75 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA:
Waktu untuk Merayakan dan Refleksi
Oleh Batara R. Hutagalung
Peneliti Sejarah dan Pengamat Politik Internasional
Pengantar
Tanggal 17 Agustus 2020 bangsa Indonesia memeringati 75 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak didirikan tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia tidak henti-hentinya diterpa oleh berbagai permasalahan yang besar-besar. Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan Indonesia dan melancarkan agresi militer, yang berlangsung sampai akhir tahun 1949. Perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia berakhir dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, yang menghasilkan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).
Segera setelah berdirinya Republik Indonesia Serikat, timbul upaya kudeta, gerakan bawah tanah dan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan orang-orang Indonesia yang masih berpihak kepada Belanda. Juga timbul konflik bersenjata di antara sesama pejuang Indonesia.
Dapat dikatakan, bahwa 20 tahun pertama, yaitu dari tahun 1945 – 1965, merupakan periode yang paling sulit dan paling krusial untuk negara dan bangsa yang baru berdiri, baik dalam hal keutuhan sebagai bangsa dan negara kesatuan, maupun dalam bidang pertahanan, politik dalam dan luar negeri, ekonomi serta bidang sosial.
Perang Asia – Pasifik.
Gerakan kemerdekaan Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan Belanda memperoleh berkah dari pecahnya Perang Dunia II di Eropa, yang diikuti oleh Perang Asia-Pasifik. Perang Dunia II dimulai di Eropa, ketika Jerman menyerang Polandia pada 1 September 1939. Di Asia Timur, Jepang menjadi sekutu Jerman dan Italia, dengan dibentuknya Pakta Axis. Atas inisiatif Adolf Hitler, pada 27 September 1940 ditandatangani perjanjian antara Jerman, Kerajaan Italia dan Kekaisaran Jepang, yang dikenal sebagai Axis Power, juga dinamakan Poros Berlin - Roma – Tokyo.
Kemenangan-kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tahun 1904 – 1905 dan dalam Perang Dunia I mendorong politik ekspansionistis Jepang untuk memperluas wilayah kekuasaannya ke daratan Asia, terutama ke China. Ambisi Jepang ini memicu perang Jepang – China kedua, yang dimulai dengan penyerangan Jepang terhadap China pada 7 Juli 1937.
Penyerangan ini membuat Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang memiliki jajahan di Asia Timur dan Asia Tenggara mewaspadai langkah Jepang. Konflik meruncing setelah tentara Jepang menduduki jajahan Perancis di Indochina pada bulan April 1941. Amerika Serikat dan Britania Raya melancarkan embargo bahan bakar terhadap Jepang. Langkah Amerika dan Britania Raya ini membuat Jepang mempercepat rencananya untuk menguasai wilayah Asia Tenggara yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh industri Jepang, terutama untuk Angkatan Perangnya. Setelah perundingan dengan Amerika gagal, Jepang memutuskan untuk menyerang Amerika Serikat, yang diawali dengan penyerangan atas pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii pada 7 Desember 1941.
Bersamaan dengan penyerangan terhadap Amerika Serikat di Pearl Harbor, Jepang mengerahkan seluruh kekuatan Angkatan Perangnya untuk menyerang seluruh wilayah di Asia Timur dan Asia Tenggara. Pada bulan Januari 1942, sekutu membentuk komando gabungan American, British, Dutch, Australian Command (ABDACOM) di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald Wavell, berpusat di Bandung, Jawa Barat. Namun komando gabungan tersebut tidak dapat membendung invasi tentara Jepang. Satu per satu tentara Jepang menduduki wilayah-wilayah jajahan negara-negara Eropa. Penyerangan terakhir adalah terhadap Pulau Jawa, yang diawali dengan perang di Laut Jawa pada 27 Februari 1942. Dalam waktu sekitar 7 jam, armada Sekutu di bawah komando Admiral Karel Doorman dihancurkan oleh Angkatan Laut Jepang.
