Saturday, May 20, 2006

Wejangan Leluhur Bangsa

Pengantar
Seorang teman lama saya, Kemal, yang mengetahui saya menjadi anggota beberapa milis, dan memiliki data base dari ribuan alamat email orang Indonesia, memohon saya untuk membantu menyebarluaskan tulisan, yang merupakan “Wejangan Leluhur Bangsa.”
Wejangan tersebut ditulis oleh kenalannya, Nelwa, yang menulis setelah melakukan meditasi yang dalam dan bahkan dapat dikategorikan sebagai suatu tapa. Dalam bahasa awam mungkin disebut sebagai suatu perenungan yang mendalam. Minggu lalu kami betiga bertemu, dan Nelwa membacakan tulisan tersebut secara lengkap untuk saya. Saya mendengarkan dengan sangat cermat. Setelah “Wejangan” tersebut selesai dibacakan, saya tertegun. Yang keluar dari mulut saya hanya satu kata: “Sempurna!”
Menurut pendapat saya, isi wejangan tersebut memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi bangsa Indonesia saat ini dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya dari perpecahan dan kehancuran akibat kesalahanh bangsa ini sendiri.
Memang, tidak semua yang membaca wejangan ini akan segera sependapat, namun mohon direnungkan dengan tenang dan mendalam esensi dari pesan yang disampaikan, dan kemudian membandingkan sendiri dengan situasi serta kondisi yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Pendapat dan tanggapan mengenai wejangan ini mohon tidak ditujukan kepada saya pribadi, melainkan kepada kita semua, seluruh anak bangsa, untuk didiskusikan.
Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukanlah masalah teknis, bukan masalah kekurangan ilmuwan, bukan masalah kekurangan dana. Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, baru ada segelintir manusia Indonesia yang memiliki gelar kesarjanaan. Itupun hanya di beberapa bidang, untuk menunjang kepentingan penjajah, dan bukan untuk pembangunan bangsa dan negara, apalagi untuk mencerdaskan rakyat Nusantara.. Kini bangsa Indonesia telah memiliki ratusan ribu sarjana, dan bahkan guru besar untuk segala bidang ilmu pengetahuan. Seharusnya, dana pembangunan juga mencukupi, dan tidak perlu mengemis-ngemis terus ke luar negeri untuk menambah utang, yang pada akhirnya sebagian besar masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat negara. Uang negara yang dikorupsi mencapai retusan trilyun rupiah. Adalah suatu kenyataan, bahwa perekonomian, dunia hukum, kehidupan sosial dan budaya negara ini ambur-adul. Indonesia memiliki telalu banyak poliTIKUS yang menggerogoti negara, dan belum tampak seorangpun yang dapat dikategorikan sebagai seorang negarawan.
Mohon inti wejangan di bawah ini direnungkan dahulu, sebelum memberi komentar, tanggapan atau pendapat. Komentar, tanggapan dan pendapat seluruh anak bangsa sangat diperlukan, agar kita dapat menemukan solusi atas permasalahan yang kita hadapi bersama.

Salam persatuan anak bangsa!

