KEMBALI KE UUD 45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945
Mengembalikan Kewibawaan
NEGARA
(Pemerintah, TNI dan POLRI)
Catatan
Awal Tahun 2017
Batara R.
Hutagalung
Pendahuluan
Biasanya mereka yang gemar menulis, setiap akhir tahun menulis refleksi atau catatan akhir tahun, untuk memberikan penilaian dari sudut pandangnya, atau hanya sekadar menulis kronologi/kaleidoskop berbagai peristiwa yang menurut pendapatnya penting.Juga ada yang di awal tahun menyampaikan harapan-harapannya untuk masa yang akan datang.
Menurut pandangan saya, jumlah peristiwa
penting yang menonjol di tahun 2016 tidak banyak Hanya ada masalah yang
seharusnya mudah diselesaikan. Namun karena kepentingan sesaat dari penguasa
dan pengusaha, suatu masalah menjadi sangat rumit dan berlarut-larut, yang
eskalasinya kemungkinan besar akan mencapai puncaknya di tahun 2017. Yaitu
kasus yang menjerat Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok.
Seandainya mengacu pada kasus Ibu Rusgiani di
Bali tahun 2012 yang hanya berlangsung 10 bulan, sejak penuntutan sampai vonis
penjara 14 bulan, maka kasus Ahok juga dapat diselesaikan dengan cepat.
Yang sangat menonjol tahun 2016 adalah membenarkan
adagium, bahwa di dunia politik, baik nasional maupun internasional, yaitu: Tak
ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanya kepentingan sesaat … mungkin sesat.
Cepatnya loncatan-loncatan spektakuler yang
menyerupai loncatan kuantum (quantum leap),
dari partai - partai politik dan para politikus besar, membuat para pendukung
kesulitan untuk mengikuti dan memahami apa yang diinginkan oleh parpol dan para
politikus dengan “loncatan-loncatan quantum”
mereka.
Biasanya langkah pindah-pindah partai disebut “kutu
loncat”, namun karena menyangkut partai-partai politik besar dan tokoh-tokoh
besar, tak dapat disebut sebagai “kutu”. Kutu bentuknya sangat kecil dan banyak
yang tidak suka dengan kutu. Untuk menghormati, saya sebut tupai, yang jauh lebih besar dan banyak yang gemar memelihara
tupai.
Tahun 2012 PDIP bersama Gerindra mengusung
Jokowi dan Ahok sebagai calon gubernur dan cawagub, melawan koalisi besar
parpol-parpol lain yang mendukung Foke.
Ahok sebelumnya adalah anggota DPR RI dari
Golkar. Sebelum loncat ke Golkar dia anggota partai PIB. Ahok pernah menjadi
Bupati Belitung Timur selama setahun lebih. Penduduk Belitung Timur
sekitar 100.000 jiwa.
Pada Pemilhan presiden tahun 2014 PDIP dan
Gerindra pecah kongsi. Masing – masing mengusung calonnya sendiri.
Parpol-parpol pendukung Foke terbelah dua. Sebagian (Nasdem, Hanura,
PKPI, PKB) mendukung Jokowi dari PDIP. Sebagian (PKS, PAN, Golkar dan PPP)
mendukung Prabowo dari Gerindra dan membentuk Koalisi Merah-Putih (KMP). PKPI,
Hanura, Nasdem dan Gerindra didirikan oleh para mantan anggota Golkar.
Setelah Jokowi terpilih jadi presiden,
satu-persatu parpol pendukung Prabowo loncat, mendukung Jokowi.
Ahok menjadi gubernur mengganti Jokowi,
kemudian dia loncat keluar dari Gerindra ke jalur independen, karena katanya
untuk mendapat dukungan dari parpol, maharnya besar.
Walaupun katanya dia sudah dapat mengumpulkan
lebih dari satu juta KTP yang cukup untuk mengusungnya melalui jalur
independen, namun kemudian ahok melakukan loncatan paling spektakuler, yaitu
loncat kembali ke jalur dukungan parpol. Tak tanggung-tanggung, ahok didukung
oleh 3 parpol, termasuk Golkar yang sudah ditinggalkannya ketika ahok loncat ke
Gerindra untuk menjadi wagub DKI.
Awalnya semua parpol termasuk PDIP, di luar
parpol yang sudah mendukung Ahok maju dari jalur partai, membantuk suatu
koalisi untuk mengajukan cagub dan cawagub bersama, namun usia koalisi ini tak lama,
kemudian terjadi lagi loncatan-loncatan spektakuler.
