KONGRES PEMUDA I
Embrio Persatuan Pemuda Indonesia
dan
Gagasan Mendirikan Negara, Membentuk Bangsa
Serta “Menciptakan” Bahasa Indonesia.
Catatan
Batara R. Hutagalung
Pengantar
Sejarah ditulis oleh pemenang. Demikianlah adagium yang berlaku universal, terutama
dalam penulisan sejarah yang resmi diterbitkan oleh suatu pemerintah dan
diajarkan di sekolah-sekolah. Sering dilakukan manipulasi penulisan sejarah,
penghilangan lembaran hitam dan interpretasi peristiwa sejarah untuk kepentingan
penguasa atau bangsanya. Tidak terkecuali di Indonesia. Banyak kesalahan dalam
penulisan sejarah di Indonesia, baik dalam buku-buku pelajaran di
sekolah-sekolah maupun dalam buku-buku sejarah untuk umum. Juga dalam buku
Materi Sosialisasi Empat “Pilar” yang dikeluarkan oleh MPR periode 2009 – 2014,
dengan anggaran sebesar Rp. satu triliun per tahun, banyak kesalahan dalam
penulisan sejarah, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan. Hal ini menunjukkan,
bahwa para penyelenggara negara di Indonesia sebagian besar “buta sejarah.”
Di samping itu, banyak penyimpangan dalam penulisan
sejarah dan interpretasi yang manipulatif, serta membangun mitos-mitos yang
tidak sesuai dengan fakta, untuk kepentingan politik pada waktu itu. Sesuatu
peristiwa sejarah, akan dimanipulasi, “ditenggelamkan”, dihapus, dinilai
negatif, atau di lain pihak ditonjolkan, dinilai positif dan diglorifikasi,
tergantung pada selera dan kepentingan penguasa pada saat itu. Hal-hal tersebut
di atas berdampak pada pengetahuan masyarakat mengenai sejarah banyak yang
salah. Dapat dikatakan di Indonesia dibangun masyarakat, termasuk para
penyelenggara negara, juga termasuk Kepala Negara, yang “buta sejarah.” Apabila
tidak segera dikoreksi, generasi mendatang tidak lagi mengetahui sejarah yang sebenarnya.
Hal ini termasuk yang sehubungan dengan penilaian terhadap Kongres Pemuda I,
yang diselenggarakan di Batavia (sekarang Jakarta) dari tanggal 30 April – 2
Mei 1926..
Selama ini yang sangat banyak disorot oleh bangsa
Indonesia adalah Kongres Pemuda Indonesia II, yang dilaksanakan pada 27 dan 28
Oktober 1928. Hal ini terjadi karena adanya hasil pembahasan yang dicetuskan setelah
tiga kali persidangan dalam dua hari. Waktu yang sangat singkat, apabila segala
sesuatunya mulai dari disampaikan materinya, dibahas dan diputuskan hanya dalam tiga kali persidangan terbuka, yang
merupakan rapat umum, sebagaimana
dijelaskan oleh Sugondo Joyopuspito, yang adalah Ketua Panitia Kongres Pemuda II.[1]
Sugondo Joyopuspito menulis:
“Sebagian besar dari hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak
ramai itu hadir juga pada undangan, yaitu wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda,
parpol,, ormas, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas
dinas: pegawai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan pegawai (Kantoor voor
Inlandse Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada Gubernur Jenderal;
laporannya sering membela orang Indonesia dan berbeda dengan laporan PID;
kepala kantor ini antara lain ialah Dr. Hazen, Gobee dan van der Plas).
Panitia Kongres Pemuda II adalah sebuah panitia yang dibentuk oleh sidang
terakhir (sidang-sidang ini sudah dimulai dalam tahun 1927 dan sidang terakhir
diadakan pada awal bulan Oktober 1928) dari para utusan Pengurus Besar Jong
Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Sekar Rukun, Jong
Islamieten Bond, jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambos, Pemuda Kaum Betawi
dengan Ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Panitia itu diberi tugas
untuk mengadakan rapat umum. Dalam rapat umum oitu supaya diadakan
pidato-pidato tentang soal yang memperkuat persatuan. Panitia itu ditugaskan
untuk merumuskan resolusi yang menganjurkan persatuan dan pemakaian Bahasa
Indonesia di kalangan pemuda.
Panitia ini disebut Panitia Kongres Pemuda II oleh karena di tahun 1926
sudah pernah ada Panitia Kongres Pemuda I, yang diketuai oleh Moh. Tabrani dan
yang terdiri dari pemuda-pemuda anggota berbagai organisasi pemuda, tetapi
bukan utusan dari Pengurus Besar organisasi-organisasi itu.
Anggapan bahwa rapat-rapat umum pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu
adalah rapat kongres pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia disebabkan oleh
beberapa hal.
Sebab pertama ialah penyiaran resolusi oleh sekretarisnya, yang berjudul Poetoesan
Congres Pemoeda Indonesia. Dan resolusi itu dibuka dengan kata-kata “Kerapatan
pemuda-pemoeda Indonesia yang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemuda
Indonesia ..... memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri
Jakarta; ...”
Resolusi itu memberi kesan kepada orang yang tidak menghadiri rapat-rapat
umum tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu seolah-olah pada hari tesebut di atas
para pemuda mengadakan rapat kongres.
Mph. Yamin waktu itu masih muda, baru satu tahun menjadi mahasiswa Rechts
Hoge School. Dan anggota panitia lainnya lebih muda lagi, kecuali Djokomarsaid
yang sudah pernah menjadi mantri polisi. Dan sudah menjadi watak orang muda
suka memakai perkataan-perkataan yang
muluk. Sebab itu judul dan kata-kata resolusi yang disusun oleh Yamin lebih
mengutamakan effect daripada kebenaran. Lagipula pemuda Yamin mempunyai
aspirasi menjadi sastrawan.
Seorang sastrawan itu dalam pandangannya memang lebih dipimpin oleh imajinasi
daripada oleh kenyataan.
Begitulan Yamin dalam pidatonya di rapat umum yang pertama tentang “Persatuan
dan Kebangsaan Indonesia” berkata, bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan
itu, karena para yang hadir datang dari seluruh Indonesia, seolah-olah orang-orang
yang hadir dalam rapat umum itu baru datang kemarin dengan “kapal terbang” dari
Ambon, Manado, Kotaraja, Padang, Denpasar, Yogya dan lain-lain tempat dari seluruh Indonesia.
Seterusnya dalam pidato Yamin melukiskan imajinasinya dengan kata-kata, bahwa
persatuan dan Kebangsaaan Indonesia ialah hasil fikiran dan kemauan sejarah yang
sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih tidur, sekarang
telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamakan Roh Indonesia.
Briljant kata beberapa orang muda. Bombast kata orang dewasa yang lebih suka
mendengarkan kata-kata yang sederhana.”
Demikianlah penjelasan dari Sugondo Joyopuspito, Ketua
Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Dari keterangan
initerlihat, bahwa yang dirancang adalah rapat umum yang terbuka untuk masyarakat
luas. Jadi di dalam Kongres Pemuda II tidak dilakukan pembahasan-pembahasan yang
mendalam.
Oleh karena itu perlu diketahui latar belakang yang panjang mengenai pembahasan-pembahasan,
diskusi dsb., yang telah dimulai sejak bertahun-tahun. Hasil pembahasan Kongres
Pemuda II, yang pada waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia II diformulasikan sebagai resolusi. Tidak ada pembacaan
sumpah atau ikrar bersama. Baru di tahun 1950-an hasil kerapatan pemuda ini
dinamakan sebagai Sumpah Pemuda, untuk disejajarkan dengan Sumpah Palapa Gajah
Mada,[2]
untuk kepentingan politik saat itu.
Tiga butir keputusan kerapatan pemuda tersebut dinilai
sebagai pencetusan gagasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation state)
Indonesia, membentuk Bangsa
Indonesia dan menetapkan bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Indonesia. Gagasan
tersebut sebenarnya merupakan pematangan dari pembahasan dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I,
yang diselenggarakan pada 30 April – 2 Mei 1926 di Batavia. Kerapatan ini
kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I.