Jakarta 20 Mei 2006

Batara R. Hutagalung

===============================================

Wejangan Leluhur Bangsa

Disampaikan melalui Nelwa
Panca Sila adalah hasil dari penggalian yang sedalam-dalamnya di dalam jiwa rakyat Nusantara sendiri. Di dalam Panca Sila ada dua sifat, yaitu statis dan dinamis. Statis tujuannya mempersatukan, dan dinamis tujuannya tuntunan atau arah perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dasar yang statis harus terdiri dari elemen-elemen di mana “di dalamnya ada jiwa Indonesia”. Kalau kita tidak mempersatukan elemen-elemen jiwa Indonesia, maka tidak mungkin dibangun dasar untuk negara Indonesia dengan jiwa bangsa Indonesia.
Saat ini semua berubah, kita telah memasukkan elemen-elemen asing ke dalam jiwa bangsa Indonesia, maka ini tidak akan menjadi dasar yang sehat dan kuat, apalagi untuk mempersatukan jiwa rakyat Indonesia. Sadar atau tidak sadar, kita telah melanggar hukum alam dalam jiwa bangsa ini sendiri. Karena hakekat dan jiwa kaum dan bangsa ini, yang telah dipersatukan dalam satu wadah yang diberi nama bangsa Indonesia, telah dilanggar dari segala elemen-elemen yang bukan jiwanya sendiri.
Pada saat catatan dibuka, bahwa para leluhur bangsa ini telah mempersatukan jiwa-jiwa manusia yang ada dalam ketertindasan dijajah oleh bangsa asing, dan dengan semangat kesatuan, jiwa yang memiliki semangat ingin merdeka.
Kesatuan tekad yang penuh dengan air mata dan darah, membawa sekelompok manusia bersatu menjadi satu bangsa, satu kata dalam satu jiwa, satu negara Indonesia, wujud dari kesatuan jiwa kaum dan bangsa ini.
Panca Sila ada, bukan lahir karena insiden, tapi lahir dari nilai perjalanan historis bangsa ini. Perjalanan sejarah bangsa ini selama di bawah kekuasaan dan kekejaman kolonialisme dan imperialisme, telah membentuk “jiwa persatuan” mempersatukan segenap tenaga, pikiran dan tekad dalam satu perbuatan untuk merdeka, dan mendirikan negara dengan menumbangkan penjajahan dan imperialisme. Pada zaman sebelum atau sesudah kolonialisme, kita memang memiliki bibit-bibit nasional borjuis.
Kita juga mempersiapkan diri untuk mempertahankan negara yang kita dirikan, yang suatu saat kelak menjadi benteng “pertahanan negara” dari serangan imperialisme itu.
Dengan adanya segenap tenaga revolusioner yang ada di dalam jiwa rakyat Indonesia, maka oleh karenanya pada tanggal 17 Agustus 1945 kita dapat mengadakan Proklamasi. Karena persatuan jiwalah kita dapat mempertahankannya.
Sekarang ini persatuan itu terganggu, sehingga kita kembali berikhtiar mengumpulkan jiwa-jiwa revolusioner untuk memperbaiki keretakan-keretakan tubuh dari bangsa Indonesia ini. Setelah itu, kami semua para pendahulumu, yang mempersiapkan dasar dan negara yang telah didirikan. Di atas dasar itulah maka segenap rakyat dipersatukan pada saat itu. Maka lahirlah Panca Sila, yang memberi nilai sejarah bangsa ini.
