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Republik Indonesia
17.8.1945.
Proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hukum internasional,
yaitu Konvensi Montevideo, 26.12.1933. Walaupun sebenarnya kemerdekaan sesuatu
Negara tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh Negara baru tersebut
sanggup mempertahankan diri dari serangan Negara lain.
Ketika
Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin
menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI
MILITER.
Pemerintah
Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia
adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda
terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER
terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar
PAMPASAN PERANG, dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!
Juga
harus menjadi kebanggaan bangsa Indonesia, bahwa Indonesia Pelopor Kemerdekaan
Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II. Kemudian diikuti oleh
Vietnam yang menyatakan kemerdekaan pada 2 September 1945. Vietnam juga
berhasil mempertahankan kemerdekaan dari mantan penjajahnya, Perancis, yang
berusaha menjajah Vietnam, tetapi tidak berhasil.
Belanda dan sekutunya, yang adalah pemenang Perang Dunia II melancarkan AGRESI MILITER antara tahun 1945 - 1949 untuk menjajah Indonesia. Namun hingga perundingan perdamaian Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949, Belanda dan sekutunya TIDAK BERHASIL MENGALAHKAN TNI DAN RAKYAT INDONESIA.
Dengan demikian INDONESIA TIDAK PENAH DIJAJAH!
Belanda dan sekutunya, yang adalah pemenang Perang Dunia II melancarkan AGRESI MILITER antara tahun 1945 - 1949 untuk menjajah Indonesia. Namun hingga perundingan perdamaian Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949, Belanda dan sekutunya TIDAK BERHASIL MENGALAHKAN TNI DAN RAKYAT INDONESIA.
Dengan demikian INDONESIA TIDAK PENAH DIJAJAH!
3. Sejarah dan Penelitian
Genetika
Penelitian mengenai
sejarah yang lengkap dan akurat juga dapat memberi penjelasan mengenai
pertanyaan yang sudah lama menggelitik di kalangan bangsa Indonesia, yaitu,
secara kasat mata dapat dilihat, bahwa banyak orang Indonesia, bahkan di kampung-kampung
atau bahkan di daerah terpencil di pedalaman, mirip seperti orang Eropa, Cina, Afrika, Arab, dsb.
“Tak
ada gen murni. Manusia Indonesia ialah campuran beragam genetika dan semuanya
pada dasarnya berasal dari Afrika.” Demikian dinyatakan oleh
Prof. Dr. dr. Herawati Supolo Sudoyo, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman, yang 15 tahun terakhir bersama timnya dari Lembaga Eijkman berkeliling Nusantara mengumpulkan sampel DNA dari tiap suku untuk meneliti genetika orang Indonesia. (Kompas, 29 Oktober 2015).
Prof. Dr. dr. Herawati Supolo Sudoyo, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman, yang 15 tahun terakhir bersama timnya dari Lembaga Eijkman berkeliling Nusantara mengumpulkan sampel DNA dari tiap suku untuk meneliti genetika orang Indonesia. (Kompas, 29 Oktober 2015).
Kelihatannya Prof. Herawati mengikuti teori migrasi “Out
of Africa”, yaitu asal-usul manusia dari Afrika. Namun sebagaimana
teori migrasi sebelum menggunakan genetika, teori migrasi “Out of Africa” juga
mendapat sanggahan dari para ilmuwan lain. Oleh karena itu, tanpa mengurangi
rasa hormat terhadap penelitian selama 15 tahun yang telah dilakukan, para
pakar genetika penganut teori migrasi ”Out of Africa” tidak terlalu bersikeras,
bahwa teori ini yang paling benar dan sudah final.
Apabila dengan cermat membaca sejarah Nusantara, sejarah
pendudukan Jepang di bekas wilayah Nederlands
Indie serta Sejarah Indonesia yang dimulai tanggal 17.8.1945, sudah dapat
diketahui, bahwa genetika sebagian terbesar (mungkin seluruhnya?) orang-orang
Indonesia sekarang adalah campuran beragam genetika dari seluruh dunia.
Agak berbeda dengan
Prof. Herawati, Prof. Dr. Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman menjelaskan, dari pemetaan genetika yang dilakukan 99 ahli genetika di
Asia, terungkap orang Melayu lebih tua dibandingkan dengan orang China.
Khususnya Yunan yang selama ini dianggap sebagai nenek moyang umumnya orang
Indonesia.