Pertemuan besar resmi pertama dari beberapa organisasi
pemuda pribumi yang berasal dari berbagai wilayah dan etnis di jajahan Belanda,
berhasil diselenggarakan berkat kegigihan beberapa tokoh pemuda pribumi yang
tergabung dalam beberapa organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan
(etnis) dan keagamaan. Setelah kerapatan pertama, masih diperlukan beberapa
kali pertemuan organisasi-organisasi pemuda untuk menyelenggarakan kerapatan
kedua.
Di dalam beberapa tulisan, kongres atau kerapatan
pemuda-pemudi Indonesia pertama dinilai kurang berhasil dan tidak membuahkan
hasil yang nyata. Juga di buku “45 Tahun Sumpah Pemuda”, mengenai Kongres
Pemuda I hanya ditulis dengan beberapa kalimat, dan dinilai belum berhasil
mempersatukan pemuda Indonesia.[3]
Penilaian-penilaian tersebut sangat
subyektif, karena menggunakan paradigma dan dari sudut pandang serta tolok ukur
yang keliru. Juga di tahun 1950-an tidak ada pihak yang diuntungkan secara
politis dengan mengangkat dan
menonjolkan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.
Apabila diteliti lebih mendalam, kerapatan
pemuda-pemudi Indonesia pertama ini adalah terobosan yang sangat penting dalam
merajut persatuan dan kesatuan di antara para pemuda pribumi yang berasal dari
berbagai daerah di jajahan Belanda. Penggunaan kata INDONESIA di judul
pertemuan juga adalah bentuk keberanian yang luar biasa di masa penjajahan.
Kerapatan Pemuda (Kongres Pemuda) pertama inilah yang sebenarnya merupakan tonggak perjalanan (milestone) yang sangat penting – mungkin terpenting- menuju
pembentukan Negara Bangsa (Nation state) Indonesia,
membentuk Bangsa Indonesia, terutama
“menciptakan” bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia, untuk bangsa (nation) yang akan
dibentuk. Para pemuda-pemudi pribumi pada waktu itu benar-benar
menunjukkan, bahwa mereka adalah Agen
Perubahan (agent of change), yang
mereka realisasikan sendiri hampir 20 tahun kemudian, tepatnya pada 17 Agustus
1945.
Beberapa dari mereka yang ikut memprakarsai terjalinnya
persatuan dan kesatuan pemuda-pemudi pribumi yang berasal dari berbagai daerah
di wilayah jajahan Belanda, ikut berperan dalam pembentukan negara dan bangsa
Indonesia di tahun 1945, dan menjadi pimpinan dalam pemerintahan Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Tanpa perjuangan mereka, tidak ada Kerapatan Besar
Pemuda-Pemudi Indonesia I, Tanpa mereka, tidak ada Kerapatan Pemuda-Pemudi
Indonesia II. Tanpa mereka, tidak akan ada resolusi hasil kerapatan Pemuda II,
yang menghasilkan gagasan untuk membentuk Bangsa Indonesia, mendirikan Negara Bangsa
(Nation state) Indonesia. Juga tidak
ada Bahasa Indonesia yang menjadi perekat semua etnis (suku bangsa) yang
menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Demikian
logikanya.
Selintas Sejarah
Kolonialisme Belanda[4]
Generasi muda Indonesia perlu mengetahui latar
belakang munculnya gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan didirikannya Negara Bangsa
(Nation state) Indonesia serta
“diciptakannya” Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Ketiga hal tersebut timbul akibat penjajahan yang
sangat kejam dan sangat tidak manusiawi yang
dilakukan oleh bangsa Belanda. Pribumi leluhur bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai manusia. Selama lebih dari 250 tahun,
pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Perdagangan budak
ini dilakukan oleh para pedagang Belanda sejak menginjakkan kaki di Asia
Tenggara tahun tahun 1596. Perdagangan manusia di wilayah kekuasaan Belanda
dilaksanakan secara resmi melalui
Undang-Undang Perbudakan yang dibuat sejak era kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)[5]
tahun 1642. Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799,
perdagangan budak dilanjutkan oleh Pemerintah Nederlands-Indië (India Belanda) sejak tanggal 1 Januari 1800. Undang-Undang
Perbudakan resmi dihapus tahun 1860. Namun prakteknya masih berlangsung sampai
akhir abad 19.
Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement)
yang sangat diskriminatif dan rasis, yaitu membagi penduduk menjadi tiga golongan
strata sosial dan hukum:
1.
Bangsa
Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang
disetarakan dengan bangsa Eropa.
2.
Timur
asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).
3.
Pribumi
(Inlander).
Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini
dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling).
Dalam
peraturan negara tersebut, pribumi, yang disebut oleh Belanda sebagai inlander, dimasukkan ke golongan yang
terrendah, yaitu golongan ketiga yang disetarakan dengan anjing. Sampai tanggal
9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah Nederlands-Indië kepada Jepang, di depan gedung-gedung dan
hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum, bahkan di depan perkumpulan olahraga
elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER.
Artinya adalah TERLARANG UNTUK ANJING
DAN PRIBUMI. Pribumi
yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb., hanyalah para JONGOS.
Setelah selama lebih dari 200 tahun
diperjual-belikan sebagai budak di
negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda “naik tingkat” menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal tersebut
di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi, yang
sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di
negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan
dengan anjing.
Judul buku yang
terbit di Belanda
Kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh bangsa Belanda
antara lain adalah pembantaian massal/genosida, sistim kerja paksa, hukuman
yang sangat sadis terhadap pribumi yang dinyatakan bersalah karena melanggar
peraturan atau melanggar hukum. Selain kekejaman-kekejaman, para penjajah juga
merampok kekayaan Nusantara yang dilakukan selama ratusan tahun. Penjajahan
telah mendapat perlawanan yang sengit dari kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan di Nusantara. Namun pada waktu itu, belum ada kesatuan
dan persatuan di antara kerajaan dan kesultanan. Dengan mudah penjajah
melakukan politik adu-domba, pecah-belah (divide
et impera) sehingga di beberapa wilayah, antara lain di Jayakarta (kemudian
namanya diganti menjadi Batavia. Sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda,
bangsa Belanda berhasil berkuasa selama sekitar 300 tahun. Sementara di
beberapa kerajaan dan kesultanan, a.l. di Sumatera dan Bali, penjajahan hanya
berlangsung selama sekitar 30-an tahun saja. Tidak ada
wilayah, apalagi kerajaan atau kesultanan yang dijajah sampai 350 tahun.
Demikian sekilas mengenai kekejaman dan
diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman
kolonialisme Belanda di Asia Tenggara. Kekejaman-kekejaman, ketidak-adilan,
undang-undang yang sangat diskriminatif dan rasis yang dialami oleh pribumi,
membangkitkan kesadaran dan semangat berjuang bersama melawan penjajah untuk melepaskan
diri dari penjajahan bangsa asing, dan menjadi Tuan di
Negeri Sendiri.
Tidaklah mengherankan, di daerah-daerah yang
mengalami kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa seperti ini, timbul
kebencian yang juga luar biasa besarnya di kalangan pribumi, bukan hanya
terhadap penjajah, melainkan juga terhadap kakitangannya yang bekerjasama
dengan penjajah selama ratusan tahun. Pembalasan dendam yang juga kejam
terhadap mantan penjajah dan antek-antek serta kaki-tangannya atas penindasan
selama ratusan tahun, dilampiaskan pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946,
setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Gerakan
Kemerdekaan
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, di Eropa
timbul gerakan untuk membentuk ‘Tatanan
Baru Dunia' (New World Order),
yang menentang bentuk monarchi absolut (kekuasaan raja yang tidak terbatas) dan
menentang kemapanan para pemodal besar (kapitalis). Ideologi komunisme dan
sosialisme yang anti kapitalisme/imperialisme muncul dan berkembang pesat. Hal
ini berpengaruh pada pemuda-pemuda pelajar/mahasiswa yang berasal dari
negara-negara jajahan yang berada di Eropa. Gerakan internasional untuk
mengubah tatanan dunia membangkitkan rasa nasionalisme mereka, termasuk para
pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, yang sedang
belajar di beberapa negara di Eropa, terutama di Belanda.