PDIP yang sebenarnya berdasarkan jumlah kursi yang
dimiliki di DPRD DKI cukup untuk mengusung sendiri cagub dan cawagub, ternyata
tidak percaya diri dan loncat ke gerbong parpol yang sudah terlebih dahulu
mendukung Ahok. Kemudian beberapa politikus yang pro dan anti ahok (saat
ini) juga loncat-loncat pindah parpol atau loncat keluar dari parpol.
Oleh karena itu, saya menobatkan tahun 2016
menjadi “Tahun Tupai Loncat”
Mengapa Harus Kembali
Ke UUD ’45 yang disahkan pada 18.8.1945
Dalam kesempatan ini saya khusus menulis, yang
menurut pendapat saya harus segera
dilakukan untuk mengembalikan kewibawaan NEGARA (Pemerintah RI, TNI dan POLRI),
adalah KEMBALI KE UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945, YANG
DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945.
Setelah berkuasa selama sekitar 32 tahun, rezim
Orde Baru dipaksa melepaskan kekuasaannya oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei
1998.
Sebagai hasil pemilihan umum tahun 1999,
dimulailah pembahasan perubahan Undang – Undang Dasar RI yang disahkan pada 18
Agustus 1945. Perubahan (amandemen)
dilakukan sebanyak 4 kali dan disahkan tanggal 10 Agustus 2002.
Sejak disosialisasikan UUD RI hasil perubahan
tahun 2002, mulai bermunculan pandangan kritis dan protes terhadap UUD RI hasil
amandemen.
Berbagai kritik yang menonjol a.l.,
bahwa:
1.
Sebagai
suatu produk hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang mendasar,
yaitu selain proses pengesahannya dinilai tidak sesuai dengan
prosedur sehingga cacat hukum.
2.
Adanya
BAB yang kosong, yaitu BAB IV, mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus.
Namun sebagai BAB tetap tercantum. Hal ini mengesankan suatu penipuan publik,
yaitu seolah-olah Batang Tubuh UUD ‘45
tetap terdiri dari XVI BAB, padahal faktanya hanya XV BAB.
Berbeda dengan UUD yang
disahkan pada 18.8.1945, di UUD 2002 tidak ada Risalah Sidang dan penjelasan
serta alasan mengenai ayat-ayat yang dihapus dan yang ditambahkan.
3.
Dengan
jumlah BAB yang berkurang dan ayat baru hasil amandemen sebanyak 89%, menjadi
pertanyaan besar, apakah UUD hasil amandemen tahun 2002 masih dapat dikatakan
sebagai UUD 1945.
4.
Banyak
ayat-ayat baru yang sehubungan dengan perekonomian negara, dinilai sebagai
bentuk neo-liberal, yang membuka pintu bagi asing untuk lebih menguasai SDA dan
perekonomian RI.
5.
Adanya
ayat yang sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45, yaitu Pasal 28 G ayat
2.
Pembukaan UUD ’45 harus menjadi sumber hukum di RI, sehingga apabila ada ayat yang bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45, maka ayat tersebut HARUS DIHAPUS.
Saya termasuk yang berpendapat, bahwa semakin
menguatnya dominasi asing di sektor perekonomian dan pengurasan kekayaan sumber
daya alam (SDA) Indonesia, disebabkan oleh penambahan ayat-ayat yang oleh
banyak kalangan dinilai sebagai pembuka pintu untuk masuknya pemodal raksasa
asing dan membuat perekonomian Indonesia menjadi ekonomi neo-liberal.
Masuknya jaringan super dan hyper market asing
ke Indonesia serta makin menjamurnya jaringan mini market milik pemodal besar, menghancurkan pasar-pasar
tradisional milik Bumiputra, yang tidak sanggup bersaing karena kekurangan
modal dan belum memiliki kemampuan berkompetisi dalam ekonomi pasar bebas
melawan pemodal raksasa YANG MEMILIKI JARINGAN NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Akibatnya, para Bumiputra hanya menadi karyawan
atau pelayan dari mini, super dan hyper market milik asing dan pemodal
besar.
Ini hanya contoh kecil, yang mempunya dampak
besar, yaitu menghancurkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).Belum kita
bicarakan mengenai berbagai UU yang memuluskan jalan untuk pemodal besar asing
untuk menguasai sektor pertambangan dan berbagai bidang usaha lain.
Jelas, para penikmat perubahan UUD ’45 menjadi
UUD 2002 akan melakukan segala cara dan mengerahkan semua kekuatan untuk
mempertahankan UUD 2002.