Ras Austronesia,
termasuk orang Melayu, lebih dulu ada dibandingkan dengan ras Chinotis-Belan,
yaitu ras yang berbahasa China/Mandarin. Sangkot mengungkapkan hal itu dalam
orasi ilmiahnya pada Dialog Budaya Melayu di Pekanbaru, Riau, Selasa (4/12).
Dari penelusuran asal-usul mereka yang pernah ke Nusantara,
menetap, bekerja dll., akan terlihat, bahwa sejak lebih dari seribu tahun, hampir
semua kelompok etnis yang ada di muka bumi, terwakili di Nusantara, termasuk
sekarang di Indonesia.
Penyebabnya
adalah:
3. A. Perdagangan
dan Penyebaran Agama Sejak Zaman “Jalan Sutra” (Silk Road)
Perdagangan melalui Jalan Sutera dari Cina sampai Mesir, demikian juga jalur laut (lihat Laksamana Cheng Ho, 1371 - 1433), telah berlangsung selama ribuan tahun. Para pedagang,
yang mungkin 100% pria, apabila singgah di satu tempat, tinggal kadang-kadang
sampai berminggu-minggu. Konon disebutkan, bahwa prostitusi adalah “profesi
tertua” di dunia. Jejak perjalanan mereka juga merupakan jejak genetika yang
ditinggalkan.
Selain perdagangan, penyebaran agama
Hindu dan Buddha yang telah berlangsung selama 2.500 tahun juga menjadi
indikasi adanya hubungan antar etnis dari Asia Tenggara sampai wilayah Persia
dan Turki. Dua patung Buddha terbesar di dunia yang berada di Afghanistan menjadi bukti adanya kontak antar
etnis yang telah berlangsung selama lebih dari 1.500 tahun.
Di atas telah ditulis, bahwa
Kerajaan Maritim Sriwijaya (abad 7 – 12) telah menjalin hubungan dengan Pantai
Timur Afrika, terutama dengan Madagaskar.
3. B. Di zaman Penjajahan
Belanda
3. B.1. Genosida
di Kepulauan Banda
Pada bulan Mei 1621, Gubernur Jenderal VOC
ke-4 Jan Pieterszoon Coen mengerahkan armada dan pasukan terbesarnya ke
Kepulauan Banda, Maluku. Pada 8 Mei dilakukan pembantaian secara besar-besaran,
yang mungkin terkejam sepanjang massa, terhadap para pemuka dan rakyat Banda.
40 orang pemuka Masyarakat dipenggal kepalanya, kemudian dabannya dibelah
empat.
Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas,
ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari
tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang
tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera
dilaksanakan.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang tersisa
beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian
dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah
883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang
meninggal dalam perjalanan. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu
diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di
hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra
dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000
jiwa.
Untuk melanjutkan budidaya buah Pala, yang
waktu itu hanya ada di Kepulauan Banda, didatangkan para budak dari segala
penjuru. Oleh karena itu, genetika orang-orang di Kepulauan Banda jelas berbeda
dengan orang Maluku lainnya.
3. B. 2. Perbudakan
Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Banten tahun 1596. Awalnya untuk berdagang. Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, Belanda mulai mendatangkan budak dari Madagaskar, Afrika Timur.
Setelah mulai berkuasa di Jayakarta tahun 1619 selain melakukan perdagangan rempah-rempah, bangsa Belanda dan bangsa Cina juga bekerjasama dalam perdagangan budak an candu. Dari tahun 1640 – 1842 pemerintah kolonial (VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan 31.12.1799 dilanjutkan oleh pemerintah Nederlands Indie) resmi memberlakukan Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda. Dengan demikian, di seluruh wilayah jajahan Belanda jual-beli budak legal.
Setelah mulai berkuasa di Jayakarta tahun 1619 selain melakukan perdagangan rempah-rempah, bangsa Belanda dan bangsa Cina juga bekerjasama dalam perdagangan budak an candu. Dari tahun 1640 – 1842 pemerintah kolonial (VOC, kemudian setelah VOC dibubarkan 31.12.1799 dilanjutkan oleh pemerintah Nederlands Indie) resmi memberlakukan Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda. Dengan demikian, di seluruh wilayah jajahan Belanda jual-beli budak legal.
