SEPUTAR PERISTIWA
PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah
(FKMPS)
Sejak adanya media sosial, a.l. youtube, facebook, dll, dan terlebih lagi sejak muncul berbagai kanal/podcast yang tumbuh seperti jamur di musim hujan, setiap orang dengan mudah dan murah, bahkan gratis, dapat menyebarluaskan segala macam berita, juga karangan-karangan pribadinya, termasuk “mengarang” peristiwa-peristiwa sejarah.
Menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahun, bermunculan sangat banyak cerita-cerita mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagian besar ceita yang tidak benar dan tidak jelas sumber-sumbernya. Bahkan cukup banyak yang harus dikatakan ngawur, karena karangannya sangat salah dan tidak masuk akal
Dalam penulisan historiografi, ada adagium, yaitu: “No document, no history ... only his strory.” Yang artinya, “Tanpa dokumen, tidak ada sejarah ... hanya cerita dia.”
Untuk suatu penelitian mengenai sejarah, yang terpenting adalah sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier, yang lengkap dan validitas masing-masing harus diuji serta dapat dibuktikan.
Apabila sumber-sumbernya tidak lengkap atau tidak valid bahkan salah, maka semua tulisannya akan salah. Demikian juga yang mengutip tulisan yang salah tersebut dan kemudian menyebarluaskan tulisan yang salah.
Selain itu, peneliti juga harus memahami ilmu hermeneutika dan menggunakan logika, baik ketika membaca/meneliti sumber-sumbernya juga dalam penulisan hasil penelitiannya.
Penulisan dari hasil suatu peneltian, adalah interpretasi (tafsir) dari sudut pandang peneliti.
***
Saya lahir di Surabaya, tanggal 4 Desember 1944. Saya melakukan penelitian mengenai sejarah secara intensif sejak tahun 1994.
Berawal dari penuturan ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20.3.1910 – 29.4.2002) yang adalah pelaku sejarah Angkatan ‘45, yang ikut mendirikan cikal-bakal Divisi V/Brawijaya, Jawa Timur tahun 1945, dan kemudian sejak tahun 1947 di Kementerian Pertahanan di Yogyakarta.
Selain itu, saya juga mewancarai teman-teman seperjuangan ayah saya, Angkatan ’45, baik sejak di Surabaya tahun 1945, maupun sejak di Kementerian Pertahanan di Yogyakarta tahun 1947.
Januari 1950 Wiliater Hutagaung, yang waktu itu menjabat sebagai Kepal Staf “Q” TNI, bersama sejumlah perwira TNI, keluar dari dinas TNI karena menolak hasil-hasil Komferensi Meja Bundar (KMB). Mereka masuk ke partai-partai politik dan tahun 1956 berhasil mendorong pemerintah Indonesia membatalkan secara sepihak seluruh hasil KMB.
Hasil-hasil penelitian saya mulai saya publikasikan tahun 1999, dan kumpulan tulisan yang sehubungan dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, saya ternitkan sebagai buku dengan judul “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?” Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris.”
Di bawah ini adalah tulisan peristiwa yang terjadi sejak tanggal 8 Agustus – 17 Oktober 1945. Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku “SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” yang saya terbitkan bulan Februari 2010. Sumber-sumernya adalah dari buku-buku Autobiografi atau Biografi para pelaku sejarah.
Penerbit LkiS Yogyakarta, Maret 2010, 742 halaman. Tulisan ini diambil dari halaman 63 – 112.
(Lihat foto sampul di bawah ini).
Sebagaimana telah ditulis di atas, penulisan suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu, adalah interpretasi dari peneliti/penulis.
Mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sangat banyak versi yang beredar, termasuk mengenai peristiwa seputar Proklamasi tanggal 17 Agsutus 1945. Oleh karena itu penilaiannya diserahkan kepada pembaca, berdasarkan sumber-sumber yang ada, versi mana yang paling masuk akal dan mendekati kebenaran, karena kebenaran mutlak tidak akan pernah ada.
Jakarta, 18 Agustus 2023.
