Telah
terbit buku:
“SERANGAN
UMUM 1 MARET 1949”
Perjuangan
TNI, Diplomasi dan Rakyat.
306
+ xxx halaman.
Karya Batara R. Hutagalung
Penerbit Matapadi, Yogyakarta
Lampiran
a.l.:
1.
Perintah
Siasat Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, tgl 1.1.1949 (halaman 271),
2.
Instruksi
Rahasia Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng tgl. 18.2.1949, untuk
mengadakan serangan besar-besaran antara tgl. 25.2. – 1.3. 1949 (halaman 278).
3.
Sambutan tertulis Gubernur DIY Sri Sultan Hamangku Buwono X dalam acara Orasi
Kebangsaan II “Serangan Umum 1 Maret 1949” yang disampaikan oleh Ketua Umum Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Fakultas Hukum UGM pada 9
Maret 2015.
Pengantar
Sejak
tahun 70-an hingga sekarang, terus menjadi kontroversi, siapa penggagas dan
pemberi perintah peristiwa yang dinamakan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Di
era Orde Baru, hanya dikenal bahwa penggagas, pemberi perintah dan pemegang
kendali operasi militer tersebut adalah Letkol Suharto, Komandan Wehrkreis III
yang membawahi Yogyakarta.
Setelah
Presiden Suharto lengser, muncul versi kedua, bahwa penggagas, dsb. Adalah
Sultan Hamengku Buwono IX.
Di
Konferensi Nasional Sejarah VII bulan Oktober 2001 di Jakarta, saya menyampaikan
“versi ketiga” sebagai Makalah dengan judul “Fakta Baru Mengenai Serangan Umum
1 Maret 1949 “, yang menjadi landasan penulisan buku ini.
Di
versi ketiga ini, tidak ada aktor tunggal, yaitu yang mendengar siaran radio
internasional, penggagas operasi militer RI terbesar pada waktu itu, pengendali
serangan dsb.
Versi ini pertama kali muncul di Majalah bulanan Bonani Pinasa yang terbit di
Medan. Di edisi November dan Desember 1992 telah dimuat secara bersambung
penuturan Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung. Namun peredaran majalah
ini terbatas hanya di Medan dan sekitarnya.
Ketika
mengurus Bintang Gerilya tahun 1994, yang menjadi saksi untuk mendapat tanda
penghargaan tersebut adalah Presiden Suharto dan Jenderal TNI (Purn.) Surono,
yang tahun 1949 adalah ajudan dari dr. Wiliater Hutagalung di Yogyakarta.
Untuk
keperluan ini, satu eksemplar Riwayat
Perjuangan Letkol. dr. Wiliater Hutagalung, yang juga berisi episode
Serangan Umum 1 Maret 1949, diserahkan kepada Presiden Suharto.
Latar belakang dan
Tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949
Peristiwa ini terjadi di masa agresi militer Belanda II yang dilancarkan pada 19 Desember 1948. Belanda mengerahkan pasukan terbesarnya untuk menghancurkan Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Belanda menamakan agresi militer ini sebagai "aksi polisional" untuk membasmi perampok dan perusuh yang dipersenjatai oleh Jepang.
Tentara Belanda berhasil menangkap hampir semua pimpinan Republik Indonesia, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Akhir Desember 1948 Belanda menyatakan "aksi polisional" telah berakhir dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Pada 28 Januari 1949 PBB mengeluarkan Resolusi yang isinya a.l. menyerukan kepada Belanda agar membebaskan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dan kembali ke meja perundingan.
Tentara Belanda berhasil menangkap hampir semua pimpinan Republik Indonesia, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Akhir Desember 1948 Belanda menyatakan "aksi polisional" telah berakhir dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Pada 28 Januari 1949 PBB mengeluarkan Resolusi yang isinya a.l. menyerukan kepada Belanda agar membebaskan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dan kembali ke meja perundingan.
Belanda
menolak dengan menyatakan, bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,
demikian juga tidak ada lagi kekuatan bersenjata pendukung RI. Belanda tidak
mau menyebut TNI.
Dewan
Keamanan PBB rencananya akan bersidang lagi pada bulan Maret 1949.
Penolakan
Belanda dan rencana Sidang Dewan Keamanan PBB dapat didengar oleh pimpinan
Republik Indonesia, baik militer maupun sipil, yang sedang melakukan Perang
Gerilya.
Kepada
Panglima Besar Sudirman yang waktu itu berada di dekat Pacitan, masuk berbagai
informasi mengenai hal ini, yang dapat didengar melalui “Radio Rimbu.”
Awal
bulan Februari 1949 Letkol. dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial yang
juga di tim dokter Panglima Besar, sedang berada bersama Panglima Besar.
Sebagai Perwira Teritorial, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima Besar
dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, yang
membawahi Jawa Tengah Bagian Barat.
Panglima
Besar Sudirman membahas masalah ini dengan pimpinan militer yang juga dihadiri
oleh Letkol. dr. W. Hutagalung.
Diputuskan
untuk mengadakan serangan secara besar-besaran di wilayah Divisi I, II dan III,
yang tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda, dan harus diketahui oleh dunia
internasional. Operasi militer ini harus dilaksanakan sebelum Sidang Dewan
Keamanan PBB di Lake Placid, USA.
Hal
ini perlu dilakukan untuk memperkuat posisi delegasi Indonesia, di bawah
pimpinan Lambertus Nicodemus Palar,
dalam Sidang Dewan Keamanan PBB bulan Maret.
Letkol.
dr. W. Hutagalung ditugaskan untuk menyusun “Grand Design” Serangan Umum di
wilayah Divisi III/Gubernur Militer III.
Serangan
Umum adalah serangan yang dilakukan serentak di seluruh wilayah suatu Divisi,
dan perintah diberikan oleh Panglima Divisi.
Pada
18 Februari 1949, di Markas Divisi III di lereng Gunung Sumbing digagas
Serangan Umum di seluruh wilayah Divisi III, dengan suatu SERANGAN SPEKTAKULER
terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang diduduki oleh Belanda ketika melancarkan
agresi militernya tanggal 19 Desember 1949.
Serangan
di seluruh wilayah Divisi I (Jawa Timur) di bawah Panglima Divisi Kol.
Sungkono,, Divisi II (Jawa Tengah Bagian Timur) di bawah Panglima Divisi Kol.
Gatot Subroto dan Divisi III (Jawa tengah Bagian Barat) di bawah Panglima
Divisi Kol. Bambang Sugeng, dilancarkan hampir bersamaan.
Operasi
militer terbesar selama Perang Gerilya melibatkan seluruh jajaran pimpinan
militer dan sipil yang ikut bergerilya. Unit medis dan paramedis melibatkan
Palang Merah Indonesia. Logistik (makanan dan minuman) selama berlangsungnya
Perang Gerilya, disediakan oleh rakyat.
Pemerintah
Darurat RI di Bukittinggi juga selalu mengeluarkan siaran yang menunjukkan
eksistensi dari Pemerintah Indonesia di pengasingan (Government in exile).
Siaran-siaran dari Jawa, secara estafet diteruskan melalui pemancar di Banten,
Bukittinggi, Kota Raja (sekarang banda Aceh) sampai ke Singapura dan New Delhi
… kemudian sampai ke PBB di Lake Placid, USA.
Operasi
militer dengan garis komando yang ketat, dan dukungan pemerintah sipil serta
peran para diplomat RI di PBB berhasil meyakinkan dunia internasional, bahw
Republik Indonesia masih ada, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sanggup
melancarkan serangan besar, dan bahkan menduduki Ibukota Yogyakarta selama
beberapa jam.
********