Tahun 1904 pecah perang antara Kekaisaran
Jepang melawan Kekaisaran (Tsar) Rusia. Mereka memperebutkan hegemoni atas
Manchuria dan Korea. Tahun 1905 tentara Jepang berhasil mengalahkan tentara
Rusia. Kemenangan Jepang ini mempunyai dampak yang sangat besar, yaitu
hancurnya mitos ras kulit putih tidak terkalahkan. Kemenangan Jepang ini
membangkitkan semangat pada bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang dijajah oleh
bangsa-bangsa Eropa.
Pada 20 Mei 1908 di Nederlands-Indië (India-Belanda) didirikan organisasi yang
dinamakan Budi Utomo. Pada awalnya bukan
gerakan politik, melainkan hanya untuk membantu para pemuda etnis Jawa golongan
bawah memperoleh pendidikan. Bahkan etnis Sunda tidak termasuk di dalamnya.
Pada waktu itu, yang mampu mengenyam pendidikan hanya anak-anak bangsawan
tinggi dan pegawai-pegawai Pamong Praja yang berpenghasilan tinggi. Sangat
sedikit anak-anak priayi golongan rendah dapat bersekolah. Pimpinan Budi Utomo pertama
adalah para priyayi/bangsawan tinggi yang kooperatif dengan pemerintah
kolonial. Baru di tahun 1920-an Budi Utomo bersifat politis dan menerima
anggota yang bukan etnis Jawa
Juga di tahun 1908, beberapa bulan setelah
berdirinya Budi Utomo, para pemuda pribumi yang belajar di Belanda mendirikan
organisasi yang dinamakan Indische
Vereeniging (Perhimpunan India - PI). Indische
Vereeniging didirikan oleh para pemuda pribumi dari berbagai daerah jajahan
Belanda, a.l. dari etnis Jawa, Batak, Minahasa, Minangkabau, Sunda, dll. Awalnya, Indische Vereeniging didirikan hanya
untuk tujuan sosial, saling membantu sesama perantau dari wilayah jajahan
Belanda di Asia Tenggara. Pada waktu itu, wilayah Nederlands-Indië oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indie (India) dan penduduk pribuminya
dinamakan Indier (orang India).
Penyebutan ini sering menimbulkan kerancuan dengan Sub-kontinen India, yang
waktu itu dijajah Inggris. Para pemuda bangsa Cina di Belanda yang berasal dari Nederlands-Indië, mendirikan
organisasi sendiri yang dinamakan Chung
Hwa Tsung Hui.
Setelah datangnya tokoh-tokoh politik pribumi
dari Nederlands Indie, a.l. dr. Cipto
Mangunkusumo (1886 – 1943), Suwardi Suryaningrat (1889 - 1959), kemudian
Mohammad Hatta (1902 – 1980) dll.,[6] maka Indische Vereeniging menjadi organisasi politik yang berjuang untuk
kemerdekaan wilayah jajahan Belanda.
Selain berdiskusi dan melakukan berbagai
penelitian, kegiatan yang paling penting adalah menerbitkan dan menyebarluaskan
pemikiran-pemikiran mereka melalui majalah, yang juga dapat dibaca di Nederlands-Indië. Ketika Suwardi
Suryaningrat menjadi Ketua, Indische
Vereeniging menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Poetra. Dengan demikian, walaupun belum pernah saling
betemu, para tokoh pergerakan anti penjajahan dapat saling mengetahui
perkembangan baik di Nederlands Indie
maupun di Eropa. Mereka saling mengenal melalui tulisan-tulisan yang
dipublikasikan, baik di Belanda maupun di Nederlands-Indië
.
Di Batavia, para pemuda pribumi dari berbagai
daerah mendirikan organisasi-organisasi pemuda yang masih berdasarkan etnis,
yaitu Jong (pemuda) Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Ambon, Jong Minahasa,
Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), dll. Juga berdasarkan agama, seperti Jong Islamieten Bond (Islam), Indonesische Christen Jongeren (Pemuda
Kristen Protestan) dan Katholieke
Jongelingen Bond (Pemuda Kristen Katholik). Tujuan para pendiri Jong Java (Pemuda Jawa) pada waktu itu,
tahun 1915, adalah untuk mendirikan Jawa Raya, yang akan dikembangkan dengan
mengikut-sertakan para pemuda dari etnis Sunda, Bali dan Lombok.
Pada mulanya di Batavia sering terjadi
pergesekan, bahkan konflik di antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai
daerah, karena belum saling mengenal. Pergesekan juga disebabkan oleh konflik
di masa lalu di antara etnis-etnis atau konflik warisan akibat politik divide
et impera Belanda. Sebagai contoh: Tahun 1830, setelah menangkap
Pangeran Diponegoro (1785 – 1855) dan kemudian mengasingkannya ke Sulawesi
Utara (Manado), Belanda menggunakan bekas pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh
Sentot Prawirodirjo untuk menyerang Sumatera Barat (Perang Padri). Demikian
juga setelah mengalahkan Maluku, Belanda merekrut pasukan Marsose (Marrechaussee) dari Maluku, yang
dikerahkan untuk berperang di Aceh (1873 – 1904) dan di Batak (1878 – 1907), yang pada waktu itu
belum dikuasai oleh Belanda. belanda juga merekrut pasukan yang berasal dari
berbagai etnis, yang kemudian dikerahkan untuk membantu Belanda menyerang
wilayah lain di Asia Tenggara, yang sampai awal abad 20 belum dikuasai oleh
Belanda. Tujuan bangsa Belanda pada waktu itu adalah untuk mewujudkan suatu Pax Nederlandica (Pax Neerlandica), suatu
“perdamaian Nederland (Belanda)”
meniru Pax Romana (Perdamaian Roma). Tujuan membangun imperium di bawah kekuasaan bangsa
Belanda sebenarnya adalah untuk mengamankan jalur perdagangan yang dikemas dengan
kedok “perdamaian.” De jure dan de facto, “Pax Nederlandica” di Asia Tenggara/Nederlands-Indië, hanya berlangsung selama sekitar 30-an tahun
saja, sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu ketika pemerintah Nederlands-Indië menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang di
Kalijati, dekat subang, Jawa barat.
Lama-kelamaan timbul kesadaran di kalangan
pemuda pribumi, bahwa musuh bersama mereka adalah Belanda, bukan sesama pribumi
dari berbagai wilayah jajahan Belanda. Mereka melihat, bahwa Belanda berhasil
mengusai berbagai kerajaan dan kesultanan, karena sampai awal abad 20,
kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia tenggara tidak bersatu,
bahkan saling memerangi. Tidak sedikit raja/sultan yang berpihak kepada Belanda,
atau bahkan meminta bantuan Belanda untuk bekuasa. Sejak ada inter-aksi dan
komunikasi di antara para pemuda/pelajar dari berbagai daerah yang belajar di
Batavia, timbul kesadaran untuk berjuang bersama melawan penjajah. Juga
terjalin hubungan dengan Indische
Vereeniging di Belanda.
Adalah tiga serangkai, dr. Cipto
Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara), dan Ernest Francois
Eugene Douwes Dekker (namanya kemudian menjadi Danudirdja Setiabudhi) yang
mendirikan Partai Politik pertama di wilayah jajahan Belanda, yaitu Indische Partij (Partai India), pada 25
Desember 1912. Pada saat itu nama INDONESIA
belum dikenal di Nederlands Indie. Indische Partij tidak mendapat izin dari
pemerintah kolonial, dan dibubarkan pada
bulan Maret 1913. Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap memprovokasi rakyat,
ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda. pada waktu itu dalam Undang-undang
Nederlands Indie ada pasal tentang Exorbitante
rechten, yang memberi hak
kepada Gubernur Jenderal untuk menangkap dan membuang atau mengasingkan
orang-orang yang dipandang berbahaya untuk pemerintah kolonial. Sangat banyak
tokoh pribumi yang dijerat dengan Pasal Exorbitante
rechten dan dibuang ke berbagai tempat di wilayah jajahan Belanda, atau
diasingkan ke Belanda.
Tokoh-tokoh pergerakan pribumi menyadari,
bahwa mereka berasal dari berbagai etnis (suku) di wilayah jajahan Belanda dan
belum merupakan suatu nation
(bangsa). Tokoh-tokoh pribumi yang belajar di Belanda dan tergabung dalam Indische Vereeniging sangat aktif
berinteraksi dengan gerakan-gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme
yang sangat besar di Eropa pada awal abad 20. Mereka mempelajari sistem-sistem
pemerintahan, sistem hukum dan perundang-undangan, sistem perekonomian termasuk
sistem koperasi untuk melawan pemodal besar/kapitalis, dll.