Selama 250 tahun, Belanda
adalah pedagang budak terbesar di dunia, yang memiliki beberapa basis di
Afrika. Banyak budak yang merupakan tawanan perang, yang kemudian
diperjual-belikan
Dari data/tabel di bawah
ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia
adalah budak (!).[1] Perbandingan jumlah
penduduk dan jumlah budak di berbagai pemukiman Belanda di Samudra India akhir
abad 17.
Para budak yang ada di Batavia, berasal dari
Bali, Makassar, Bugis dan Timor. Sedangkan yang dari Afrika berasal dari Cape of Good Hope dan Mozambik. Budak
asal Bali yang paling terkenal adalah Untung Surapati (1660 – 1706), yang
bernama asli Surowiroaji. Setelah berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda,
dia bahkan kemudian menjadi Bupati di Pasuruan.
Untuk dipekerjakan di perkebunan di Sumatera,
didatangkan budak-budak terutama dari Madagaskar. Secara teratur VOC mengirim
kapal-kapal ke Madagaskar untuk membawa para budak ke Sumatera. Karena banyak
yang mati di perjalanan, maka tahun 1632 diputuskan, untuk hanya membawa yang
sehat saja, dan selama dalam perjalanan mereka diberi cukup minum dan makan.
Tidak ada catatan, berapa orang dari para budak yang dibawa dari Madagaskar,
berhasil kembali ke Madagaskar.
Prosentase populasi budak di berbagai kota
{Lihat: “VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie)
3. B. 3. Tentara Kontrakan dari
Jerman
Tahun
1787 VOC menyewa satu resimen tentara dari Wuerttemberg, Jerman. Semula pasukan
tersebut ditempatkan di Tanjung Harapan Baik (Cape of Good Hope; Bahasa Jerman: Kap der Guten Hoffnung), Afrika Selatan. Oleh karena itu, di Jerman
dikenal sebagai Kapregiment. Tahun
1789, karena tak sanggup menghadapi perlawanan rakyat di Sulawesi, Gubernur
Jenderal VOC minta bantuan pasukan dari Afrika Selatan.Dikirim 200 tentara
Belanda dan 100 tentara dari Wuerttemberg.
Kemudian
secara berangsur-angsur, seluruh pasukan resimen Wuerttemberg dikirim ke India
Belanda, namun terpecah-pecah dalam bentuk Kompi. Pecahan-pecahan Resimen
Wuerttemberg dikirim mundar-mandir, bahkan ada yang samoai ke India dan Ceylon
(Sri Lanka). Sedangakan yang di India Belanda penugasannya juga berpindah-pindah,
tergantung di daerah mana terjadi perlawanan rakyat setempat yang sangat gigih.
Jejak
pasukan Wuerttemberg ini, juga jejak genetika yang ditinggalkan, mulai dari Batavia
ke Makassar, Maluku, Semarang dan Cirebon.
Tahun
1807 hanya tersisa 1 batalion yang terdiri dari 229 tentara. Tanggal 1 Maret
1808 Resimen Wuerttemberg resmi dibubarkan dan sisa pasukan dimasukkan ke
tentara KNIL.
Dari
keseluruhan 3.200 tentara yang didatangkan dari Wuerttemberg, hanya 100 yang
kembali ke Jerman.
3. B. 4. Tentara Mantan
Budak dari Afrika (Belanda Hitam)
Tahun 1830, setelah usai Perang
Diponegoro, terlihat bahwa tentara yang didatangkan dari Eropa tidak tahan
dengan iklim tropis. Juga akibat pemberontakan Belgia yang memisahkan diri dari
Belanda, pemerintah Belanda tak dapat mendatangkan pasukan dari Belanda. Untuk
menjaga jumlah pribumi yang menjadi tentara KNIL di bawah 50%, maka pemerintah
Belanda memutuskan membeli budak dari Afrika untuk dijadikan tentara.
Tahun 1831 pemerintah India Belanda mulai
membeli budak dari Afrika Barat. Sebagian dibeli di Pasar Budak, dan sebagian
lagi “dipesan” dari Ashanti. Secara bertahap para budak tersebut didatangkan ke
Nederlands Indie. Keseluruhan dari
tahun 1831 - 1872 jumlahnya mencapai 3.000 orang.
Mereka dapat membeli kemerdekaan
dari gaji mereka yang tinggi, dan mendapat status warganegara Belanda. Mereka
inilah yang dinamakan Belanda Hitam (Zwarte Nederlander),
bukan etnis Ambon.