Nilai luhur Panca Sila adalah mempersatukan dan memberi arah bagi kehidupan negara kita ini. Nilai statis dari Panca Sila adalah persatuan, dan nilai dinamis adalah kearah mana kita harus berjalan sebagai bangsa dan negara. Panca Sila diciptakan dari “jiwa persatuan”. Panca Sila diciptakan untuk mempersatukan jiwa-jiwa rakyat ini menjadi “jiwa bangsa”, lalu “jiwa negara”. Kekuatan energi dari jiwa-jiwa para leluhurmu yang menciptakan Panca Sila.

Apakah anak-anak bangsa sebagai penerus kami sudah mengamalkannya? Apakah pemimpin-pemimpin bangsa sekarang ini sudah mengamalkannya ? Jujurlah dalam bersikap, tanyakan pada dirimu sebagai anak bangsa. Jika sudah tidak ada lagi kemauan dan kehendak untuk mengamalkan Panca Sila yang lahir dari energi jiwa-jiwa para leluhur bangsa ini, maka tidak akan ada lagi Indonesia.
Jiwa-jiwa anak bangsa akan gentayangan sendiri-sendiri tanpa tuntunan dan arah, kehilangan cahaya sebagai petunjuk terang suatu bangsa. Maka tunggulah, dan semua akan ada pembuktian sebagai peringatan keras bagi kaum dan bangsa ini.
Kumpulan manusia adalah kumpulan dari satu jiwa, bukan seperti kursi yang disejajarkan di dalam gedung-gedung perwakilan rakyat dan pemerintah. Yang duduk di situ tidak mempunyai jiwa Ketuhanan, jiwa Kemanusiaan, jiwa Kebangsaan, jiwa Kedaulatan rakyat, dan jiwa ber-Keadilan. Jadi wakil-wakil rakyat sekarang ini tidak lebih dari kursi-kursi yang disejajarkan itu. Tidak ada energi jiwa, atau : Mati Rasa!
Sudahkah kita menghayati Sila Ketuhanan yang sebenarnya? Sila Ketuhanan dalam Panca Sila bukan sekedar barang yang diucapkan saja, tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bangsa. Adanya agama yang berbeda dalam satu bangsa bisa menjadi rukun beragama sesuai kepercayaaan masing-masing, karena adanya rasa Kebangsaan Indonesia. Dalam negara harus ada perbedaan yang harus dipertegas antara keperluan negara sebagai “negara” dan urusan agama.
Fakta yang terjadi sekarang dilihat dengan mata telanjang tetapi menggunakan akal yang gelap. Semuanya dicampur-adukkan antara urusan agama dan urusan negara, sehingga lunturlah nilai Ketuhanan yang ada pada bangsa ini.
Inipun akibat dari pelanggaran hukum alam pada jiwa bangsa yang telah memasukkan jiwa-jiwa paham asing ke dalam jiwa-jiwa bangsa Indonesia sendiri. Mereka lupa bahwa adanya kepercayaan ber-Tuhan pada bangsa ini juga ada dalam sejarah perjalanan bangsa ini sebelumnya. Jiwa bangsa ini sudah tidak lagi menyatu dalam Ketuhanan yang sebenarnya.
Bangsa ini sudah lahir semenjak kalian belum ada di dunia. Bangsa ini ada sejak zaman pra-Hindu, yang sudah mempunyai kultur dan bercita-cita. Bangsa ini sebelum kedatangan orang Hindu sudah mahir dalam tanam padi secara sistem sawah. Jangan dikira itu hasil dari pembawaan oleh orang Hindu. Tidak! Sudah sebelumnya.
Alfabet Ha-Na-Ca-Ra-Ka-Da-Ta-Sa-Wa-La, jangan dikira itu dibawa oleh orang Hindu. Wayang kulit-pun bukan dibawa oleh orang Hindu. Orang Hindu hanya memperkaya wayang kulit dengan tambahan lakon Mahabarata dan Ramayana. Tapi kita sudah lebih dahulu punya wayang kulit, tetapi belum ada tambahan lakon Mahabarata dan Ramayana. Yang ada Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala dan Cepot. Lakon lain, yang datang di luar punya kita itu, hanya memperkaya wayang kulit.

