77 TAHUN PERANG NON-MILITER
INDONESIA MELAWAN BELANDA
Bagaimana sikap kita melawan mantan penjajah?
Pejuang kemerdekaan Indonesia membawa bambu runcing sebagai
senjatas di masa perang mempertahankan kemerdekaan.
(Sumber: Arsip Nasional)
Oleh Batara
R. Hutagalung
Pengantar
Tanggal 17 Agustus
2022, bangsa Indonesia merayakan 77 tahun kemerdekaan Indonesia. Namun tidak
banyak yang mengetahui dan menyadari, bahwa selama 77 tahun telah berlangsung perang
non militer antara Indonesia melawan mantan penjajah, Belanda. Setelah 77 tahun
merdeka dan berdaulat, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika
pemerintah Belanda “memindahkan” kedaulatan dari pemerintah Nederlands IndiĆ« kepada pemerintah
Republik Indonesia Serikat (United States
of Republic Indonesia).
Pada 16 Agustus 2005
di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda waktu itu Bernard Bot, menyampaikan,
bahwa mulai saat itu, 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda menerima proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 secara moral dan politis. Artinya hanya de facto, namun bukan de jure, sebagaimana dia tegaskan ketika
berpidato di Den Haag, Belanda, tanggal 15 Agustus 2005.
Banyak negara
jajahan, yang setelah menyatakan kemerdekaannya, harus berperang melawan mantan
penjajah yang tidak mau mengakui kemerdekaan negara terjajah tersebut, seperti
yang terjadi antara Belanda dengan penjajahnya, Spanyol. Belanda memulai
pemberontakan terhadap Spanyol tahun 1568 dan kemudian tahun 1581 bangsa
Belanda mendirikan Republik Belanda (Dutch Republic).
Perang antara Republik Belanda melawan Spanyol diakhiri dengan perdamaian
Westphalia (peace of Westphalia) di
Jerman tahun 1648. Ini berarti Belanda berperang selama 80 tahun melawan mantan
penjajahnya. Perang antara Republik Indonesia melawan Kerajaan Belanda, mantan
penjajah, dalam hal ini adalah perang non-militer, telah berlangsung sejak
tahun 1945, dan belum berakhir sampai sekarang, tahun 2022 ini.
Latar Belakang Sejarah
Penjajahan Belanda di
Asia Tenggara dimulai tepatnya pada 30 Mei 1619, yaitu ketika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC),
berhasil menguasai kota Jayakarta, yang namanya kemudian diganti menjadi
Batavia (sekarang Jakarta). Setelah itu Belanda mengalahkan dan menguasai satu persatu
kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia tenggara, yang sekarang
menjadi bagian dari Republik Indonesia. Baru pada awal abad 20 Belanda berhasil
menguasai sebagian besar wilayah di Asia Tenggara. Belanda menamakan wilayah
jajahannya sebagai Nederlands Indiƫ (India
Belanda).
Negara Nederlands Indiƫ lenyap dari peta
politik dunia pada 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis 8 Maret 1942), yaitu
ketika pemerintah Nederlands Indiƫ
menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang dalam Perang Asia Pasifik yang
dimulai pada 7 Desember 1941. Sejak tahun 1942 sampai tahun 1962, sehubungan
dengan Indonesia, Belanda terus menerus mengalami kekalahan demi kekalahan yang
menyakitkan dan memalukan.
Kekalahan terhadap
Jepang ini bukan hanya menandai berakhirnya penjajahan Belanda di Asia
Tenggara, melainkan juga sangat menyakitkan dan memalukan, karena citra yang
dibangun oleh bangsa-bangsa Eropa terhadap pribumi jajahannya selama ratusan
tahun adalah, bahwa ras kulit putih tidak terkalahkan. Orang-orang Belanda yang
beberapa minggu sebelumnya di wilayah jajahannya adalah penguasa dengan
kehidupan mewah di atas penderitaan puluhan juta pribumi jajahannya, harus
menjalani kehidupan yang sengsara selama tinggal di kamp-kamp interniran tentara
Jepang. Mereka mengalami penghinaan, pelecehan, kelaparan, bahkan penyiksaan
dan pembunuhan. Penderitaan yang berlangsung selama 3,5 tahun baru berakhir
bulan Agustus 1945.