Dalam agresi militer Belanda
terhadap Kesultanan Aceh bulan Maret 1873, 2 kompi tentara dari Afrika sebanyak
230 orang telah diikutsertakan. Mereka
terbukti tangguh menghadapi iklim di Sumatera.
Para tentara mantan budak dari Afrika
kemudian menikah dengan gadis-gadis pribumi. Jejak penugasan mereka ke berbagai
darah di wilayah India Belanda dapat dipandang sebagai jejak genetika yang
mereka tinggalkan. Mereka kemudian bermukim di garnisun-garnisun di Semarang,
Salatiga, Batavia, Surabaya dan Yogya.
(Lihat: “Mardijkers, Marechaussée,
Tentara Kontrakan, Belanda Hitam dan KNIL” http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2006/04/mardijkers-marechausse-tentara.html)
3. B. 5. Impor
kuli dari Cina
Untuk dipekerjakan di perkebunan,
terutama perkebunan tebu, Belanda lebih suka mendatangkan kuli perkebunan dari Cina yang murah dan patuh. Kuli - kuli pribumi sering membangkang, bahkan memberontak. Para kuli
perkebunan dari Cina dipekerjakan di seluruh wilayah jajahan Belanda,
terutama di Jawa, Kalimantan dan Banda/Maluku.
Jumlah kuli-kuli Cina yang “diimpor” sejak awal abad 17 mencapai ratusan ribu
orang, sehingga di beberapa daerah, seperti di Kalimantan Barat, di luar benteng Batavia, jumlahnya melebihi
pribumi dan orang Eropa.
Banyak dari mereka kemudian
mendatangkan wanita-wanita dari Cina untuk menjadi isteri mereka. Namun
tidak sedikit yang menikah dengan gadis pribumi.
3. B. 6. Ratusan ribu pria
Belanda dan Eropa lain
Sejak ada perdagangan antara Eropa
dengan Asia Tenggara akhir abad ke 16, hingga pecah Perang Dunia II tahun 1939,
jumlah pria Belanda dan Eropa lainnya yang ditugaskan untuk bekerja di Asia
Tenggara, termasuk Nederlands Indie,
tentu sangat besar. Semuanya pria. Memang banyak yang membawa isteri atau
pasangan hidup mereka. Namun sebagian terbesar adalah yang masih muda dan
mencari pengalaman, sehingga belum memiliki isteri.
Terutama di wilayah jajahan Belanda,
para pria Eropa hidup bersama gadis pribumi, yang dikenal sebagai Nyai. Setelah tugas selesai dan mereka
kembali ke Eropa, hanya segelintir yang membawa para “Nyai” mereka ke
Belanda/Eropa.
Cerita mengenai Nyai yang paling
terkenal adalah legenda Nyai Dasima, seorang gadis dari desa Kuripan
(Kahuripan?), Bogor, yang menjadi simpanan seorang pria Inggris Edward William,
di masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles, sekitar tahun 1813. Konon ini
kisah nyata yang ditulis oleh Gijsbert Francis tahun 1896. Bahkan pernah dibuat
filmnya tahun 1929
4. Di masa
pendudukan Jepang
Selama masa pendudukan tentara
Jepang di bekas wilayah Nederlands Indie,
diperkirakan lebih dari 300.000 prajurit Jepang yang ditugaskan di wilayah ini.
Utuk memenuhi kebutuhan biologis para prajurit, atau dengan kalimat yang lebih
tegas: “Memuaskan nafsu seks para prajurit Jepang”, pimpinan militer Jepang
mempekerjakan secara paksa gadis dan wanita pribumi untuk melayani para
prajurit Jepang.
Para wanita ini disebut sebagai Jugun
Yanfu, atau “wanita penghibur.” Selama puluhan tahun hal ini TABU untuk
dibicarakan, karena pada umumnya, para wanita korban dan keluarganya malu untuk
membuka tragedi ini. Tidak diketahui dengan pasti jumlahnya. Namun kalau
dilihat, yang perlu “dihibur” sekitar 300.000 prajurit, tentu jumah “wanita
penghiburnya” juga tidak sedikit.
Selain yang “resmi” ini, tentu tidak
ada angka perkosaan terhadap wanita pribumi yang dilakukan oleh tentara Jepang,
seperti yang terjadi di Nanking (Nanjing), Cina, yang dikenal sebagai “The
Rape of Nanjing”, di mana terjadi perkosaan massal di tempat terbuka,
dimulai tanggal 13 Desember 1937 dan berlangsung selama enam minggu. Diperkirakan
20.000 – 80.000 wanita diperkosa, dan kemudian banyak yang setelah diperkosa,
lalu dibunuh dengan cara yang sadis.