Jadi jika kita umpamakan sejarah perjalanan bangsa ini seperti istilah bersaf-saf (saf: barisan ketika shalat berjama’ah – redaksi). Saf pra-Hindu yang sudah berbudaya dan beradab bukan buaya dan biadab. Saf berikutnya, saf Hindu, datang dalam bidang politik berupa negara Taruna, negara Kalingga, negara Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, dll.
Lalu datang lagi saf berikutnya, zaman kita menganut Islam : negara Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram kedua. Lalu datang lagi saf berikutnya, saf kolonialisme dan imperialisme.
Tapi dari semua fase yang ada dalam perjalanan sejarah, bangsa ini selalu hidup dalam alam pemujaaan. Ke dalam itulah ia menaruhkan segenap harapan dan kepercayaannya dalam ber-Tuhan. Maka proses bangsa ini dalam mencari nilai-nilai Ketuhanan juga ada dalam sejarah manusia di bumi ini, yang telah kita lupakan bahkan telah membuangnya ke tempat sampah yang kotor.
Kita harus melihat sejarah manusia yang berangkat dari alam pikiran manusia di segala zaman itu. Dipengaruhi oleh cara hidupnya yaitu bagaimana cara manusia mencari hidup, mempertahankan hidup dan memelihara hidup. Ini semua mempengaruhi alam pikiran manusia yang juga mempengaruhi alam persembahannya dalam Ketuhanan.
Fase pertama : gambaran manusia nomaden yang mengira Tuhan itu guntur, Tuhan itu adalah angin, Tuhan adalah air. Maka tradisi di India, sungai Gangga sampai saat ini disucikan. Dan di bagian Jawa, ada istilah lampor. Kalau ada angin dari selatan bertiup kencang, orang berteriak : “lampor-lampor!”
Fase kedua : manusia hidup dari peternakan, pindah bentuk lagi dalam Ketuhanan, beralih kepada bentuk binatang. Bangsa Mesir pada saat itu menyembah sapi, namanya Apis; burung, namanya Osiris; di India, sapi.
Fase ketiga : manusia hidup dari pertanian, maka pindah pula cara memahami Ketuhanan, yaitu pemujaan kepada sesuatu unsur yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, Dewi Sri, Dewi Sari Pohaci di tanah Pasundan. Pada saat musim tanam lantas memohon pada dewi-dewi tersebut. Bentuk Ketuhanan sudah digambarkan dalam bentuk manusia berupa gambar dewa-dewi, berbeda dengan alam pikiran manusia yang pertama dan kedua, belum ada bentuk manusia.
Fase keempat : manusia hidup sudah bisa menciptakan alat. Siapa yang menjadi penentu daripada pembuatan alat ini? Penentunya ialah akal.
Akal-lah yang membuat sabit, bajak dsb. Berpindahlah pikiran manusia pada Ketuhanan yang tadinya berupa batu, pindah ke sapi, lalu pindah berupa dewi. Maka dalam fase keempat menjadi gaib, tidak bisa dilihat dan tidak bisa diraba, yaitu akal.
Fase terakhir : alam industrialisme, maka sebagian manusia merasa dirinya adalah Tuhan. Apa yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia pada alam industrialis ini ? Mau petir ? Manusia bisa bikin petir : aku bikin menara tinggi, aku isi dengan elektrik sekian milyar volt, aku buka stroom lalu aku jadikan petir. Mau hujan ? Aku bisa. Mau keluar dari bumi ini ke planet lain ? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa, aku ciptakan senjata. Aku bunuh manusia, aku matikan musuh-musuhku, aku bisa. Hingga mereka mengatakan bahwa aku Tuhan ! Begitulah cara hidup di alam industrialisme, semua adalah “aku - aku” : Ego!
Itulah semua sejarah manusia tentang Tuhan, yang dalam alam pikirannya bergantung kepada cara hidupnya ! Maka para pendahulu atau leluhur dari kaum dan bangsa ini membuat dan menjadikan Sila Pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Diselami sedalam-dalamnya sejarah peradaban manusia dengan cara hidupnya, yang sebagian besar dari masyarakat agraris atau pertanian yang sampai saat ini masih ada kepercayaan tentang Dewi Sri, Sari Pohaci, yang masih dilestarikan dalam budaya bangsa ini untuk mengingatkan manusia tentang nilai-nilai dan Ketuhanan itu sendiri.
Jadi masyarakat kaum dan bangsa ini masih ada dalam fase ketiga, keempat dan kelima, yaitu alam industrialisme, yang itu bukan lagi corak dari cara hidup manusia Indonesia yang sebenarnya. Tingkat cara hidup masyarakat kita secara umum adalah agraris, tapi kita mulai melangkah ke arah industrialisme. Dari tingkat cara hidup bangsa Indonesia inilah maka kita mengikat satu kepercayaan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Aku (........) leluhur dari kaum dan bangsa ini, mengingatkan dan menurunkan catatan dari perjalanan bangsa ini. Bahwa aku percaya Tuhan Yang Maha Esa, Dia ada dan nyata. Selagi hidup di dunia ini, aku sering mendapat peringatan berupa impian.
Dan jika impian itu aku rasakan dalam rasa, keesokan harinya akan terjadi. Bagi orang lain mungkin terjadinya nanti atau bulan depan. Bagiku pribadi, kalau aku bermimpi, pasti esok terjadi. Hal ini membawa keyakinan padaku bahwa Tuhan ada dan nyata.
Dengan dasar utama dari Ketuhanan Yang Maha Esa ini kita akan menjadi bangsa yang besar dan melaksanakan kebajikan. Untuk itulah Sila Ketuhanan dimasukkan dengan jelas, nyata dan tegas. Dari Sila Utama, jiwa bangsa terus berevolusi menyelami nilai kedua, ketiga, keempat dan kelima untuk diamalkan. Tetapi saat ini, Sila yang Utama sudah dilupakan. Bagaimana langkah evolusi jiwa bangsa ini, untuk bisa menuju ke perjalanan jiwa berikutnya?! Ibarat Sila Ketuhanan adalah Roh yang Terang – Hidup yang menghidupi jiwa-jiwa dalam ber-perikemanusiaan, ber-bangsa, jiwa kedaulatan rakyat dan jiwa ber-keadilan.
Dalam perjalanan sejarah manusia yang mencari Tuhan, tidak ada yang saling membunuh sesama manusia karena kepercayaan dan keyakinan yang disebut agama. Dulu manusia membunuh karena wilayah kekuasaan, karena rasa memiliki dan nafsu saling menguasai. Tapi bangsa ini sudah melebihi batas-batas kemanusiaan sehingga membunuh bangsanya sendiri, dan membuat aturan-aturan yang mengganggu kebebasan dan hak dalam menjalankan ibadah agamanya masing-masing.