Pada 1 September 1945 Kaisar Jepang Hirohito memberikan mandat kepada Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu dan Jenderal Yoshijiro Umezu, Chief of the General Staff of the Imperial Japanese Army, untuk mewakili pemerintah dan militer Jepang dalam penyerahan kepada Sekutu.
Kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers mewakili tentara Sekutu; Admiral C.W. Nimitz, mewakili Pemerintah Amerika Serikat; Hsu Yung Chiang, mewakili Republik China; Bruce Fraser, mewakili Inggris; Kuzma Derevyanko, mewakili Uni Sovyet; Thomas Blamey, mewakili Australia; L. Moore Cosgrave, mewakili Canada; Jaques Le Clerc mewakili Pemerintah Sementara Prancis; Admiral C.E.L. Helfrich, mewakili Belanda dan Leonard M. Isitt, mewakili Selandia Baru.
Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten,[17] Supreme Commander South East Asia Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.[18]
Ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah zaman penjajahan Jepang, yaitu pertama, zaman pendudukan Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah,[19] karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Namun justru tindakan tentara Jepang tersebut telah menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung lagi[20].
Kedua, mempercepat proses pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.
Dan ketiga, walaupun sebenarnya untuk tujuan perang dan dan memantapkan kekuasaan mereka, pembentukan Peta, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun semi-militer bagi Seinendan, keibodan, dll. dalam jumlah besar, memungkinkan -dalam waktu singkat- dibentuknya berbagai satuan pasukan, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, sehingga ketika Belanda –dibantu oleh Inggris dan Australia- ingin berkuasa kembali di wilayah bekas Hindia Belanda, mendapat perlawanan bersenjata yang sangat sengit. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Haag bulan November 1949, tentara Belanda tidak dapat mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.
“Penculikan” Sukarno – Hatta ke Rengasdengklok
Bahwa Jepang akan segera menyerah kepada Sekutu, telah didengar oleh beberapa tokoh Indonesia, terutama yang bekerja di instansi pemerintahan Jepang, seperti dr. Abdulrachman Saleh, seorang dosen di Ika Dai Gaku (sekolah dokter). Beberapa saat setelah mendengar berita penyerahan Jepang, dia segera menyebarluaskan berita tersebut.[21] Bahkan mereka yang memiliki radio yang dapat menangkap siaran luar negeri, telah mengikuti perkembangan sejak tanggal 10 Agustus 1945 di mana tersiar, bahwa setelah serangkaian perundingan, Jepang menyatakan kesediaan untuk menyerah tanpa syarat dan hanya tinggal menunggu diumumkan oleh Kaisar Hirohito. Pada malam tanggal 14 Agustus 1945, Kaisar Hirohito secara sepihak memerintahkan kepada balatentara Dai Nippon untuk segera menghentikan tembak-menembak, yang diartikan sebagai pernyataan menyerah. Pemerintah pendudukan Jepang tidak segera mengumumkan kepada rakyat Indonesia mengenai menyerahnya Jepang.[22] Namun berita ini dapat didengar oleh tokoh-tokoh Indonesia, antara lain melalui siaran BBC, dan sudah tentu dalam waktu singkat berita tersebut tersebar di seluruh Jawa dan Sumatera. Tentara Sekutu –terutama Amerika Serikat- tidak segera menerima pernyataan Jepang tersebut, dan masih terus melakukan pemboman atas kota-kota serta Industri di Jepang, dengan target akan menghancurkan terlebih dahulu kekuatan industri Jepang.
Tanggal 14–17 Agustus adalah tiga hari yang paling dramatis dalam persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak tiba kembali di Indonesia, Sukarno dan para pemimpin lain memperdebatkan prosedur dan waktu untuk menyatakan kemerdekaan. Sebagian masih ingin merundingkan hal tersebut dengan Jepang, sedangkan yang lain –terutama para pemuda revolusioner- menganggap tidak perlu lagi, karena Jepang telah menyerah. Pada prinsipnya kelompok pemuda revolusioner menolak kemerdekaan sebagai suatu hadiah. Mereka menggagas “skenario” kemerdekaan Indonesia.