5. Di masa agresi
militer Belanda di Indonesia 1945 - 1950
Bangsa
Indonesia menyatakan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Belanda yang
pernah menjajah berbagai kerajaan dan Kesultanan di Nusantara, di beberapa
wilayah lebih dari 300 tahun, tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan ini.
Hingga detik ini, tahun 2016.
Selain
merekrut 65.000 pribumi menjadi serdadu KNIL (Tentara Kerajaan India-Belanda),
Belanda juga mengirim lebih dari 150.000 tentara Wajib Militer dari Belanda.
Sebagian bertugas selama lebih dari 3 tahun di Indonesia.
Di masa
agresi militer Belanda yang dibantu sekutunya, 3 Divisi tentara Inggris dan 2 divisi
tentara Australia, telah terjadi banyak kejahatan perang dan kejahatan atas
kemanusiaan, serta berbagai pelanggaran HAM, termasuk perkosaan terhadap wanita
Indonesia.
Selain
itu, banyak tentara Belanda yang hidup bersama wanita pribumi, baik resmi maupun
tidak. Namun, setelah masa tugas mereka selesai, terutama setelah berdirinya
Republik Idonesia Serikat (RIS), para prajurit belanda kembali ke negerinya,
meninggalkan ister/simpanan, dll., bersama anak-anak mereka di Indonesia.
Di Indonesia belum ada yang
melakukan penelitian mengenai hal-hal tersebut di atas, termasuk di masa agresi
militer Belanda di Indonesia 1945 – 1950. Setelah kembali ke Belanda, ada
mantan tentara yang menceriterakan pengalaman mereka selama bertugas di
Indonesia, kepada anak-anak mereka. Kini di Belanda kelihatannya cukup banyak
anak-anak veteran Belanda yang ingin berkenalan dengan saudara tiri mereka di
Indonesia. Bahkan telah didirikan organisasi yang membantu mempertemukan para
saudara tiri Indonesia – Belanda.
Website organisasi ini dan informasi
lebih lanjut dapat dilihat di: http://indonesiadutch.blogspot.com/2012/01/warlovechild-forgotten-victims-of-dutch.html
Hal ini
telah saya tulis di weblog saya pada 15 Januari 2012: “Indonesiëweigeraars dan Oorlogsliefdekind:
Korban agresi militer Belanda yang terlupakan”
Data-data di
atas menunjukkan, bahwa genetika yang berasal dari Afrika cukup banyak, yaitu
dari Afrika Barat (Ghana), Selatan (Cape
of Goog Hope) dan Timur (Madagaskar). Tidaklah mengherankan, bahwa bukan
saja genetika campuran dari Afrika, bahkan juga sangat banyak orang Indonesia
yang berna-benar mirip orang Afrika. Ini berdasarkan Hukum Mendel (genetika
keturunan).
Oleh karena
itu, ditemukannya banyak genetika yang berasal dari Afrika, belumlah menjadi
alat bukti final yang membenarkan teori migrasi “Out of Afrika”, bahwa
nenek-moyang penduduk di Asia Tenggara/Nusantara berasal dari Afrika.
Sejarah penjajahan dan perbudakan di Nusantara yang
berlangsung di beberapa daerah selama sekitar 300 tahun, juga merupakan jejak
genetika yang menyebabkan ditemukannya berbagai DNA di tubuh banyak rakyat
Indonesia yang berasal dari banyak bangsa – bangsa yang ada di muka bumi.
Dengan menggunakan tehnologi paling mutakhir, 99 pakar
Genetika Asia membuktikan, bahwa PRIBUMI
MELAYU LEBIH TUA DARI CINA.
KESIMPULAN
Demikianlah
pentingnya penelitian dan penulisan sejarah yang lengkap, akurat dan memuat hal-hal
yang harus diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain harus mengetahui
heroisme orang-tua, kakek-nenek bahkan nenek-moyangnya, agar menjadi kebanggaan
untuk bangsa Indonesia sekarang.
BAHWA INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH OLEH
SIAPAPUN!
(Lihat Tulisan: “RI MERDEKA DAN BERDAULAT 17.