Tanggal 15 Agustus
1945 Kaisar Jepang Hirohito menyerukan agar tentara Jepang diseluruh Asia Timur
dan Asia Tenggara menghentikan semua aktifitas militernya. Jepang menyerah
tanpa syarat kepada tentara sekutu, dan berakhirlah Perang Asia-Pasifik. Orang-orang
Belanda, baik yang berada di Eropa, maupun yang melarikan diri ke Australia
ketika Jepang menyerang tahun 1942, sangat gembira mendengar pernyataan Kaisar
Jepang tersebut. Mereka mengira dapat segera kembali menjadi “tuan” di bekas
jajahan Belanda, Nederlands Indiƫ.
Namun kegembiraan orang-orang Belanda tersebut hanya berlangsung selama dua
hari.
17 Agustus 1945, Titik Balik Dalam Sejarah Indonesia
Setelah Jepang
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, tanggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia dan
mendirikan negara Republik Indonesia.
Pernyataan kemerdekaan ini tentu sangat mengejutkan semua orang Belanda. dan
menimbulkan kepanikan terutama di kalangan para pengusaha dan orang-orang kaya
yang memiliki perusahaan, perkebunan, pertambangan, hotel-hotel, dll. di
Indonesia. Mereka masih memimpikan akan memperoleh kembali harta benda mereka. Belanda yang hancur akibat Perang Dunis II, baik infra
struktur, maupun perekonomiannya serta angkatan perangnya, tentu memerlukan
dana besar untuk membangun kembali negerinya. Dengan lepasnya wilayah jajahan, maka
lenyap juga sumber kekayaan Belanda.
Oleh karena itu, Belanda
tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia dan berusaha untuk memperoleh
kembali bekas jajahannya. Namun setelah berakhirnya Perang Dunia II bulan
Agustus 1945, Belanda belum memiliki angkatan perang yang kuat. Tentaranya di
Eropa dihancurkan oleh tentara Jerman, dan di Nederlands Indie tentara KNIL Koninklijk
Nederlandsch Indisch Leger), tentara Kerajaan di India Belanda, dihancurkan oleh tentara Jepang. Belanda
meminta bantuan kepada sekutunya dalam Perang Dunia II di Asia-Pasifik, yaitu ABDACOM
(American, British, Dutch, Australian
Command).
Belanda membuat kesepakantan
dengan Inggris di Chequers, Inggis. Dalam perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) yang ditandatangani di Chequers, pada
24 Agustus 1945 antara pemerintah Inggris dan pemerintah Belanda, Inggris
menyatakan kesediaannya membantu Belanda memperoleh kembali bekas jajahannya,
dengan kekuatan militer. Dengan demikian Civil
Affairs Agreement tersebut, merupakan pernyataan perang Belanda dan
sekutunya terhadap Republik Indonesia.
Inggris mengerahkan
tiga divisi tentara di bawah komando Letjen Philip Christison dan Australia membantu
dengan mengerahkan dua divisi di bawah
komando Letjen Leslie “Ming the
merciless” Morshead. Amerika Serikat membantu dengan perlengkapan militer dan
melatih para wajib militer Belanda. Dengan bantuan sekutunya ABDACOM, Belanda
berhasil masuk ke Republik Indonesia mulai bulan September 1945.
Berkat bantuan
tentara Australia, mulai bulan Juli 1946 Belanda menguasai seluruh wilayah
Indonesia Timur, dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali sampai ke Papua. Tentara
Inggris membantu Belanda menguasai beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa.
Perang non militer
dimulai dengan mengadu-domba sesama bangsa Indonesia. Belanda merekrut kembali
pribumi untuk menjadi tentara KNIL Belanda mendirikan “negara-negara” boneka
dan “daerah otonom” di wilayah yang dikuasai oleh Belanda sejak bulan Juli 1946.
Seperti di masa kolonialisme, Belanda menempatkan pribumi yang patuh kepada
Belanda menjadi “Kepala Negara,” “menteri-menteri,” dan pejabat-pejabat di
daerah-daerah yang dikuasai Belanda.