Mereka mencermati, bahwa bentuk negara-negara
di Eropa adalah Negara Bangsa (Nation
State). Konsep Negara Bangsa ini digagas pertama kali dalam Perdamaian
Westfalia, tahun 1648. Perdamaian Westfalia yang diselenggarakan di Muenster
dan Osnabrueck, Jerman, mengakhiri perang 30 tahun antara kerajaan2 yang
menganut ajaran Kristen Katholik di Eropa bagian tengah/selatan, melawan
kerajaan2 yang menganut ajaran Kristen Protestan di Eropa tengah/utara. Perdamaian Westfalia juga mengakhiri perang
80 tahun antara Belanda melawan mantan penjajahnya, Spanyol.
Sebagai dasar persatuan untuk mendirikan
Negara Bangsa, para tokoh pribumi mencari definisi yang tepat mengenai bangsa
dan ikatan suatu bangsa. Cukup banyak definisi mengenai bangsa yang disampaikan
oleh para filosof di abad 19 dan awal abad 20, a.l. Johan Gottlieb Fichte, John
Stuart Mill, dll. Pada umumnya definisi
suatu bangsa berkisar pada kesamaan asal-usul, wilayah, budaya/tradisi dan bahasa.
Yang termasuk paling populer dan aktual mengenai definisi bangsa pada waktu itu
adalah pendapat dari Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) dan Otto Bauer (1881 –
1938). Mengenai adanya kesamaan bahasa
untuk suatu bangsa, menjadi salahsatu topik utama dalam Kerapatan Besar
Pemuda-Pemudi Indonesia I, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I.
Ernest Renan, seorang filosof dan
sejarawan Perancis mendefinisikan
pembentukan suatu bangsa sebagai “Le
desir d’etre ensemble,” yaitu kemauan untuk berkumpul/menjadi satu.
Sedangkan Otto Bauer mantan Menteri Luar Negeri Austria mendefinisikan bangsa
sebagai “Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene
Character-gemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan
karakter/ciri yang sama yang tumbuh berdasarkan kesamaan nasib/sejarah). Kedua
definisi ini menjadi butir pertama dan kedua dalam dasar-dasar persatuan yang
dirumuskan dalam resolusi hasil Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.
Mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. Selain mencari definisi yang tepat mengenai bangsa,
juga menjadi bahan pembahasan adalah mencari
nama untuk negara dan bangsa yang akan didirikan, serta mencari bahasa yang akan digunakan
sebagai bahasa persatuan.
“Terciptanya”
Nama INDONESIA[7]
(Penjelasan yang rinci mengenai “Terciptanya”
Nama Indonesia, telah saya upload ke weblog sejak tahun 2006. Silakan klik:
Juga pada permulaan abad 20, seiring dengan
bangkitnya gerakan untuk kemerdekaan dari penjajahan, para tokoh pribumi
mencari nama untuk mengganti nama Nederlands-Indië yang adalah bahasa Belanda, bahasa penjajah, yang artinya adalah India Belanda. Ada beberapa usulan
antara lain dari Douwes Dekker yang mengusulkan kata Insulinde. Namun kata ini juga dari bahasa Belanda. Para tokoh
pribumi tidak mau menggunakan nama yang berasal dari penjajah.
“Terciptanya” nama Indonesia berawal dari
ketidaksukaan bangsa Inggris untuk menggunakan kata atau nama yang “berbau”
Belanda, yaitu Netherlands India, Netherlands East Indies, Dutch East India, dsb.
Sikap ketidaksukaan terhadap Belanda juga ditunjukkan oleh George Samuel
Windsor Earl (10.2.1813 – 9.8.1865) seorang ilmuwan-autodidak bangsa Inggris.
Tahun 1850 Earl memuat tulisannya yang
berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and
Melayu-Polynesian Nations” (Tentang Karakteristik Utama Bangsa-Bangsa
Papua, Australia dan Melayu Polinesia) dalam Volume (Jilid) IV jurnal The
Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. (Jurnal Kepulauan India
dan Asia Timur). Earl merasakan perlunya memberi nama untuk cabang ras Polynesia berkulit coklat
yang menghuni Kepulauan India. Atas dasar inilah dia “menciptakan” nama Melayunesian, Sebenarnya dia
“menciptakan” dua nama, yaitu “INDU-NESIAN” dan “MELAYU-NESIAN.”
Namun kemudian dia lebih senang menggunakan nama Melayunesian (singular/tunggal), yang artinya adalah penghuni
Kepulauan Melayu, dan nama wilayahnya menjadi Melayunesia. Persebaran penutur bahasa Melayu di Asia tenggra, juga
menjadi salahsatu dasar Earl menggunakan nama Melayunesian untuk cabang ras Polynesia berkulit coklat yang
menghuni Kepulauan India. .
James Richardson Logan (10.4.1819 –
20.10.1869), pendiri dan editor jurnal tersebut lebih menyukai nama Indu-nesian untuk penduduk di Kepulauan
India. Dia melanjutkan penggunaan nama tersebut dan mengganti huruf “U” dengan
huruf “O” menjadi Indo-nesian. Logan
menerbitkan tulisannya dalam jilid (volume) yang sama di Jurnal yang terbit
bulan Februari 1850 (halaman 252 – 347), dengan judul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing enquiries into the
Continental relations of the Indo-Pacific Islanders”, (Etnologi Kepulauan
India: Merangkul pertanyaan-pertanyaan ke dalam hubungan penduduk-penduduk di
pulau-pulau Indo-Pasifik).
Adalah Adolf Philipp Wilhelm Bastian
(26.6.1826 – 2.2.1905), seorang dokter Jerman yang mempopulerkan kata Indonesia
tersebut. Bastian bekerja sebagai dokter di kapal selama 8 tahun yang
membawanya keliling dunia, termasuk ke Asia Tenggara, Papua dan Australia. Dia
melakukan penelitian etnologis di daerah-daerah yang dikunjunginya dan kemudian
menulis hasil-hasil penelitiannya sebagai buku-buku. Antara tahun 1884 – 1894
Adof Bastian menerbitkan 5 jilid buku dengan judul Indonesien
oder die inseln des Malayischen Archipel (Indonesia, atau Pulau-Pulau di Kepulauan Malaysia). Jilid I berjudul Maluku, jilid II
Timor dan Pulau-Pulau Sekitarnya, jilid III Sumatera dan Daerah Sekitarnya,
jilid IV Kalimantan dan Sulawesi, jilid V Jawa dan Penutup.
Sangat banyak orang Belanda yang
juga tidak mengetahui latar belakang “terciptanya” kata Indonesia, sehingga di
kalangan orang Belanda, Adolf Bastian disangka sebagai “pencipta” kata
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penulisan-penulisan oleh orang-orang
Belanda di awal abad 20.
Konon Prof. Cornelis van Vollenhoven (1874 –
1933), seorang Belanda, yang memperkenalkan nama Indonesia kepada para anggota Indische Vereeniging tahun 1917. Tidak
ada penjelasan, apakah tahun 1917 van Vollenhoven telah mengetahui, bahwa
“pencipta” nama Indonesia bukanlah Adolf Bastian yang orang Jerman, melainkan
George S.W. Earl yang orang Inggris yang pertama kali menulis nama “Indu-nesian”, kemudian diubah sedikit
menjadi “Indo-nesian” oleh James R.
Logan yang orang Skotlandia.
Seperti telah ditulis di atas, bahwa pada
waktu itu orang-orang Belanda masih menyangka, bahwa Adolf Bastianlah
“pencipta” nama Indonesia.
Tidak tertutup kemungkinan, bahwa para
pendiri negara dan bangsa Indonesia pada waktu itu juga tidak mengetahui latar
belakang dan proses “terciptanya” kata Indonesia, bahwa yang menciptakan nama
Indonesia bukanlah orang Jerman, seperti yang disangka semula, melainkan
diciptakan oleh orang Inggris dan orang Skotlandia, yang adalah bagian dari
Britania Raya. Sebagai catatan, Inggris pernah mejajah wilayah jajahan Belanda
di Asia tenggara dari tahun 1811 – 1816. Jadi
Nama INDONESIA juga “diciptakan” oleh mantan penjajah.