Rencana kelompok pemuda revolusioner yang diawali di Kemayoran, dilanjutkan di Jl. Cikini No. 71. Setelah perdebatan di bandar udara pada 14 Agustus sore hari, kelompok pemuda revolusioner mengadakan pertemuan di belakang gedung Eyckman Institut. Selain Chaerul Saleh, hadir antara lain A.M. Hanafi, D.N. Aidit, Wikana, Parjono, Johar Nur, Abu Bakar Lubis, Eri Sudewo, Armansyah, Darwis dan Yusuf Kunto. Wikana dijemput di Kebon Sirih oleh Aidit dan datang ke pertemuan tersebut dengan dibonceng naik sepeda oleh Aidit. Dalam pertemuan tersebut diambil kesimpulan dengan suara bulat, bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera dinyatakan melalui suatu proklamasi. Putusan tersebut akan disampaikan kepada Sukarno dan Hatta agar supaya mereka mau segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan memutuskan hubungan dengan “janji-janji kemerdekaan hadiah” a la Jepang. Dalam pertemuan itu Aidit mengajukan usul agar Sukarno segera ditetapkan sebagai Presiden Indonesia yang pertama.[23] Tanpa bertele-tele, keputusan segera diambil:[24]
“Kirim segera utusan ke Bung Karno dan Bung Hatta, mendesak supaya proklamasi kemerdekaan bangsa diumumkan segera!”
Menurut catatan Hanafi, ketika Wikana dan Darwis[25] tiba di Pegangsaan Timur 56, di sana telah ada Drs. M. Hatta, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Joyopranoto dan Dr. Buntaran.[26] Wikana segera menyampaikan keputusan kelompok pemuda revolusioner tersebut. Sukarno menjawab, akan mengadakan perundingan dahulu dengan tokoh-tokoh yang hadir di sana. Pembicaraan berlangsung cukup lama, kemudian Sukarno meminta Hatta untuk menyampaikan kepada utusan kelompok pemuda revolusioner, di mana pada pokoknya mereka meminta penangguhan waktu untuk pernyataan proklamasi, yaitu menunggu sampai ada pemberitahuan resmi tentang menyerahnya Jepang, dan juga setelah mendengar pertimbangan Gunseikan. Namun kata-kata yang dipergunakan oleh Hatta, dianggap sangat pedas untuk mereka. Hatta mengatakan antara lain:[27]
“Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas, hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara.”
Proklamasi Kemerdekaan
“… they (Roosevelt dan Churchill – pen) respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them”
(mereka menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan pemerintahan yang akan melindungi kehidupanny dan ingin melihat hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas secara paksa).
***
Referensi[77]
- Abdulgani, Dr. H. Roeslan, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
- Album Pahlawan Bangsa, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2000.
- Anderson, Prof. Dr. Benedict R., Revolusi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 -1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Boediardjo. Siapa Sudi Saya Dongengi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996. Holk H. Dengel, Die deutschen Marinestützpunkte Jakarta und Surabaya 1943 - 1945, Risalah.
- Chidmad, Tatang SH et al., Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Media Presindo, Yogyakarta, 2001.
- De Excessennota, Nota Betreffende het Archiefonderzoek naar de Gegevens Omtrent Excessen in Indonesië begaan door Nederlandse Militairen in de Periode 1945 – 1950, Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, Den Haag, 1995.
- Dewantara, Bambang Sokawati, Ki Hajar Dewantara, Ayahku, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 1989.
- Dijk, Cornelis van, Darul Islam. Sebuah Pemberontakan, Grafiti, cetakan IV, Jakarta 1995.
- Engelen, O.E., et al., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1997.
- Gozney, Richard CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris. Uraian dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences" Diselenggarakan di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
- Hadi-Soewito, Dra. Irna H.N., Chairul Saleh, Tokoh Kontroversial, Jakarta, Tim Penulis, 1995.
- Hadi-Soewito, Dra. Irna H.N., Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, Grasindo, Jakarta, 1994. [Buku ini ditulis a.l. berdasarkan catatan-catatan alm. Mayjen TNI (Purn.) Sungkono].
- Hanafi, A.M., Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
- Hanna, Willard A., "Indonesian Banda", Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991 (Reprint).