Para pemodal raksasa asing tentu harus
menggunakan kaki-tangan atau antek-antek mereka di Indonesia. Dengan demikian,
untuk kesekian-kalinya sesama anak-bangsa akan dibenturkan untuk kepentingan
asing.
Melihat hal ini, maka demi menjaga kesatuan dan
persatuan Bangsa serta menjaga KEDAULATAN NKRI, kita HARUS KEMBALI KE UUD 1945.
Hampir seluruh rakyat Indonesia kini melihat,
bahwa pada saat ini ancaman disintegrasi bangsa sudah sangat besar. Ancaman ini
terutama dilakukan oleh kekuatan asing melalui antek-anteknya di dalam negeri
Indonesia.
Mengenai siapa-siapa saja di Indonesia yang
patut diduga sebagai kaki-tangan asing, telah saya paparkan di Catatan Akhir
Tahun 2015, yang saya ke weblog saya tanggal 31 Desember 2015 dengan judul
“MEREKA YANG TIDAK PERNAH MEMILIKI NASIONALISME.”
Tulisan ini juga dimuat di website
Eramuslim.com:
Catatan Awal Tahun 2017 ini dapat dipandang
sebagai kelanjutan dari Catatan Akhir 2015.
TANPA
KOMPROMI: PASAL 28 G AYAT 2 HARUS DIHAPUS
Di sini saya khusus menyorot Pasal 28 G ayat 2
yang menurut pendapat saya, sangat bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang
disahkan pada 18 Agustus 1945. Penambahan ayat 28 G dilakukan pada perubahan ke
2. konon berdasarkan pertimbangan Hak Asasi Manusia.
Di alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertera:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Makna kalimat: “…negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …” adalah
imperativ, yaitu PERINTAH, dan
pelaksanaannya adalah tugas PEMERINTAH, TNI dan POLRI.
Pada perubahan kedua UUD tahun 2002, terdapat
penambahan ayat di Pasal 28, yaitu Pasal 28 G, (2) UUD RI, di mana disebutkan:
“Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan BERHAK MEMPEROLEH SUAKA POLITIK DARI NEGARA LAIN”
Kalimat:
"… berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, menunjukkan bahwa NEGARA,dalm hal ini, pelaksana tugasnya adalah Pemerintah, TNI dan POLRI, gagal melindungi bangsanya. Oleh karena itu mereka yang “…mendapat penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia…” dipersilakan “…meminta suaka politik dari Negara lain…”
"… berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”, menunjukkan bahwa NEGARA,dalm hal ini, pelaksana tugasnya adalah Pemerintah, TNI dan POLRI, gagal melindungi bangsanya. Oleh karena itu mereka yang “…mendapat penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia…” dipersilakan “…meminta suaka politik dari Negara lain…”
Dengan kata lain, Pasal 28 G, Ayat 2,
MEMPERMALUKAN NEGARA RI (Pemerintah, TNI dan POLRI), yang terindikasi sebagai
NEGARA GAGAL.
Penambahan ayat ini tentu sangat aneh, seolah-olah telah
memprediksi, bahwa Pemerintah, TNI dan POLRI akan gagal melindungi segenap
bangsa Indonesia.
Pada 25 Agustus 2016 bertempat di FIB UI Depok,
diselenggarakan peluncuran dan bedah buku dari Marsekal Muda
TNI (Purn.) Teddy Rusdy, dengan judul:
"Jati Diri, Doktrin dan Strategi TNI.”
"Jati Diri, Doktrin dan Strategi TNI.”
Dalam bukunya, sehubungan dengan Jati Diri TNI,
Teddy Rusdy menuliskan (hlm. 43):
"…Sejarah perjuangan TNI merupakan bagian
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang lahir
sebagai bagian yang utuh dari Bangsa Indonesia yang memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dan keberadaannya ditegaskan pada tanggal 18 Agustus 1945 ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam suatu tekad dan pernyataan '… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …' Untuk itu dibentuklah Badan Keamanan Rakyat yang pada 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat dan kemudian menjelma menjadi Tentara Nasional Indonesia …”
Dan keberadaannya ditegaskan pada tanggal 18 Agustus 1945 ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam suatu tekad dan pernyataan '… Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …' Untuk itu dibentuklah Badan Keamanan Rakyat yang pada 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat dan kemudian menjelma menjadi Tentara Nasional Indonesia …”
Selanjutnya Teddy Rusdy menulis di halaman 283:
"… Dengan membodohi Rakyat pula dan menipu
TNI/ABRI yang masih Tentara Rakyat ‘berjiwa Pejuang’ dengan mengatakan
Undang-Undang Dasar dengan empat kali Amandemen, sebagai UUD 1945.
Katakan dengan jujur dan berani bahwa UUD 1945 yang telah empat kali Amandemen, kreasi para Reformasi adalah UUD 2002 …”
Pembicara Utama di acara Bedah Buku tersebut adalah
mantan Wapres Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno. Dalam uraiannya yang panjang
dan rinci, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno membenarkan dan menggaris-bawahi,
bahwa UUD NRI sekarang adalah UUD 2002.
Tulisan Marsekal Muda TNI (Purn.) Teddy Rusdy
dan pernyataan Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno sebagai sesepuh TNI, mempunyai
dampak yang sangat besar terhadap sikap yang harus diambil oleh Tentara
Nasional Indonesia, sehubungan dengan UUD NKRI.
SUMPAH
SETIA KEPADA UUD ‘45
Semua penyelenggara Negara, mulai dari Presiden,
Wakil Presiden, para menteri kabinet, anggota DPR RI, DPD RI, TNI, POLRI,
Gubernur, Bupati dsb.harus mengucapkan sumpah atau janji akan setia kepada
Pancasila dan Undang – Undang Dasar (UUD) 1945.
Pada hari Senin, tanggal 20 Oktober 2014, Ir. Joko
Widodo membacakan sumpah jabatan sebagai presiden RI 2014-2019 di Gedung MPR
RI:
"Bismillahirrahmanirohim. Demi Allah saya
akan memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik
Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUD 1945, menjalankan segala Undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada bangsa dan
negara,"
Jusuf Kalla yang kemudian membacakan sumpahnya
sebagai wakil presiden 2014-2019.
"Bismillahirrahmanirohim. Demi Allah saya
bersumpah akan memenuhi kewajiban sebagai wakil presiden Republik Indonesia
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
SUMPAH PRAJURIT TNI
Butir pertama Sumpah Prajurit adalah: Demi
Allah saya bersumpah / berjanji:
Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
UU
RI Nr. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara RI.
Pasal 23.
Sebelum diangkat menjadi anggota
kepolisian NRI, seseorang harus bersumpah/ berjanji:
“Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:
“Demi Allah, saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, untuk diangkat menjadi
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;
DILEMA UNTUK YANG SETIA KEPADA UUD
1945.
Untuk
Pemerintah RI, TNI dan POLRI, terlepas dari perdebatan apakah UUD NRI hasil amandemen
tahun 2002 masih dapat dikatakan sebagai UUD 1945 atau tidak, keberadaan Pasal
28 G Ayat 2 sebenarnya sangat memalukan, seolah-olah telah diprediksi, bahwa
Pemerintah, TNI dan POLRI akan gagal menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945,
yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia…”
Kegagalan
Pemerintah RI, TNI dan POLRI melondungi segenap bangsa Indonesia merupakan
KEGAGALAN NKRI, dan membuat NKRI menjadi NEGARA GAGAL.
Mantan
Wakil Presiden RI yang juga sesepuh TNI, Jenderal TNI (Purn.) Try Soetrisno dan
Marsekal Muda TNI (Purn.) Teddy Rusdy, telah dengan tegas menyatakan bahwa UUD
hasil amandemen tahun 2002 tidak dapat disebut sebagai UUD 1945. Bahkan Teddy
Rusdy menyatakan dengan keras, bahwa UUD 2002 “…membodohi Rakyat pula dan
menipu TNI/ABRI…”
Selain
kedua Beliau tersebut, sangat banyak purnawirawan perwira tinggi yang
sependapat, bahwa UUD hasil amandemen tahun 2002 bukan UUD 1945.
Hal
ini tentu menjadi sangat dilematis untuk mereka yang tetap berpegang teguh pada
UUD 1945 dan berpendapat, bahwa secara faktual, UUD yang dipakai sekarang
adalah UUD 2002.
Menjadi
pertanyaan: Apakah harus merubah Sumpah Setia kepada UUD 1945 menjadi Sumpah
Setia kepada UUD 2002?
SEJARAH BERULANG KEMBALI: DEKRIT
PRESIDEN?
History repeats itself
Setelah
Pemilu Legislatif tahun 1955 dibentuk Konstituante yang ditugaskan untk menyusun
UUD RI, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, yang
disusun di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). UUDS
ditandatangani oleh Sukarno tanggal 15 Agustus 1950, masih sebagai Presiden
RIS.
Sejak
penunjukan Sutan Sjahrir secara inkonstitusional sebagai Perdana Menteri RI
bulan Noember 1945, sampai tanggal 5 Juli 1959 Indonesia menganut sistem
parlementer. Presiden Sukarno melepaskan kekuasaannya sebagai Kepala
Pemerintahan kepada Sutan Sjahrir.