Nama Indonesia terlebih dahulu dikenal oleh
para pribumi dari Nederlands-Indië yang berada di Eropa/Belanda tahun 1917. Pada tahun 1922, atas inisiatif
Mohammad Hatta, Indische Vereeniging resmi mengganti namanya menjadi Indonesische
Vereeniging. Dengan demikian, Indonesische
Vereeniging menjadi organisasi pribumi pertama yang menggunakan nama
Indonesia. Tahun 1924 nama organisasi resmi menjadi Perhimpunan Indonesia – PI dalam bahasa Melayu, tidak lagi
menggunakan bahasa Belanda. Nama “Bahasa Indonesia” belum “diciptakan.”
Nama majalah yang diterbitkan oleh PI, yaitu Hindia Poetra, diganti
menjadi Indonesia Merdeka. Ini juga
merupakan untuk pertama kali dicetuskan tujuan mendirikan Negara INDONESIA MERDEKA. Genderang Perang secara politis telah
ditabuh oleh para pemuda pribumi di Belanda, di negara penjajah, “di kandang
macan.”
Kerapatan
Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I
(Kongres
Pemuda Indonesia I)
Pemikiran-pemikiran dan pergerakan para
pemuda/mahasiswa pribumi dari Nederlands-Indië (India Belanda) yang belajar di Eropa, sangat berpengaruh terhadap
pergerakan pemuda-pemudi pribumi di Nederlands
Indie. Sejak awal tahun 1920-an nama INDONESIA diperkenalkan kepada
tokoh-tokoh pribumi di Nederlands Indie.
Seperti telah ditulis di atas, di Nederlands
Indie telah banyak didirikan organisasi-organisasi pemuda pribumi yang
masih bersifat kesukuan dan keagamaan. Perhimpunan Indonesia di Belanda terus
mendorong organisasi-organisasi pribumi di Nederlands-Indië yang masih bersifat kesukuan (etnis), agar bersatu membentuk suatu
organisasi yang tidak berdasarkan kesukuan atau keagamaan. Himbauan ini
disambut baik oleh banyak anggota dari beberapa organisasi pemuda tersebut.
Banyak di antara mereka sudah saling
mengenal, karena mereka menempuh pendidikan di sekolah yang sama, atau tinggal
di tempat kos/asrama yang sama, sehingga hampir setiap hari bertemu dan
berdiskusi. Pertemuan-pertemuan dan tempat mereka berdiskusi adalah di Indonesische Clubgebouw (Gedung
Perkumpulan India) Jl. Kramat 106, tempat mereka kos dan menyewa ruangan, atau ngobrol tentang politik di Gang Rijkman
dan Fromberg Park,[8]
dll.
Pertemuan besar mereka bersama yang pertama
diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia. Hadir
pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong
Sumateranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa
peminat perorangan.
Dengan suara bulat dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan
pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan
keagamaan tersebut. Tujuannya:
“Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam
organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk
lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”
Susunan Panitia:
Ketua: Mohammad Tabrani Soerjowitjitro (1904 –
1984)[9]
Wakil Ketua: Sumarto
Sekretaris: Djamaluddin (Kemudian dikenal
sebagai Adi Negoro) (1904 -1967)
Bendahara: Suwarso.
Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan,
Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.[10]
Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, seorang pemuda anggota Jong Java
yang berasal dari Pamekasan, Madura. Pada waktu itu Tabrani adalah wartawan di
Harian Hindia Baroe, di mana H. Agus
Salim pernah menjadi Pemimpin Redaksinya.
Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani
mengundang organisasi-organisasi pemuda untuk menghadiri pertemuan yang waktu
itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan
Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Dalam bahasa Belanda dinamakan Het
eerste indonesische Jeugd Congres. Kerapatan tersebut diselenggarakan di Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur) milik Perkumpulan Vrijmetselaarij
(Freemason), Batavia dari tanggal 30
April – 2 Mei 1926. (Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma di Jl. Budi Utomo N0. 1). Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I kemudian disebut
sebagai Kongres Pemuda I.
Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur).
Tempat penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.
Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma,
di Jl. Budi Utomo No. 1
Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I,
hadir wakil-wakil dari Jong Java, Jong
Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden
Minahasaers dan Sekar Rukun. Hadir juga Wage Rudolf Supratman, sebagai wartawan
dari Harian Sin Po.
Pertemuan besar pertama dari para
pemuda-pemudi pribumi di wilayah jajahan Belanda membahas masalah Persatuan, Peran Perempuan, Peran
Agama dan pentingnya bahasa persatuan, dalam rangka mencapai persatuan. Pada
waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga semua pembicara menggunakan
bahasa Belanda. Pembahasan juga dilakukan dalam bahasa Belanda. Demikian juga
hasil-hasil kerapatan diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Verslag van het Eerste Indonesisch Jeugdcongres, Gehouden te
Weltevreden van 30 April tot 2 Mei 1926 (Laporan Kongres Pertama Pemuda
Indonesia, diselenggarakan di Weltevreden[11]
dari tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926).
Laporan lengkap yang diterbitkan oleh Panitia Kongres disita dan dimusnahkan oleh penguasa Belanda. Untung sebelum menyampaikan laporan tersebut, Tabrani diam-diam membuat dua salinan laporan. Satu diberikan kepada redaksi majalah mingguan, dan satu salinan disampaikan ke Museum Pusat di Batavia.[12] Sangat disayangkan, laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I baru diterjemahkan tahun 1981. [13]
Suasana sidang
Laporan lengkap yang diterbitkan oleh Panitia Kongres disita dan dimusnahkan oleh penguasa Belanda. Untung sebelum menyampaikan laporan tersebut, Tabrani diam-diam membuat dua salinan laporan. Satu diberikan kepada redaksi majalah mingguan, dan satu salinan disampaikan ke Museum Pusat di Batavia.[12] Sangat disayangkan, laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I baru diterjemahkan tahun 1981. [13]
Dalam sambutan pembukaan Kerapatan, Tabrani
mengatakan :
“Bagaimana kita dapat memajukan pertumbuhan Semangat
Persatuan Nasional dengan menghindari segala sesuatu yang dapat
mencerai-beraikan kita, maka Panitia
memilih acara-acara yang mengandung unsur-unsur pemersatu dan menjauhkan diri
dari benih-benih perpecahan.”
Tabrani menutup sambutannya dengan kata-kata:
”Mengakhiri pidato saya, saya amat mengharapkan, supaya
kongres ini menyuarakan generasi muda sekarang yang nantinya terpanggil untuk
bekerja, berkarya, berjuang dan meninggal untuk Kemerdekaan Nusa dan Bangsa. RAKYAT DI SELURUH KEPULAUAN INDONESIA,
BERSATULAH!”
Demikianlah yang diucapkan oleh seorang
pemuda berusia 22 tahun, pada 30 April 1926.
Salahsatu pidato yang sangat penting
disampaikan oleh pemuda Sumarto. Dia mengatakan:
“Semangat persatuan Indonesia pada pokoknya
bersumber kepada semangat kemerdekaan.
Ia mengandung cita-cita untuk mencapai Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka. INDONESIA KARENANYA ADALAH PENGERTIAN POLITIK, berbeda dengan
Indonesia dalam pengertian bukan politik. Secara etnologisch, philologisch dan
geografisch, Indonesia mengandung arti yang lebih luas.
Karenanya dapat dimengerti bahwa sebutan itu tidak dapat
memuaskan banyak orang. Bahkan menimbulkan pendapat, bahwa Indonesia itu hanya
impian atau khayalan belaka. Namun mereka yang berpendapat demikian berbuat
suatu kesalahan karena tidak dapat membedakan antara politik dan ilmu. INDONESIA MENURUT PENDAPAT SAYA HARUS
DIARTIKAN SECARA POLITIS.
DR. Ratulangi dalam Kongres Al-Indie di Bandung
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia ialah daerah di Asia dan
Australia yang terkenal dengan nama Hindia Belanda.
Berhubung dengan ini, orang Indonesia ialah yang tergolong PRIBUMI INDONESIA.”
