Disampaikan dalam Seminar “Perang Paderi, 1803 – 1838. Aspek Sosial Budaya, Sosial Psikologi, Agama dan Manajemen Konflik."
Di Arsip Nasional RI, Jakarta, 22 Januari 2008.
Pendahuluan
Sejak terbit pertama kali tahun 1964, buku karya Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP), ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ telah menuai banyak kritik dan sanggahan. Sanggahan tertulis pertama datang dari HAMKA dengan bukunya yang berjudul: Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Secara garis besar HAMKA menyebutkan, bahwa isi buku MOP 80 % bohong dan 20 % meragukan.
Cetakan kedua buku MOP terbit pada bulan Juni 2007, dan buku yang langsung memberikan sanggahan terhadap buku tersebut ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap, dengan judul ‘Greget Tuanku Rao.’
Selain kedua buku tersebut, berbagai silang pendapat dan kontroversi mengenai Tuanku Rao dan Perang Paderi muncul dalam berbagai tulisan, baik di media massa maupun di internet.
Mengenai sosok dan asal-usul Tuanku Rao sendiri terdapat beragam versi. Namun kelihatannya tak satupun yang dapat mengklaim, bahwa pendapatnyalah yang paling benar, karena semua versi hanya bedasarkan cerita rakyat atau cerita keluarga yang tidak dapat melampirkan dokumen yang otentik, termasuk yang dikemukakan oleh HAMKA. Dalam bukunya, HAMKA menyebut suatu sumber Belanda, J.B. Neumann, Kontelir BB, yang menyebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, bukan orang Bakkara. Sumber Neumann juga orang Belanda, Residen T.J. Willer. (Hlm. 239)
Sumber lain yang disebut oleh HAMKA adalah Asrul Sani, yang juga menyebut bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi. Namun tidak disebutkan, dari mana sumber informasinya. (Hlm. 240)
Bahkan Sanusi Pane menganggap, bahwa Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai adalah orang yang satu itu juga. (Hlm. 242)
Selain mengenai sosok Tuanku Rao, HAMKA juga membantah keterangan mengenai sejumlah tokoh yang ditulis oleh MOP dalam bukunya. Juga HAMKA membantah segala bentuk kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan Batak.
Buku BHH ‘Greget Tuanku Rao’ membantah beberapa hal yang ditulis oleh MOP, namun dia membenarkan terjadinya tindak kekerasan seperti perkosaan yang dilakukan oleh tentara Paderi.
Bantah membantah mengenai suatu tulisan atau peristiwa adalah hal yang biasa, juga dalam penulisan sejarah. Banyak kalangan dari etnis Jawa membantah adanya Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357. Namun kenyataannya, di kota-kota di Jawa Barat tidak ada nama jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk atau Majapahit, karena di masyarakat Sunda, berkembang cerita sebagimana tertulis dalam Kidung Sunda.
Tuanku Rao Dalam Turi-Turian Batak
Di masyarakat Batak, baik Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas maupun Toba, cerita rakyat dikenal sebagai turi-turian atau cerita yang dituturkan oleh seorang Bayo Parturi. Turi-turian yang juga diceritakan turun temurun oleh para orang tua kepada anak-cucunya dapat bersumber dari peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi bisa juga legenda atau hikayat, yang hanya merupakan produk fantasi dari nenek moyang.
Walaupun etnis Batak memiliki aksara sendiri yang dinamakan ‘Surat Batak’, namun sangat sedikit sastra Batak yang dituliskan dengan Surat Batak. Pada umumnya, Surat Batak digunakan untuk menuliskan ilmu kedukunan dan surat-menyurat, dan di beberapa daerah, antara lain di Karo, Angkola dan Simalungun, Surat Batak digunakan untuk menuliskan syair. Hal ini yang menyebabkan, banyak turi-turian tidak ditulis dalam Surat Batak, melainkan hanya melalui penuturan secara lisan turun-temurun dari nenek moyang ke anak cucu, atau dituturkan oleh Bayo Partuturi.
Mengenai asal-usul Tuanku Rao, terdapat beberapa versi. Versi yang paling banyak berkembang adalah versi yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Palindungan (MOP) dalam bukunya ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’
Dalam buku ini disebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah anak hasil hubungan gelap dari Gana boru Sinambela, putri Singamangaraja IX dengan paman kandungnya sendiri, Gindoporang Sinambela, adik dari Singamangaraja X.