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mulai mendarat di pulau Jawa. Hanya dalam waktu satu minggu, kekuatan tentara Sekutu di Jawa dilumpuhkan oleh tentara Jepang. Pada 9 Maret 1942, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) di Netherlands Indie (India-Belanda), mewakili pemerintah Netherlands Indie dalam perundingan dengan Panglima Tentara XVI Angkatan Darat Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Hein ter Poorten menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Tanggal 9 Maret 1942 merupakan tanggal berakhirnya negara Netherlands Indie, juga merupakan tanggal berakhirnya penjajahan Belanda di wilayah Asia Tenggara yang sekarang menjadi Indonesia.
Selama pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda, pemerintah militer Jepang juga melakukan berbagai tindakan yang sangat kejam, a.l. menjalankan sistem kerja paksa, Romusha, di mana ratusan ribu pribumi dikirim ke Birma untuk membangun rel kereta api. Sebagian besar meninggal di Birma. Puluhan ribu perempuan pribumi dipaksa menjadi wanita penghibur (Jugun Ianfu) untuk memuaskan tentara Jepang. Ribuan intelektual pribumi yang menentang Jepang, dibawa ke Mandor, Kalimantan Barat, dan dibunuh di sana. Yang sampai sekarang belum diungkap secara luas adalah tindakan-tindakan Unit 731 untuk percobaan kedokteran (medical experiment), di mana ribuan pribumi yang dijadikan kelinci percobaan untuk experimen-experimen di bidang kedokteran, meninggal dunia.
Untuk kepentingan pertahanan, Jepang melatih para pemuda pribumi menjadi pasukan pembantu, yaitu PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (di Jawa), Giyugun (di Sumatera), Kepolisian dan berbagai satuan semi militer. Pembentukan pasukan-pasukan pembantu dan kepolisian ini di kemudian hari sangat berguna dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia terhadap agresi militer Belanda, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Perang di Eropa berakhir dengan menyerahnya Jerman tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 8 Mei 1945. Sekutu dan Rusia mengalihkan kekuatan militernya ke Asia untuk menghadapi Jepang. Ketika Jepang berada di ambang kekalahan dalam perang, pemerintah Jepang mulai memenuhi janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pada bulan April 1945, dibentuk badan yang dinamakan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Pesiapan Kemerdekaan – BPUPK (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). BPUPK menyusun rancangan Undang-Undang Dasar untuk negara yang akan didirikan. Setelah selesai membuat rancangan Undang-Undang Dasar, BPUPK dibubarkan dan pada 7 Agustus dibentuk badan baru yang dinamakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia – PPKI (Dokuritsu Zyunbi Inkai).
Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan Bom Atom di atas kota Hiroshima, dan pada 9 Agustus Bom Atom kedua dijatuhkan di atas kota Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak mau menyerah tanpa syarat, Bom Atom ketiga akan dijatuhkan di atas Ibukota Tokyo. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mngeluarkan pernyataan menyerah tanpa syarat dan memerintahkan agar tentara Jepang menghentikan semua kegiatan di wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang.
Dokumen menyerah tanpa syarat ditandatangani oleh pemerintah Jepang pada 2 September 1945, di atas Kapal Perang Amerika Serikat, Missouri. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of power) antara tanggal 15 Agustus – 2 September 1945 di seluruh wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda..
17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Di masa vacuum of power tersebut, pada 17 Agustus 1945 para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, Panglima Tentara XVI Angkatan Darat Jepang, Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, yang juga adalah Kepala Pemerintah Militer Jepang (Gunseikan) di Pulau Jawa, menyatakan tidak menyetujui rencana proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun dia tidak melakukan tindakan apapun untuk menghalangi pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Pada 18 Agustus Ir. Sukarno diangkat menjadi Presiden dan Mohammad Hatta diangkat sebagai Wakil Presiden. Pada 2 September 1945 dibentuk Kabinet Republik Indonesia pertama. Dengan demikian, tiga syarat untuk berdirinya suatu negara sesuai Konvensi Montevideo telah terpenuhi, yaitu 1. Adanya penduduk permanen, 2. Adanya wilayah tertentu, 3. Adanya pemerintahan. Liga Arab adalah yang pertama mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947, Republik Indonesia dan Mesir resmi menjalin hubungan diplomatik.
Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui pernyataan kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk berkuasa kembali di bekas jajahannya. Karena di masa Perang Dunia II di Eropa dan dalam Perang Pasifik tentaranya dihancurkan oleh Jerman dan Jepang, sehingga Belanda tidak memiliki Angkatan Perang yang kuat. Oleh karena itu Belanda meminta bantuan sekutunya, Inggris. Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, ditandatangani Civil Affairs Agreement di mana Inggris menyatakan kesediannya membantu Belanda dengan kekuatan militer untuk memperoleh kembali bekas jajahannya.
Tentara Sekutu membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indie (AFNEI). Sebenarnya tugas AFNEI adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang kembali ke Jepang, membebaskan para interniran dan tawanan perang Jepang serta memulihkan keamanan dan ketertiban (establishment of law and order). Namun berdasarkan perjanjian Chequers, pasukan AFNEI memiliki agenda rahasia, yaitu membersihkan kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, dan kemudian menyerahkan wilayah Indonesia kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Inggris mengerahkan tiga Divisi di bawah komando Letnan Jenderal Philip Christison, dan Australia mengerahkan dua divisi dibawah komando Letnan Jenderal Leslie Morshead. Tiga divisi tentara Inggris yang ditugaskan di Sumatera dan Jawa mendapat perlawanan sengit dari tentara Republik Indonesia. Dua divisi tentara Australia yang ditugaskan di wilayah Indonesia bagian timur, tidak mendapat perlawanan sekuat di Jawa dan Sumatera. Setelah menilai, bahwa kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di Indonesia bagian timur sudah dilumpuhkan, pada 15 Juli 1946 tentara Australia menyerahkan seluruh wilayah Indonesia Timur kepada NICA. Belanda segera menyelenggarakan Konferensi Malino di Sulawesi Selatan untuk membentuk Negara Indonesia Timur. Setelah itu, berturut-turut Belanda membentuk Negara-negara dan Daerah-daerah Otonom yang berjumlah 15.
Pimpinan tentara Inggris melihat, masalah Indonesia – Belanda tidak dapat diselesaikan melalui perang. Inggris memfasilitasi perundingan Linggajati pada bulan November 1946. Isi perjanjian Linggajati a.l. adalah, Belanda menerima de facto kekuasaan Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura. Namun Belanda melanggar Perjanjian Linggajati dengan melancarkan agresi militer pertama tanggal 21 Juli 1947. Agresi militer ini diakhiri dengan perundingan di atas Kapal Perang milik Amerika Serikat, Renville, pada bulan Desember 1947. Perundingan Renville difasilitasi oleh PBB. Isi perjanjian Renville antara lain adalah melanjutkan hasil Perjanjian Linggajati. Sekali lagi Belanda melanggar perjanjian internasional dengan melancarkan agresi militer kedua pada 18 Desember 1948. Agresi militer Belanda diakhiri dengan perundingan Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949.
Konferensi Meja Bundar menghasilkan dibentuknya negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom. Republik Indonesia adalah salahsatu Negara Bagian RIS. Presiden RIS adalah Ir. Sukarno. Ibukota RIS adalah Jakarta. Pemerintahan RIS berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri RIS pertama adalah Drs. M. Hatta.Sementara Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS, Asaat Datuk Mudo diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.
Konflik Internal Indonesia
Segera setelah berdirinya RIS, beberapa Negara Bagian dan Daerah Otonom dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya tiga negara Bagian yang tersisa sepakat untuk pembubaran RIS dan bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 16 Agustus 1950 Presiden RIS Ir. Sukarno resmi menyatakan pembubaran RIS. Tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sistem pemerintahan RI menggunakan UUD Sementara (UUDS), yang juga berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.