- Hardjosoediro, Drs. Soejitno, Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, dalam: Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan, jilid VII, diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI, Jakarta, 1999, hlm. 156 - 157.
- Hassan, H. Ismael, SH., Hari-hari terakhir PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Lahirnya, Tugas dan Perjuangan, Jakarta, 2002.
- Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982.
- Hutagalung, Batara, 10 November '45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?. Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris, Millenium Publisher, Jakarta, 2001.
- Hutagalung, Letkol. TNI (Purn.) Dr. W., Anak Bangsa dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, Naskah, 1986.
- Ijzereef, Willem, De Zuid-Celebes Affaire. Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies, De Bataafsche Leeuw, Groningen, 1984.
- Indriastuti, Pemerintahan Militer di Daerah Gerilya Gunung Sumbing pada tahun 1948 - 1949, Fakultas Sastra Univ. Diponegoro, Semarang, 1988.
- Joyoadisuryo, Prof. Ahmad Subarjo SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
- Idris, Kemal, Bertarung Dalam Revolusi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
- Jasin, Komisaris Jenderal Pol.(Purn.) DR. H. Moehammad, Singa Pejuang RI, PPKBI, Jakarta, 2001.
- Kartasasmita, Didi, Pengabdian Bagi Kemerdekaan, Otobiografi, ditulis oleh Tatang Sumarsono, Pustaka Jaya, Jakarta, 1993,
- Kartohadikusumo, Mayjen.TNI (Purn.) Drs. Setiadi, Soetardjo. "Petisi Sutardjo" dan Perjuangannya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
- Kawilarang, Alex E., Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Kertapati, Sidik, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000.
- Lapian, A.B. & Dooglever, P.J. (Eds), Menelusuri Jalur Linggarjati, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992.
- Latief, Abdul, Naskah, belum ada judul, Jakarta, 1997.
- Lebra, Joyce C., Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Malaka, Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan, Dari Penjara ke Penjara, (Tanpa nama penerbit), Jakarta, 1998.
- Meelhuijsen, Willy, Revolutie in Soerabaja. 17 Agustus - 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, Netherlands, 2000.
- Moor, J.A. de, Westerling's Oorlog, Indonesie 1945 - 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999.
- Nasution, Dr. A.H., Memenuhi Panggilan Tugas, Kenangan Masa Gerilya, jilid 2 A, CV Hadi Mas Agung, Jakarta, 1983.
- Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 2, Bandung, 1977.
- Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 11, Bandung, 1977.
- Parrot, J.G.A. Who Killed Brigadier Mallaby?, Cornell University, USA, 1976.
- Penders, Dr.C.L.M., Bojonegoro 1900 – 1942. A Story of endemic poverty in north-east Java – Indonesia, Gunung Agung, Singapore, 1984.
- Post, Laurens van der, The Admiral's Baby, John Murray, London, 1996.
- Rahardjo, Pamoe, Gerilya dan Diplomasi. Operasi Hayam Wuruk. Sebuah Epik dalam Revolusi, Yayasan Mencerdaskan Bangsa, Jakarta, 1996.
- Ratu Langie, Dr. G.S.S.J., Indonesia di Pasifik. Analisa Masalah-Masalah Pokok Asia-Pasifik. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982. Judul asli: "Indonesia in den Pacific - Kernproblemen van den Aziatischen Pacific", Batavia, 1937.
- Reid, Anthony J.S., Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
- Reksodipuro, Subagio SH dan H. Subagiyo I.N., 45 Tahun Sumpah Pemuda, Yayasan gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta 1974.
- Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinagolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1833, Penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964.
- Salim, Islam, Terobosan PDRI dan Peranan TNI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
- Salyo, Suwarni SH, Serangan terhadap Surabaya 10 November 1945. Upaya Menegakkan Kembali Penjajahan Yang Mengorbankan Rakyat Surabaya. Makalah dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequence", Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
- Seemann, Dr. Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch-Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000.
- Sekretariat Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jilid I 1945 - 1960, , Jakarta, 1995.
- Setiadijaya, Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan, 10 November '45. Gelora Kepahlawanan Indonesia, Yayasan Dwi Warna, Jakarta, 1991.
- SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Latar Belakang dan Pengaruhnya, SESKOAD, Bandung, 1989.