Ketika Gana Sinambela hamil akibat hubungan dengan pamannya, kehamilan ini diketahui oleh ayahnya. Untuk menutup aib ini, Gindoporang dan Gana diasingkan ke Singkil, Aceh, karena untuk hamil di luar nikah, apalagi hasil hubungan dengan keluarga sendiri (incest), sanksinya adalah hukuman mati.
Di Singkil, Gindoporang masuk agama Islam dan mengambil nama Muhammad Zainal Amirudin Sinambela. Gana sendiri tidak bersedia masuk Islam, dan tetap menganut agama Batak, Parmalim. Ketika putra mereka lahir, Gindoporang memberikan nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela. Oleh ibunya, dia diberi nama Pongki Na Ngolngolan yang artinya adalah Fakih yang menunggu-nunggu, karena Gana masih berharap, suatu hari akan dapat kembali ke Tanah Batak.
Setelah Singamangaraja IX meninggal, dia diganti oleh putranya, yang menjadi Singamangaraja X. Singamangaraja X memanggil kembali adiknya, Gana Sinambela bersama putranya, Pongkinangolngolan.
Beberapa Datu (dukun) di Bakkara yang mengetahui mengenai asal-usul Pongkinangolngolan meramalkan, bahwa suatu hari dia akan membunuh Singamangaraja X. Oleh karena itu mereka mendesak, agar Pongkinagolngolan dihukum mati.
Pongkinangolngolan dapat menyelamatkan diri dan mengembara sampai ke Mandailing, di mana dia kemudian menjadi anak didik Tuanku Nan Renceh. Setelah masuk Islam, namanya diganti menjadi Umar Katab. Nama Katab apabila dibaca dari belakang menjadi Batak. Umar Katab ini kemudian bergelar Tuanku Rao. Demikian asal-usul Tuanku Rao menurut versi MOP.
Versi lain menyebutkan, bahwa Tuanku Rao adalah putra dari Nai Napatihan, putri Singamangaraja X, yang menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke Singkil, Aceh, agar tidak menjadi saingannya di kemudian hari. Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin.
Juga ada versi yang menyebutkan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak.
Ada versi lain yang ditulis oleh seorang sarjana Batak dalam disertasinya di UGM, yang menyatakan bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.
(lihat weblog: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html)
Dalam bukunya Antara Fakta Dan Khayal “TUANKU RAO”, HAMKA menulis, bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. (Hlm. 240).
Imam Bonjol sendiri menulis dalam catatan hariannya, bahwa Tuanku Rao berasal dari suatu desa di Mandailing (sebagaimana disampaikan oleh Dr. Phil. Ichwan Azhary dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ di Medan, 24 November 2007 dan di Pematang Siantar, 26 November 2007). Namun tidak diterangkan lebih lanjut mengenai asal-usul Tuanku Rao. Mungkin Imam Bonjol hanya mengetahui, bahwa Tuanku Rao datang dari suatu desa di Mandailing dan tidak mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usulnya apakah memang asli dari daerah tersebut.
Agresi kaum Paderi ke Sumatra Utara
Mengenai agresi kaum Padri ke Tanah Batak yang dikenal di kalangan Batak sebagai “Tingki Ni Pidari” atau “Zaman Padri”, dua sesepuh Batak, Drs Muara Sitorus dan Edith Dumasi Nababan, SH, yang hadir dalam diskusi ‘Hikayat Tuanku Rao dan Kilas Balik Perang Paderi’ yang diselenggarakan di Sekretariat Plot (Pusat Latihan Opera Batak) Siantar, pada Senin 26 November 2007, memberikan kesaksiannya: (Dikutip dari harian METRO SIANTAR edisi 27, 28 dan 29 November 2007).
“... Drs Muara Sitorus, seorang mantan guru, misalnya, menyatakan sangat senang saat harian METRO SIANTAR menulis kisah Perang Paderi dan 'cerita kelam' dalam keluarga Dinasti Singamangaraja, sebanyak empat seri. "Saya tak menyangka, di zaman sekarang masih ada orang yang peduli dengan kisah sejarah di masa lalu. Terima kasih METRO," kata tokoh masyarakat asal Porsea yang merantau ke Siantar, mengawali ( terima kasih kembali, Pak, red).