8. 1945. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH”
Juga sangat
perlu diketahui oleh generasi muda, terutama yang menamakan diri “aktifis HAM”
namun buta sebelah mata, bahwa Negara-negara mantan penjajah yang ingin memoleh
citra mereka sebagai “pengajar, pengawal dan hakim pelanggaran HAM”, belum lama
berselang, adalah penjahat-penjahat perang terbesar sepanjang massa. Tidak ada
kejahatan yang tidak dilakukan oleh mereka, bahkan perbudakan dan monopoli
perdagangan opium.
Sebagai patokan/pedoman untuk bangsa
Indonesia dapat dinyatakan:
- Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai dari tanggal 30 Mei 1619, yaitu dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan Belanda, dan berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Lanud Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, dan menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
- Belanda memerlukan waktu lebih dari 300 tahun untuk dapat membangun imperium jajahannya yang dinamakan Nederlands Indie.
- Masa pendudukan Jepang dari tanggal 9 Maret 1942, sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, dan menghentikan semua aktifitas sipil dan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk bekas jajahan Belanda, India-Belanda. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani pada 2 September 1945. Antara 15.8.1945 – 2.9.1945 terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power).
- Di masa kekosongan kekuasaan, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945. Kemudian membentuk pemerintahan. Dengan demikian proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.12.1933.
Walaupun sebenarnya kemerdekaan sesuatu Negara tidak
mmembutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh Negara baru tersebut sanggup
mempertahankan diri dari serangan Negara lain.
- Karena tidak ada pemerintahan yang berkuasa, maka proklamasi 17.8.1945, bukan revolusi dan bukan pemberontakan. Juga periode antara tahun 1945 – 1949/1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang MEMPERTAHANKAN kemerdekaan.
- INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH BELANDA ATAU JEPANG, karena sebagai entitas politik dan hukum internasional baru ada sejak 17 Augustus 1945. Yang dijajah Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Bumi Nusantara/Asia Tenggara. Yang diduduki oleh tentara Jepang adalah wilayah bekas jajahan Belanda, BUKAN INDONESIA!
- Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.
- Selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, tentara Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, a.l. dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta rakyat Indonesia, penduduk sipil (non-combatant). Semua kejahatan tersebut oleh Dewan Keamanan PBB dinyatakan tidak kadalursa.
- Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG,dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!
- Indonesia Pelopor Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II.
REKOMENDASI
Apabila bangsa ini tidak ingin, bahwa
generasi mendatang tetap disuguhi penulisan sejarah yang salah dan menyesatkan
serta ada penyelenggara negara yang menjadi antek asing untuk mengaburkan
sejarah perjuangan Indonesia, maka, agar tidak ada lagi “the lost generation”,
yang harus SEGERA dilakukan dengan tegas adalah:
1. Semua buku sejarah untuk SMA Kelas XI ditarik dari peredaran. Untuk
para siswa-siswi diberi RINGKASAN PEDOMAN SEMENTARA. Untuk buku-buku sejarah
lain, ditarik dari peredaran setelah diteliti, bahwa isinya salah.
2. Dibentuk Komisi Nasional Sejarah, yang bukan hanya terdiri dari
sejarawan saja, melainkan juga dari
berbagai disiplin ilmu, dari kalangan militer, diplomat, tokoh masyarakat dll.,
dengan catatan, bahwa semua teruji NASIONALISMENYA!
PENELITIAN MENGENAI BERBAGAI
PERISTIWA YANG TERJADI DI MASA LALU TERLALU PENTING UNTUK DISERAHKAN HANYA
KEPADA SEJARAWAN!
3. Dibuat KONSEP BARU: yang terpenting adalah ORIENTASI tidak lagi ke
Barat, melainkan ke Asia Timur/Selatan. Disusun kerangka dasar, hal-hal yang
PERLU DAN HARUS DIKETAHUI GENERASI MUDA INDONESIA, terutama berbagai peristiwa
heroik di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer
Belanda dan Sekutunya.
4. Semua Penyelenggara Negara, terutama Eksekutif dan Legislatif, HARUS
MENGETAHUI SEJARAH PERJUANGAN INDONESIA MENCAPAI DAN MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN.
5. Pimpinan Nasional (Presiden, Wakil Presiden dan Para Menteri) HARUS
MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI, YAITU MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI KEMERDEKAAN 17
AGUSTUS 1945 SEBAGAI HARGA MATI!
********