Bangsa ini tidak lagi belajar dari sejarah yang ada dan selalu hidup, karena bangsa ini hidup dari sejarah itu sendiri. Negara dan agama, tidak ada aturan-aturan yang jelas dan tegas. Sehingga negara diatur oleh agama, dan agama diatur oleh negara.
Lihatlah para ulama yang nyata-nyata berpolitik dan merubah fungsi ulama menjadi pemimpin negara, sehingga rebutan untuk menjadi pemimpin, mulai dari kaum cendekiawan sampai ulama. Tidak ada lagi penasehat-pensehat yang memberi “aturan benar dan wajar” dalam kehidupan ber-bangsa dan ber-negara. Orang-orang dibiarkan bertindak sewenang-wenang karena mengatasnamakan agama. Pemimpin-pemimpin bangsa ini membiarkan kezaliman yang berkedok agama. Karena negara tidak lagi dianggap sebagai kekuatan dan alat kekuasaan. Karena pemimpin rakyat dan bangsa ini tidak punya “jiwa kepemimpinan Panca Sila”.
Jika agama dijadikan alat kekuasaan pada bangsa ini, maka ketahuilah : kaum dan bangsa ini telah benar-benar melampaui batas dan harus membayar dengan harga mahal. Secara prinsip dalam Ketuhanan yang sesungguhnya, bahwa bangsa ini melanggar hukum alam dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para suci terdahulu, mulai dari para Buddha, para Nabi dan Rasul serta para Wali-wali Agung terdahulu mengatakan : “Cintailah Tuhan di atas segala hal dan cintai sesama manusia seperti kamu mencintai dirimu”.
Tapi tidakkah kita menyadari bahwa dari segi Peri-Kemanusiaan kita sudah melanggarnya?! Begitupun dari segi Kebangsaan yang satu jiwa, yang diwariskan oleh para leluhur bangsa dengan tebusan darah, tidak ada lagi dalam catatan anak bangsa ini.
Banyak anak-anak bangsa yang pintar, bersekolah, berpendidikan di Amerika, di Eropa, di luar negeri, pulang dan bekerja untuk bangsanya. Tapi sangat disayangkan, banyak yang kehilangan “jiwa anak bangsa Indonesia”, sehingga pulang dengan membawa “jiwa asing”, membela kepentingan asing, membawa elemen-elemen asing, dan tidak lagi menyumbangkan ilmu yang digali di luar negeri kepada rakyat dalam tujuan mencerdaskan bangsa sendiri. Anak bangsa menimba ilmu di negara orang, tapi sekarang hasil dari ini semua apa? Lihatlah! Utang negara menumpuk, korupsi melampaui batas, perebutan kekuasaan tanpa pengetahuan di bidangnya.
Untuk siapa anak bangsa ini bekerja? Untuk bangsa dan negara ini? Atau untuk bangsa asing? Jika kita bekerja untuk bangsa dan negara Indonesia harus dengan dengan jiwa Indonesia. Jika dengan “jiwa asing”, elemen-elemen asing bekerja untuk bangsa-rakyat Indonesia, jangan bermimpi tentang Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Karena kami para leluhur bangsa ini menjadikan Indonesia yang merdeka, bukan dari “jiwa dan elemen asing”, tapi dari jiwa bangsa dan kultur serta karakter rakyat Nusantara yang sesuai dengan budaya dan manusianya. Justru bangsa Indonesia ini lahir karena jiwa-jiwa rakyat pada saat berjuang untuk mengusir jiwa-jiwa asing yang ingin menguasai tanah leluhur dan kekayaan bangsa ini, dari penjajahan dan imperialisme asing. Sekarang semua ini digadaikan kepada jiwa-jiwa asing.
Akibatnya tanpa disadari, jiwa-jiwa bangkit dari kemarahan dengan berbagai masalahnya, yang sebenarnya adalah wujud dari kemarahan dan jiwa-jiwa anak bangsa yang juga merupakan wujud dari kekecewaan para leluhur bangsa ini yang tidak lagi mau dijajah oleh jiwa-jiwa dan elemen-elemen asing, yang berkedok mengatasnamakan anak-anak bangsa, bekerja untuk bangsa dan rakyat serta negara. Semua itu dusta!
Lihat undang-undang yang lahir dari perwakilan rakyat dan pemerintah ini, apakah sesuai dengan jiwa bangsa ini? Tetapi sesuai dengan jiwa-jiwa asing dan elemen-elemen yang berkedok anak bangsa. Mulai dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, telah dirasuki oleh elemen asing dan jiwa asing.
Yang membuat sedih para leluhur bangsa ini, kehidupan ber-agama dan ber-Ketuhanan-pun telah dirasuki oleh jiwa asing. Sudah jauh tersesat dalam kultur dan karakter jiwa bangsa Indonesia yang sesungguhnya, dalam menerapkan nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika agama sudah saling menguasai dalam kehidupan suatu bangsa, maka tunggulah kehancuran itu. Kalian yang menginginkannya!