Di bidang politik dan keamanan, keadaan negara Republik Indonesia sangat kacau. Sejak tahun 1950 orang-orang Belanda dan orang-orang Indonesia yang berpihak kepada Belanda, ikut membuat kekacauan. Tanggal 23 Januari 1950 mantan Kapten KNIL, Raymond Westerling bersama para desertir tentara Belanda dari Bandung, mencoba melakukan Kudeta terhadap pemerintah RIS, dengan pasukannya yang dinamakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Percobaan Kudeta yang hanya berlangsung satu hari ini gagal. Tanggal 5 April 1950 Andi Azis, mantan Letnan KNIL melakukan pemberontakan di Sulawesi. Petualangannya hanya berlangsung selama 10 hari. Tanggal 15 April 1950 dia ditangkap. Pada 25 April 1950, mantan petinggi-petinggi Negara Indonesia Timur bentukan Belanda dan didukung oleh mantan anggota KNIL, mendeklarasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Pemberontakan RMS didalangi oleh “tangan2 hitam dari Belanda” (Zwarte hand uit Nederland). Pemberontakan RMS berhasil ditumpas oleh TNI bulan Desember 1963.
Selain melakukan percobaan kudeta dan pemberontakan-pemberontakan, orang-orang Belanda yang masih ingin berkuasa di bekas jajahannya mendirikan beberapa organisasi bawah tanah, yaitu Nederlands Indie Guerilla Organisatie – NIGO (Organisasi Gerilya di India-Belanda), dan Vrijwillige Ondergrondse Corps – VOC (Korps Sukarela Bawah Tanah),
SM Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan Kartosuwiryo diikuti oleh Tengku Daud Bereuh di Aceh, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Pemberontakan NII berakhir dengan ditangkapnya Kartosuwiryo bulan Juni 1960.
Tahun 1956 Sukarno mencetuskan gagasan NASAKOM, yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis, yang menurut pendapatnya adalah basis pemerintahan yang kuat. Sukarno menyatakan, bahwa demokrasi terpimpin lebih baik dari demokrasi parlementer. Juga di bidang ekonomi harus dijalankan ekonomi terpimpin. Sukarno kemudian mengeluarkan gagasan-gagasan lain, yaitu Manifesto Politik (Manipol), Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (TUBAPI) yang berisi tafsir Pancasila menurut Sukarno dan melarang tafsir-tafsir lain. Langkah-langkah itu semuanya menjurus kepada pemusatan kekuasaan di tangan presiden.
Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dinilai oleh beberapa daerah sebagai terlalu sentralistik dan mengabaikan pembangunan di daerah. Juga beberapa daerah menentang keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam pemerintahan Indonesia. Puncak ketidak puasan ini berujung pada dibentuknya Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) di Sulawesi pada 2 Maret 1957 dan dibentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera pada 15 Maret 1958, Kedua gerakan ini berhasil ditumpas oleh Pemerintah Pusat. Sebenarnya, para pimpinan dari kedua gerakan tersebut adalah teman-teman seperjuangan dari para perwira TNI di Pusat, di masa perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1949.
Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dituduh ikut mendukung kedua gerakan tersebut karena ada anggota2 kedua Partai Politik tersebut yang ikut dalam gerakan PRRI dan PERMESTA. kedua partai tersebut dipaksa membubarkan diri dengan ancaman, apabila tidak membubarkan diri secara sukarela, maka kedua partai tersebut akan ditetapkan sebagai partai terlarang. Untuk menghindari dinyatakan sebagai partai terlarang, sehingga para anggotanya dapat ditangkap dan dipenjarakan, pada bulan Agustus 1960 kedua partai tesebut membubarkan diri. Sukarno bukan hanya memberangus pers, melainkan juga memerintahkan penutupan percetakan-percetakan yang mencetak koran-koran yang arahnya tidak sejalan dengan politiknya.
Di internal pemerintahan RI juga tak sedikit permasalahan yang dihadapi. Sejak kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950, sampai bulan Juli 1959 tercatat ada 7 kabinet dalam 9 tahun. Hanya ada dua kabinet yang dapat bertahan selama dua tahun. Ada beberapa kabinet yang hanya berlangsung kurang dari satu tahun. Dengan demikian, tidak ada menteri dan kementeriannya yang dapat bekerja secara efektif, optimal dan berkesinambungan.