Selanjutnya ia mengatakan, fakta sejarah yang ditulis Parlindungan dalam buku Tuanku Rao, sudah lama didengarnya, jauh sebelum buku Tuanku Rao terbit. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai Tingki ni Pidari. Itu adalah kisah mengenai Pasukan Paderi menyerang Tanah Batak. Dari peristiwa Tingki ni Pidari inilah, muncul istilah Monjo (mirip dengan bunyi Bonjol). Monjo ini adalah sebutan orang Batak menyebut Pasukan Paderi," katanya.
Kalau pasukan Paderi datang, orang-orang akan berteriak "Monjo datang...Monjo datang!" "Kalau ada teriakan Monjo, itu menjadi pertanda bagi orang-orang Batak yang mendengarnya, untuk lari ke hutan menyelamatkan diri," katanya. Kisah ini didengarnya dari orang-orangtua, yang diceritakan secara lisan. Karena itu, Drs Muara Sitorus senang dengan penerbitan buku Tuanku Rao, dan menegaskan, kalau kisah di dalamnya adalah fakta sejarah.
Mendukung pernyataan Drs Muara Sitorus, Ibu Edith Dumasi Br Nababan, mantan Hakim Agung yang hadir dalam diskusi di Sekretariat PLOt itu mengatakan, Tingki Ni Pidari itu sungguh benar terjadi. "Saya sudah lama mendengar kisah mengenai kisah Tingki Ni Pidari. Dan seperti dikatakan Pak Sitorus, pasukan Imam Bonjol itu disebut Monjo. Kalau Monjo datang, seluruh orang Batak haruslah berlari menyelamatkan diri ke hutan," katanya.
Sayangnya, hanya anak-anak,wanita, dan pria yang tengah bekerja di sawah yang sempat melarikan diri ke hutan. Sementara yang tinggal di rumah, umumnya perempuan-perempuan cantik yang bekerja menenun ulos/kain, tak sempat kabur.
Untuk memaksa orang-orang yang sembunyi di rumah agar keluar, Pasukan Paderi pun membakar rumah-rumah. Semua perempuan yang bersembunyi dalam rumah terpaksa keluar, daripada terpanggang hidup-hidup. "Itulah makanya, rumah-rumah Batak habis di daerah Silindung. Hanya di Toba saja yang masih tersisa sedikit," katanya ...
... Yang melarikan diri ke hutan, sebagian besar mati kelaparan. Hanya yang kuat-kuat dan umumnya tak cantik, yang bertahan selamat. "Itulah sebabnya, perempuan-perempuan Batak yang cantik baru ada sekarang ini. Itu karena yang cantik-cantik sudah mati dipancung atau diperkosa oleh Monjo, atau kelaparan di hutan. Hanya perempuan-perempuan kuat dan berbadan tegap, yang umumnya tak begitu cantik yang berhasil bertahan hidup di hutan. Makanya perempuan-perempuan Batak sampai waktu yang cukup lama, umumnya tak cantik. Sekarang saja, baru ada perempuan Batak yang cantik," kata Ibu Edith Dumasi Br Nababan, yang masih saudara kandung dengan Dr SAE Nababan, mantan Ephorus HKBP.
Selain membenarkan adanya kisah mengenai Tingki ni Pidari yang disebutnya sebagai masa kelam di Tanah Batak --seperti diceritakan oleh Parlindungan dalam buku Tuanku Rao-- Ibu Edith Nababan yang juga istri Ir Sahat Lumban Tobing (alm) ini mengatakan, kisah mengenai Pongkinangolngolan Sinambela alias Tuanku Rao, adalah benar merupakan bere (keponakan) Singamangaraja X. Tapi karena Pongkinangolngolan memiliki kekuatan batin/spiritual, sejumlah datu di Bakkara mengatakan dia harus diusir/dibunuh. Itulah kisahnya maka dia terusir hingga ke Minang.
"Mertua dari mertua saya masih keturunan Dinasti Singamangaraja. Dan saya ada mendengar keberadaan Pongkinangolngolan sebagai bere Singamangaraja X, yang membunuh tulangnya (paman – red) itu," kata mantan Ketua Pengadilan Tinggi di Lampung yang juga pernah menjabat sebagai wakil Ketua Pengadilan Tinggi di Jawa Baratdan di Kalbar ini.
Caranya, Pongkinangolngolan yang sudah begelar Tuanku Rao, mengirim pesan ke Tulang-nya, untuk menerima pisau sebagai hadiah. Namun saat Tulangnya datang dari Bakkara, Pongkinangolngolan memeluk Tulang-nya itu dan menikamnya hingga tewas (versi MO Parlindungan, Singamangajara X dibunuh Jatengger Siregar).