Tidakkah melihat dan bercermin pada negara yang sekarang sedang bertikai dalam suatu agama yang akibatnya manusia saling membunuh, padahal mereka memeluk agama yang sama tetapi berbeda aliran?! Apakah seperti itu yang harus ditiru?! Seolah kita kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya untuk saling menghargai, walaupun berbeda agama tetapi satu. Maka sadarlah, setiap kaum mempunyai cara dalam menjalankan nilai-nilai Ketuhanan dan keyakinannya.
Setiap individu punya tanggung jawab sendiri dengan Tuhannya. Jangan lagi ada agama dalam politik atau politik dalam agama. Jika ini terus dilakukan, terimalah akibatnya, karena pemimpin bangsa ini membiarkan sebagian kecil orang mengatasnamakan agama dan mengatur kehidupan ber-negara.
Maka kelak kalian akan mengetahui. Hukum alam akan berlaku bagi semuanya tanpa memilih. Semua sesuai dengan perbuatannya, dengan hukum-hukum alam tertinggi. Maka manusia akan diajarkan untuk mengetahui mana yang benar dan wajar.
Siapa yang menanam, maka dia juga yang akan menuai hasilnya. Jangan mengira dalam angan-angan tanpa pengetahuan, bahwa para leluhur pendiri bangsa ini sudah mati. Kami hidup dalam pemikiran-pemikiran dan energi alam semesta yang mengalir pada anak-anak pilihan untuk meneruskan perjuangan dan mengukir sejarah dalam perjalanan bangsa ini yang masih belum terselesaikan, yaitu satu bangsa yang besar akan jaya, aman, sentausa, adil makmur dan sejahtera.
Sekarang! Berbarislah wahai anak bangsa yang memang dipilih dan terpilih untuk berbuat benar dan wajar! Dalam barisan saling menasehati tanpa pilih kasih tapi saling mengasihi. Dengan ini maka pengkhianatan akan tersingkir dan orang-orang yang masuk dalam barisan ini adalah seleksi dari alam semesta, yang sayang dan selalu memberi kepada kaum dan bangsa ini. Jangan melangkah ragu dan setengah jiwa seperti sekarang ini!
Contohnya, kita mengarah pada sistim demokrasi. Demokrasi yang mana? Apakah sesuai dengan jiwa bangsa ini? Jika demokrasi yang kita jalankan hanya di bidang politik berarti itu meniru demokrasi jiwa asing. Alat untuk mencapai tujuan bentuk dari suatu masyarakat tidak selalu dengan sistem demokrasi. Jangan jalankan demokrasi jiplakan dari jiwa asing! Ciptakan demokrasi yang ada dalam jiwa Nusantara, bukan hanya demokrasi politik tapi juga bidang ekonomi, sosial dan budaya. Demokrasi yang mengalir dalam jiwa bangsa ini.
Demokrasi Indonesia bukan demokrasi asing. Kalian akan saksikan pada saat jiwa asing Amerika, Eropa, memaksakan kehendak demokrasi dengan berbagai tujuan kepada masyarakat Irak. Apa yang terjadi? Berpuluh-puluh tahun nasib bangsa Irak akan terombang-ambing karena demokrasi jiwa asing merasuki jiwa bangsa Irak dan tidak sesuai dengan jiwa masyarakatnya. Perang saudara akan membinasakan kaum Irak sendiri. Betapapun kejamnya seorang Saddam Hussein, ia lebih mengerti karakter dan jiwa bangsa Irak daripada negara Eropa atau Amerika. Untuk itulah Saddam Hussein dipilih alam semesta untuk memimpin bangsa Irak dengan jiwa dan karakter yang sesuai sebagai anak bangsa itu sendiri.
Demokrasi jiplakan asing adalah demokrasi yang dalam bidang sejarah, ekonomi, masyarakat dan politik, adalah sekadar ideologi suatu masa atau satu periode saja. Sebelum adanya demokrasi Eropa barat dan Amerika, berjalan suatu sistem feodalisme. Artinya suatu pemerintahan yang ditentukan oleh Raja. Maka pada suatu ketika terjadi perubahan dalam alam pemikiran, alam penghidupan dan kehidupan masyarakat Eropa yang membawa perubahan pada alam ideologi masyarakatnya. Maka menjadi masyarakat yang materialis disebabkan karena kapitalisme yang sedang naik daun. Jadi sistem demokrasi ada karena kapitalisme yang sedang naik daun.