- Simatupang, Mayjen. TNI (Purn.) T.B., Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981. (Diterbitkan pertama kali tahun 1954, oleh Yayasan Pustaka Militer).
- Simatupang, Mayjen. TNI (Purn.) T.B., Laporan dari Banaran. Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1980. (Diterbitkan pertama kali tahun 1960, oleh Badan Penerbit PT Pembangunan).
- Subiantoro, Mayjen (Purn.) R., Makalah dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences", Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.
- Suharto, Jenderal TNI (Purn.), Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi, PT Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1988.
- Sumantri, Prof. Iwa Kusuma SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 - 3, Jakarta 1963.
- Sumual, Ventje, Menatap Hanya Ke Depan, Biografi Seorang Patriot, Filsuf, Gembong Pemberontak, Bina Insani, Jakarta, 1998.
- Tarjo, N.S.S., Dari Atas Tandu, Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta, Yayasan Wiratama '45, Yogyakarta, 1984.
- Tabloid Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998.
- Tim Lembaga Analisis Informasi, Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949. Media Pressindo, Yogyakarta, 2000.
- Tobing, Drs. H. Afif L., Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Yayasan Pahlawan Nasional Dr. F.L. Tobing, Jakarta, 1997.
- Tobing, K.M.L.,Linggarjati. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia. PT Gunung Agung, Jakarta, 1886.
- Tohir, Ir. H. Warnak, Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang, Jakarta, 1983.
- Trisnaningprodjo, Imam Soetrisno, Geger Suroboyo, dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Beta, Yapeta, Jakarta, 1999.
- Villiers, John, Südostasien vor der Kolonialzeit, Fischerweltgeschichte, Fischer Taschenbuch Verlag, Frankfurt am Main, 1980.
- Wolf, Charles Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
- Yayasan 19 Desember 1948, Dokumen RIPRESS Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 - 1949, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.
- Yong, Mun Cheong, H.J. van Mook and Indonesian Independence. A study of His Role in Dutch - Indonesian Relations, Martinus Nijhoff, Den Haag, 1982.
- Yosodipuro, Suyatno, Mendobrak Untuk Melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Daerah Surakarta, Jakarta, 1984.
- Zahorka, Herwig, Arca Domas - ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien, Bogor, September 2000.
- De Excessennota. Nota betreffende het Archiefonderzoek naar de gegevens omtrent Excessen in Indonesië begaan door nederlandse militairen in de Periode 1945-1950. Sdu Uitgeverij Koningennegracht, Den Haag 1995.
- Situs Web: http://www. koridor.com, 23 Juni 2000.
- United Nations Information Services (Situs web, http://www.un.org)
- Sejumlah wawancara dengan para pelaku sejarah serta masukan, keterangan, dokumen, buku dan informasi, antara lain dari:
· Komisaris Jenderal Pol.(Purn.) DR. H.Moehammad Jasin, Angkatan ’45,
· Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. W. Hutagalung, Angkatan ’45,
· Mayor Jenderal TNI (Purn.) H. KRMH Jono Hatmodjo, Angkatan ’45,
· Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan Setiadijaya, Angkatan ’45,
· Kolonel TNI (Purn.) R. Kadim Prawirodirdjo (Di tahun enampuluhan telah mewawancarai lebih dari 3.000 pelaku sejarah/pejuang Surabaya 1945),
· Pamoe Rahardjo, Ketua Umum Yayasan Pembela Tanah Air (YAPETA),
· H.M.S. Tadjoedin, Ketua Umum Yayasan 19 September 1945,
· Bambang Purnomo, Angkatan ‘45
· Suyatno Yosodipoero, Angkatan ‘45
· Gunanto Martodipoero, Widyaiswara Lemhannas.
· Dra. Irna H.N.Hadi Soewito, Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jakarta
********
[1] Ibid., hlm. 84-85
[2] Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[3] Anderson, ibid., hlm. 85
[4] Menurut Anderson, pertemuan tersebut tanggal 11 Agustus (hlm. 85), namun Hatta menulis (lihat Memoir
hlm. 437), bahwa pertemuan tersebut berlangsung tanggal 12 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
[5] Anderson, loc.cit..