Dari sana, Pasukan Paderi menyerang kampung Tulang-nya di Bakkara, dan menjarah harta benda, seperti perhiasan, baju, ternak, untuk logistik tentara. "Itulah cerita yang saya dengar dari ayah saya. Bahkan bibi dari ayah saya adalah salahsatu yang sempat ditawan Pasukan Paderi, yang berhasil melarikan diri dengan mengikuti aliran Aek Sigeaon," kata ibu Edith Nababan (yang selanjutnya diwawancarai METRO).
Saat epidemi penyakit merajalela, Pasukan Paderi mundur dari Tanah Batak. Namun sebagian memilih tinggal di Silindung, di daerah Sosorpadang, dan sampai sekarang masih ditempati oleh orang Padang yang Islam. "Sampai saat ini mereka tidak pernah diganggu," kata ibu yang saat ini menjabat sebagai Ketua Paguyuban Darma Wulan (Warga Usia Lanjut) cabang Medan.
Ibu Edith juga mengaku, sempat kenal dengan Sutan Martua Raja, ayah MO Parlindungan, si penulis buku Tuanku Rao. Saat itu, mereka tinggal bertetangga di Siantar. Ibu Edith sendiri kala itu masih murid SD, sementara Sutan Martua Raja sudah tua.
Menurut ibu yang sudah berambut putih ini, orang Batak tidak tersinggung dan tidak perlu dendam membaca buku Tuanku Rao. "Sejarah kelam di Tanah Tapanuli jangan sampai menumbuhkan dendam. Kekerasan horizontal antarsuku ataupun atas nama agama/kepercayaan harus diakhiri. Mari kita membuka diri menerima fakta, bahwa orang orang Batak pernah kalah dalam Perang Paderi. Dan mari kita belajar dari sejarah, dengan tidak mengulangi perbuatan kekerasan. Karena sejarah memang sangat mungkin berulang," kata ibu yang saat masih gadis ini sudah menjabat sebagai Ketua PN Taput dan Dairi...’
Demikian juga buku yang ditulis oleh Basyral Hamidy Harahap (BHH), memaparkan penyerbuan tentara Paderi ke Simanabun yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. BHH menuliskan a.l.: (lihat Weblognya: http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog)
‘… Sebagai penulis, ada debar-debum jantung saya ketika menulis bab Datu Bange di dalam buku ini. Bukan hanya karena bab ini bercerita tentang ketidak-berperikemanusiaanan, genocide, dan dendam yang membara. Tetapi karena ia juga bercerita tentang leluhur saya yang terus menerus melakukan perlawanan, sekalipun mereka sudah dalam posisi yang tidak menguntungkan. Sementara itu pasukan berbaju Putih yang mendengung-dengungkan agama, sambil menebas kepala manusia, membakari kampung, memperkosa, dan melakukan segala macam kebiadaban, terus mengejar musuhnya. Inilah yang membuat pihak Belanda jadi meleleh, dan terusik rasa kemanusiannya. Datu Bange dan rombongannya terus melakukan perlawanan. Secara spontan pasukan Belanda kemudian melindungi rombongan Datu Bange. Karena jika tidak demikian, sebuah tragedi kemanusiaan yang jauh lebih kejam pasti terjadi, yang bagaimanapun tidak akan bisa diterima manusia beradab !!!
Datu Bange dan pengikutnya yang tidak lain adalah leluhur saya, pada akhirnya berhasil memasuki daerah baru setelah menempuh medan yang berat, berliku-liku naik gunung dan turun lembah serta hutan belantara dengan jarak lebih dari 65 kilometer, dan kemudian mereka menetap di daerah Angkola dan Mandailing Godang. Walaupun untuk itu Datu Bange harus menebusnya dengan nyawanya sendiri…
Bahkan BHH menganggap dasar yang digunakan oleh panitia yang mengusulkan gelar Pahlawan Nasional untuk Tuanku Tambusai tersebut naif dan menjatuhkan harkat dan martabat Datu Bange. BHH menulis (Hlm. 67):
“… Pada masa itu daerah-daerah dataran tinggi yang penduduknya masih parbegu dan sering membuat kekacauan seperti merampok dan mengambil Budak yang meresahkan penduduk. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri keadaan itu dengan melakukan gerakan terhadap kelompok parbegu tadi dipimpin oleh Datu Bange, Raja Siminabun yang bentengnya terletak di atas puncak bukit terjal di tepian sungai Batang Pane…”
BHH menulis bahwa Datuk Bange telah beragama Islam, namun tidak mau menerima aliran Islam yang dibawa oleh Tuanku Tambusai. Lama sebelum gerakan Paderi mereka sudah memeluk Islam. BHH menyatakan bahwa Datu Bange bukan perampok, melainkan Kepala Luat Dolok, raja paling kharismatik di Padang Lawas raya yang dicintai rakyatnya. BHH juga menonjolkan peranan ulama-ulama Sufi Mandailing yang menyebarkan agama Islam di daerah itu berabad sebelum Paderi datang. (Hlm. 68)
Memang Islam telah masuk ke Sumatera Utara sejak abad 8, dan kebanyakan beraliran Syiah. Selama ratusan tahun Islam dan agama asli Batak, Parmalim, serta penganut Hindu-Buddha dapat hidup berdampingan dengan damai.