Di wilayah-wilayah
yang masih dikuasai oleh Republik Indonesia, Belanda berusaha merusak
perekonomian Republik Indonesia, a.l. merampok distribusi uang Republik
Indonesia, mencetak uang palsu Republik Indonesia, menyusupkan pribumi yang pro
Belanda ke dalam pemerintah Indonesia dan tentara Republik Indonesia, dsb.
Penyusupan dilakukan oleh jaringan Van der Plas, yang dikenal sebagai Van der Plas Connection. Charles Olke
van der Plas adalah mantan Gubernur Jawa Timur di masa pemerintah Nederlands Indiƫ. Pada bulan Januari
1942 van der Plas ditugaskan untuk membentuk jaringan bawah tanah yang akan
mengadakan perlawanan, apabila Belanda kalah terhadap Jepang. Van der Plas yang
juga fasih berbahasa Arab dan Cina, merekrut anak buahnya dari kalangan
pribumi, bangsa Cina dan bangsa Arab yang ada di Nederlands Indiƫ. Dari para pribumi,
van der Plas merekrut anak buahnya dari pegawai-pegawai Pamong Praja, intelektual
pribumi, kelompok sosialis, komunis, dll.
Untuk menggantikan
tentara Inggris dan tentara Australia, Belanda mendatangkan sekitar 150.000
tentara dari Belanda dan merekrut sekitar 65.000 pribumi untuk menjadi tentara
KNIL serta membentuk pasukan Pao (Po) An Tui, yaitu bangsa Cina yang ada di
Republik Indonesia. Diperkirakan, kekuatan pasukan Po An Tui di Jawa dan
Sumatra mencapai 50.000 orang. Kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di
Sumatra dan Jawa hanya sekitar 100.000 orang dengan persenjataan yang direbut
dari tentara Jepang tahun 1945. Tahun 1947 dan 1948 Belanda melancarkan agresi militer I dan II terhadap
Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera.
Diperkirakan, rakyat
Indonesia yang tewas akibat agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1950
mencapai 900.000 sampai 1 juta orang. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil,
termasuk perempuan dan anak-anak. Tahun 1969, dalam laporan resmi pemerintah
Belanda ditulis, bahwa korban tewas di pihak Indonesia sekitar 150.000 orang.
Namun jumlah korban ini dikecil-kecilkan, dan banyak kasus pembantaian yang
tidak ditulis. Juga tidak dilaporkan, kehancuran infra struktur dan
perekonomian Indonesia selama agresi militer Belanda di Indonesia. Di pihak
Belanda sendiri, korban tewas tercatat hanya 6.500 orang,
Agresi militer
Belanda terhadap Republik Indonesia mendapat kecaman dari seluruh dunia, bahkan
di negara-negara sekutunya, a.l. di Amerika Serikat dan Australia
Sejarah mencatat,
bahwa dengan kekuatan militer yang sangat besar dan dilengkapi persenjataan
paling moderen waktu itu, Belanda tidak berhasil mengalahkan TNI dan menghapus
Republik Indonesia dari peta politik dunia. Sampai diselenggarakannya
Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus – 2 November
1949, Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia tetap eksis. Ini
artinya dengan satu kalimat, Belanda gagal mengalahkan dan menguasai Republik Indonesia,
bahkan mendapat kecaman dari dunia
internasional.
Pada 16 Agustus 1950
RIS dibubarkan dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Usaha
Belanda untuk memecah Republik Indonesia juga mengalami kegagalan
Perang Non Militer Berlanjut
Kalangan konservatif
dan sebagian tentara Belanda masih terus melancarkan gerakan-gerakan untuk
menjatuhkan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB. Upaya ini
dimulai dengan gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Pada 23 Januari 1950,
mantan perwira tentara Belanda, Kapten Raymond Westerling memimpin tentara
Belanda yang melakukan desersi, untuk melancarkan kudeta terhadap pemerintah RIS.