Kita bukan masyarakat kapitalis, kita tidak menghendaki kapitalisme. Tetapi kita menghendaki yang sesuai dengan Sila dari Pancasila yang kelima, masyarakat ber-Keadilan Sosial. Tidak bisa menggunakan sistem demokrasi itu sebagai alat dalam masyarakat yang ber-Keadilan Sosial. Apakah kita sudah menjadi bentuk masyarakat yang hidup dalam materialisme dan kapitalisme?!
Siapa yang menciptakan bentuk masyarakat seperti ini ? Pada saat kapitalisme naik daun maka di Eropa para buruh yang semakin terorganisir akan menuntut dan kekuasaan kaum buruh juga naik. Pada suatu saat secara alamiah pikiran politik dan sistem demokrasi akan membahayakan kaum kapitalis. Maka dengan adanya alasan dari kaum kapitalis bahwa sistem demokrasi tidak cocok diterapkan, maka kapitalisme mempergunakan fasisme.
Tidak ada perlawanan buruh dalam parlemen. Tetapi kekuasaan ada di tangan diktator. Ini sekadar gambaran dari bentuk-bentuk masyarakat materialis karena faham kapitalisme. Belajar dari sejarah materialisme dan produk dari kapitalisme melahirkan banyak cacat-cacat dalam sistem demokrasi jiwa asing atau jiplakan itu.
Maka sebagai bangsa Indonesia yang memikul amanat penderitaan rakyat, memikul kewajiban untuk menyelenggarakan suatu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalis tetapi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Jadi tinggalkan cara berpikir ala demokrasi yang hanya di bidang politik saja.
Seluruh rakyat Indonesia meletakkan sesuatu di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Maka demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasi Indonesia yang mempunyai kepribadian bangsa Indonesia. Jika tidak demikian maka kita tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu sendiri.
Demokrasi Indonesia bukan sebagai alat teknis seperti demokrasi jiwa asing. Tetapi sebagai suatu alam jiwa, pemikiran dan perasaan kita. Kita harus meletakkan alam jiwa, pemikiran dan perasaan kita di atas kepribadian kita sendiri, di atas penyelenggaraan cita-cita suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah jelas tidak bisa dengan demokrasi seperti cara sekarang ini. Kita jangan dibodohi oleh alam pemikiran yang bukan alam kepribadian bangsa kita sendiri.
Suatu saat kalian akan menjadi saksi bahwa negara demokrasi asing akan runtuh. Pemberontakan kaum buruh akan meruntuhkan kekuasaan kaum kapitalis, maka tidak ada lagi demokrasi sebagai alat teknis semata. Semua akan kembali ke alam demokrasi manusia sesungguhnya yang tidak mau lagi dijadikan alat politik dari kaum kapitalis.
Maka sangatlah mundur bangsa ini apabila memakai demokrasi sebagai alat kekuasaan teknis dalam bentuk masyarakat Indonesia yang sangat memegang prinsip rasa kekeluargaan dan gotong-royong. Jika sudah ada dalam jiwa masyarakat ini sifat rasa kekeluargaan dan gotong-royong, untuk apa lagi alat teknis yang namanya “demokrasi jiplakan”?!
Sekali lagi belajarlah dari sejarah perjalanan bangsa kita sendiri yang berangkat dari budaya bangsa ini yang begitu toleran dan welas asih. Renungkanlah hal ini dalam diri masing-masing anak bangsa ini.
Bangsa Indonesia adalah suatu “blue print” yang sempurna. Anak bangsa harus mengerti “blue print” ini sebagai kader-kader pembangunan. Tetapi belum engkau latih dirimu menjadi kader. Bukan sekadar kalian punya otak, itu harus diisi dengan pengetahuan. Seperti meng-“aku” : aku adalah insinyur, aku dokter, aku politikus, aku ahli hukum. Bukan sekadar itu yang diperlukan. Di samping pengetahuan teknis, anak bangsa sebagai kader harus mengerti “blue print” ini. Jiwamu harus menyatu dengan jiwa “blue print” ini. Jiwa kader-kader bangsa harus jiwa yang mempunyai kehendak dan tekad menyumbangkan tenaga dalam orkestra maha besar, rakyat Indonesia yang dua ratus juta lebih ini, agar dari jiwa “blue print” ini yang menyatu dengan jiwa kader-kader bangsa, terselenggara satu masyarakat adil, makmur, sejahtera sesuai dan sejalan dengan Panca Sila.