Sejak
kembali ke Negara Kesatuan RI dengan sistem parlementer pada 17 Agustus 1950
tercatat ada tujug Perdana Menteri. Artinya ada kabinet yang dapat bertahan
hanya beberapa bulan. Tidak ada yang mencapai 3 tahun.
Dewan
Konstituante juga kerjanya bertele – tele, bahkan sampai hampir 4 tahun tidak
juga menghasilkan UUD baru yang menggantikan UUDS, yang masih ikut disusun oleh
para anggota DPR RIS. RIS terdiri dari 16 Negara Bagian. 15 Negara Bagian
adalah bentukan Belanda.
Perdana
Menteri Juanda sendiri setuju untuk kembali ke UUD 1945, namun usulan di
Konstituante agar kembali ke UUD 1945, tidak pernah mencapai Kuorum. Berbagai
kalangan, baik politisi maupun militer menilai, bahwa kondisi negara sudah
sangat mengkhawatirkan.
Dari
catatan sejarah, adalah Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution
yang menjadi penentu, yaitu memberi dukungan penuh kepada Presiden Sukarno
untuk mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Pada
5 Juli 1950, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit yang isinya pertama,
membubarkan Konstituante, kedua, menyatakan berlakukan kembali UUD 1945.
Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Juanda
adalah Perdana Menteri RI terakhir.
Dari
sudut konstitusi yang berlaku pada masanya, penunjukkan Sutan Sjahrir bulan
November 1945menjadi Perdana Menteri adalah inkonstitusional, karena sejak 17
Agustus 1945, telah berlaku UUD 1945, yaitu kabinet presidensial.
Langkah
Presiden RIS Sukarno membubarkan RIS juga inkonstitusional. Namun langkah ini
mendapat dukungan dari 3 Negara Bagian yang tersisa. Sebelumnya, beberapa
Negara Bagian RIS dibubarkan paksa oleh rakyatnya, karena “negara-negara” tersebut
bentukan Belanda.
Terakhir,
Dekrit 5 Juli 1959 juga inkonstitusional. Namun sejarah mencatat, bahwa apabila
sanggup bertahan atau mendapat dukungan dari mayoritas rakyat, maka yang semula
inkonstitusional menjadi konstitusional.
Telah
dibentuk Tim yang akan membahas amandemen ke 5. Apakah ada jaminan bahwa Tim
ini bekerja cepat, dan memenuhi tuntutan seluruh komponen anak-bangsa Indonesia
dan menampung seluruh aspirasi, baik rakyat kecil, TNI, POLRI, dsb?
Melihat
eskalasi yang makin meruncing saat ini sehubungan dengan tuntutan untuk KEMBALI
KE UUD ’45 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mungkin jalan terbaik,
setelah berkonsultasi dengan DPR RI, DPD, TNI, POLRI dan para pemangku
kepentingan, adalah dikeluarkan Dekrit Presiden.
Kemudian
semua perubahan yang ada di amandemen 1 – 4 dikaji ulang. Seluruh perubahan
tidak lagi dalam bentuk AMADEMEN, melainkan sebagai ADENDUM, di mana syarat
perubahannya tidak serumit untuk merubah UUD.
Selain
itu, juga sangat penting untuk membuat Risalah Sidang, seperti yang dilakukan
oleh BPUPKI dan PPKI, di mana tertera jelas, siapa yang mengusulkan, apa dasar
pertimbangannya dsb. Tehnologi saat ini sangat mempermudah untuk merekam semua
pembicaraan. Di DPR/MPR RI kelengkapan tehnisnya sudah sangat hebat, baik
merupakan siaran langsung dengan tehnologi Live Streaming, maupun mencantumkan di
situs-situs resmi pemerintah dan Dewan.
Jakarta,
1 Januari 2017.
Catatan:
Dalam
suatu diskusi mengenai Pasal 28 G ayat 2, ada yang mengemukakan, bahwa ini
untuk menerima para pencari suaka politik dari luar negeri.
Argumen
ini tidak dapat diterima. Tanpa adanya Pasal 28 G ayat 2 yang disahkan pada 10
Agustus 2002, Republik Indonesia tahun 1975 telah menampung sekitar 250.000
pencari suaka dari Vietnam, yang dikenal sebagai manusia perahu (boat people).
Catatan
pribadi: Saya ingin mengetahui, siapa yang berhasil “menyusupkan” ayat ini di
Pasal 28 G.