Kudeta tersebut gagal dan Westerling dibantu oleh para petinggi militer Belanda
melarikan diri ke Singapura dan kemudian ke Belgia. Namun semua anak buahnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah RIS. Pada waktu itu yang
terungkap adalah, kudeta tersebut merupakan konspirasi Westerling dengan Sultan
Hamid II dari Pontianak. Sultan hamid II, yang waktu itu adalah Menteri Negara
Tanpa Portofolio di pemerintah RI ditangkap dan dimajukan ke pengadilan. Dia
dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dan dibebaskan tahun 1958.
Pada bulan November
2009 di Belanda terungkap dalang yang sebenarnya di balik Kudeta APRA, yaitu
Pangeran Bernard, suami dari Ratu Juliana. Dia ingin menjadi “Wakil Raja/Raja
Muda” (Viceroy) di Indonesia, seperti
Lord Mountbatten yang pernah menjadi Viceroy
Kerajaan Inggris di India.
Pada 25 April 1950,
“tangan-tangan hitam” dari Belanda membentuk “negara” Republik Maluku Selatan
(RMS) yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Presiden RMS adalah Christiaan Soumokil. Inti kekuatan tentara RMS adalah
sekitar 1.000 orang tentara KNIL yang dipimpin oleh Sersan KNIL Dantje Samson. Pemberontakan
RMS baru berhasil ditumpas oleh TNI bulan Desember 1963. Soumokil dieksekusi tahun 1966. Tahun 1950
sekitar 4.000 orang mantan tentara KNIL yang berasal dari Maluku beserta
keluarga mereka, dibawa ke Belanda.
Selain operasi
militer, kelompok Belanda ini terus menerus melakukan subversi dan
gerakan-gerakan bawah tanah untuk men-destabilisasi Republik Indonesia, baik di
bidang ekonomi, politik, militer, sosial, dll. Gerakan-gerakan bawah tanah ini
adalah:
-
Van der Plas
Connection
yang telah disebut di atas.
-
Vrijwillige
Ondergrondsche Corps (VOC), yaitu Corp Relawan Bawah Tanah di mana Sultan
Hamid II terlibat lagi, setelah dibebaskan dari penjara tahun 1958 karena
peristiwa Kudeta APRA. Dia ditangkap lagi tahun 1962. Tahun 1966 dia dibebaskan
setelah peristiwa G30S atas intervensi Belanda.
-
De Nederlands
Indische Guerilla Organisatie (NIGO), yaitu Organisasi Gerilya
India-Belanda. Pimpinan NIGO adalah Leon JungschlƤger dan Henry Schmidt. JungschlƤger adalah mantan Kepala
NEFIS (Netherlands Forces Intelligence
Service - Dinas Intelijen Militer Belanda), sedangkan Schmidt adalah mantan
perwira KNIL. Awal Januari 1954 mereka berdua ditangkap. Tanggal 19 April JungschlƤger meninggal karena
pendarahan di otak ketika masih dalam tahanan. Bulan September 1954 Schmidt dimajukan
ke pengadilan di Jakarta dan kemudian dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Semua gerakan bawah
tanah orang-orang Belanda dan kaki-tangannya di Indonesia berhasil diungkap
oleh intelijen Republik Indonesia.
Indonesia Memutus Hubungan Diplomatik Dengan Belanda
Dalam perundingan di
KMB, masalah Irian Barat (sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat) ditunda dan
akan diserahkan kepada Republik Indonesia satu tahun setelah KMB. Namun setelah
lebih dari satu tahun, Belanda tetap ingin menguasai Provinsi Irian Barat.
Indonesia mulai mengambil langkah-langkah untuk merebut Irian Barat dari
kekuasaan Belanda, Konfrontasi terhadap Belanda dimulai. Hubungan Indonesia
dengan Belanda yang sudah panas, semakin memanas.
Pada Bulan Mei Tahun
1956, Pemerintah Indonesia membatalkan secara sepihak seluruh hasil KMB, dan
menghentikan sisa cicilan sebesar sekitar 500 juta Gulden yang harus dibayar ke Belanda sebagai hasil keputusan KMB.
Tahun 1957 pemerintah
Indonesia menasionalisasi semua perusahaan-perusahaan Belanda, baik milik
negara maupun milik swasta Belanda. Kemudian semua orang Belanda yang tidak
memiliki pekerjaan di Republik Indonesia, disuruh keluar dari Indonesia.
diperkiraklan lebih dari 50.000 warga negara Belanda harus meninggalkan
Indonesia.