Alam pemikiran Belanda sudah tidak ada, yang ada alam sekarang, alam kader-kader bangsa pemuda dan pemudi. Kaum muda jangan hanya menerima apa yang diajarkan. Tetapi mesti belajar berpikir bebas. Berpikir bebas bukan anti liberalisme. Berpikir bebas mengalami dan mengerti “blue print” ini. Berpikir dengan bebas untuk menatap ke depan, bagaimana aku sebagai kader bangsa menyumbangkan tenagaku untuk negaraku agar “blue print” masyarakat adil makmur sejahtera itu menjadi terwujud.
Jangan isi otakmu dengan prasangka terhadap golongan ilmu dengan golongan ilmu lain. Kita membutuhkan pengalaman-pengalaman, kepintaran, kepandaian dalam segala bidang ilmu, “human skills”, “material investment”, “mental investment”, “technical” dan “managerial know how”. Kita harus melihat dan mengambil pengalaman-pengalaman dari bangsa-bangsa lain yang berguna dan bermanfaat tanpa prasangka buruk.
Buang prasangka buruk, ambil yang baik dan manfaatkan yang baik untuk lekas bekerja menyusun konsep masyarakat adil, makmur, sejahtera. Jadilah kader-kader bangsa yang produktif. Ciptakan produktivitas dalam segala bidang : pertanian, perkebunan, kelautan, ekonomi dan lain-lain.
Masyarakat petani harus produktif. Ciptakan padi unggul dengan sistem organik bukan dengan pupuk urea, sehingga tidak ada lagi impor beras. Ambil pengalaman negara-negara dan bangsa lain yang bermanfaat bagi pertanian sistem organik, juga dalam perkebunan dan kelautan. Contoh dalam bidang perkebunan : kita membeli tutup botol dari gabus dari Yunani atau India. Kenapa tidak membuat tutup botol dari karet?
Apakah mesti ada pabrik besar untuk membuat tutup botol dari karet? Tidak! Setiap rumah di daerah perkebunan karet bisa membuat tutup botol dengan latex. Maka masyarakat di daerah yang banyak karet sudah produktif. Begitu juga dengan kelautan, banyak yang bisa dihasilkan dari masyarakat yang produktif mengolah hasil kelautan. Jangan jadi semboyan saja.
Tiap-tiap kader bangsa menjadi manusia produktif. Maka dalam tempo dua, tiga tahun akan mencapai “moment” nyata, minimal di bidang pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia yang produktif, bukan konsumeris dan materialis. Ambil ilmu dan pengetahuan dari luar untuk mengangkat dan menjadi nilai tambah dalam bidang-bidang yang diciptakan oleh produktivitas masyarakat luas.
Wahai anak-anak bangsa Indonesia, jika engkau mengerti “blue print” masyarakat adil, makmur, sejahtera adalah amanat dari leluhurmu, amanat dari pejuang-pejuang bangsa yang telah mangkat lebih dahulu, yang telah banyak menelan penderitaan untuk bangsa Indonesia ini, maka engkau juga akan mengerti bahwa segenap rakyat Indonesia sangat menginginkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Seperti gambar “blue print” yang kami, leluhurmu, telah mewariskan untukmu semua.
Jika engkau hidup dalam “blue print” bangsa Indonesia ini, maka betapa leluhurmu akan berbahagia dalam alam keabadian, karena semua ini diwujudkan menjadi kenyataan. Tanggung-jawab tugas yang mulia ada pada kader-kader bangsa ini.
Engkau akan melihat hari kemudian tanah air kita, bangsa itu cemerlang. Di tepi langit engkau melihat cahayanya. Kebesaran suatu bangsa, cahaya masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Engkau, wahai kader bangsa, bukan hanya menjadi pupuk tapi engkau adalah bibit yang akan tumbuh subur dalam kalbumu, dalam dadamu, dalam jiwamu. Dan roh kalian bergelora tumbuh menjadi masyarakat baru. Bangkit dan tercapai segala cita-cita bangsa Indonesia yang jaya, bangsa yang besar.
Majulah! Sumbangkan bunga-bunga harum pada sanggul Ibu Pertiwi. Semua harus memberi sumbangsihnya kepada Ibu Pertiwi. Dibawah naungan “blue print” Panca Sila, kita agungkan Ibu Pertiwi, yaitu Tanah Air ini. Bumi Nusantara yang kaya raya ini. Jangan sia-siakan waktu, karena waktu adalah dirimu sendiri, wahai anak-anak bangsa!

2 comments:

dika said...

Wejangan yang sempurna...
semoga anak bangsa banyak yang terinspirasi oleh tulisan ini...
JAYALAH INDONESIA!!!!

dika said...

wejangan yang sempurna...
semoga anak bangsa indonesia trinspirasi oleh wejangan ini...
JAYALAH INDONESIA!!!