[6] Hatta, ibid., hlm. 437
[7] Kira-kira 300 km di sebelah utara Saigon –pen.
[8] Hatta, ibid., hlm. 438.
[9] Anderson, ibid., hlm. 86.
[10] A.M. Hanafi, Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan. Pustakan Sinar Harapan, Jakarta, 1997,
hlm. 15.
[11] Subarjo, ibid., hlm. 295. Lihat juga Hatta, Memoir, hlm. 440.
[12] Hanafi, ibid.., hlm. 16 - 17.
[13] Subarjo, ibid., hlm. 294.
[14] Hatta, ibid., hlm. 441.
[15] Prof. Iwa Kusuma Sumantri SH, Sejarah Revolusi Indonesia.Masa Revolusi Bersenjata, jilid kedua, Jakarta,
hlm. 12.
[16] Sumantri, op.cit., hlm. 13.
[17] Louis Mountbatten, !st Earl, Viscount Mountbatten Of Burma, Baron Romsey Of Romsey. Nama aslinya
adalah Louis Francis Albert Victor Nicholas, Prince Of Battenberg, anak keempat dari Prinz (Pangeran)
Ludwig von Battenberg –kemudian menjadi Marquess of Milford Haven- dan isterinya, Prinzessin Victoria
von Hesse-Darmstadt (cucu Queen Victoria, ratu Inggris). Mountbatten tewas tanggal 27 Agustus 1979 di
Donegal Bay, Irlandia, akibat bom yang dipasang di kapalnya oleh Irish Republican Army (IRA).
[18] Nasution, ibid., hlm. 63.
[19] Dr. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia, Cetakan VI, PT
Jayakara Agung Offset, Jakarta, 1995, hlm. 4.
[20] R. Subiantoro, Mayjen (Purn.). Makalah dalam seminar internasional “The Battle of Surabaya, November
1945. Back Ground and Consequences”, Lemhannas, 27 Oktober 2000.
[21] Kertapati, op.cit., hlm., 100.
[22] Beberapa data menyebutkan, perintah Kaisar Hirohito untuk menghentikan pertempuran disampaikan tanggal
15 Agustus. Mungkin ini terjadi karena perbedaan waktu antara Eropa dan Asia.
[23] Kertapati, ibid., hlm. 77.
[24] Hanafi, ibid., hlm. 21.
[25] Menurut Sidik Kertapati, Wikana pergi dengan Aidit, Subadio dan Suroto Kunto, sedangkan Johar Nur dan
Darwis menyusul belakangan, karena menunggu terlalu lama. Lihat Kertapati, ibid., hlm. 78 dan 79.
[26] Menurut catatan Subarjo (hlm. 303 – 305), pertemuan di tempat Sukarno berlangsung tanggal 15 Agustus, dan
ketika dia bersama Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri tiba di tempat Sukarno sekitar pukul 11.00 malam,
Sukarno sedang berdebat sengit dengan sekelompok pemuda, di antaranya adalah Wikana.
[27] Hanafi, ibid., hlm. 22.
[28] Hatta, Drs. M, “Mitos dan Kenyataan tentang Proklamasi 17 Agustus 1945”, halaman 338, dalam Subarjo,
ibid., hlm. 308 – 309.
[29] Lihat juga Hatta, Memoir, hlm. 445.
[30] Supeno menjadi Menteri Pemuda dan Pembangunan di Kabinet Hatta tahun 1948. Bulan Februari 1949, ketika
ikut bergerilya setelah agresi militer Belanda 19 Desember 1948, Supeno ditembak mati oleh tentara Belanda.
[31] Subarjo, ibid., hlm. 23.
[32] Zaman Belanda bernama Oranje Boulevard, sekarang Jl. Diponegoro.
[33] Hanafi, ibid., hlm 17 – 19.
[34] Kertapati, ibid., hlm. 79 - 81.
[35] Kertapati, ibid., hlm. 88.
[36] Kertapati, ibid., hlm. 27 – 28.
[37] Subarjo, ibid., hlm. 316.
[38] Ibid., hlm. 317 – 321.