Sebagai penutup pidatonya, Sumarto
mengatakan:
“Jika pada penutup uraian saya ini ditanyakan kepada
saya, apakah kemauan saya dan apakah yang sepenuhnya terkandung dalam hati
saya, maka jawab saya ialah: PEMUDA
INDONESIA BANGUNLAH MENUJU PERSATUAN, BANGKITLAH MENUJU INDONESIA MERDEKA!”[14]
Mengenai peranan wanita, tiga pembicara menyampaikan
pandangannya, yaitu Nona Stientje Ticoalu-Adam asal Minahasa yang menyampaikan
mengenai kedudukan wanita di Minahasa, Djaksodipuro menyampaikan mengenai hukum
adat di Solo yang dikenal dengan sebutan “rapak-lumuh,” dan Bahder Djohan.
Dalam uraiannya sebagai penutup, Bahder
Djohan mengatakan:[15]
“Tujuan terutama dari uraian saya ialah: mencapai hak yang sama untuk wanita dan
pria terhadap Tuhan dan dunia, sebab itulah inti pemandangan saya;hanya dengan
cara demikianlah bagian terbesar daripada rasa cintanya yang menggetarkan
seluruh pribadinya dapat dipersembahkan kepada Tanah Air dan Bangsa, yang
membuatnya mereka bahagia.
Meluasnya lapangan bergerak yang memungkinkan pertumbuhan
kekaryaan wanita, akan membuka harapan-harapan bagi hari depan Nusa dan Bangsa.
Ya, tak ada seorang yang akan menaruh keberatan, jika saya melangkah lebih jauh
dan berkata: DI TANGAN WANITALAH
TERLETAK HARI DEPAN INDONESIA!”
Dalam Kerapatan tersebut masalah bahasa juga
dibahas. Disadari bahwa diperlukan satu bahasa persatuan sebagai pengganti
bahasa Belanda. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan digunakannya
istilah BAHASA INDONESIA untuk
bahasa Melayu. Sedangkan Mohammad Yamin (1903 – 1962)
mengajukan usul agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Bahasa
Melayu telah menjadi Lingua franca,
bahasa pengantar dalam perdagangan di kawasan Asia Tenggara sejak ratusan
tahun.
Sehubungan dengan hal ini, Tabrani menulis
a.l.:[16]
“Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan
Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun menurut
keyakinannya bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan
atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan
akan diutarakan dalam bahasa tersebut....
... sekitar pidato saudara Yamin ini mungkin ada
faedahnya disajikan sesuatu yang hanya diketahui oleh tiga pemuda ketika itu
yaitu saudara Yamin sendiri, saudara Djamaludin dan saya. Soalnya, saya tidak
setuju, jika berdasarkan uraian saudara Yamin itu (walaupun saya menyetujui
seluruh pidatonya) Kongres lantas akan mengambil keputusan, bahasa Melayulah
yang akan dijadikan bahasa persatuan. Jalan pikiran saya ialah tujuan kita besama yaitu SATU NUSA, SATU
BANGSA, SATU BAHASA.
Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama
Indonesia, maka bahasanya harus disebut BAHASA INDONESIA, dan bukan Bahasa
Melayu, walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia itu.
Saudara-saudara Yamin dan Djamaludin memahami dan
menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya, sehingga pengambilan putusan
tentang nama bahasa persatuan ditunda dan hendaknya dikemukakan dalam Kongres Pemuda
kedua.”
Demikian penjelasan M. Tabrani, Ketua Panitia
Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I.
Dari keterangan M. Tabrani dalam buku “45
Tahun Sumpah Pemuda” terlihat jelas, bahwa embrio gagasan SATU NUSA, SATU
BANGSA, SATU BAHASA telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi
Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya
kesepakatan, maka gagasan tersebut dicetuskan dan disetujui dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda
II.
Dalam Kongres Pemuda I belum dicapai kesepakatan
untuk melakukan fusi (peleburan) berbagai organisasi yang berdasarkan etnis,
karena masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Salahsatu terobosan
besar adalah disepakati pentingnya suatu bahasa persatuan. Pemuda I
menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa
persatuan, yang kemudian diterima sebagai salahsatu butir resolusi dalam
Kongres Pemuda II dengan nama Bahasa Indonesia.
Usul menggunakan nama BAHASA INDONESIA adalah dari Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Dalam Kerapatan
(Kongres) Pemuda-Pemudi II, M. Yamin akhirnya menyetujui menggunakan nama BAHASA INDONESIA, bukan bahasa melayu YANG MENJADI BAHASA PERSATUAN BANGSA
INDONESIA.
Dalam Kerapatan pertama juga dibahas mengenai
peran agama untuk mencapai persatuan. Paul Pinontoan, pemuda asal Minahasa,
menyerukan saling pengertian (tolerantie)
di antara pemeluk bermacam-macam agama dan kepercayaan di seluruh Indonesia
demi untuk memperkuat gerakan persatuan nasional.[17]
Keberhasilan dari kerapatan pemuda-pemudi
pertama ini adalah didirikannya dua organisasi pemuda yang tidak lagi bersifat
kedaerahan atau keagamaan. Setelah usai kerapatan, pada bulan September 1926
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan kemudian pada 20 Februari 1927
didirikan Jong Indonesia. Dalam
kongres pertama Jong Indonesia di Bandung tanggal 28 Desember 1927, nama Jong Indonesia resmi
diganti menjadi Pemuda Indonesia.[18] Kedua organisasi ini ikut
menjadi motor penyelenggaraan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia II (Kongres
Pemuda II).
Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda
II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat
penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa
Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II.
Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu BAHASA PERSATUAN BANGSA INDONESIA, ada
di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).
Setelah usai Kongres Pemuda I,
pembicaraan-pembicaraan yang sangat intensif dilakukan oleh para pemimpin
organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda I. Pada 15 Agustus
1926 diselenggarakan pertemuan di Oost Java Bioscoop. Hadir wakil-wakil dari Jong Bataksche Bond, Jong Celebes, Jong
Minahasa, Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Vereeniging voor Ambonesische
Studerenden, Sekar Rukun dan Panitia Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.
Pada akhir tahun 1926, dua tokoh yang
berperan dalam Kerapatan I, yaitu M. Tabrani dan Djamaludin melanjutkan
pendidikan jurnalistik di Jerman. Tabrani kembali ke Nederlands-Indië tahun
1931, sehingga tidak dapat menghadiri Kerapatan II. Namun usulnya untuk
menggunakan nama BAHASA INDONESIA diterima dalam Kerapatan II.
Pertemuan besar dilanjutkan tanggal 20
Februari 1927. Selain organisasi-organisasi tesebut di atas, dalam pertemuan
ini hadir wakil-wakil dari PPPI, yang didirikan bulan September 1926.
Pertemuan berikutnya diselenggarakan pada 23
April 1927, di mana sudah hadir wakil dari Pemuda Indonesia. Dalam pertemuan
ini disepakati untuk menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.
Diskusi dan pembahasan tidak hanya dilakukan
dalam pertemuan-pertemuan besar tersebut di atas. Karena banyak di antara
mereka tinggal bersama di satu asrama atau tempat kos, pembicaraan dan diskusi
di kelompok-kelompok kecil dapat lebih intensif dan fokus.
Demikianlah perjalanan panjang gerakan para pemuda-pemudi
pribumi dari berbagai wilayah jajahan Belanda untuk mewujudkan persatuan dan
menyusun gagasan untuk mendirikan Negara
Bangsa Indonesia. Membentuk Bangsa Indonesia dan “menciptakan” bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan. Ketiga hal tersebut menjadi putusan Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia II.
Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia II
(Kongres
Pemuda ke II)
Pada awal bulan Oktober 1928 dibentuk Panitia
Penyelenggara Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.
Susunan
Panitia Kongres Pemuda II:
Ketua : Sugondo Joyopuspito (PPPI)
Wakil
Ketua : Joko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Syarifuddin Harahap (Jong Bataksche Bond)
Pembantu
I : Johan M. Cai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu
II : Kacasungkana (Pemuda
Indonesia)
Pembantu
III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu
IV : Josef Leimena (Jong Ambon)
Pembantu
V : Rohyani (Pemoeda Kaoem Betawi)
Sebagaimana telah ditulis di atas, bahwa
Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II merupakan rapat umum yang terbuka untuk
semua yang berminat hadir. Hal ini mengakibatkan membludaknya masyarakat yang
menghadiri ketiga sidang yang diselenggarakan selama dua hari, jumlah yang
hadir mencapai sekitar 700 orang. Namun yang resmi tercatat sebagai peserta
sidang sekitar 80 orang yang mewakili 9
organisasi pemuda pribumi.