Semua pihak melihat, bahwa sumber kekacauan adalah Undang-Undang Dasar Sementara, di mana sistem pemerintahan adalah Kabinet Parlementer. Undang-Undang Dasar Sementara masih disusun oleh Parlemen RIS, di mana sebagian besar anggotanya adalah wakil-wakil dari Negara Bagian dan Daerah Otonom yang dibentuk oleh Belanda. Mayoritas di Dewan Konstituante yang ditugaskan untuk menyusun Undang-Undang Dasar, sebenarnya sepakat dengan usulan Presiden Sukarno agar kembali ke UUD 1945. Namun dalam tiga kali sidang Konstituante yang membahas usulan ini, tidak pernah tercapai Quorum (korum). KSAD Letjen AH Nasution memberikan dukungan kepada Presiden Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD ’45. Bahkan Perdana Menteri Juanda juga mendukung kembali ke UUD ’45.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya:
1. Menyatakan Pembubaran Konstituante.,
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
3. Pembentukan MPR Sementara, yang terdiri dari anggota2 DPR ditambah dengan utusan2 dari daerah2 dan golongan2 serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Pada waktu itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinilai sebagai dekrit penyelamatan bangsa dari ancaman perpecahan guna mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Namun setelah itu, Presiden Sukarno melakukan langkah yang inskonstitusional, yaitu membubarkan Parlemen hasil Pemilu tahun 1955, dan membentuk Parlemen Gotong Royong, di mana para anggptanya adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Sukarno. Dengan langkah ini, lengkaplah pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Melalui Tap MPRS No. III/MPRS/1963 Sukarno diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.
Politik Luar Negeri dan Kejatuhan Sukarno.
Sejak diangkat menjadi presiden pertama dari Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945, Sukarno menjalankan politik luar negeri yang berubah-ubah arahnya. Di era Perang Dingin antara kubu komunis melawan kubu anti komunis, masing-masing kubu berusaha menarik negara-negara yang belum masuk ke salahsatu kubu, untuk berpihak kepada kubunya. Amerika Serikat dan sekutunya kuatir, Republik Indonesia yang baru berdiri akan masuk ke kubu komunis. Oleh karena itu, Amerika Serikat termasuk negara-negara yang menekan Belanda agar menghentikan agresi militernya di Indonesia. Sampai pertengahan tahun 1950-an, Indonesia dapat dikatakan dekat dengan kubu Amerika Serikat. Kedekatan ini ditandai dengan diberikannya kehormatan besar kepada Presiden Sukarno untuk berbicara di depan Kongres Amerika pada 17 Mei 1956.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan Amerika Serikat terhadap Indonesia, Sukarno mendekatkan Indonesia ke Uni Soviet dan berbalik menjadi lawan Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam melancarkan konfrontasi terhadap Belanda dalam rangka merebut kembali Irian Barat, Indonesia mendapat bantuan militer yang sangat besar dari Uni Soviet, sehingga Angkatan Perang Indonesia menjadi yang terkuat di Asia tenggara. Selain konfrontasi terhadap Belanda, Indonesia juga melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia, yang dituding oleh Sukarno sebagai boneka Inggris.
Setelah timbul ketidak-cocokan dengan Uni Soviet, Sukarno mendekatkan Indonesia ke RRC dan negara-negara komunis di Asia, yaitu Korea Utara, Vietnam dan Kamboja. Tahun 1965, PBB akan memasukkan Malaysia menjadi anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB. Sukarno sangat menentang rencana ini dan menuding PBB hanya kepanjangan tangan dari para Neo-Kolonialis dan Neo Imperialis, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan sukutunya. Sebagai protes terhadap langkah PBB, tanggal 7 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.
Untuk mewujudkan gagasan NASAKOM-nya, pada bulan Maret 1962, DN Aidit, Ketua CC PKI yang waktu itu adalah Wakil Ketua MPRS, mendapat kedudukan sebagai Menteri dalam Kabinet Kerja III. Langkah Sukarno untuk mengikatkan Indonesia ke kubu komunis ditandai dengan dibentuknya poros Jakarta – Hanoi – Peking (Beijing) – Pyongyang tahun 1964. Langkah ini juga sebagai isyarat kepada lawan-lawan politik Sukarno di dalam negeri, bahwa Indonesia sudah berada di kubu komunis, melawan neo-kolonialisme/neo-imperialisme Amerika Serikat dan sekutunya.
Gebrakan-gebrakan Sukarno di dunia internasional dan langkah-langkah serta kebijakan dalam negeri membuat Sukarno “menciptakan” sendiri lawan-lawan politiknya. Kekuatan-kekuatan asing, maupun kekuatan-kekuatan di dalam negeri Indonesia, baik secara langsung, maupun secara tidak langsung, bekerjasama untuk menggulingkan Presiden Sukarno dari tampuk kekuasaan. Kemerosotan ekonomi Indonesia juga menjadi titik lemah pemerintahan Presiden Sukarno. Inflasi mencapai 650%. Angka pengangguran sangat tinggi dan bahan-bahan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat semakin sulit diperoleh..
Sosok-sosok dari luar negeri yang sangat menonjol dalam penggulingan Sukarno adalah George Frank Norman Reddaway, seorang pakar propaganda dari Kementerian Luar Negeri Inggris, yang diikutsertakan dalam operasi dinas rahasia Inggris, MI 6, untuk penggulingan Sukarno. Pada musin semi tahun 1965 dia diberi tugas khusus untuk melakukan segala-sesuatunya untuk menyingkirkan Sukarno. Dia dibekali dana tunai sebesar 100.000 Pound untuk menjalankan operasinya.
Sosok kedua adalah seorang Belanda, Josephus Gerardus Beek, seorang pendeta Kristen Katholik dari Ordo Yesuit. Dia dikenal sebagai Pater Beek dan adalah seorang agen CIA yang sangat anti komunis dan anti Islam. Beek pertama kali ke Netherlands Indie tahun 1937. Tahun 1948 – 1959 dia tinggal di Yogyakarta dan sejak tahun 1960 menetap di Jakarta. Pater Beek melakukan pembinaan pemuda-pemuda Katholik melalui Kaderisasi Sebulan (Kasbul), yang sangat ketat dengan disertai hukuman-hukuman atas pelanggaran disiplin. Dia berhasil menciptakan kelompok militan yang anti komunis, anti Islam dan loyal terhadap Kristen Katholik. Setelah Presiden Sukarno jatuh, Pater Beek menjadi salahsatu penasihat Presiden Suharto.
Pada 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Perwira Tinggi TNI AD, dan seorang Letnan TNI, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, Mayjen R. Suprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen S. Siswomiharjo,dan Letnan P. Tendean.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengungkap, bahwa para pelaku penculikan dan pembunuhan antara lain dari pasukan Cakrabirawa di bawah komando Letkol Untung, Pasukan Pengawal Presiden Sukarno. Juga terungkap keterlibatan PKI dan organisasi-organisasi yang berada di bawah naungan PKI. Oleh karena itu rakyat menuntut pembubaran PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya.
Keragu-raguan Presiden Sukarno untuk mengambil langkah tegas terhadap PKI memperlemah posisinya. Pada 11 Maret 1966 pimpinan TNI mengirim tiga Perwita Tinggi menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor, yaitu Mayjen Basuki Rahmad, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Mahmud. Mereka meminta Presiden Sukarno memberi surat kuasa kepada Mayjen Suharto untuk memimpin pemulihan keamanan dan ketertiban. Setelah melalui perundingan, Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah untuk Mayjen Suharto, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar). Mengenai isi Surat Perintah yang sebenarnya sampai sekarang tidak jelas, karena surat aslinya sampai saat ini tidak ditemukan.
Berbekal Surat Perintah tersebut, Suharto segera mengambil tindakan-tindakan yang sangat keras, yaitu memerintahkan pembubaran PKI, menangkap Menteri-Menteri dari PKI dan para loyalis Presiden Sukarno. Kemudian Suharto juga menyingkirkan anggota-anggota MPRS dari unsur PKI dan pendukung Sukarno serta mengganti dengan anggota-anggota TNI dan orang-orang yang anti komunis. Tanggal 1 Oktober 1966 Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan RRC, karena keterlibatan Partai Komunis China dalam gerakan PKI.
Sementara itu, terjadi pengejaran, penangkapan dan pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI atau orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Juga terjadi konflik horisontal, di mana sesama rakyat saling membunuh. Diperkirakan, korban tewas dalam tragedi nasional ini berkisar antara 500.000 – satu juta orang.
Tindakan-tindakan yang dilakukan Suharto untuk mengikis kekuasaan Sukarno dan menggantikan Sukarno sebagai presiden, oleh beberapa pihak dinamakan sebagai “kudeta merangkak.” Surat Perintah Sebelas Maret dikukuhkan melalui Ketatapan MPRS No. IX/MPRS/1966, sehingga Presiden Sukarno sekalipun tidak dapat mencabut Surat Perintahnya.
Pada 22 Juni 1966 Presiden Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang IV MPRS mengenai peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965. Pidatonya diberi judul Nawaksara, karena mencakup 9 hal. MPRS menolak pertanggungjawabannya dan bahkan mencabut gelar Presiden Seumur Hidup.
Demikian situasi di Indonesia sampai tahun 1965 yang disebut sebagai era Orde Lama. Dari tahun 1965 – 1967 adalah langkah-langkah untuk menurunkan Presiden Sukarno dari kursi kepresidenan. Pada bulan Maret 1967, melalui Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, Suharto ditunjuk sebagai pejabat presiden. Suharto meminta Sukarno agar meninggalkan Istana Presiden di Jakarta sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Setelah meninggalkan Istana, semula Sukarno menetap di salahasatu Paviliun di Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke rumah peristirahatan di Batutulis, Bogor. Sukarno menulis surat kepada Presiden Suharto, agar diizinkan tinggal di Jakarta, dan Suharto mengabulkan permintaan Sukarno. Pada 10 Desember 1967 Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso di Jakarta, dengan status tahanan rumah. Mantan orang nomer satu di Indonesia diisolasi total, yaitu dilarang bertemu dengan siapapun, dilarang memiliki radio atau televisi, dilarang membaca koran dsb. Hal ini tentu sangat berpengaruh besar terhadap kondisi psikisnya. Banyak pihak menilai, bahwa Orde Baru membunuh Sukarno secara perlahan-lahan. Tanggal 21 Juni 1970 di pagi hari, proklamator kemerdekaan Indonesia dan sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada 23 Maret 1968 Suharto diangkat menjadi Presiden RI. Setelah berhasil menggulingkan Sukarno, sebagai pemimpin Orde Baru, Suharto melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Sukarno, yaitu secara perlahan-lahan melakukan tindakan-tindakan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk memusatkan kekuasaan di tangan presiden. Presiden Suharto menangkap dan memenjarakan atau menyingkirkan lawan-lawan politiknya dan para pengritiknya. Melalui berbagai Undang-Undang, peraturan-peraturan, pembungkaman pers, mengendalikan pemilu dsb., Suharto berhasil memusatkan kekuasaan di tangan presiden. Dengan cara ini, Suharto berhasil berkuasa selama 32 tahun.
Selain berhasil memusatkan kekuasaan pada dirinya, Suharto juga membangun kelompok yang menguasai dan mengendalikan sebagian besar perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi global tahun 1997/1998 mengubah segala-sesuatunya secara drastis. Pada bulan Maret 1998 dalam situasi kekacauan politik dan keamanan, terjadi konflik horisontal, di mana ribuan orang tewas. Sejarah berulang kembali, yaitu terjadi penggulingan seorang Presiden Republik Indonesia. Pada 22 Mei 1998 Presiden Suharto dipaksa oleh rakyat untuk mengundurkan diri.