[39] Putra tersebut adalah Drs. Setiadi Kartohadikusumo, yang terakhir berpangkat Mayor Jenderal TNI.
[40] Lihat juga, Kartohadikusumo, ibid., hlm. 164 – 165.
[41] Subarjo, ibid., hlm. 245, 253-254.
[42] Gunseikan = Kepala Pemerintahan Militer.
[43] Anderson, ibid., hlm. 101.
[44] Ibid., hlm 101-102.
[45] Uraian Anderson ini berdasarkan catatan-catatan Nakatani dan Nishimura yang hadir dalam pertemuan
tersebut.
[46] Ibid., hlm. 102 – 103.
[47] Subarjo, ibid. hlm. 330.
[48] Hanafi, ibid., hlm. 20 – 29.
[49] Kertapati, ibid., hlm. 94
[50] Anderson, ibid., hlm. 104 – 105.
[51] Hanafi, ibid., hlm. 30.
[52] Mengenai hal ini, Herwig Zahorka, dalam buku kecilnya “Arca Domas, ein deutscher Soldatenfriedhof in
Indonesien”, hlm. 3, menulis bahwa ketika teks akan ditulis dengan mesin tik, ternyata tidak dapat
mempergunakan mesin tik Jepang, karena mesin tik Jepang mempunyai huruf Jepang, sehingga dipinjam
mesin tik dari kantor Korvettenkapitän (di Angkatan Darat setara dengan Kolonel) Dr. Hermann Kandeler,
yang juga wakil Pemerintah Jerman di India Belanda.
[53] Menurut kalender Jawa, tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat Legi, dan bagi orang Jawa, ini
merupakan hari baik.
[54] Kertapati, ibid., hlm. 95 – 96.
[55] Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan., jilid dua, hlm. 5 dan 21.
[56] Meelhuijsen, op.cit., hlm. 46.
[57] Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, jilid 2, hlm. 5
[58] Kartohadikusumo, ibid., hlm. 166.
[59] Kertapati, ibid., hlm. 99.
[60] Ibid., hlm. 99 – 100.
[61] Sumantri, ibid, jilid pertama, hlm. 119.
[62] Kertapati, ibid., hlm. 102.
[63] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 31.
[64] Anderson, ibid., hlm. 124.
[65] Kertapati, ibid., hlm. 104.
[66] Ibid., hlm. 105.
[67] Hanafi, ibid., hlm. 34 – 36.
[68] Di sini Hanafi memberi catatan :”Apa yang dituliskan oleh si Jack ini saya nilai benar semuanya. Waktu itu
saya sendiri hadir di dalam rapat tersebut. Bahkan saya sendiri jugalah yang menjemput Bung Syahrir di
rumahnya di jalan Jawa. Ketika saya datang, ia sedang duduk-duduk dengan santai bersama Abu Bakar Lubis
seusai main tenis, keadaan yang membuat saya keheran-heranan.”
[69] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 34.
[70] Hanafi, ibid., hlm. 38 – 39.
[71] Sumantri, loc.cit.
[72] Kertapati, ibid., hlm. 109.
[73] Dituturkan oleh Dr. Ruslan Abdulgani pada seminar internasional di Lemhannas tanggal 27 Oktober 2000.
[74] Tahun 2008 muncul seorang yang mengaku bahwa dialah sosok Suprijadi, pemimpin pemberontakan Blitar,
yang dikabarkan telah meninggal.
[75] Anderson, ibid., hlm. 200 – 201. Di sini Anderson menulis, bahwa dengan demikian KNIP seimbang dengan
Presiden. Namun apabila mengacu pada UUD ’45, dengan memperoleh status MPR, maka kedudukan KNIP
di atas Presiden.
[76] Nomer X ini terjadi, karena Sekretaris Negara waktu itu, Mr. Gafar Pringgodigdo, tidak membawa arsip,
sehingga tidak mengetahui nomer urut surat yang harus dikeluarkan. Maka diputuskan untuk menggunakan
huruf X, untuk nomer yang belum diketahui. Lihat: Hatta, ibid., hlm. 473.
[77] Nama pengarang serta judul buku ditulis sesuai aslinya, menggunakan ejaan lama.