Puncak konflik
Indonesia dengan Belanda terjadi pada 17 Agustus 1960, di mana Republik
Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda, dan mengusir
semua warga negara Belanda dari Indonesia. Langkah pemerintah indonesia ini
sangat menyakitkan untuk pemerintah dan rakyat Belanda, terutama mereka yang
terusir dari Indonesia. Tindakan
pemerintah Indonesia juga sangat mempermalukan Belanda di dunia internasional,
karena untuk pertama kalinya seluruh warga mantan penjajah diusir dari bekas
jajahannya. Untuk menampung lebih dari 50.000 orang Belanda dari Indonesia
dalam waktu singkat, tentu sangat memberatkan perekonomian dan kehidupan sosial
di Belanda.
Indonesia mulai melakukan
penyerangan terhadap Belanda di Irian Barat tahun 1961. Dalam pertempuran di
Laut Aru pada 15 Januari 1962, Laksamana Madya Yosaphat Sudarso gugur. Melihat
eskalasi konflik antara Indonesia dengan Belanda makin meruncing, PBB memfasilitasi
perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Belanda dipulihkan. Pada
15 Agustus 1962, dalam perjanjian New York yang difasilitasi oleh PBB, Belanda
harus menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia paling lambat 1 Oktober 1962. Kekalahan
ini sangat menyakitkan Belanda, karena kehilangan lagi satu sumber kekayaannya.
Demikian rangkaian kekalahan-kekalahan Belanda antara tahun 1942 – 1962 dalam
hubungan dengan Republik Indonesia, mantan jajahannya.
Peristiwa-peristiwa tersebut melekat
dalam ingatan kolektiv bangsa Belanda. Inilah latar belakang historis dan sosial
psikologis, mengapa Belanda, terutama kalangan konservatifnya menyimpan dendam
yang sangat mendalam terhadap bangsa Indonesia. Tahun 1963,
“tangan-tangan hitam” di Belanda mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan
menghasut orang-orang Papua untuk memisahkan diri dari NKRI.
Perang Dingin Berakhir, Perang Sejarah Dimulai
Setelah peristiwa
tragedi nasional Indonesia tahun 1965, Indonesia yang kemudian sebagai negara
anti komunis, dikelompokkan ke kubu anti komunis, yaitu North Atlantic Trety
Organization (NATO). Selama berlangsungnya Perang Dingin antara blok komunis
dan blok anti komunis, konflik antara Indonesia dengan Belanda “didinginkan”
karena sama-sama menghadapi komunisme. Namun tahun 1991, menjelang berakhirnya
Perang Dingin, kelompok anti Indonesia di Belanda mulai lagi melancarkan
usahanya untuk memecah-belah NKRI dan melampiaskan dendam lamanya terhadap
Indonesia.
Pada 11 Februari 1991
di Belanda didirikan organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang
dinamakan Unrepresented Nations and
Peoples Organisation (UNPO). Anggota-anggotanya adalah bangsa-bangsa yang
tidak terwakili di PBB. Pada dasarnya, para anggotanya adalah gerakan-gerakan
separatis di negara masing-masing, yang sebenarnya banyak yang dibentuk atau
didukung oleh negara-negara mantan penjajah. Tujuan dari UNPO adalah membantu
para anggotanya mencapai kemerdekaan. Dengan kata lain, tujuan UNPO adalah
memecah-belah negara-negara bekas jajahan mereka, termasuk Indonesia.
Yang terdaftar
sebagai anggota UNPO tahun 1991 a.l. Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Timor Timur menyusul
menjadi anggota UNPO bulan Januari 1993. Di sini terlihat jelas, bahwa tujuan
UNPO adalah memecah-belah NKRI.
Negara-negara
ABDACOM, yaitu Amerika, Inggris, Belanda dan Australia mulai membangun opini
negatif terhadap Indonesia di dunia internasional dengan memberi gambaran,
bahwa Indonesia adalah negara pelanggar HAM. Diangkat peristiwa-peristiwa sejarah
di Indonesia, yang di masa Perang Dingin didiamkan, a,l. peristiwa tahun 1965
yang terjadi di Indonesia.
Pemisahan Timor Timur
diawali dengan pembentukan opini dunia, bahwa Negara Indonesia telah melakukan
pelanggaran HAM berat di Timor Timur sejak tahun 1975. Dengan strategi ini
Belanda dan sekutunya berhasil memisahkan Timor Timur dari NKRI. Tahun 2002
Timor Timur menjadi negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Pada 15 Agustus 2005
tercapai kesepakatan antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di
mana GAM menghentikan gerakan untuk memisahkan diri dari NKRI, dan ikut dalam
membangun kembali Aceh setelah peristiwa Tsunami pada bulan Desember 2004. GAM
resmi keluar dari UNPO tahun 2005. Namun kemudian Belanda merekrut generasi
ketiga Aceh yang ada di Eropa. Generasi ketiga ini membentuk organisasi baru
yang dinamakan Aceh Sumatera National
Liberation Front (ASNLF). ASNFL resmi menjadi anggota UNPO di Belanda tahun
2015.
Sejak tahun 1992,
setiap tahun di Belanda, Australia dan Inggris menjelang tanggal 30 September, kelompok
yang ingin memecah NKRI memanaskan perstiwa G30S yang terjadi pada 30 September
1965 di Indonesia. Puncaknya adalah “Tribunal Internasional 1965” yang
diselenggarakan di Den Haag, Belanda, tanggal 13 – 15 November 2015. Pengadilan
Tribunal internasional tersebut menjatuhkan vonis, bahwa Negara Indonesia telah
melakukan genosida terhadap anggota PKI tahun 1965. Vonis ini kemudian
disampaikan ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, sebagai rekomendasi.
Setelah berhasil
memisahkan Timor Timur dari NKRI, target berikutnya untuk dipisahkan adalah Papua
Barat. Upaya untuk memisahkan Aceh dan Maluku dari NKRI tetap dijalankan. Dengan
pola yang sama seperti ketika memisahkan Timor Timur, yaitu diawali dengan membentuk
opini dunia internasional, bahwa Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua
Barat. Tahun 2017 pemerintah Belanda mengirim
“Duta Besar HAM” Belanda, Kees van Baar ke Papua Barat untuk memantau
masalah-masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak Indonesia. Kemudian
dia mengadukannya ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Tahun 1999 di
Indonesia dimulai gerakan untuk melawan pembentukan opini negatif terhadap
Indonesia di dunia internasional. Putra-putra dari pejuang angkatan ’45 dan didukung
oleh para pejuang angkatan ’45, termasuk dari kalangan intelijen serta beberapa
mantan Duta Besar/diplomat, mendirikan organisasi dengan tujuan membuka
lembaran hitam sejarah para mantan kolonialis antara tahun 1945 – 1949, yaitu
di masa agresi militer Belanda dan sekutunya di Republik Indonesia.
Diawali dengan
menuntut pemerintah Inggris atas agresi militer yang dilancarkan Inggris di
Jawa Timur, yang dimulai dengan pemboman Surabaya tanggal 10 November 1945.
Dalam seminar internasional yang diselenggarakan di Lembaga Ketahanan Nasional
RI (LEMHANNAS) pada 27 Oktober 2000, Duta Besar Inggris Richard Gozney
menyampaikan pernyataan atas nama pemerintah dan rakyat Inggris. Dua hal yang
disampaikan oleh Richard Gozney, yaitu pertama, menyesal atas terjadinya
peristiwa tersebut, dan kedua, mengakui terus terang, bahwa memang politik
Inggris pada waktu itu, tahun 1945, membantu Belanda memperoleh kembali
jajahannya.
Pada 8 Maret 2002,
para aktifis tersebut mendirikan organisasi yang dinamakan Komite Nasional
Pembela Martabat Bangsa (KNPMBI) dan tanggal
20 Maret 2002, pada puncak perayaan 400 berdirinya VOC, KNPMBI menuntut pemerintah
Belanda untuk meminta maaf atas penjajahan, perbudakan, pembantaian massal, dan
perampokan harta Nusantara.
Kemudian pada 5 Mei
2005 mereka membentuk organisasi yang
dinamakan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Organisasi ini tanggal 20 Mei
2005 menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda agar:
1.
Mengakui
de jure kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945.
2.
Meminta
maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan
kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi
militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949.
3.
Bertanggungjawb
atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer tersebut. Dengan kata lain,
pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang (war reparation) kepada
Republik Indonesia.
Pada 15 Desember
2005, pimpinan KUKB membawa peristiwa pembantaian di desa Rawagede ke parlemen
Belanda di Den Haag. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431
penduduk desa Rawagede, dekat Karawang, tanpa proses hukum apapun. Mereka semua
adalah penduduk sipil, non combatant. KUKB telah berhasil menuntut pemerintah
Belanda atas peristiwa pembantaian di desa Rawagede tersebut. Sejak tahun 2009,
untuk pembangunan desa Rawagede dan kompensasi untuk beberapa janda korban
pembantaian di desa Rawagede serta beberapa janda korban pembantaian yang
dilakukan oleh Westerling di Sulawesi Selatan, pemerintah Belanda telah
mengeluarkan dana sebesar sekitar 20 milyar rupiah.
Setelah dituntut
meminta maaf sejak tahun 2002, secara merangkak, pemerintah Belanda
menyampaikan permintaan maaf, yang semula mereka tolak. Tahun 2008 pada
peringatan di desa Rawagede tanggal 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda
Nikolaos van Dam hanya menyampaikan rasa
penyesalan, tidak meminta maaf. Kemudian pada 9 Desember 2011, Duta Besar
Belanda Tjeerd de Swan, juga di Rawagede, menyampaikan permintaan maaf atas
peristiwa pembantaian penduduk sipil di Rawagede, namun ditekankan tidak untuk
peristiwa lain.
Pada bulan Maret
2022, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, resmi menyampaikan permintaan maaf
atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara
tahun 1945 – 1949. Namun Mark Rutte sama sekali tidak menyinggung mengenai pengakuan
de jure terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945 dan juga tidak menyinggung masa kolonialisme.
Pemerintah Belanda
sangat menyadari, bahwa apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17
Agustus 1945, maka yang oleh pemerintah Belanda dinamakan sebagai aksi
polisional 1 tahun 1947 dan aksi polisional 2 tahun 1948, adalah agresi militer
terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Konsekuensinya sangat
berat untuk Belanda. Pertama, pemerintah Belanda harus membayar pampasan perang
(war reparation) kepada Indonesia dan kedua, veteran Belanda menjadi penjahat
perang (war criminals).
Di Mahkamah Kejahatan
Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda,
empat kejahatan dinyatakan tidak mengenal asas kadaluarsa, yaitu: 1. Genosida,
2. Kejahatan atas kemanusiaan, 3. Kejahatan perang dan 4. Kejahatan agresi.
Artinya, sampai kapanpun kejahatan-kejahatan tersebut dapat dituntut.
Selama kelompok
konservatif di Belanda tidak menghentikan usaha untuk memecah-belah NKRI dan
Belanda tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, perang non-militer antara Republik
Indonesia melawan kerajaan Belanda ini terus berlanjut, dan akan melampaui
rekor perang 80 tahun antara Belanda melawan mantan penjajahnya, Spanyol.
Sejarah yang akan
mencatat, apakah kekuatan konservatif di Belanda berhasil memecah-belah NKRI,
atau di pihak lain, pemerintah Belanda yang harus mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dan membayar
pampasan perang kepada Indonesia.
********
BATARA
RICHARD HUTAGALUNG peneliti sejarah dan pengamat politik internasional. Setelah
lulus SMA di Denpasar, dia kuliah di Universitas Hamburg, Jerman, jurusan sosiologi,
filosofi dan psikologi. Dia menjadi ketua Komite Nasional Pembela Kedaulatan dan
Martabat Bangsa (KNPKMB) dan ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Dia juga
pendiri Aliansi Reformasi Indonesia (ARI). Tahun 2017 dia menerbitkan buku dengan
judul INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.
********