Indonesia di Era Orde Reformasi
Di awal era Orde Reformasi, situasinya mirip dengan situasi di awal Orde Baru, yaitu adanya kebebasan pers, kebebasan berpendapat, adanya upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dll. Arah politik luar negeri Indonesia ditentukan oleh presiden yang menjabat. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) selama 10 tahun, Indonesia dekat dengan Amerika Serikat. Hal ini juga diakui oleh SBY yang pernah menyatakan, bahwa Amerika adalah negerinya (country) yang kedua.
Ketika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden Indonesia tahun 2014, arah politik luar negeri Indonesia berubah. Presiden Joko Widodo mendekatkan Indonesia ke RRC. Pada bulan April 2015, selang 6 bulan setelah Joko Widodo dilantik menjadi presiden, di sela-sela peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika, muncul berita di berbagai media dengan judul “Tiongkok Sapu Bersih Semua Proyek Infrastruktur di Indonesia.” Sejak itu, perlahan-lahan politik luar negeri Indonesia cenderung ke RRC, dan tidak lagi ke Barat dan Jepang. Dapat dikatakan, selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, semua proyek-proyek besar diberikan kepada RRC. Tidak hanya modal yang dibawa oleh RRC ke Indonesia, melainkan juga buruh-buruh didatangkan dari RRC.
Kedekatan Indonesia dengan RRC untuk para senior, termasuk para purnawirawan TNI membangkitkan kekuatiran, karena, walaupun RRC sejak tahun 1970-an menjalankan sistem perekonomian kapitalis, yaitu State Monopoly Capitalism, sistem politiknya masih tetap sistem komunis. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarluaskan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/Marxisme-Leninisme masih berlaku. Pihak oiposisi di Indonesia berpendapat, pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh pemerintah RRC kepada Indonesia merupakan jebakan utang (debt trap), seperti yang telah dialami oleh beberapa negara yang mendapat pinjaman dari RRC.
Konflik di Laut China Selatan terlihat semakin meruncing, karena RRC tidak mau mengakui perjanjian internasional UNCLOS mengenai penetapan batas-batas negara di laut. RRC melakukan klaim, bahwa wilayah yang masuk ke wilayah Indonesia, Filipina dll., adalah wilayah RRC. Amerika Serikat telah menunjukkan kehadiran militernya di Laut China Selatan. Apabila terjadi konflik bersenjata di Laut China Selatan, Indonesia harus menentukan sikap, apakah akan berpihak ke RRC atau mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI yang diklaim oleh RRC.
Isu bangkitnya komunis di Indonesia mulai muncul, sejak ada wawancara seorang anak PKI di satu Tv-swasta tahun 2002, di mana dia menyatakan, bahwa semua keturunan PKI yang berjumlah sekitar 20 juta orang, mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal menjadi kekuatiran para sesepuh yang masih mengalami peristiwa-peristiwa tahun 1964/1965, di mana terjadi konflik kekerasan, terutama antara kaum agama/para ulama melawan PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya.
Di awal tahun 2020, di saat terjadi perlemahan ekonomi Indonesia, muncul pancemi yang disebabkan oleh Covid 19 yang berasal dari Wuhan, China, yang melanda dunia termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di banyak negara menjadi minus, juga di Indonesia. Dengan dihentikannya kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah-daerah yang terpapar wabah penyakit ini, angka pengangguran semakin meningkat. Kelihatannya Indonesia juga sulit menghadapi krisis ekonomi.
Banyak tokoh-tokoh senior, baik dari kalangan sipil, maupun purnawirawan TNI dan Polisi menilai, bahwa situasi saat ini mirip dengan situasi tahun 1964/1965 dan situasi tahun1997/1998. Sejarah di kemudian hari yang akan mencatat, apakah sejarah berulang kembali (history repeats itself), di mana terjadi lagi konflik horisontal. Apabila sejarah berulang kembali, maka ini menunjukkan bahwa para pelaku sejarah tidak belajar dari sejarah.
********
Artikel ini dimuat di Mingguan berbahasa Inggris, INDEPENDENT OBSERVER, Edisi 17 Agustus 2020.