Banyak kalangan –termasuk HAMKA- menolak isu tentang adanya pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian pasukan Paderi. Cerita tentang bagaimana anggota Paderi melampiaskan nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data ilmiah. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka. Sedangkan dalam bukunya, MOP menyatakan, bahwa Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyutnya.
Mengenai penculikan kaum perempuan di daerah yang telah ditaklukkan dan kemudian dijual sebagai budak, juga pernah ditulis oleh Rosihan Anwar di harian Kompas edisi Senin, 06 Februari 2006 dengan judul ’Perang Padri yang Tak Anda Ketahui’ , di mana tertulis:
“… Yang menarik ialah kebiasaan menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Kaum Padri melakukan ini di daerah Mandailing. Perdagangan budak masa itu sebuah gejala lazim…”
Di zaman penjajahan Belanda, perbudakan adalah hal yang resmi dipraktekkan. Bahkan ada undang-undang perbudakan, yang berlaku sejak tahun 1640 dan secara resmi baru dihapus tahun 1863. Namun pada kenyataannya, praktek perbudakan di wilayah jajahan Belanda masih berlangsung hingga akhir abad 19. Demikian juga dengan perkosaaan terhadap perempuan di daerah diserang dan telah dikalahkan atau diduduki. Hal ini masih terus terjadi hingga sekarang.
Dalam bukunya ‘Antara Fakta dan Khayalan’ -entah disadari atau tidak- HAMKA banyak membeberkan tindak kekerasan dalam penyebaran beberapa aliran Islam di Timur-Tengah, terutama yang dilakukan untuk menyebarluaskan sesuatu aliran atau mazhab. HAMKA juga menuliskan kekejaman Tuanku Nan Renceh yang sangat fanatik kewahabiannya, yang memerintahkan untuk membunuh adik ibunya, karena tidak mau mengikuti sembahyang. (Hlm. 238)
Mengenai pakaian putih yang dikenakan oleh para ulama di Minangkabau, HAMKA menulis, bahwa warna putih yang dikenakan oleh para ulama merupakan warisan dari agama Buddha. HAMKA menulis (Hlm. 303):
“… Bahkan warna putih itu mungkin sudah ada sejak orang Minangkabau masih memeluk Agama Budha. Biksu-biksu Budha berjalan dengan pakaian selendang putih meminta bakal (mungkin yang dimaksud adalah bekal – pen.) makanan kepada penduduk. Setelah datang Agama Islam pusaka secara Budha itu diteruskan oleh santri-santri di Minangkabau yang dinamai ‘Orang Siak’.: Mereka bersarung putih, berbaju dan celana putih meminta sedekah bekal mengaji tiap-tiap hari Kamis ke runah-rumah penduduk…”
Memang sulit untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau hal-hal yang terjadi di masa lalu, dengan ukuran kemanusiaan sekarang. Juga apabila tidak ada atau kurangnya data, fakta dan dokumen yang dapat memperkuat cerita rakyat atau penuturan mengenai suatu peristiwa sejarah.
Referensi:
- Mangaraja Onggang Parlindungan, ‘Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833.’ Cetakan kedua, Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2007
- HAMKA, Antara Fakta Dan Khayal. “TUANKU RAO.” Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1964
- Basyral Hamidy Harahap, ‘Greget Tuanku Rao.’ Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, 2007.
- Beberapa Situs dan Weblog internet.
*******
Ringkasan buku “Tuanku Rao.
Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, dapat dibaca di: