CANDI BOROBUDUR
Upaya Melestarikan Warisan Budaya Nusantara
Catatan Batara R. Hutagalung
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bukan hanya merupakan warisan budaya dari leluhur bangsa Indonesia saja, melainkan tahun 1991 UNESCO menetapkan Candi Borobudur sebagai warisan dunia. Artinya termasuk warisan peradaban dunia, yang sangat membanggakan bangsa Indonesia sekarang. Ini adalah bukti fisik kejayaan, kemegahan dan kehebatan leluhur bangsa Indonesia.
Pada hari Sabtu, 4 Juni 2022 masyarakat Indonesia heboh mendengar berita, bahwa Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan akan menaikkan tarif untuk memasuki area Candi Borobudur. Rencananya, tarif masuk akan dinaikkan menjadi Rp. 750.000,- untuk wisatawan domestik dan US $ 100 untuk wisatawan asing. Tujuannya adalah untuk membatasi kunjungan ke Candi Buddha peninggalan wangsa Syailendra dari Kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di Sumatra Selatan. Targetnya per hari hanya 1.200 pengunjung. Hal ini dilakukan dalam rangka pelestarian warisan budaya, yang sejak puluhan tahun mengalami keausan bebatuan di Candi tersebut, terutama di tangga-tangga.
Kehebohan ini timbul karena pemberitaan yang terburu-buru mengenai rencana kenaikan tarif ini terkesan seolah-olah telah final. Kemudian ada penjelasan susulan dari pihak pengelola Candi Borobudur, bahwa tarif Rp. 750.000,- untuk wisatawan domestik dan US $ 100 untuk wisatawan asing, adalah untuk memasuki area Stupa di tingkat paling atas.
Sebenarnya sudah sejak bulan Maret 2020, pengunjung Candi Borobudur dilarang naik ke tingkat 9 dan 10, karena tingkat keausan batu tangga ke tingkat 9 mencapai keausan 30% dan keausan batu-batu tangga ke tingkat 10 mencapai 40%. Secara keseluruhan, tingkat keausan bebatuan tangga antara 0,3 – 4 cm. Apabila tidak dilakukan pencegahan, tingkat keausan ini akan meningkat terus.
Namun menaikkan tarif masuk ke area candi atau hanya ke tingkat 9 dan 10 bukanlah solusi yang bijak dan adil. Seharusnya, solusi yang masih mentah dan belum melalui kajian dari sudut konservasi bangunan kuno, tidak diumumkan ke publik. Selain itu pemberitaan mengenai rencana kenaikan tarif ini sangat prematur dan tidak dirinci secara jelas. Untuk melestarikan suatu warisan budaya yang sudah berusia lebih dari 1.400 tahun, solusinya bukan menaikkkan tarif masuk, melainkan bagaimana melestarikannya agar seluruh lapisan dari generasi-generasi Indonesia mendatang masih dapat menlihat sendiri kejayaan, kemegahan dan kehebatan leluhur bangsa Indonesia.
Juga seharusnya bukan Menko Marinves yang mengumumkan rencana kenaikan tarif di satu obyek wisata. Apabila telah ada solusi pelestarian yang final, maka sesuai dengan bidangnya, yang harus menyampaikan ke publik segala sesuatu yang sehubungan dengan obyek wisata adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam hal ini perlu didampingi oleh para pakar dari Balai Konservasi Borobudur apabila ada solusi sehubungan dengan konservasi dan pengelola Candi Borobudur, apabila ada rencana kenaikan tarif masuk.
Jelas reaksi publik yang tidak mengetahui inti permasalahan, sangat emosional, apalagi menyangkut tarif masuk, yaitu biaya yang sangat tinggi. Selama ini, tarif masuk ke area Candi Borobudur untuk wisatawan domestik dewasa adalah Rp. 50.000,- per orang dan untuk anak-anak usia 3 – 10 tahun Rp. 25.000,-. Untuk wisatawan mancanegara, tarif masuknya sebesar US $ 25 untuk orang dewasa dan untuk anak-anak sebesar US $ 15.
Mengusik Rasa Keadilan
Diberitakan, bahwa keputusan mengenai tarif masuk ke area Candi Borubudur akan diputuskan oleh Presiden Jokowi minggu depan. Apabila solusi untuk melestarikan warisan budaya ini melalui pembatasan pengunjung dengan menaikkan tarif yang sangat tinggi, dipastikan akan menuai protes keras dari masyarakat luas, terutama dari lapisan bawah, yang tentu tidak mampu membayar tarif masuk yang tinggi.
Tarif masuk yang tinggi akan membuat Candi Borobudur menjadi obyek wisata yang hanya dapat dinikmati oleh wisatawan domestik yang kaya dan oleh wisatawan asing. Hal ini akan mengingatkan peristiwa sejarah, di mana pribumi hanya menjadi penonton dari luar atau hanya menjadi jongos di negeri sendiri.
Di masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial membagi penduduk menjadi tiga golongan strata hukum dan sosial. Para penguasa, yaitu Belanda dan kroni-kroninya bangsa-bangsa Eropa (Europeanen) sudah tentu menjadi penduduk kelas satu. Kemudian bangsa-bangsa timur asing (vreemde Oosterlingen), yaitu bangsa Cina dan bangsa Arab menjadi penduduk kelas dua, sedangkan pribumi (Inlander) menjadi penduduk kelas tiga di negeri sendiri.
Sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara karena kalah perang melawan Jepang, di depan gedung-gedung atau hotel-hotel mewah, di tempat pemandian umum mewah, dll., terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya adalah TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Jadi, pribumi di negeri sendiri disetarakan dengan anjing. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung atau hotel-hotel mewah hanyalah jongos-jongos.
Judul buku yang terbit di Belanda. Artinya:
TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI
Apakah Candi Borobudur akan dijadikan simbol pembagian penduduk, yaitu penduduk yang kaya dan penduduk yang miskin? Apakah yang dapat menikmati kemegahan warisan budaya leluhur bangsa Indonesia hanya penduduk yang kaya dan orang-orang asing?
Sejak beberapa tahun telah ada rencana untuk melapisi batu-batu anak tangga dengan kayu jati. Juga ada usulan penggunaan sandal khusus yang dibuat dari anyaman daun pandan, yang dinamakan “upanat.”
Apabila solusinya adalah dengan dilapisi oleh kayu jati, maka sebaiknya selama direnovasi, Candi Borobudur ditutup total untuk semua pengunjung, kecuali untuk para umat Buddha yang melaksanakan kegiatan agama di area Candi Borobudur.
Yang jelas, menaikkan tarif masuk hingga tidak terjangkau oleh lapisan masyarakat bawah, akan membuat Candi Borobudur menjadi simbol pembagian penduduk Indonesia menurut kekayaannya. Dan ini bukan solusi yang baik dan adil untuk seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 7 Juni 2020
********