Dalam tiga persidangan selama dua hari,
disampaikan ceamah-ceramah, baik dari kalangan pemuda maupun dari kalangan
senior. sebagaimana telah ditulis di atas, Mohammad Tabrani, tokoh yang berperan dalam kerapatan pertama tidak
hadir, karena melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman kemudian di Belanda.
namun gagasannya mengenai “menciptakan” bahasa Indonesia yang berakar dari
bahasa Melayu, dibahas dalam kerapatan II. Yamin, yang dalam Kerapatan I
mengusulkan agar menyatakan bahasa Melayu ditetapkan menjadi Bahasa Indonesia,
akhirnya menyetujui, bahwa namanya bukan bahasa Melayu, melainkan Bahasa
Indonesia.
Pada dasarnya, Kerapatan Pemuda II hanya
menyempurnakan hasil dari Kerapatan Pemuda I dan beberapa pertemuan besar
setelah Kerapatan Pemuda I serta belasan kali diskusi yang intensif di antara
para pemuda dari organisasi-organisasi, baik yang terlibat dalam Kerapatan
Pemuda I, maupun organisasi-organisasi yang dibentuk setelah Kerapatan Pemuda
I.
Gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State)
Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa
persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II.
Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28
Oktober 1928.
POETOESAN CONGRES
PEMOEDA-PEMOEDI INDONESIA[19]
Kerapatan pemoeda-pemoedi Indonesia jang berdasarkan
kebangsaan, dengan namanja Jong Java, Jong Soematra (Pemuda Sumatera), Jong
Bataksche Bond, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong
Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928
di negeri Djakarta;
Sesoedahnja menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan
pembitjaraan ini; Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe
bertoempah darah jang satu, tanah indonesia.
Kedoea : Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa indonesia
Ketiga : Kami poetera dan poeteri indonesia
mendjoendjoeng
bahasa persatuan,
bahasa indonesia
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan
kejakinan azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelan kebangsaan
Indonesia.
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat
dengan memperhatikan dasar persatoeannya:
KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN
KEPANDOEAN
dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini
disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat
perkoempoelan-perkoempoelan.
Demikian usulan resolusi tersebut yang
dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito dan diterima oleh sidang, menjadi Putusan Kongres. Putusan Kongres ini belakangan dinamakan sebagai SUMPAH PEMUDA.[20]
Mencermati butir satu sampai butir empat dasar persatuannya
terlihat, bahwa ini adalah definisi-definisi mengenai bangsa yang dikenal
permulaan abad 20, yaitu kemauan untuk bersatu, kesamaan sejarah/senasib,
ikatan bahasa dan kebudayaan..
KEMAUAN untuk membentuk Bangsa Indonesia ini
menggunakan definisi mengenai bangsa dari Ernest Renan, yaitu “Le desir d’etre ensamble.” (Kemauan
untuk menjadi satu/persatuan).
SEJARAH. Latar belakang untuk membentuk Bangsa
Indonesia ini merujuk pada definisi mengenai bangsa dari Otto Bauer:, yaitu “Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene
Charactergemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan
karakter/ciri yang sama yang timbul dari kesamaan nasib/sejarah)
BAHASA. Para peserta Kongres
sepakat untuk tidak menetapkan bahasa Jawa yang digunakan oleh mayoritas
penduduk di wilayah jajahan Belanda, melainkan menyatakan bahasa Melayu
sebagai bahasa yang digunakan sebagai
bahasa persatuan.
Sehubungan dengan
pilihan menetapkan Bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan bangsa, Prof.
Mahsun menulis:[21]
“Kiranya
tidak keliru apabila para pendiri bangsa mengedepankan bahasa sebagai fondasi
dalam membangun nasionalisme negara bangsa Indonesia.
Pilihan
bahasa yang dijunjung tinggi jatuh pada bahasa yang waktu itu adalah bahasa
lokal, yaitu bahasa Melayu bukan bahasa Jawa. Padahal, dari segi jumlah penutur
dan kekayaan kosakatanya jauh lebih besar penutur dan jumlah kosakata bahasa
Jawa dibandingkan bahasa Melayu saat itu. Berdasarkan hasil survei tahun 1930
penutur bahasa Jawa mencapai 42 juta, sedangkan penutur bahasa Melayu tidak
lebih dari satu juta orang (Ibrahim, 2013). Alasan yang dikemukakan yaitu
bahasa Melayu memiliki sebaran geografis yang sangat luas, mencakupi seluruh
kawasan yang menjadi cikal bakal wilayah NKRI serta kemampuan daya ungkapnya
meskipun rendah namun lebih mencerminkan semangat kemerdekaan yang menjadi
tuntutan para pejuang kemerdekaan. Dikatakan demikian karena dalam kosakata
bahasa Melayu tidak dikenal sistem gradasi sosial seperti bahasa Jawa yang
sangat kaya dengan sistem undak usuk/tingkat tutur, yang sangat kental dengan
semangat feodalisme. Suatu semangat yang justru ingin dihilangkan melalui
cita-cita pendirian negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, kesadaran akan
pentingnya elemen bahasa dalam membangun nasionalisme keindonesiaan merupakan
pilihan yang sangat strategis.
Kesadaran itu tidak hanya
terrefleksi sebagai salah satu butir dari tiga butir kandungan Sumpah Pemuda
yang diikrarkan para pemuda 87 tahun silam (28 Oktober 1928), tetapi juga
dieksplisitkan di dalam UUD 1945, yaitu penetapan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi negara. Bahkan dipilihnya nama bahasa nasional NKRI dengan nama
bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu -karena memang bahasa Indonesia adalah bahasa yang “dilahirkan” dari bahasa Melayu- menggambarkan
bahwa para pendiri bangsa memang telah bertekad untuk membangun nasionalisme
keindonesiaan bukan di atas fondasi suku bangsa (suku bangsa Melayu) tetapi di
atas fondasi kebahasaan yang disebut bahasa Indonesia.”
Demikian penjelasan Prof. Mahsun.
HUKUM
ADAT.
Walaupun ada hukum Belanda, namun semua etnis/suku bangsa di wilayah jajahan
Belanda memiliki Hukum Adat/kearifan lokal.
PENDIDIKAN
dan KEPANDUAN,
mempunyai peran penting bukan hanya untuk mencerdaskan rakyat, namun juga dalam
membangkitkan semangat nasionalisme dan mengajarkan disiplin kepada generasi
muda. Hampir semua organisasi, bahkan organisasi berdasarkan keagamaan memiliki
bidang kepanduan.
Kemungkinan Poster ini dibuat kemudian, dan bukan oleh Panitia Kongres,
karena ada beberapa kesalahan:1. Nama Jong Ambon tidak dicantumkan,
2. Penulisan Jomng Batak seharunsnya Joing Bataksche Bond.
3. Tempat penyelenggaraan di Batavia. Nama Jakarta baru digunakan mulai
tanggal 8 Agustus 1942, yaitu di masa pendudukan tentara Jepang.
PENUTUP
Dari penjelasan-penjelasan yang disampaikan
oleh para pelaku sejarah, terutama kedua Ketua Panitia Kerapatan Pemuda dan tokoh-tokoh
yang menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia yang pertama dan kedua
terlihat, bahwa selama ini cukup banyak kekeliruan dalam karangan-karangan
mengenai kedua pertemuan besar organisasi-organisasi pemuda pribumi.
Kesalahan-kesalahan karangan mengenai
Kerapatan pertama disebabkan a.l. karena para pengarang kelihatannya belum
membaca hasil laporan Kerapatan pertama. Hal ini terjadi karena laporan hasil
kerapatan pertama dalam bahasa Belanda, baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
tahun 1981. Misalnya dalam buku karangan Drs. Mardanus Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya No. 106 dalam
melahirkan Sumpah Pemuda yang diterbitkan tahun 1973, mengenai Kongres
Pemuda Indonesia Pertama terdapat beberapa kesalahan. M. Tabrani, Ketua Panitia
Kongres Pemuda I menulis, bahwa dalam daftar bacaan buku tersebut, tidak
dijumpai Laporan Hasil Kongres Pemuda Indonesia I. [1]
Apabila membaca karangan-karangan mengenai
Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, dan Kerapatan Pemuda-Pemudi
Indonesia II terlihat, bahwa karangan Mardanus Safwan ini menjadi
rujukan/referensi. Kalau rujukan rujukannya salah, maka jelas karangan-karangan
berikutnya yang menggunakan rujukan tersebut dipastikan salah. Demikianlah cara
penyebaran informasi yang salah yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Dalam beberapa artikel yang dimuat di
beberapa media ternama, ditulis nama-nama orang-orang yang “berperan” dalam
“lahirnya Sumpah Pemuda,” hanya satu nama yang ikut berperan dalam Kerapatan
Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yaitu Muhammad Yamin. Bahkan dalam satu
artikel, ditulis nama-nama yang sama-sekali tidak ada perannya dalam Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia II, apalagi dalam “melahirkan Sumpah Pemuda.” Beberapa
nama yang ditulis hanya merupakan tamu yang samasekali tidak ikut berbicara,
apalagi berperan. Dari sekitar 700 orang pengunjung, belakangan dimunculkan
beberapa nama pemuda bangsa asing, yang tidak dijelaskan mewakili organisasi pemuda
mana. Yang paling lucu adalah, pedagang asing yang menyewakan gedung tempat penyelenggaraan acara, juga ditulis
sebagai “tokoh” yang berperan dalam “lahirnya Sumpah Pemuda.” Dia hanya pemegang
HGB (Hak Guna Bangunan), yang menyewakan gedungnya menjadi tempat kos dan pertemuan
para pemuda pribumi. Setelah masa berlakuknya HGB habis, gedung tersebut diambil
kembali oleh Pemda DKI dan kemudian dijadikan
Museum Sumpah Pemuda.
Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang
untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai
sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang dan menulis baru, bukan
sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah
yang salah.
Sudah waktunya menonjolkan tokoh-tokoh yang
sebenarnya sangat berperan sehingga terselenggaranya pertemuan besar pertama organisasi-organisasi
pemuda pribumi dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, yang waktu itu masih
berdasarkan etnis (suku bangsa) dan agama. Tokoh-tokoh yang sangat berperan sehingga
terselenggaranya pertemuan besar yang sangat bersejarah tersebut di antaranya adalah
Mohammad Tabrani Surjowitjitro dan Djamaluddin Adinegoro. Terbukti, bahwa Tabranilah
yang pertama menggunakan nama BAHASA INDONESIA, dan mengusulkan, agar nama bahasa
yang akan dijadikan bahasa persatuan dari Bangsa Indonesia yang akan dibentuk, bukan
Bahasa Melayu sebagaimana diusulkan oleh Muhammad Yamin, melainkan dinamakan BAHASA
INDONESIA. Tidaklah berlebihan apabila menobatkan Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menjadi BAPAK BAHASA INDONESIA.
Sudah waktunya untuk melakukan koreksi besar atas
penilaian terhadap Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda
I), yang ternyata merupakan EMBRIO
PERSATUAN PEMUDA PRIBUMI DAN GAGASAN MENDIRIKAN NEGARA BANGSA (NATION STATE) INDONESIA, MEMBENTUK
BANGSA INDONESIA DAN “MENCIPTAKAN” BAHASA INDONESIA.
Jakarta 17 Juli 2020
********
Catatan:
Referensi/Daftar Pustaka sehubungan dengan penulisan
sejarah, dapat dibaca di buku-buku yang telah saya terbitkan:
1. 10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Millenium Publishers, Jakarta 2001. 470 halaman.
2.
SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam
Kaleidoskop Sejarah
Perjuangan Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia.
Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2010. 742
halaman.
3.
SERANGAN UMUM 1 MARET 1949.
Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2016.
316 halaman.
(Versi ringkasnya)
4.
INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2017.
310 halaman.
***
Catatan kaki:
[1]
Sugondo Joyopuspito, Beberapa Cerita Yang
Kurang Tepat Dalam Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda. Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan oleh
Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, 20 Mei 1974, halaman 209.
Sugondo Joyopuspito adalah
Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II), sekaligus Ketua Sidang.
[2]
Sumpah Gajah
Mada tersebut sesungguhnya bukan bertujuan untuk “mempersatukan” Nusantara,
melainkan menaklukkan dan menjajah kerajaan-kerajaan di kawasan Asia Tenggara. Di
tahun 1950-an terjemahan kalimat Gajah Mada ditulis sebagai “mempersatukan
Nusantara.” Terjemahan yang sebenarnya adalah MENGALAHKAN, bukan
“mempersatukan.”
Saling menyerang untuk menguasai kerajaan atau negara lain adalah hal yang biasa terjadi
di seluruh dunia. Kerajaan yang kalah harus membayar upeti yang sangat besar
kepada pemenang. Tidak jarang rakyat dari kerajaan yang kalah dijadikan budak
oleh pemenang. Pasukan dari kerajaan yang kalah digunakan untuk membantu
angkatan perang pemenang dalam menyerang kerajaan-kerajaan lain. Metode ini
juga digunakan oleh Belanda dalam menjajah kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara sejak awal abad 17.
[3]
45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan
oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta. 20 Mei 1974. Halaman 41.
[4]
Sejak tahun 1999 saya telah menulis lebih dari 200 artikel mengenai sejarah dan
menerbitkan 4 buku mengenai sejarah.
[5]
Mengenai VOC, lihat Catatan Batara R. Hutagalung: “VOC (Vereenigde OostIndische
Compagnie)
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa.”
Berdiri dan Bangkrutnya Perusahaan Terkaya di Dunia Sepanjang Masa.”
[6]
Dr. Mohammad Hatta, Sekitar Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928, dalam buku 45 Tahun
Sumpah Pemuda, hal. 197. Hatta menulis: “Pada tanggal 3 Agustus 1921 aku
berangkat ke Rotterdam untuk meneruskan pelajaranku di Nederlands Handels Hige School. Waktu itu pergerakan pemuda di
Tanah Air masih bersifat kedaerahan. Nama
Indonesia belum dikenal.
[7] Bagian
ini dikutip dari tulisan saya ASAL-USUL NAMA INDONESIA di weblog:
[8]
Sugondo Joyopuspito, ibid., hal. 211.
[9]
Mohammad Tabrani Soerjowitjitro
(1904 – 1984) pada waktu itu adalah seorang wartawan di harian Hindia Baroe. Dalam Editorial tanggal 10
Januari 1926 dia pertama kali menulis istilah “BAHASA INDONESIA.”
Kemudian dala Editorial tanggal 11 Februari 1926: dia
menulis: “Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah. Bahasa Indonesia belum
ada, maka ciptakanlah.”
[10] M.
Tabrani, Kongres Pemuda Indonesia Pertama,dalam buku 45 Tahun Sumpah
Pemuda, ibid., hal. 309.
[11] Weltevreden adalah bagian dari kota
Batavia (Jakarta).
[12] M.
Tabrani, ibid., hal. 308.
[13] Laporan
hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama baru diterjemahkan ke
bahasa Indonesia tahun 1981, Diterbitkan oleh CV TAKARI.
Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, hal. 116.
[14] M.
Tabrani, ibid., hal. 311.
[15] M. Tabrani,
ibid., hal. 312
[16] M.
Tabrani, ibid., hal. 313-314.
[17] M. Tabrani,
ibid., hal. 314.
[18] 45 Tahun Sumpah Pemuda. Ibid., hal. 44.
[19] Dikutip
sesuai aslinya dengan ejaan lama.
[20]
Menurut
sejarawan JJ Rizal, yang pertama kali menyebut hasil kerapatan pemuda I adalah
sutan Takdir ali Syahbana yahun 1931.
Dalam peringatan Kerapatan Pemuda ke-25 pada tahun
1953, istilah Hari Sumpah Pemuda secara resmi digunakan menggantikan istilah
Hari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya atas prakarsa Muhammad Yamin. Agar terkesan
sakral, istilah Sumpah Pemuda dipilih agar secara historis sejajar dengan
Sumpah Palapa yang pernah diucapkan oleh Patih Gajah Mada. Soekarno pun turut
menyetujui perubahan istilah tersebut. Lihat:
[21]
Mahsun, Prof. Indonesia Dalam Perspektif Politik Kebahasaan. PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta 2015. Hal. 50 – 51.